Friday, December 31, 2010

Gus Dur sebagai Wali Politik Islam

Kompas, Jumat, 31 Desember 2010 | 03:31 WIB
istimewa

Oleh: Muhammadun*

Judul buku : Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya Penulis : Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoerul Rosyadi Penerbit : Galangpress Yogyakarta Tebal : 204 halaman Cetakan : I, 2010 Harga : Rp. 50.000,-

Membaca pemikiran Gus Dur (panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid) tidak bisa hanya menggunakan kacamata ilmu sosial yang empirik, rasional, dan positivistik. Pemikiran Gus Dur berkelindan dengan lelaku kehidupannya yang banyak diliputi kejadian suprarasional. Gerak hidup Gus Dur yang melampaui alam metafisika membuat jalan pemikirannya sulit ditebak dalam satu perspektif atau satu disiplin keilmuan. Jalan politik yang dilalui Gus Dur juga penuh dengan teka-teki yang sulit dipecahkan. Banyak yang menahbiskannya sebagai wali, banyak juga yang mencibirnya sebagai orang yang “gila” yang suka mencari sensasi.

Buku bertajuk “Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya” ini bukan saja melihat sisi spiritual yang melekat dalam diri Gus Dur, melainkan juga meneropong gerak kehidupan politik Gus Dur yang tak bisa dilepaskan dengan dunia mistik yang Gus Dur tekuni. Kalau soal kewalian Gus Dur, penulis melihatnya karena Gus Dur lahir dari trah darah biru yang kuat dan tajam nuraninya dalam menangkap isyarat langit. Kedua kakeknya, baik dari bapak maupun ibu, dikenal sebagai tokoh kharismatik yang menjadi pemimpin tertinggi dalam tubuh Nahdlatul Ulama’. Kedua kakek ini dinilai berperan sangat besar membentuk sosok Gus Dur sebagai pribadi yang terjaga spiritualnya.

Dimensi esoteris yang sudah melekat sejak kecil itu mengalir dalam darah politik yang diperankan seorang Gus Dur. Isyarat langit atau isyarat kuburan para wali seringkali dijadikan Gus Dur sebagai “pembisik politiknya” dalam menjalankan berbagai kebijakan politik, baik ketika memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau ketika menjadi Presiden RI. PKB yang dialamatkan Gus Dur sebagai anak kandung NU sering disowankan Gus Dur kepada para kiai sepuh agar mendapatkan berkah menjadi partai besar yang bisa membawa kemaslahatan publik. Tak pelak, kaderisasi partai yang dijalankan Gus Dur juga selalu menunggu wangsit langit dari para kiai sepuh. Gus Dur secara blak-blakan mengakui kalau dia patuh total dengan kiai sepuh untuk menjalankan semua perintah.

Tatkala menerima pinangan Poros Tengah yang dikomandoni Amien Rais untuk menjadi Presiden RI pada tahun 1999, Gus Dur memainkan mistifikasi politiknya lewat wangsit dari langit yang dikemudian oleh para kiai Langitan. “Kiai Poros Langit” asal Langitan menjadi mistik politik Gus Dur paling masyhur di awal abad ke-21. Kamus politik di Indonesia pun harus menambah kosa kata baru yang belum pernah terjadi dalam laju politik kontempor mutakhir. Dunia politik modern hanya memenuhi indikasi konsolidasi dan kompetisi. Gus Dur tampil dengan konstituennya yang masih tradisional dengan bahasanya yang khas yang menakjubkan.

Mistik politik Gus Dur hadir sebagai salah satu oase gerak politik di tengah politik dunia abad ke-21. Gerak politik Gus Dur memperkaya khazanah perpolitikan dunia modern yang tidak mau dihegemoni kaum elite dan bangsawan, melainkan juga kaum bawah yang bergerak melakukan mobilisasi vertikal untuk menggapai kesederajatan. Walaupun Gus Dur akhirnya jatuh dari kursi keprisidenannya pada tahun 2001, tetapi warisan politiknya menjadi referensi istimewa dalam politik modern di Indonesia dalam melakukan konsolidasi demokrasi secara deliberatif.

*Pecinta buku

Friday, December 24, 2010

Khotbah Iftitah Rais Akbar KH. Hasyim Asyari Pembukaan Muktamar NU XVII Madiun1947

Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Hanya keharibaan-Mu, Ya Allah, kami memuji. Wahai dzat yang merendahkan dan menghinakan orang-orang yang congkak dan sombong yang telah meruntuhkan tahta firaun dan para kaisar yang sombong dan congkak.

Tak seorang pun yang mampu mencegah apa yang engkau berikan dan tak ada seorang pun yang mampu memberikan apa yang tidak engkau kehendaki untuk diberikan. Maha Suci , Engkau ya Allah dan Maha Unggul.

Alangkah luas rahmat-Mu dan betapa agung kedermawanan-Mu, walau kebanyakan manusia ingkar pada-Mu dan tidak percaya akan wujud-Mu serta benci pada-Mu. Meski demikian, Engakau tetap melimpahkan kenikmatan-Mu pada mereka. Engkau beberkan rizki serta karunia-Mu dan engkau panjangkan hidup mereka sepanjang masa.

Tambahan rahmat dan keagungan semoga tetap Engkau limpahkan pada Nabi-Mu yang Ummi Muhammad SAW. Yang telah Engkau perintahkan untuk membeberkan sayap rahmat dan salamnya kepada orang-orang mukmin yang mengikutinya. Yang telah engkau tawarkan padanya gunung uhud untuk diubah menjadi emas namun ditolaknya dan beliau memilih hidup zuhud duniawi. Walau demikian engkau tetap menjadikan beliau unggul melebihi dunia dan isinya.

Sementara itu keagungan budi pekertinya telah meluluh lantakkan hidup orang-orang yang sombong dan pendendam.
Semoga keselamatan dan kedamaian senantiasan menyertai Nabi besar Muhammad SAW, Ahli abit, beserta sahabat-sahabat beliau dihari kiamat.

Wa ba’du,

Saudara-saudara, peserta muktamar yang berbahagia. Adalah suatu kewajiban dan keharusan bagi kita untuk mengatur kehidupan kita serta mewujudkan dan merealisasikan tujuan yang mulia dengan memperlajari waktu demi waktu di mana kita telah melangkah dalam perjuangan dan perlawanan kita (dalam melawan kebatilan).

Boleh kita merasa senang bila apa yang telah kita kerjakan sesuai dengan apa yang telah kita canangkan. Namun kita harus prihatin serta menjadikannya sebagai pelajaran dan peringatan bila kegagalan dan kerugian yang kita peroleh.

Hari ini kita sedang bermuktamar, marilah kita jadikan perbandingan dengan muktamar terdahulu. Selanjutnya kita koreksi diri kita sendiri termasuk di antara golongan manakah di antara pernyataan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, yaitu: “Siapa yang hari ini amal perbuatannya lebih baik dibanding hari kemarin maka ia tergolong orang yang untung. Siapa yang amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemarin (tidak ada peningkatan) maka ia tergolong orang yang rugi. Dan siapa yang amal perbuatannya lebih jelek dibanding kemaren maka tergolong orang yang rusak.”

Pertama:”Marilah kita pelajari poin ini dari dimensi spirit agama, kita akan mengetahui ternyata kondisi keagamaan kemarin justru lebih baik dibanding hari ini. Pada tahun-tahun yang lalu perhatian begitu besar terhadap urusan keagamaan, namun kemudian akhir-akhir ini intensitas dan kepedulian kita terhadap masalah tersebut semakin melemah bahkan kini hampir tak terdengar lagi gaungnya.

Lembaga-lembaga pendidikan agama sepi, penghuninya yang tinggal paling-paling sekitar sepuluh persen dibanding tahun-tahun yang lalu. Sekolah-sekolah Islam (madrasah) banyak yang gulung tikar disebabkan oleh sedikitnya animo masyarakat dan sulitnya mencari orang-orang yang betul-betul punya tanggung jawab dan kepedulian yang besar untuk menghidupkannya kembali. Masjid-masjid dan mushalla begitu menyedihlan kondisinya, karena walau tersebar di mana-mana namun yang tinggi hanya bangunan yang sudah mulai ditinggal jemaah dan orang-orang yang mau merawatnya.

Kedua: Kita pelajari dari dimensi sosial kemasyarakatan. Di sini kita juga mendapati kenyataan bahwa ruh agama sudah mulai melemah bahkan terkesan lumpuh dalam kehidupan masyarakat sehingga bekas-bekas ketaatannya sangatlah sedikit.
Persoalan-persoalan yang bernuansa agama akan sulit saudara-saudara temukan dalam masyarakat, seperti apakah sesuatu itu hukumnya halal atau haram. Kemungkaran begitu merajalela di berbagai tempat, baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan. Seperti minum arak yang merupakan sumber malapetaka sudah tersebar luas di berbagai tempat dan suasana dan bahkan sudah menjadi kebanggaan. Begitupun pergaulan laki-laki dan perempuan yang sudah terkesan melecehkan (hukum agama).

Dengan gamblang mata kita telah menyaksikannya dan dengan jelas telinga kita telah mendengar akan realita ini. Dan tak seorangpun yang nampak memperdulikannya, apakah ini halal (diperbolehkan oleh aturan agama)? Semuanya diam seribu bahasa. Apakah haram? yang mengakibatkan siksa dari Allah dan kehinaan di dunia.

Ada lagi hal yang sangat tercela dan hina melebihi apa yang sudah kami tuturkan di atas, yaitu tersebarnya ajaran-ajaran dan tuntutan yang mengarah dan menggiring pada kekufuran dan pengingkaran (terhadap Allah) di kalangan generasi muda Islam, baik di desa maupun di kota-kota besar.

Telah tersebarnya ajaran materialisme-historis sebagai suatu prinsip yang mencanangkan bahwa kebahagiaan di dunia ini hanya bisa diraih dengan materi dan tidak percaya dengan hal-hal yang ghaib. (metafisis, ekstra empiris) serta tidak percaya akan adanya kehidupan setelah mati. Bahaya laten ini tak mungkin terelakkan lagi bila sudah tertanam dalam hati dan sanubari anak-anak kita, dan yang demikian ini bisa mengubah tatanan awal dasar keyakinan mereka terhadap agama Islam yang kita peluk.

Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung. Adapun ukhuwah Islamiyah pada saat ini hanyalah merupakan jargon-jargon yang kosong yang keluar dari mulut orator yang hanya merebak di awang-awang tanpa bisa menyentuh dataran empiris tanpa ada bukti yang kongrit dalam realita.
Ukhuwah Islamiyah seakan-akan telah lenyap dari kehidupan masyarakat di mana seorang muslim yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap temannya sesama muslim yang telanjang (kelaparan bahkan yang hampir mati karena kelaparan, hatinya sama sekali tidak tergerak mengulurkan pertolongan dan membantu berbuat baik. Dia atau sang Muslim yang menyaksikan ketimpangan sosial tersebut bahkan membisu bagaikan membisunya batu dan besi. Tidak cukup hanya dengan membisu, tapi masih ditambah lagi dengan mengomel bahwa penghasilan atau income sekarang lagi seret, kehidupan perekonomian sedang mengalami kemacetan dan kemunduran bahkan dia menuduh ini sebagai akibat dari menjalankan kewajiban agama dan kemasyarakatan. Sedangkan dia sendiri mengetahui bahwa Allah itu Maha Pemberi Rizki, menurunkan rizkinya dengan satu kadar yang sama. Tidak sulit bagi orang yang menjaga dengan baik norma-norma agama (‘afif) untuk mendapatkan keutamaan (anugrah, fadhl)dari Allah. Hanya dikarenakan akhlak mereka sajalah yang menyebabkan semuanya menjadi sempit dan sulit.

