Thursday, March 17, 2011

NU, Gus Dur, Moderatisme, dan Soft Power

Oleh Zacky Khairul Umam*

`Political leaders have long understood the power that comes from attractions.... Soft power is a staple of daily democratic politics.' (Josep S Nye, Jr, Soft Power, 2004:6)

ISLAM moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat Indonesia. Warga nahdiyin perlu bangga dengan hal ini.

Itu karena diakui secara mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya.

Dalam hal itu, Gus Dur lebih sering berperan sebagai `subjek'. Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacanawacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya.

Tetapi, Gus Dur dianggap lebih `islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.

Bangkit dari dalam Salah satu warisan berharga dari Gus Dur ialah `jualan' Islam dalam lanskap pemikiran yang moderat. Titik berangkat Gus Dur bermula dari isu-isu pembangunan pesantren sebagai bagian dari subkultur masyarakat. Ketika pertama kali Gus Dur memasarkan pesantren di dunia internasional, ada yang lebih berharga ketimbang mengakui pesantren sebagai salah satu lembaga independen umat muslim yang asli tradisi Nusantara. Hal berharga itu ialah cara berpikir dari kelokalan sebagai sebuah sumber pembacaan, bukan sebaliknya. Bagi Gus Dur, pesantren ialah wahana tempat olah kreasi tradisi dengan kiaikiai sebagai pimpinannya. Kiai tak sekadar sebagai `pialang budaya' seperti diungkapkan Clifford Geertz, tapi memerankan peran penting sebagai `penghasil budaya' bagi masyarakat. Gus Dur memandang pemribumian (vernacularization) ialah keperluan agar tradisi tidak tercerabut. Ketika ilmu-ilmu sosial dari Barat diimpor besar-besaran, Gus Dur malahan perlu sekali untuk melihat pesantren sebagai laboratorium hidup bagi masyarakat. Di hadapan tradisi besar keilmuan dunia, Gus Dur tidak inferior. Dia sangat percaya diri bahwa dari konteks kelokalan bisa muncul kreativitas. Tak berhenti di situ.

Kaidah ulama klasik yang hidup di pesantren, al-muhafazhatu `alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, `memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik,' sesungguhnya dipegang Gus Dur. Itu kenapa, ia tak gamang ketika harus berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Baginya, itu bukan saja hal yang haram bagi umat Islam, bahkan menjadi sesuatu yang wajib justru untuk menop a n g nilai-nilai Islam yang kosmopolitan, berkeadilan, dan beradab. Dalam bahasa kaidah Islam klasik berbunyi, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib, `sesuatu yang mendesak dibutuhkan maka bersifat wajib dilakukan.'

Dalam cakrawala keislaman seperti itu, TIYOK keislaman seperti itu, Gus Dur telah membangun model `Islam moderat' yang dibutuhkan. Dalam istilahnya, hal itu adalah bagian dari teorema `Islam kita' sebagai sebuah peleburan fusi dari keislaman, kemajemukan, dan tradisi keindonesiaan. Membaca Gus Dur, dengan demikian, adalah jendela untuk melihat Islam moderat yang tidak buta dengan tradisi yang hidup, menjalin kerja sama antaragama dan multikultural, serta tidak gamang dengan perubahan tingkat global. Persis moderatisme inilah yang dikembangkan Gus Dur sebagai soft power yang perlu dijadikan sebagai kebutuhan primer dalam masyarakat demokratis saat ini. Kekuatan soft power, seperti diungkapkan Joseph Nye (2004), terletak pada daya tarik dan bujukan dari nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat. Gus Dur berhasil membangun citra Islam moderat sebagai salah satu soft power dari budaya masyarakat Indonesia dalam lingkungan mondial.

Masa depan Menyadari pentingnya pencitraan Indonesia di dunia internasional, moderatisme Islam hendaknya dipahami sebagai sebuah kekuatan diplomatik gaya soft power. Itu dibutuhkan bukan saja tantangan terorisme dan radikalisme yang mengancam, melainkan juga pergeseran geopolitik global yang melihat Asia Tenggara sebagai sebuah `pusat baru' yang selama ini dipinggirkan. Terminologi orientalis yang memandang `Islam adalah pinggiran bagi Asia Tenggara; dan Asia Tenggara adalah pinggiran bagi Islam' hendaknya dikikis habis. Setiap tradisi Islam, di mana pun, punya suara untuk menyatakan diri sebagai sesuatu yang khas dan unik.

Terutama, hal itu mengingat Islam yang selama ini dipandang selalu bersumber dari dunia Arab secara perlahan mulai berpindah untuk mencari episentrum baru model keislaman yang ramah dengan perdamaian di tengah kekuatan multipolar. Islam Indonesia, dengan jumlahnya yang terbesar di dunia disertai dengan tradisi pacifiquenya,menjadi tak terelakkan untuk dilirik di masa mendatang.

Ini peluang sejarah yang tidak bisa disia-siakan. Islam moderat tidak boleh berhenti sebatas pada meninggalnya figur-figur anutan para guru bangsa. Kini, mewujudkan Islam moderat lebih merupakan `kerja jemaah' seluruh umat muslim.

Ide-ide moderatisme, seperti disuarakan Gus Dur, sudah banyak diketahui, tinggal bagaimana menyusun penjabaran rumusan, penelaahan lebih jauh, serta pengejawantahan di lapangan.

Dari sini, Islam moderat tak hanya menjadi bagian intrinsik dari kehidupan demokratis kita, tapi akan melahirkan spektrum peradaban yang membuat bangsa menjadi maju di hari esok.

Kemungkinan itu menjadi kewajiban bersama untuk diwujudkan.

Nah, tentu saja, warisan Gus Dur yang sangat berharga itu, yakni kemoderatan Islam, menjadi penting untuk diteruskan dalam suksesi dan regenerasi di dalam tubuh Nahdlatul Ulama itu sendiri sebagai Islamic based civil society dalam lanskap pencitraan dan politik identitas di dunia global saat ini. Selamat bermuktamar!

*Wakil Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia

Sumber: Media Indonesia | Opini | Selasa 23 Maret 2010

No comments:

Post a Comment