Ketiga; kita tinjau dari dimensi politik. Dalam konstelasi perpolitikan, kita dapati kenyataan bahwa ternyata peranan umat Islam sangat kecil. Jika jiwa keagamaan, dalam dunia politik di Indonesia ini sangat lemah, bahkan akhir-akhair ini bisa dikatakan sudah mati.

Walau demikian, masih ada juga bahaya yang masih besar yaitu dicatutnya label Islam oleh sebagian manusia sebagai kendaraan yang ditunggangi untuk bisa sampai kepada apa yang diinginkannya, baik itu berupa kemaslahatan dari dimensi politik ataupun untuk kepentingan pribadi dengan mengatas namakan politik. Dan akan lebih berbahaya lagi bila masyarakat menganggap mereka sebagai orang Islam (yang taat) atau bahkan memfigurkannya sebagai seorang tokoh, padahal mereka tidak pernah menundukkan kepala mereka (untuk mentaati) pada hal-hal yang pernah diperintahkan oleh Allah dan tidak berusaha menjauhi larangannya. Merekapun tidak pernah menempelkan keningnya (sujud) di lantai masjid, lalu apakah masih dianggap aneh, bila kondisi semacam ini kemudian menyebabkan lemahnya spirit keagamaan di negara kita, bahkan hampir mati.

Saudara-saudara ulama yang mulia..

Setelah kami jelaskan keterangan tersebut di atas kami ingatkan kepada saudara-saudara sekalian bahwa hidup matinya agama Islam di Indoneisa ini terletak pada saudara,tergantung pada amal perbuatan saudara serta ketangkasan dan kejelian saudara yang melebihi tindakan orang lain !

Hari ini, pada saat-saat kesulitan ini, seluruh umat Islam Indonesia tengah mencurahkan pandangan dan perhatiannya kepada saudara-saudara sekalian. Mereka ingin melihat apa yang akan saudara kerjakan demi perbaikan nasib mereka, baik dalam bidang keagamaan ataupun kemasyarakatan. Jika saudara-saudara melaksanakan kewajiban-kewajiban saudara untuk tercapainya tujuan itu sebagaimana Islam telah memerintahkan saudara untuk berbuat demikian, maka saudara-saudara telah mengobati luka mereka, telah dapat menarik dan memperoleh simpati yang sekaligus akan tetap merupakan kepercayaan mereka terhadap saudara dalam:

Satu,”Sesungguhnya bila amanat Allah yang telah diletakkan pada pundak saudara sekalian sampai disia-siakan, maka umat akan kehilangan kepercayaan mereka terhadap saudara. Sebagaimana lenyapnya kepercayaan mereka dikarenakan sekarang mereka tidak menemukan orang yang yang menunjukkan kepada ada pelindung yang mampu melindungi mereka, juga penanggung yang mau menanggung mereka, ‘pun tidak pelindung yang melindungi mereka, sehingga jadilah keadaaan mereka seperti orang sekarat yang sedang meratap di mana kematian mengancam mereka dari tiap penjuru. Harapan mereka sudah sirna. Kecuali pada saudara sekalian sebagaimana mereka sangat mendambakan pertolongan dari saudara-saudara, apakah saudara akan melaksanakannya?

Kami tidak mengatakan hal ini secara berlebihan atau hanya sebatas agitasi tak berisi. Tapi semuanya ini merupakan kenyataan yang tampak gamblang bagi mata setiap umat Islam yang mau berpikir.

Dua: Demikianlah, kehidupan negara kita senantiasa diancam oleh bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh musuh-musuh negara, baik dari luar maupun di dalam negeri dengan segala macam kekuatan, kebencian dan kedengkian. Dengan segala macam rekayasa, usaha dan tipu daya. Hal ini dilakukan oleh tokoh-tokoh mereka, baik yang perwira maupun yang bintara. Orang-orang yang sudah dalam barisan (pemberontak) ataupun yang masih bercokol dalam lembaga-lembaga resmi pemerintah (satu tahun kemudian, 1943, betul-betul terjadi pemberontakan PKI di Madiun, penerj.)
Firman Allah: “Mereka (musyrikin, munafiqin) bereka daya (makar, nipu) untuk mnghacurkan Islam. Dan Allahpun membalas tipu daya mereka. Sesungguhnya hanya Allah-lah yang paling lihai diantara orang-orang yang berbuat makar”.

Kepada saudara-saudaralah wahai harapan umat Islam Indonesia, kami tumpukan harapan yang tiada duanya. Kepada saudara-saudaralah wahai pemegang panji-panji amanat Allah, kami canangkan panggilan. Dan dari saudara-saudara pula kami mohonkan pertolongan dan keselarasan umat. Seabab hampir semua telah mandeg dari berusaha, sebagaimana mandegnya tentara Thaluth ketika baru saja menyeberangi sungai sambil berkata: “Tak ada kemampuan bagi kita untuk menghadapi Thaluth dan bala tentaranya.”

Bangkitlah wahai saudara-saudaraku Ulama!

Kuatkanlah barisan kalian, kerahkanlah segala potensi dan kekuatan yang ada pada diri kalian, tetaplah pada keteguhan dan percayalah bahwa:
“Tidak sedikit golongan yang kecil dapat mengalahkan golongan yang besar dengan izin Allah dan Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar”
Demikianlah, kami memohonkan ampun kehadirat Allah, baik untuk diri kami sendiri ataupun untuk saudara-saudara sekalian .

Wassalamualikaum Wr. Wb.

Malam Ahad, 5 Rajab 1366 H 24 Mei 1947 M

(Diambil dari Tsalatsu Munjiyyat Terjemahan oleh H.M. Ishom Hadzik , S.H)

Teks pidato ini bisa diunduh di sini:
KHOTBAH IFTITAH NU Rois Akbar Muktamar XVII.pdf

Kaum Muda dan Klaim "NU Otentik"

Oleh M. Imdadun Rahmat

Muktamar NU ke-31 di Solo akan segera digelar. Forum tertinggi organisasi ini akan menelorkan berbagai keputusan yang menjadi acuan perjalanan NU selama 5 tahun ke depan. Akankah Muktamar melahirkan kebijakan organisasi yang lebih greget, segar, dan transformatif? Untuk sekadar menduga-duga, ada baiknya kita lihat bagaimana para elit NU mempersepsi kaum mudanya.

Tampaknya, para penentu kebijakan di NU melihat kiprah anak mudanya dengan kecemasan. Para tetua kaum nahdliyyin ini tidak melihat generasi baru mereka sebagai potensi yang baik untuk menyambut masa depan. Tetapi mereka dianggap ancaman. Di dalam NU, arus ortodoksi dan konservatisme masih tak berlapang dada memberikan ruang gerak bagi anak muda dengan arus transformatifnya. Pernyataan PBNU bahwa Musyawarah Besar Warga NU di Cirebon Oktober yang lalu sebagai ilegal dan separatis merupakan penanda bahwa di mata para petinggi NU tak ada tempat bagi anak muda yang sedang resah melihat Khittah ‘26 dicederai. Pertemuan yang diikuti oleh 700 anak muda NU yang bergerak di wilayah pemberdayaan masyarakat ini dinilai tidak berhak mengaku sebagai warga NU. Mereka yang memikirkan nasib guru madrasah, petani, nelayan, buruh pabrik, buruh migran, perempuan pinggiran, pedagang kecil, serta bagaimana NU bisa berkhidmad kepada warganya ini dianggap bukan bagian dari NU.

Jika kita tarik ke belakang, peristiwa pemboikotan Muktamar Pemikiran NU di Situbondo yang dilanjutkan dengan “pencekalan” beberapa intelektual muda yang dianggap “tidak NU lagi” oleh kalangan kiai sepuh juga menjadi isyarat yang sama. Artikel ini ingin memotret “kesumpekan transformasi” di dalam NU sebagai akibat klaim “otentisitas NU”.

  • * *

Sejak awal dasawarsa 90-an, terjadi booming generasi muda NU yang berpikiran cerdas dan kritis. Penguasaan yang baik terhadap khazanah intelektual Islam klasik mereka padukan dengan berbagai pendekatan baru yang tidak saja bersumber dari tradisi rasionalisme Islam sendiri, tetapi juga dari tradisi rasionalisme Barat. Pengalaman membangun perlawanan sepanjang akhir kekuasaan Orde Baru juga memberi warna kerakyatan yang sangat kental bagi pemikiran dan aktifitas gerakan mereka. Dengan berbagai perspektif dan metodologi baru, anak-anak muda ini menyajikan berbagai gagasan segar yang acapkali mengejutkan banyak orang, utamanya kalangan kiai sepuh NU. Genre pemikiran Islam semisal Kiri Islam, Islam untuk Keadilan Gender, Islam Emansipatoris, Islam Pribumi, Post Tradisionalisme Islam, Islam Liberal dan sebagainya—yang menjadi pijakan gerakan kerakyatan anak-anak muda ini—selain menumbuhkan optimisme juga melahirkan kekhawatiran dan kecemasan.

Pergulatan pemikiran dan gerakan semacam ini sesungguhnya telah berakar lama, yang tumbuh diam-diam di kalangan “kiai-kiai nyentrik” yang selalu ada dalam setiap generasi NU. Jejak yang nyata memang baru kita temukan dari kehadiran Abdurrahman Wahid yang berperan sebagai peletak pilar-pilar rasionalisme sekaligus “pengayom” gerakan pemikiran dan gerakan kerakyatan ini sejak akhir 70-an. Semenjak itu, sejumlah besar pemikir dan motor gerakan yang lebih muda memperpanjang barisan “kaum minoritas kritis” dalam NU ini.

Kehadiran kelompok anak muda yang oleh Karl Menheim disebut “intelegensia” ini ternyata tidak disambut gembira oleh sebagian kiai sepuh yang menempatkan dirinya lebih sebagai penjaga dan penerus khazanah pengetahuan, nilai-nilai, dan tradisi NU. Berbagai jalan baru, pengetahuan baru, dan nilai-nilai baru yang diusung anak muda NU ini dianggap oleh kalangan ulama “literati” ini mengancam kelestarian khazanah NU dan bahkan eksistensi NU. Munculnya embrio barisan “intelektual organik” yang melakukan transformasi bersama masyarakat dipandang akan mengancam kepentingan kaum elit NU yang lebih menginginkan ketakberubahan dan kemapanan. Bentuk penolakan terhadap pemikiran anak muda ini bermacam-macam, dari sekadar keresahan hingga “pengadilan” dan “pencekalan”.

Sungguh bisa ditebak bahwa di benak para kiai dan para elit NU yang melakukan pemboikotan dan pencekalan ini terdapat imaginasi “NU otentik”. Sebuah bentuk NU yang asli, baku, pasti dan tidak berubah yang harus dipertahankan hingga akhir zaman. Sebab, bagi mereka, format NU demikianlah yang menentukan NU ada atau hilang. Bentuk ini juga yang menjadi standar untuk menilai seseorang masih NU atau tidak NU lagi. Dengan imajinasi ini, seseorang sah untuk menghakimi orang lain telah keluar dari NU. Sebab, ketika orang lain itu tak segaris dengan imajinasi ini, maka ia adalah NU yang tidak otentik sehingga tak sah menyandang predikat NU alias “tidak NU lagi”. Maka, ia pun tidak punya hak untuk mengembangkan pemikiran dan gerakan di NU.

Pertanyaan yang penting diajukan untuk menanggapi klaim NU otentik ini adalah: apa yang layak disebut otentik dari NU? Lalu adakah NU otentik saat ini? Untuk menjawab pertanyaan pertama paling tidak kita perlu menengok rumusan jam’iyyah NU berdasarkan Anggaran Dasar NU yang disebut Qanun Asasi NU 1926. Lebih jauh lagi, kita juga perlu menengok rumusan para kiai yang membidani lahirnya NU.

Mukaddimah Qonun Asasi yang ditulis Hadratusyekh Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa NU adalah “organisasi yang berdiri di atas landasan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh ummat”. Jam’iyyah NU menganut Ahlussunnah Waljama’ah yakni “para ulama tafsir Qur’an, sunnah Rasul dan ulama fiqih yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaurrasyidin”. Syekh Hasyim Asy’ari selanjutnya mengatakan bahwa di antara ulama Ahlussunnah Waljama’ah adalah para Imam Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) yang harus diikuti. (Hasyim Asy’ari, Qonun Asasi, t.t.)

Para ulama muassis awwal (pendiri NU) pada umumnya merumuskan Ahlussunnah Waljama’ah adalah berfiqih berdasarkan empat imam madzhab, dalam tauhid bermadzhab kepada Imam Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, dan dalam tasawuf bermadzhab kepada Imam Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Maka, dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah dalam rumusan ini merupakan standar satu-satunya yang menentukan eksistensai NU dan juga menentukan apakah seseorang bisa dikatakan NU atau tidak. Kalau otentisitas itu ada, ini adalah rumusan yang “otentik” dari NU.

Melihat rumusan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi NU sangatlah longgar. Sebab, rumusan ini sangatlah umum dan tidak mungkin bisa dibakukan dalam rumusan turunan dan implementasi yang baku. Oleh karena itu, penjelasan dan syarah dari ketentuan ini bisa sangat beragam dan berbeda-beda. Antara kiai yang satu dengan kiai yang lain bisa berbeda pendapat. Contoh konkret dari perbedaan ini adalah adanya perbedaan tafsir tentang ketentuan bermadzhab. Ada sekelompok kiai yang terbuka untuk mengakomodasi aqwal (produk hukum) madzhab fiqih lain selain Syafi’i dan ada yang sangat mengutamakan Syafi’i.

Bahkan, ketentuan bermadzhab yang sebelumnya lebih dimaknai sebagai mengikuti qaul (produk hukum), pada tahun 1992, Munas Alim Ulama di Lampung memutuskan bahwa bermadzhab bisa juga dengan mengikuti manhaj (metode penggalian hukum). Artinya, orang NU boleh tidak mengikuti produk hukum imam madzhab asalkan ia masih mengikuti metodologinya. Keragaman pendapat juga mewarnai kategori mu’tabar dan ghayru mu’tabar (otentik dan tidak otentik) baik dalam kitab rujukan fiqih, kalam (teologi), maupun aliran tarekat.

Keragaman ini juga terjadi dalam implementasi peran organisasi dan sikap-sikap politik dan strategi perjuangan NU dalam kurun sejarahnya. Ada kalanya NU berperan sebagai ormas dakwah dan kemasyarakatan, ada kalanya NU menjadi motor perjuangan kemerdekaan, dan ada kalanya NU menjadi partai politik.

Melihat ini semua, maka kita tak bisa berkata bahwa saat ini terdapat NU otentik dan NU tidak otentik. Imajinasi adanya NU asli dan NU tidak asli adalah buah dari taqdis (sakralisasi) pemahaman sekelompok orang. Pemahaman ini pada akhirnya dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mengatasi pemahaman lain tentang NU. Sebab, pada hakikatnya pemikiran kaum muda NU yang didaku tidak otentik itu merupakan varian dari pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah dalam rumusan yang umum di atas.

Dalam sejarah kebudayaan mana pun, keberadaan dua jenis intelektual intelegensia maupun literati sangat dibutuhkan. Para literati bertugas menjaga dan meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai budaya serta berperan menjaga tradisi, sedangkan kaum intelegensia berperan mencari jalan-jalan baru, merumuskan pengetahuan baru, dan memperkenalkan nilai-nilai baru. Tentu dalam usaha itu kelompok kedua tak bisa menghindar dari peran menerobos nilai-nilai baru yang dijaga oleh intelektual literati (Menheim: 1979)

Dalam kasus NU, peranan kaum ulama sepuh untuk menjaga identitas budaya NU dengan memberi bentuk-bentuk baku terhadap pola-pola kebudayaan pesantren akan terusik oleh kerja-kerja kaum anak muda untuk mendorong inovasi ke arah perubahan dengan meninggalkan pola-pola yang sudah dibakukan dan berusaha memperkenalkan pola-pola baru yang belum populer.

Maka, ketika peran salah satu jenis intelektual ini melemah atau dilemahkan maka akan terjadi kemunduran. Jika kaum anak muda intelegensia lemah maka akan terjadi kemandegan yang akan berujung kepada pembusukan tradisi intelektual pesantren yang berujung kehancuran. Sedangkan jika kaum kiai sepuh literati lemah maka akan terjadi kehampaan intelektual akibat pola-pola baku yang menyediakan acuan bagi “keteraturan intelektual” telah runtuh. Maka, untuk menghindari dua pilihan buruk di atas, perlu dikembangkan pola dialog yang membebaskan, saling menghargai peran masing-masing, dan saling memperkuat kebudayaan bersama. Semoga Muktamar Solo memberikan ruang yang cukup bagi anak muda NU. Wallahu ‘a’lam.

Tashwirul Afkar/17/2004 (1/11/2005 3:07:33 PM)

Saturday, December 18, 2010

Membongkar Skandal Akademik

Greg Fealy

Ijtihat Politik Ulama
17/06/2006

Membongkar Skandal Akademik

Orang selalu menyangka bahwa kajian akademik itu merupakan teori, metode dan analisis yang serba obyektif, bebas prasangka. Padahal dalam jubah obyektivitas itu penuh dengan prasangka, sarat nilai dan segudang kepentingan, yang bersifat ekonomis maupun politis.Buku yang ditulis oleh Greg Fealy ini berusaha dengan cermat membongkar dan menelanjangi kepalsuan akademik tersebut, khususnya dalam kajian NU yang dilakukan oleh para intelektual dunia yang selama ini dianggap hebat, sehingga teori dan argumennya selalu dianut oleh para intelektual Indonesia, karena dianggap obyektif dan akademik, padahal hanya merupakan statemen dan slogan politik, yang kebetulan dilontarkan oleh orang kampusan dan bergelar professor doktor, sehingga kengawurannya dalam menilai entitas NU seolah bisa dipercaya.

Para Indonesianis khususnya dalam kajian NU yang muncul belakangan tidak puas dengan kajian tahun 60-70-an yang penuh dengan kebohongan akademik, mereka mencoba mengembangkan tradisi kajian baru, yang ini belakangan berkembang menjadi semacam paradigma kajian NU baru. Langkah itu dipelopori oleh Ken Ward, peneliti muda Australia yang sangat tekun menstudi NU dari pesantren ke pesantren dari satu acara NU ke acara lainnya, terutama sekitar Pemilu 1971. Langkah sederhana yang dilakukan Ken Ward itu ternyata menghasilkan paradigma yang revolusioner, karena berakibat membongkar keseluruhan cara berpikir para Indonesianis tentang NU. Hal itu yang kemudian dilanjutkan oleh Greg Fealy dalam mengkaji NU, dengan lebih mensistematisir kajian Ward dengan melakukan review yang angat luas terhadap penyimpangan yang dilakukan dalam kajian NU.

Di mata ilmuwan Barat NU selalu dihindari karena dianggap sebagai organisasi tradisional yang akan segera punah dihempas gelombang modenisasi yang mereka jajakan. Dalam visi mereka hanya Islam modernis yang akan bisa bertahan karena mereka adalah pemercaya agenda modernisasi, karena itu mereka itu diemong diasuh dan dimanjakan baik secara akademik maupun politik. Sebaliknya terhadap NU, mereka menginjak, menghina sepanjang tulisan mereka. Maka NU mendapat sebutan oportunis, nepotis, picik dan korup.

Mengapa kalangan ilmuwan Barat begitu gigih menghina dan memusuhi NU, ini berkait dengan persoalan lebih luas, tenatang kepentingan politik dan ekonomi Barat yang sedang terancam dengan munculnya negara baru pasca Perang Dunia II di mana dominasi Barat atas koloni meraka mulai pudar, karena itu segala kekuatan militer dan akademik dikerahkan untuk melakukan penjajahaan baru, termasuk di bidang pemikiran, siapa yang mendukung agenda kolonialisme yang kapitalistik itu dianggap kawan dan siapa yang berbeda dianggap lawan. NU punya agenda lain karena itu diangap penghalang ambisi mereka.

Lawan utama imperialisme ini adalah nasionalisme, karena sikap itu bisa menghadang ekspansi mereka untuk menjarah dunia lain, kedua adalah populisme, ini juga merupakan penghalang bagi kapitalisme untuk melakukan exploitation de la homme par la homme (penghisapan manusia atas manusia). Orang semacam Soekarno, Gamal Abdel Naser, Aliande adalah termasuk golongan itu, karena itu mereka didongkel. Demikian juga NU sebagai partai politik memiliki sikap nasionalis yang kuat dan populisme yang jelas, didukung oleh basisi tradisi yang sangat kaya, karena itu juga merupakan musuh dan penghalang imperialisme nomor satu, karena itu harus dihancurkan.

Sejak awal NU menolak ikut memberontak terhadap Republik ini, karena intervensi asing itu merusak nasionalisme Indonesia, NU dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena semuanya jelaas dirancang oleh rezim kolonial untuk kembali mencabik Indonesia pasca kemerdekaan. Aliansi NU dengan Soekarno dan kekuatan rakyat yang lain menambah kuat posisi nasiolisme dan populuisme, karena itu NU dituduh oportunis yang berpolitik hanya cari makan. Jadi dosa besar NU di mata kapitaslis dan para ilmuwan yang menjadi kaki tangannya adalah, pertama, tidak mau beraliansi dengan kekuatan Barat malah keluar dari Masyumi yang merupakan sekutu Barat paling terpercaya, kedua, tidak mau bergabung dengan kaum pemberontak untuk menghancurkan republik ini, melalui DI/TII, PRRI, Permesta, malah mengutuk tindakan itu.

Ketiga, juga tidak mau terlibat dalam menggulingkan Soekarno, malah bekerja sama, dengan inspirator kemerdekaan Dunia Ketiga itu, untuk membela keutuhaan negeri ini.Karena itu NU dihajar dari seluruh lini, baik politik maupun akademik. Keempat, NU memiliki basisi pertahanan tradisi yang memadai, padahal siapa yang menguasai tradisi akan menguasai basis massa dan sekaligus akan mampu membendung arus modernisasi, atau imperialisasi politik maupun kebudayaan, sehingga petahanan itu sulit bahkan gagal dijebol oleh kolonialisme Barat, bahkan muncul dewa penolong yang namanya post modernisme, yang sangat apresiatif pada t

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8209

Friday, December 17, 2010

Agama dan Kebangsaan

Oleh Abdurrahman Wahid


Tiga orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib di negeri orang. Intelektual pertama adalah penganut pandangan pluralistik dalam soal-soal keagamaan: mengikuti pentingnya perbedaan pandangan antar kelompok yang begitu banyak ragamnya. Yang kedua penganut orthodoksi agama dalam artian yang tulen: tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda tetapi ia sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran- ajaran formal agamanya. Katakanlah ‘intelektual kelas orang baik-baik’.

Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan kini berubah identitas, oleh kebutuhan politis. Lebih tepat dinamai pluralistik kultural dan monolitik politis.

Dapat dibayangkan, selama perjalanan perjalanan puluhan jam ke luar negeri asing itu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi antara mereka. Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan masing-masing. Atau bermanis-manis mebicarakan hal-hal yang dapat disepakati. Atau sama sekali tidak berbicara apapun di bidang masalah keagamaan. Yang jelas, turun dari pesawat terbang, masing-masing tetap berpegang pada pendirian sendiri,

Namun, pengalaman di negeri orang itu ternyata menyamakan sikap mereka. Ketiga orang itu melakukan konperensi dan seminar, ketika seorang tokoh separatis dari negerinya sendiri diterima sebagai peserta. Tokoh separatis itu jelas akan dihukum mati kalau tertangkap, dan dibawa ke pengadilan negerinya - yang juga negeri mereka bertiga, Indonesia tercinta. Ia bisa selamat dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar negeri. Antara lain dalam forum ilmiah di atas.

Mereka menolak kehadiran tokoh separatis itu, yang telah menyengsarakan warga masyarakat disekitarnya. Juga yang membuat Islam tetap dicurigai orang banyak sebagai masih ‘memiliki ‘aspirasi teokratik’. Duduk dalam satu forum, walau jelas lain kursi, tidak bisa dilakukan: dapat menjadi pengakuan diam-diam atas kehadiran ‘negara ‘separatis yang didirikan tokoh itu, walau dalam kenyataan sudah tidak ada lagi. Mungkin tinggal dalam aksentas yang dibawa tokoh separatis itu.

Ketika diajukan protes, penyelenggara forum berkeras mengakui kehadiran tokoh itu.”Kalau kalian keberatan, kalian pergi saja dari forum ini”, dan itulah yang dikerjakan mereka bertiga. Dikeluarkan sebagai pernyataan protes: mereka menarik diri dari forum: dan peristiwanya berakhir di situ.

Kecuali tentunya, bagi alat negara, yang masih harus mencari sebab : mengapa masih juga kebobolan dalam diplomasi Internasional.

Yang menarik bukanlah protes ketiga intelektual itu. Banyak orang protes di seluruh dunia, setiap jam setiap menit apalagi setiap harinya.Yang menarik adalah kenyataan menangnya ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan. Bukan membentuk persekutuan baru, untuk memperluas kesadaran, dengan tokoh separatis yan menjadi orang keempat itu, mereka malah menutup pintu bagi kehadirannya. Ikatan keagamaan sebagai sesama ‘pejuang Islam’ ternyata tidak mempersatukan mereka.

Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Soekarno’ yang berumur pendek, tidak disebut-sebut nama Kementrian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya lembaga itu dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah ‘hilang dari peredaran’. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan ‘Kabinet Sjahrir’.

Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran tidak mencaantumkan Kementrian Agama, sedang Sjahrir yang diklasifikasikan ‘tokoh sekuler’ justru menciptakannya? Karena dorongan keimanan Sjahrir? Mustahil : Tokoh ini tidak pernah punya keimanan dapat dikongkretkan ke dalam sebuah lembaga kehilangan kreatifitas dan perannya. Lalu mengapa?

Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional. Tanpa kementrian agama, ‘Golongan Islam’ tidak dapat menerima kehadiran pemerintah sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa perlu memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedangkan Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk kabinet pertama. Atau setidak-tidaknya, tidak menganggap penting peran ‘umat beragama’ itu.

Ternyata kepentingan nasional memiliki hukum-hukum tersendiri, yang dalam banyak hal dapat ‘dimanfaatkan’ untuk kepentingan agama. Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk menkongkretkan kehidupan beragama. Tidak sebaliknya. Inilah kenyataan penting yang harus selalu diingat, karena sekarang muncul sebuah kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan kepada lembaga keagamaan. Kedua-duanya adalah sektor kehidupan yang harus saling berkait, kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.

(Sumber: TEMPO, 24 September 1983)

Jangan Paksakan Paradigma Luar tehadap Agama

Oleh Abdurrahman Wahid


Seringkali dipersoalkan bahwa di satu pihak agama dapat membebaskan manusia dari atu himpitan struktural tertentu, tetapi di pihak lain agama sering tidak mampu melakukan hal itu. Kita harus meninjau bahwa agama memang mempunyai dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu berlangsung lambat dan jangkauannya jauh sekali. Dalam hal ini kita seringkali tergoda oleh paradigma-paradigma di luar agama dengan menuntut sesuatu yang lain dari irama agama itu sendiri. Ini yang sering menjaid masalah. Misalnya, ada kekecewaan terhadappembaharuan yang dibawakan Abduh, karena ternyata dia dinilai borjuistis. Meletakkan Abduh dalam rangka borjuistis itu sudah merupakan suatu kesalahan, sebab dengan begitu kita meletakkan paradigma borjuisme kepada orang yang tidak mengerti apa itu borjuisme. Pada waktu Abduh hidup, pikiran-pikiran Marx belum berkembang secara diferensial antara Marxisme sebagai ideologi politik dan sebagai alat analisa sosiologis. Kita seolah-olah harus memaksakan harus memilih salah satu diantar adua hal tersebut. Ternyata dua-duanya tidak dan kita menjadi kecewa. Ini suatu kesalahan.

Misalnya juga di indonesia, kalau kita katakan bahwa para kyai Nahdlatu Ulama (NU) di pedesaan itu belum bisa berpikir secara struktural. Saya menanyakan apakah benar dalam situasi sekarang di mana informasi yang diperoleh sangat terbatas dan berbagai keterbatasan lainnya, kita pantas menyatakan mereka begitu. Juga kalau kita mengharapkan dari mereka ada perubahan yang drastis, radikal dan semesta sifatnya. Ini kalau kita berbicara tentang agama sebagai personifikasi dalam diri ulama atau elitnya.

Kita juga tidak bisa meminta agama untuk bersikap. Antara ajaran-ajaran agama dan elite agama terdapat suatu proses yang dinamis yang menginginkan adanya perumusan sikap-sikap baru. Saya setuju bahwa ada pola interaksi antara elite agama dengan ajaaran-ajaran agama. Tetapi apakah interaksinya sudah begitu jauh, sudah clear? Saya belum melihat ada hubungan yang simbolik antara keduanya.

Ajaran paling penting dalam agama adalah tentang Allah. Struktur agama memperkuat ajaran semula dan ajaran semula pada gilirannya memperkuat struktur agama, pada saat yang sama ia menjalankan peranan membebaskan manusia. Ini nampaknya dua langkah yang tidak ada titik singgungnya., begitu berbeda. Tetapi kenyataannya begitu itulah fungsinya dalam sejarah. Dalam gereja Katolik, pada perkembangan semula terjadi “kemacetan”. Setelah itu terjadi pertengkaran, ada reformasi lalu kontra reformasi. Tetapi yang jelas sampai sekarang ternyata gereja tetap saja memperkuat ajaran semula.

Dalam jangka panjang, antara struktur agama dan ajaran agamasaling memperkuat. Ini yang namanya formalisme. Islam pun demikian keadaannya, begitu juga Kristen. Pada mulanya diandaikan pembebasan, tetapi kemudian yang terjadi adalah proses saling menguatkan natara ajaran dan struktur.

Kita lihat misalnya, ideologi kesahidan para mullah di Iran . Apa yang diusahakan Ali Shariati itu hilang semuanya dalam waktu dua tahun. Yang namanya revolusi itu tidak ada lagi, yang ada justru penguatan institusi mullah, institusi republik Islam. Di mana pembembebasannya? Inti pembebasan adalah jika setiap orang bisa berkembang menurut pola yang dia inginkan. Kenyataan ini tidak berlaku di sana. Jadi menurut saya riskan sekali memasang paradigma agma pada paradigma sosial. Kita harus tahu batasan-batasannya. Janganlah agama dipakai sebagai alternatif terhadap kekuasaan.

Dlama proses perubahan sosial, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan “sarana” bagi proses perubahan itu sendiri, bukan agama yang membuat perubahan itu. Dunia itu berkembang menurut pertimbangan “dunia”-nya sendiri. Agama hanya mempengaruhi sejauh dunia siap dipengaruhi, tidak lebih dari itu.Begitu agama mengubah dirinya menjadi penentu, tidak lagi hanya mempengaruhi tetapi menentukan, maka dia telah menjadi duniawi. Kalau hal ini yang terjadi, pada gilirannya dia bisa mengundang sikap represif. Agama menjadi represif, untuk memeprtahankan dirinya.

Rakyat di Lapisan Bawah Lebih Arif

Bagaimana peranan agamawan dalam menggerakkan masyarakat lapisan bawah untuk mengadakan perubahan sosial? Memang kebetulan ada sejumlah pastor atau kyai yang mengusahakan proses perubahna masyarakat dari bawah, dan kita harus belajar dari para agamawan itu. Mereka ini merupakan penjumlahan dari pengalaman total manusia yang menderita, yang mengalami sendiri masalah itu.

Selama ini kita mneganggap bahwa mereka tidak mampu menemukan jawaban atas masalah-masalah yang menhimpit hidup mereka. Saya justru beranggapan bukan mereka tidak mampu tetapi sedang dalam proses mencari jawaban. Dalam hal ini saya setuju dengan Tarzie Vittachi. Di mempersoalkan mengapa orang heran melihat rakyat yang melarat di Dunia Ketiga ini tidak mau berdemonstrasi menentang penggunaan bom nuklir, padahal itu merupak bahaya yang paling gawat bagi manusia. Apakah mereka begitu terbelenggu sehingga tidak tahu bahaya nuklir itu?Mereka tahu betul bahaya itu, mereka sadar akan bahaya kemampuan menghancurkan yang luar biasa dari suatu perang nuklir. Hanya masalahnya, memberikan reaksi yang langsung berhadapan dengan suatu kompleks industri militer sama saja menghempaskan diri ke karang.

Saya melihat bahwa rakyat lapisan bawah yang menderita di berbagai bagian dunia ini adalah rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai tekanan, baik kemiskinan dan keterbelakangan maupun belenggu yang sifatnya kultural. Dengan demikian jangan kita menganggap rakyat sepi dari kemampuan untuk melaksanakan perubahan total. Mereka tidak berbicara tentang revolusi, yang bicara soal itu adalh para avant garde. Bukan pengawal revolusi, melainkan rakyat sendiri yang mengawal revolusi kalau memang mereka butuhkan revolusi. Tetapi belum tentu mereka butuhkan revolusi; mereka mempunyai cara-cara penyelesaian sendiri.

Dalam soal ini, agamawan tidak bertindak sebagai pengawalrevolusi atau sebagai pemimpin. Sekali lagi mereka hanya menyediakan sarana.

Kita melihat apa yang dinamakan mass capitalism (kapitalisme rakyat) di Amerika, bagaimanapun ada peningkatan standr kehidupan yang baik walaupun pada waktu yang sama dibuat tamak lalu tergantung pada sindikat-sindikat uang. Tetapi itu adalah suatu proses untuk membebaskan diri dalam arti lalu mereka bisa berserikat, mereka lalu bisa menyatakn pendapat dan terutama mereka lalu bisa mengenal isunya. Alangkah bodohnya kalau kita menganggap bahwa rakyat kecil dalam suatu sistem kapitalsi dalam kehidupan di Amerika sebagai tidak tahu penyakiit mereka, sebagai orang yang terbelenggu tidak bisa lepas. Tidak, itu suatu yang sangat naif. Berkali-kali terbukti bahwa mereka bisa membebaskan diri, Martin Luther King adalah contohnya. Walaupun akhirnya mereka dikooptasi kembali ke dalam sistem, tetapi sistem itu toh mengalami perubahan. Nah, kita jangan lalu melihat kepada suatu kemungkinan saj, hanya satu garis liniuer: revolusi. Serahkan pada rakyat proses pembebasan itu, paradigmanya jangan dari kita. Apalagi kalau paradigmanya itu datang dari agamawan, sangat berbahaya. Dia mendukung dengan “otoritas sorga”. Ini hendaknya didampingi oleh kearifan bahwa kita tidak bisa menghempaskan diri ke karang. Kalau ada orang yang tidak bisa menghempaskan ke karang lalu mencari hal-hal gradual, dengan cara katakanlah opprtunistik, ini bukan berarti ia harus dikeluarkan dari perjuangan, ini bagian dari perjuangan. Kita harus berani mencari kawan dalam dalam struktur itu sendiri. Ini yang dinamakan pembebasan simultan. Atau yang sifatnya sangat kultural, evolusioner dan yang kalau dilihat sepintas lalu seakan-akan tidak ada akhirnya. Tanpa dampingan pihak ini maka yang terjadi adalah penyusunan tirani baru yang atas nama rakyat, ia bertindak semena-mena. Tidak ada check and balance. Itu yang terjadi di Nicaragua dan Kuba tidak ada pembaharuandan susahnya tidak tahu apa yang diperbuat. Suatu gerakan pembebasan yang sebenar-benarnya dalah pembebasan yang tanpa dasar apapun kecuali manusia itu sendiri, jadi sangat eksistensialis.

Keragaman

Aspek lain yang saya lihat adalah keragaman jawaban agama yang jarang sekali ditekankan. Tadi kita melihat agama dalam suasana yang ragam, berdialog dengen ideologi, dengan kekuasaan dan dengan apa saja. Tapi yang kedua adalah dida;am keberagaman ekstern itu agama juga mempunyain keberagaman intern. Aspek ini juga bisa kita singgiung secara sambil lalu, kita hanya beri tekanan kepada spek yang sifatnya pembebasan langsung. Apakah kita sudah memberikan perhatian penuhdan adil kepada keberagaman itu. Ini pertanyaan. Kita bisa mengkritik keras lembaga-lembaga agama seperti DGI, MAWI, atau MUI. Tetapi ini berarti tidak ada toleransi terhadap kemajemukandi bidang intern. Kita sudah tahu kesuliatan MAWI, kesulitan DGI, kesulitan MUI, dalam menghadapi keadaan keragaman ekstern yang besar Kita menuntut terlalu banyak dari merka. Tapi yang penting disitu apakah kita sudah memberikan perhatian yang besar. Kalau belum artinya sebelum mengoreksi kekuasaan kita sduah hantam kawan sendiri. Jadi akhirnya membawa kepada kita satu masalah bagaimana mengembangkan pola komunsikasi intern dalam kemajemunkan itu.

Bulan Maret yang lalu saya pergi ke Peru dan melihat sendiri kerja kelompok-kelompok yang sduah dimotivisir oleh teologia pembebasan.. Sya berbicara dengan Guiterez, tokoh “teologia pembebasan” Katolik di Amerika Selatan. Di satu pihak, dalam suatu wawancara sehubungan dengan ulangtahun sepuluh tahun teologia pembebasan, ia masih menyatakan bahwa agama ini harus memberikan jawaban yang radikal. Tapi pada saat yang sama saya melihat bahwa dia cukup sadar untuk mematangkan diri. Ia memang masih tetap radikal, tapi dalam keradikalannya ia tahu batasnya sendiri. Mungkin perlu sekali kita renungkan kearifan seperti itu.

(Sumber: Prisma, 9 September 1982)

Pers di Ambang Kekhawatiran

Oleh Dana Iswara


Pesimistis. Mungkin itu perasaan banyak orang setelah melihat wajah pers kita. Pesimistis bahwa pers bisa berperan sebagai pilar keempat demokrasi muncul bukan karena pers kita tak bisa menjalankan fungsinya lewat pelaporan yang bertanggung jawab, berimbang, dan jujur, tapi karena pers sering dianggap sebagai alat untuk memfitnah pihak tertentu.

Tuduhan Fraksi Kebangkitan Bangsa bahwa isi rapat konsultasi presiden dengan DPR bocor memang dianggap sudah selesai setelah Gus Dur meralat ucapannya: ia memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi bukan lantaran keduanya dianggap tak bisa bekerja sama dengan menteri lain. Banser NU juga sudah menyatakan permohonan maaf atas pendudukan kantor Jawa Pos di Surabaya. Tapi, tak ayal, pesimistis sudah mencuat karena tiap kali pers mengangkat sesuatu yang tak sehat di pemerintahan dan kelompok-kelompok kepentingan, ia bisa dituduh sebagai alat dari suatu kelompok lain untuk menjatuhkan musuhnya.

Di kalangan media dikenal istilah public right's to know atau hak publik untuk mengetahui segala sesuatu. Adalah John Milton, yang membawa istilah self-righting process. Ia beranggapan, setiap individu berhak mengemukakan pendapat dan publik harus bisa mencerna seluruh ide dan opini setiap orang di media tanpa perlu ditutup-tutupi, karena kebenaran dengan sendirinya akan muncul dari pertemuan ide di pasar bebas. Ini kemudian dijadikan dasar teori pers liberal yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pers untuk menjadi alat kontrol pemerintah. Dalam praktiknya, teori ini membuat seorang pejabat negara yang dilindungi hak-hak privatnya sebagai warga negara menjadi merasa kehilangan privacy karena selalu diawasi pers.

Terlepas dari baik-buruknya teori pers liberal, pers Indonesia kini dalam keadaan memerlukan jaminan dari pemerintah dan semua pihak bagi terwujudnya pers bebas. Ini penting bagi pengembalian kepercayaan publik terhadap pemerintahan Gus Dur yang terasa semakin merosot akhir-akhir ini. Meski harus diakui bahwa terpuruknya rupiah bukan disebabkan reaksi pasar atas pernyataan Gus Dur soal alasan pemecatan Laksamana dan Kalla, namun karena pelbagai reaksi Gus Dur yang membuka ruang keraguan bagi publik.

Sikap Gus Dur terhadap artikel di Jawa Pos tentang bisnis keluarganya, komentarnya tentang pendudukan kantor Jawa Pos oleh Banser NU, dan sikap diamnya atas kritik yang semakin menggunung akibat penempatan Gus Im di BPPN, seperti memperkuat keraguan itu. Tentu kita berharap Gus Dur tetap pada komitmennya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya pilar keempat demokrasi - seperti yang dijanjikannya. Namun, komitmen yang tak diikuti dengan tindakan konkret akan memberi sinyal yang tak jelas bagi publik. Bagi insan media -walau tak lagi diancam dengan pasal subversif- kekhawatiran itu tetap ada. Pers tampaknya akan hidup dalam iklim ketakutan karena adanya kemungkinan tindakan main hakim sendiri oleh "para pengawal" penguasa.

Kita mencatat bagaimana kasus penganiayaan wartawan Menara di Samarinda dan kasus pemukulan wartawan di Bandung lantaran liputan mereka memerahkan telinga penguasa. Kita juga mencatat bagaimana kasus pendudukan kantor Jawa Pos. Ini semua bukan tidak mungkin akan menjadi alasan yang bisa memberi angka merah pada Gus Dur.

Ada baiknya kita melihat Amerika Serikat sebagai pembanding. Sejumlah catatan dari media membuktikan bahwa hubungan pers dengan presiden di Amerika Serikat kerap diwarnai saling curiga. Puncaknya adalah kasus Watergate yang kemudian dicatat sebagai kemenangan insan media dalam menghadapi upaya-upaya pengebirian pers terselubung oleh pemerintah yang selalu menganggap pers sebagai "musuh".

Dekade 1970-1980-an tercatat sebagai era ketika para presiden menganut teori yang menganggap bahwa ekspose dari pers yang terbatas terhadap presiden akan mengurangi risiko liputan yang negatif (Joseph C.Spear, 1984). Nixon, Carter, Ford, dan Reagan tentu punya alasan mempraktikkan teori ini: pers Gedung Putih dikenal tidak mengenal ampun dalam mencari titik lemah presiden. Skandal Billgate yang melibatkan Billy Carter, adik kandung presiden Jimmy Carter, mengingatkan saya pada laporan KKN yang ditulis sejumlah media kepada kerabat dekat Gus Dur.

Di tahun 1980, isu bahwa Billy Carter pada 1978 menerima "pinjaman" dari pemerintah Libia sebesar US$ 220.000 dan menjadi agen Libia merebak. Presiden Jimmy Carter yang sedang berjuang keras agar bisa dinominasikan kembali sebagai calon presiden untuk periode berikutnya memilih tak berkomentar. Tapi, ia segera memerintahkan Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional, untuk mencari kebenaran. Kepada subkomite di Senat yang menangani kasus ini, Carter juga bersikap kooperatif. Di sidang itu, ia mengakui telah meminta jasa sang adik untuk menjadi mediator antara pemerintah AS dan Libia dalam kasus penyanderaan di Kedubes AS di Teheran. Namun, ia menyangkal mengetahui adanya suap US$ 220.000. Subkomite Senat akhirnya menyatakan Jimmy Carter tak tahu-menahu pinjaman dari Libia kepada Billy, dan ia dinyatakan tidak terlibat Billygate.

Jika kasus ini dianggap mirip KKN keluarga Presiden Gus Dur, mengapa kita tak mau belajar? Orang bijak seperti Gus Dur sebenarnya bisa menahan diri seperti Carter untuk tidak mengatakan bahwa pers telah melanggar kode etik. Kedua, Gus Dur tak akan membungkam pers dari penulisan-penulisan berita seputar bisnis keluarganya dan dugaan KKN yang dilakukan adiknya, Gus Hasyim Wahid. Dan ketiga, mengapa Gus Dur tidak memerintahkan Kejaksaan Agung memeriksa dugaan KKN itu? Toh, pengadilan yang akan membuktikan benar tidaknya laporan media.

Saya pun teringat kata-kata bijak Jeremy Bentham, "Tanpa publisitas atas proses pemerintahan yang menyeluruh, tak ada kebaikan selamanya. Adalah karena publisitas juga kejahatan tak akan terus berlanjut. Publisitas, karenanya, adalah cara terbaik untuk menjaga kepercayaan publik". Saya yakin Gus Dur tahu bahwa masyarakat berharap kasus KKN bisa terungkap bila pers dibiarkan membantu membongkarnya.

Dana Iswara adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Asia Tenggara Universitas Nasional Australia, Canberra.

(Sumber: GAMMA, 23 Mei 2000)

Gus Dur, Si Politikus Ulung

Oleh: Moh Mahfud


Berbagai Predikat

Banyak sebutan atau predikat diletakkan pada Presiden Gus Dur sesuai dengan pengetahuan dan keahliannya yang memang sangat luas. Predikat-predikat itu misalnya ulama, seniman, budayawan, wali, politikus, negarawan, komentator sepakbola dan sebagainya.

Gus Dur adalah ulama karena selain berdarah biru NU dan keturunan ulama dia sendiri adalah seorang alim dan menjadi tokoh utama dari Nahdlatul Ulama pada saat ini. Dia adalah putera sulung dari KH. Wachid Hasyim dan cucu langsung dua ulama besar pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri Syamsuri. Penguasaannya atas kitab-kitab uatama rujukan NU sangat dalam.

Gus Dur juga sering disebut sebagai budayawan dan seniman karena pemikiran dan kiprahnya dalam bidang ini juga cukup dalam sampai-sampai pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Bahkan dalam gerakan Islam modern di Indonesia Gus Dur sering disebut sebagai tokoh yang paling otentik dalam gerakan Islam kultural. Gus Dur juga paham tentg dunia perfilman dari berbagai belahan bumi dan paham atas begitu banyaknya karya sastra.

Di kalangan warga nahdliyyin (pengikut NU) banyak juga yang percaya bahwa Gus Dur adalah wali, yakni orang yang oleh Allah dianugerahi kemampuan luar biasa dalam melakukan atau menunjukkan hal-hal yang tidak nalar atau ghaib, seperti mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat jauh, mengetahui masalah-masalah ghaib yang ada di balik satu fenomena, dan berperilaku aneh-aneh untuk mengisyaratkan sesuatu. Di kalangan orang-orang yang percaya atas kewaliannya, Gus Dur selalu dianggap benar. Semakin Gus Dur mengatakan bahwa dirinya tidak wali maka semakin percayalah mereka bahwa si Gus adalah wali. Jika Gus Dur berbuat sesuatu yang benar menurut pandangan umum maka mereka sebut itulah bukti kewalian Gus Dur, tetapi jika Gus Dur salah maka kata mereka kitalah yang salah dalam memahami maaksud Gus Dur.

Semua orang juga tahu bahwa Fus Dur adalah penggila sepakbola. Selain hapal nama-nama pemain top dunia dan pelatih-pelatihnya dia juga bisa menjadi komentator yang sangat menarik dari sebuah siaran langsung perebutan piala dunia yang digelar empat tahun sekali oleh FIFA.

Gus Dur juga dikenal luas sebagai politikus yang handal karena selain membuat analisis politik dia adalah pemain politik yang sangat lihai. Pada suatu saat trik politiknya mampu mengecoh lawan tanpa diduga-duga untuk kemudian pada saat lain dapat membuat situasi memaksa atau fait accompli agar politisi lain mendukung dirinya. Namun jika melakukan kesalahan dengan enteng menyatakan “ya sudah, gitu saja kok repot-repot.” Lagi-lagi pengikutnya yang percaya semakin yakin bahwa dia adalah wali.

Presiden keempat Indonesia ini juga sering disebut sebagai negarawan karena sikapnya yang sangat terbuka dan mengayomi terhadap seluruh elemen bangsa. Sebagai pimpinan ormas Islam terbesar yang terkesan ortodoks yakni NU, Gus Dur justru menunjukkan sikap yang terbuka, progresif, fan bersahabat dengan tokoh-tokoh gereja. Dialah juga tokoh besar pertama yang memberi dukungan atas perkawinana penganut Kong Hu Cu di catatan sipil yang kemudian berlanjut ke PTUN di Surabaya. Dia sendiri mengatakan tidak ingin menjadi presiden dan lebih suka menjadi “guru bangsa”.

Politikus Ulung

Kecuali soal wali tampaknya berbagai predikat tersebut tidak terlalu berlebihan jika diberikan kepada Gus Dur karena Gus Dur mrmang sangat tinggi kapasitasnya untuk menyandang predikat-predikat itu. Tetapi yang paling dominan dari semua itu adalah predikat Gus Dur sebagai politikus. Tak pelak Gus Dur adalah politikus ulung atau paling hebat di negeri ini. Kapasitasnya dalam berbagai predikat selain sebagai politikus digunakan oleh Gus Dur untuk memperkuat manuver-manuvernya sebagai politikus.

Seperti dikatahui politikus adalah orang yang bermain politik untuk maraih dan mempertahankan kekuasaan dan selalu berpikir bagaimana agar dirinya menang dalam berbagai kontes politik. Sifat kenegarawanan yakni sikap untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara memang ada pada Gus Dur tetapi sifat itu masih berada di bawah sifatnya sebagai politikus kelas atas. Bahkan sikap kenegarawanan itu sengaja dibangun untuk mendukung permainan politiknya. Oleh sebab itu semua tingkah laku, pernyataan-pernyataan dan kebijakan Gus Dur harus dipahami dalam kedudukannya sebagai politikus yang sangat sadar akan konfigurasi pendukung dan penentangnya.

Tumbuhnya Gus Dur sebagai politikus tidak lepas dari lingkungan keluarga dan silsilahnya yang memang merupakan politikus-politikus kawakan dari kalangan gerakan Islam. Dia adalah anak sulung dari Wachid Hasyim yang dikenal sebagai tokoh NU dan menjadikan NU sebagai partai politik, melepaskan diri dari Masyumi pada awal tahun 1950-an. Dia juga merupakan cucu dari dua ulama besar pendiri NU yang aktif berpolitik sejak zaman penjajahan yakni Hasyim Asy’ari dan Bisri Syamsuri. Sangat boleh jadi bibit, pengenalan, dan minat Gus Dur atas politik telah tumbuh sejak usia masih sangat belia melalui penglihatan dari dekat atas aktivitas ayah, ibu, dan kakeknya dalam politik serta hubungan mereka dengan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan sebagainya.

Sebagai politikus yang tampaknya telah lama mempersiapkan diri untuk tampil sebagai aktor politik yang besar maka Gus Dur telah menyadari bahwa untuk bisa tampil dengan mulus dalam pentas perpolitikan nasional di Indonesia haruslah membangun kesan dan jaringan secara lintas ikatan-ikatan primordial dan lintas aliran-aliran politik. Gus Dur tahu bahwa kesan eksklusif atas diri dan kelompoknya harsu dihindari, sebab jika itu terjadi akan sulit mendapat dukungan luas di negara yang sangat pluralistik ini. Dia menyadari bahwa sikap-sikap eksklusif dalam dunia perpolitikan di Indonesia tidak akan memberi hasil maksimal bagi perjuanagan politik, sekalipun eksklusivitas ini memiliki pengikut besar seperti besarnya (jumlah) umat Islam yang dipimpinnya di Indonesia. Posisi ekstrem dalam aliran politik dilihat oleh Gus Dur tidak hanya akan menyulitkan dirinya untuk menjadi pemenang dalam permainan politik. Baik ekstremitas nasional sekuler maupun ekstremitas nasionalis Islami akan sulit bisa tampil menjadi pemain politik utama. Sikap menerima dan mengayomi ke dua aliran akan lebih menjamin untuk mulus dalam kontestasi politik.

Itulah sebabnya sejak awal Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh NU dengan berbasis Islam tradisional telah melakukan terobosan secara berani dengan melakukan hal-hal yang agak “aneh” bagi kalangan umat Islam sendiri. Gus Dur misalnya membuat pernyataan yang melawan arus umat ketika mengatakan bahwa hukum Islam tidak bisa menjadi hukum negara (atau undang-undang) ketika umat Islam justru sedang memperjuangkan lahirnya UU tentang Peradilan Agama. Dia juga menyatakan dengan enteng bahwa sapaan assalamu’alaikum tidak beda dengan sapaan selamat pagi atau selamat sore justru di tengah kenyataan bahwa umat Islam sedang sangat senang dengan penggunaan assalamu’alaikum di berbagai pertemuan resmi berbagai instansi. Gus Dur juga dapat disebut sebagai orang pertama yang keluar masuk gereja dan menjalin hubungan akrab dengan tokoh-tokoh agama lain. Di kalangat umatnya sendiri banyak keluahan kepada Gus Dur karena jika ada konflik antara umat Islam dengan umat lain Gus Dur tidak pernah membela umatnya. Saya kira piliha sikap seperti ini diambil dengan sadar karena dia yakin sikap Gus Dur itu tidak akan terlalu membahayakan atau merugikan umat, karena Gus Dur tahu akan muncul pembela-pembela umat selain dirinya. Sebagai politikus mungkin dia berpura-pura saja membiarkan umatnya karena dia tahu bahwa banyak pemimpin umat lainnya yang pasti membela. Untuk memperkuat akseptabilitas atas berbagai golongan di Indonesia selain berani mengambil posisi berseberangan dengan tokoh khsrismati NU, As’ad Syamsul Arifin, Gus Dur juga mencela sikap berlebihan sementara kaum muslimin yang begitu bersemangat membela Islam dangan mengatakan bahwa “Tuhan tidak perlu dibela”. Ketika Pak Harto dijauhi oleh tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan Pak Harto setelah lengser dari jabatannya, Gus Dur justru mengunjungi mantan presiden itu, karena Gus Dur tahu bahwa pendukung-pndukung Pak Harto masih banyak. Untuk menjadi presiden akan lebih mudah bagi Gus Dur jika tidak di hambat oleh pengikut-pengikut Pak Harto yang diyakini masih kuat. Jadi sikap Gus Dur itu tidak semata-mata dapat dipahami sebagai sikap seorang kyai yang mudah memaafkan melainkan sebagai strategi untuk pemilihan presiden di mana dia akan bertarung melawan kandidat-kandidat lain.

Itu semua dilakukan oleh Gus Dur untuk membangaun citra diri sebagai orang yang tidak berbahaya bagi kelompok manapun sehingga, dengan citra inklusif itu mudah baginya untuk diterima sebagai pemimpin. Dengan demikian Gus Dur telah bekerja keras dan lama untuk merebut posisi politik tertinggi di negeri ini. Dan kiita melihat puncak keberhasilan perjuangan politik Gus Dur itu pada bulan Oktober tahun 1999 ketika benar-benar menjadi orang nomor satu di Indonesia. Itu harus dicatat sebagai hasil perjuangan politik seorang politikus yang bernama Gus Dur, buka sebagai produk kewalian atau sikap kenegarawanan.

Karena impian atau oriebtasi Gus Dur pada dasarnya adalah politik maka meskipun sikap-sikap keluarnya selalu meneriakkan demokrasi dan keterbukaan, bahkan mendirikan dan memimpin Forum Demokrasi (Fordem), tetapi ke dalam kalangan NU sendiri dia bukanlah orang yang benar-benar demokratis. Di kalangan teman-teman NU diketahui bahwa hanya mereka yang mau tunduk dan selalu mengamini Gus Dur sajalah yang akan dibaiki oleh Gus Dur sedangkan yang kritis terhadapnya dicemberuti. Dalam pembentukan pengurus PKB ketika paratai berbasis nahdliyyin itu dibentuk pada tahun 1998 Gus Dur pula yang secara ngotot menentukan pimpinannya meskipun banyak ulama NU yang menghendaki nama-nama lain.

Begitu juga sikap-sikapnya yang inklusif dapat sewaktu-waktu menjadi eksklusif jika itu diperlukan untuk menaikkan posisi tawarnya dalam pertarungan politik. Maka tidak heran ketika usai pemilu 1999 banyak orang dibuat bingung sebab setelah cukup lama menyatakan mendukung Megawati sebagai calon presiden dalam sebuah diskusi di Singapura secara tiba-tiba Gus Dur mengatakan bahwa Megawati tidak bisa menjadi Presiden Indonesia karena sebagian besar orang Islam masih mengikuti pendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi presiden. Pernyataan itu memang normatif dan sesuai dengan realitas, tetapi bagaimanapun pernyataan itu bertendensi menaikkan posisi tawar dirinya sendiri. Di saat lain dia mengatakan bahwa Megawati itu “bodoh tetapi jujur”. Ketika bursa calon presiden paada SU_MPR tahun 1999 sedang panas-panasnya dalam acara santap malam bersama Amien Rais di sebuah restoran Gus Dur menyatakan bahwa siapapun yang akan mengahlang-halangi gerakan Islam akan berhadapan dengan dirinya, suatu pernyataan yang sebelumnya sulit dibayangkan bisa dikeluarkan oleh Gus Dur yang sikapnya sangat inklusif. Tetapi itu tetaplah dapat dipahami sebagai manuver untuk menaikkan daya tawar yang ternyata cukup efektif karena sambutan umat atas pernyataan itu begitu hangat. Pada detik-detik terakhir pengesahan calon presiden sikap eksklusif untuk mencari dukungan juga tampak. Ketika itu secara berbisik Hartono Marjdono dari FPBB menanyakan apakah Gus Dur akan mengundurkan diri dari pencalonannya. Bagi FPBB kepastian itu penting sebab jika Gus Dur akan mengundurkan diri maka Yusril Ihza Mahendra akan terus maju dalam pemilihan, tetapi jika Gus Dur terus maju Yusril akan diterik dari pencalonan agar Gus Dur bisa menang atas Megawati. Waktu itu Gus Dur menjawab sambil bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan mengundurkan diri, daripada negara ini dipimpin oleh orang abangan seperti dia (sambil menuding Permadi yang pendukung berat Megawati), rusak negara ini, “ demikian Hartono mengutip Gus Dur.

Pahami Agar Tak Bingung dan Frustasi

Berusaha memahami bahwa Gus Dur adalah politikus, minimal predikat politikusnya jauh lebih kuat dari sifat kenegarawanannya, akan menolong kita untuk tidak bingung atau frustasi. Perlu dipahami bahwa tindakan-tindakan Gus Dur pada umumnya adalah tindakan politikus yang ingin mendapat dukungan dalam kekuasaan untuk kemudian mempertahankannya. Kalau kita terlalu percaya bahwa Gus Dur ini negarawan atau wali maka kita akan bingung dan mungkinfrustasi. Sulit membayangkan bahwa seorang negarawan atau wali mengibaratkan perbandingan antara PKB dan PPP seperti perbedaan antara telur dan tahi ayam. Sebenarnya Gus Dur hanya melakukan pekerjaannya dengan benar dan jujur sebagai politikus yang berintikan pada soal kekuasaan dan dukungan. Dan itu dadalah hak politik Gus Dur yang dijamin oleh konstitusi dan diperjuangkannya sejak bertahun-tahun. Manuver-manuver Gus Dur itu selain dibenarkan oleh konstitusi sebagai penggunaan hak politik seorang politikus juga telah menimbulkan hikmah terselubung (blessing in disguised) yakni munculnya kekuatan-kekuatan masyarakat untuk bereaksi dan melakukan protes atau perlawanan terhadap Gus Dur tanpa dihadapkan pada tindakan represif. Memang dalam melakukan manuver-manuvernya Gus Dur itu bersikap berani dan fair serta tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penindasan atai represi. Ini sangat sehat bagi perkembangan demokrasi.

Memang Gus Dur adalah poltikus ulung yang manuver-manuvernya sangat canggih. Itu didukung oleh pengetahuannya yang luas dalam berbagai bidang, pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan, serta pembawaannya yang tenang dan terkesan selalu enteng dan penuh humor. Terhadap semua manuver dan kebijakan yang dikeluarkannya biasanya, dengan kecerdasannya yang luar biasa, Gus Dur mempunyai jawaban retoris yang mampu membuat pihak lain menerima meskipun sambil nggrundel, seperti kasus pembubaran Deppen dan Depsos yang sebenarnya tidak terlalu masuk akal. Namun wacana yang dibuka Gus Dur tentang pencabutan Tap MPRS No XXV/MPR/1966 yang disertai sikap ngotot untuk mengusulkannya kepada MPR tampaknya menjadi maslaha yang tidak mudah untuk ditangkis dengan retorika seperti biasanya. Isu pencabutan Tap yang kemudian ditimpali sengan kasus pencopotan Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla dari jabatan menteri tealah memancing timbulnya perlawanan politik yang mengarah pada pendongkelan Gus Dur secara konstitusional melalui MPR.

Kasus ini memang telah menimbulkan situasi baru yang mungkin merupakan hikmah terselubung bagi rakyat Indonesia, meskipun tidak bagi Gus Dur, yakni mendekatnya berbagai kekuatan politik yang tadinya dapat dikatakan bermusuhan. Untuk menyikapi Gus Dur dan menyongsong kemungkinan Sidang Istimewa pihak PPP yang tadinya menolak mati-matian Megawati menjadi presiden sekarang sudah menyatakan tidak keberatan jika Ketua PDI-P menjadi presiden. Seperti dikatakan Faisal Baasir, PPP sekarang dapat menerima presiden perempuan. Golkar yang menjelang pemilu 1999 menjadi musuh besar PDI-P sekarang sduah mulai lebih akrab. Bagi banyak orang ini bisa disebut sebagai hikmah terselubung, tapi bagi Gus Dur sendiri bisa menjadi ancaman atas kelangsungan kekuasaannya.

HTN Darurat

Kita masih menunggu dengan agak berdebar jurus-jurus apa lagi yang akan dimainkan oleh Gus Dur untuk keluar dari kepungan ini. Berdasar prosedur baku Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 memang tidak bisa dijadikan Sidang Istimewa, sebab untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa yang akan minta pertanggungjawaban presiden prosedurnya panjang dan perlu keputusan politik dari DPR dengan waktu lama sesuai dengan Tap MPR No. III/MPR/1978.

Tetapi dalam praktik tidak selamanya keputusan politik nasional itu harus mengikuti urut-urutan yang baku. Hukum Tata Negara (HTN) Darurat sering dipakai untuk melakukan perubahan besar. Bung Karno dulu mengeluarkan Dekrit Presiden melalui HTN Darurat, yakni membubarkan Konstituante dan memberlakukan UUD 1945 padahal itu bukan merupakan wewenang konstitusionalnya. Tetapi Bung Karno menyebut itu seagai tindakan darurat dan rakyat menerimanya. Peraliahan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie juga melalui HTN Darurat. Oleh sebab itu Gus Dur tak dapat menggantungkan diri pada prosedur HTN yang normal, sebab bisa saja tindakan darurat dilakukan oleh MPR. Jika sebagian besar parpol di MPR sudah menghendaki bisa saja MPR membuat ketetapan yang mencabut ketetapan-ketetapan yang mempersulit diselenggarakannya Sidang Istimewa danatas nama kedaulatan rakyat, MPR membuat ketetapan baru tentang Sidang Istimewa. Landasan bagi HTN Darurat ini jelas yakni adanya dalil bahwa “salus populi supreme lex”, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Jika MPR menganggap bahwa sebuah tindakan darurat harus dilakukan untuk menyelamatkan rakyat dan negara maka tindakan itu harus dilakukan meskipun harus melanggar prosedur baku, bahkan meskipun harus melanggar konstitusi. Ada adagium yang sangat digemari oleh Gus Dur tentang ini yakni “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Di Indonesia suara rakyat itu adalah suara MPR, sehingga apapun keputusan MPR harus dianggap suara rakyat, termasuk akalau MPR tiba-tiba mengagendakan Sidang Istimewa tanpa menunggu usul DPR sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi untuk Indonesia adagium itu bisa berbunyi “vox MPR, vox Dei”, suara MPR adalah suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dan Indonesia sudah beberapa kali mewujudkan makna adagium ini dalam melakukan perubahan-perubahan politik yang besar.

Moh Mahfud, Guru Besar Fakultas Hukum/Pembantu rektor I Universitas Islam Yogyakarta.

(Sumber: Makalah disampaikan pada Diskusi Memahami Gus Dur yang dielenggarakan oleh The Jakrta Post Perwakilan Yogyakarta, Senin 1 Mei 2000)

Gus Dur dan Fitnah

Oleh Salahuddin Wahid


Majalah TEMPO edisi 7 Mei 2000 menulis ucapan Jusuf Kalla yang berjudul Gus Dur Tukang Fitnah. Ini reaksi Jusuf Kalla terhadap penjelasan Presiden mengenai alasan penggantian Jusuf sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan oleh Luhut Panjaitan. Laksamana Sukardi juga merasa menjadi korban fitnah yang sama. Di pihak lain, Media Indonesia 30 April 2000 menulis ucapan Rozy Munir, "Itu fitnah", yang juga merasa menjadi korban fitnah dengan adanya isu bahwa ia telah menerima upeti. Ada perbedaan mendasar antara "fitnah" terhadap Jusuf Kalla dan Laksamana dan "fitnah" terhadap Rozy Munir. Yang pertama diucapkan oleh Presiden, yang kedua tidak jelas siapa yang mengucapkan. Saya tergelitik untuk mempertanyakan apakah memang benar Gus Dur itu tukang fitnah?

Kita harus mempertanyakan hal itu karena kalau rakyat percaya bahwa presidennya tukang fitnah, sebenarnya presiden itu sudah kehilangan sebagian besar kredibilitasnya. Ingat peristiwa selingkuhnya Bill Clinton dengan Monica Lewinsky? Saat itu, Bill Clinton bersaksi bahwa dirinya tidak selingkuh. Ketika ternyata Clinton berbohong, sebagian besar wakil rakyat menginginkan impeachment terhadapnya. Bagi rakyat Amerika, berbohong secara terbuka dan di bawah sumpah membuat Clinton kehilangan kredibilitasnya. Bagi rakyat Amerika, masalah selingkuh adalah masalah pribadi, sedangkan masalah berbohong (ketidakjujuran) adalah masalah yang menyangkut persyaratan dasar bagi seorang presiden.

Fitnah adalah tindakan menyebarkan berita bohong atau tidak benar untuk merugikan atau menjelekkan orang atau pihak lain. Biasanya ia dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti terhadap Rozy Munir. Penyebaran berita bohong itu sering dilakukan oleh berbagai pihak untuk tujuan tertentu seperti politik dan bisnis. Kita masih ingat adanya dokumen Gilchrist yang menguraikan tentang " our local army friends ", yang belakangan diakui oleh yang bersangkutan sebagai langkah spionase Inggris dalam upaya menjatuhkan Bung Karno.

Dalam rapat konsultasi dengan DPR, Presiden secara off the record menyatakan alasan sebenarnya penggantian Menperindag dan Menteri Negara Pembinaan BUMN. Menurut media cetak, Jusuf Kalla dianggap telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tender pengadaan beras, dalam tender proyek jaringan transmisi Klaten-Tasikmalaya, dan mengutip dana untuk impor kendaraan built-up, yang telah dibantah oleh yang bersangkutan. Sedangkan Laksamana Sukardi dianggap telah menipu Gus Dur dan memasukkan jajaran direksi dan komisaris Indosat yang oleh Gus Dur dikatakan sebagai maling. Hal ini pun telah dibantah oleh yang bersangkutan.

Gus Dur menyatakan bahwa penjelasannya bersifat off the record , berarti Gus Dur mengetahui bahwa apa yang disampaikan bersifat sensitif atau peka dan akan berdampak negatif bagi kedua menteri dan keluarganya. Bagi saya, sulit untuk dimengerti bahwa Gus Dur bermaksud melakukan fitnah terhadap kedua mantan menteri itu. Rasanya, Gus Dur telah cukup lama dan cukup sering menjadi korban fitnah yang tidak jelas sumbernya. Gus Dur menganggap hal itu risiko dari suatu sikap dan tidak menganggapnya serius. Tetapi apakah kalau Gus Dur sudah sering difitnah kemudian ia bisa seenaknya melakukan fitnah terhadap orang lain?

Kalau Presiden tidak memfitnah kedua menteri itu, apakah berarti yang disampaikan dalam rapat konsultasi itu benar? Saya juga tidak yakin bahwa Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi telah melakukan apa yang disampaikan Presiden. Lalu, mana yang benar?

Seseorang (siapa pun dia) dapat dianggap telah melakukan fitnah kalau menyebarkan berita bohong, terbuka ataupun tertutup, di muka umum atau di ruangan tersembunyi. Kalau orang itu yakin apa yang dikemukakannya benar (walaupun sebenarnya tidak benar), belum dapat dikatakan bahwa ia telah melakukan fitnah. Dalam kasus di atas, Gus Dur yakin apa yang dikatakannya benar adanya, walaupun ternyata kemudian ada bantahan dari yang bersangkutan. Tentunya perlu dilakukan klarifikasi. Siapa yang mengklarifikasi? Karena kedua tokoh itu telah menyatakan tidak akan melakukan tuntutan hukum terhadap Gus Dur, mungkin Pansus merupakan pilihan untuk melakukan tabayun atau klarifikasi.

Kalau tuduhan KKN itu ternyata benar, konsekuensi logisnya adalah diajukannya tuntutan hukum terhadap tindakan itu. Perlu dipertimbangkan bahwa tidak mudah untuk membuktikan seseorang secara hukum telah melakukan tindakan KKN. Kalaupun hanya ada indikasi yang kuat bahwa telah terjadi KKN, maka sinyalemen Gus Dur mempunyai keabsahan yang kuat. Kalau ternyata tuduhan KKN itu tidak benar dan tidak ada indikasi yang kuat, apa yang akan terjadi? Sebaiknya Gus Dur meminta maaf kepada kedua mantan menteri itu. Masyarakat akan tahu bahwa Gus Dur terlalu mudah mempercayai informasi yang belum jelas kebenarannya. Sebetulnya masyarakat pernah mempunyai kasus yang mirip, ketika Gus Dur mengungkapkan nama Mayjen K, yang kemudian dikonfrontasi oleh Mayjen Kivlan Zein.

Lepas dari siapa yang benar, perlu diberikan perhatian terhadap proses penyaringan informasi di lingkaran dalam Gus Dur untuk bisa menyaring secara akurat kebenaran dari informasi yang masuk. Tidak perlu dijelaskan betapa pentingnya ketepatan informasi--baik dari segi substansi maupun waktu--bagi proses pengambilan keputusan. Ungkapan garbage in, garbage out dapat menjelaskan lebih jauh arti penting penyaringan informasi.

Ke depan, kita masih akan menghadapi segudang masalah berat yang memerlukan ketepatan dalam pengambilan keputusan, secara substansi ataupun waktu. Kita telah melihat beberapa contoh pengambilan keputusan yang kurang tepat, baik dalam pemerintahan Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, maupun Gus Dur, yang disebabkan oleh kurang tepatnya informasi. Pak Harto menyetujui untuk dicalonkan kembali pada Sidang Umum MPR 1998 karena mempercayai informasi dari Harmoko selaku Ketua Umum DPP Golkar. Kita wajib menyampaikan usul kepada Gus Dur untuk lebih berhati-hati dalam menyaring informasi, melalui proses check and recheck berulang-ulang dari berbagai sumber yang berbeda. Nasib lebih dari 210 juta warga negara RI terlalu berharga dan terlalu penting untuk dapat diputuskan dengan dasar informasi yang belum jelas.

Salahuddin Wahid adalah Ketua PBNU

(Sumber: TEMPO, 14 Mei 2000)

Thursday, December 16, 2010

Jaringan Internasional Intelektual Tradisional

Penulis : Abdurrahman Mas'ud

Judul : Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
17/06/2006

Jaringan Internasional Intelektual Tradisional

Tradisionalitas selalu dikaitkan dengan lokalitas, pesantren sebagai bentuk pendidikan tradisional selalu diasosiasikan sebagai bentuk lokalitas atau Islam lokal, namun demikian bukan berarti tidak memiliki universalitas. Dalam kenyataannya Islam tradisional tidak hanya di pesantren Jawa atau di Nusantara, tetapi memiliki jaringan di seluruh dunia. Hal ini sebenarnya telah ditunjukkan dalam berbagai literatur, dan telaah paling kontemporer adalah yang dituangkan dalam buku karya Abdurrahman Mas’ud ini.
Mekah sebagai pusat dunia Islam sekaligus juga sebagai pusat intelektual, karena di sana menjadi pusat pendidikan Islam, selain Al Azhar. Dan menariknya di pusat pendidikan dunia itu juga ditangani oleh para ulama terkenal dari Jawa seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfud At Tarmisi dan sebagainya. Sebagai syaikh (guru besar) para Ulama itu tidak hanya amengajar mahasantri dari Jawa, tetapi didatangi mahasantri dari seluruh negara Islam.

Para ulama yang disebutkan tadi tidak hanya mengajar, tetapi menghasilkan berbagai karya akademik yang tidak hanya dijadikan kitab rujukan dalam pesantren tradisional di Indonesia, tetapi di berbagai lembaga pendidikan di Nusantara, bahkan masih terus dipergunakan di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Melalui para mahasantri yang tersebar di seluruh dunia yang memperkenalkan ajaran kiai tersebut ke negara masing-masing. Karena itu bisa dipahami kalau kitab karya mereka ini dijadikan rujukan di universitas berbagai negara. Ini sebuah preatasi kalangan ulama tradisional yang belum terlampaui para intelektual Indonesia modern dalam memberikan kontribusi akademik terhadap dunia internasional, khususnya dunia Islam.

Para ulama itu tidak hanya melahirkan ulama besar di Indonesia seperti Kiai Khalil Bangkalan (W 1925) tetapi juga melahirkan ulama lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari (W 1947) dan Kiai A Asnawi (W 1952) yang kesemuanya adalah perintis dan penggerak lahirnya organisasi kaum santri Nahdlatul Ulama (NU). Selanjutnya para kiai itu yang dengan integritas moralnya dan kedalaman intelektualnya kemudian melakuakan kaderisasi di Indonesia sehingga lahir ribuan kiai dan ulama sebagai penerus perjuanagan mereka. Gerakan ini semakin efektif ketika dilembagakan dalam organisasi Nahdlatul Ulama, sehingga mampu menjadi organisasi besar yang dianut oleh sebagian muslim di negeri ini.

Dari kesemuanya itu yang menarik adalah tradisi pengembangan keilmuannya, pesantren mengembangkan sistem pendidikan tradisional yang sangat mengutamakan kedalaman disertai pengalaman, di bawah bimbingan para kiai setiap hari, sehingga keseriusan dan kedalamannya benar-benar terjaga. Dalam sistem itulah lahir banyak ulama, ketika para ulama senior mampu membimbing para santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Sistem itu yang mengakibatkan terjadinya hubungan yang erat antara kiai santri dan antar sesama kiai. Sejauh mengenai aktvitas dan latar belakang para kiai yang dikaji penulis buku ini berhasil memberikan informasi yang memadai. Ini berkat ketekunannnya dalam mengumpulkan dokumen serta melakukan wawancara dengan berbagai saksi sejarah.

Tetapi sayangnya buku ini belum melakukan analisis secara mendalam tentang pertalian ideologis di antara mereka, sehingga pikiran para ulama senior tersebut bisa diterjemahkan secara operasional oleh ulama sesudahnya seperti Khalil (Bangkalan) atau Hasyim Asy’ari (Jombang). Apalagi penulis buku ini menempatkan diri sebagai santri dari para ulama yang ditulis, akibatnya penulis tidak berani melakukan kritik secara akademik maupun ideologis. Sehingga pembaca tidak diajak bersikap kritis untuk menilai sejauh mana pemikiran para ulama itu memberikan kontribusi bagi perkembangan akademik dan sosial, dan sejauh mana pemikiran mereka mengalami jalan buntu, sehingga memerlukan terobosan baru oleh para penerusnya saat ini.

Telaah kritis semacam itu bukan akan memerosotkan wibawa sang ulama, sebaliknya justeru menempatkan mereka secara proporsional, sebagaimana layaknya seorang akademisi, langkah ini justeru akan semakin memperkuat nilai akademis karya-karya mereka. (Mushonniva)

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8220

Wednesday, December 15, 2010

Melacak Tradisi Intelektual NU

Ahmad Zahro

Tradisi Intelektual NU
17/06/2006

Melacak Tradisi Intelektual NU

Tradisi, merupakan kata kunci dalam memahami NU, tetapi sayangnya orang termasuk para peneliti tidak mengerti arti tradisi itu, terlebih lagi ketika pikiran modernitas yang sesat itu menyebar, lantas dijadikan sebagai cara pandang, maka tradisi dianggap suatu ananomali bahkan sebuah patologi kebudayaan yang harus disingkirkan atau ditinggalkan agar memperoleh kemajuan. Kalau orang menyebut NU sebagai organisasi Islam tradisional maka yang dipersepsikan adalah NU sebagai organisasi orang desa yang terbelakang. Pandangan itu yang mendominasi literature ilmu-ilmu social dan sejarah saat ini.

Hadirnya buku dari Ahmad Zahro yang berusaha melacak sejarah dan tradisi pemikiran NU melalui kajian terhadap Bahsul Masail, ini ternyata berhasil menjelaskan banyak hal yang selama ini masih gelap dalam NU, terutama bagi pandangan para peneliti NU. Buku ini punya arti penting pertama, dia berhasil melacak referensi pemikiran NU secara detil dan sistematis, kedua dia berusaha menjelaskan asal-usul perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama NU, ketiga dia membongkar asumsi selama ini bahwa pemikiran NU itu hanya bersifat keagamaan yang normative. Padahal dalam kenyataannya dari sekian ratus persoalan yang dibahas dalam bahsul masail NU itu 70 persen membahas persoalan non ritual, tetapi membahas persoalan social, politik dan kebudayaan.

Temuan terakhir ini tentu saja membongkar pandangan stereotype terhadap NU yang dianggap konservatif, asosial, tidak empiric, tetapi normatif. Pandangan itu tentu saja akan mengubah asusmsi akademik yang berkembang saat ini. Dalam poin itulah sebenarnya tradisi itu perlu dipahami ulang secara tidak pejorative. Tradisi berkaitan dengan NU pertama-tama adalah sebuah cara berpikir yang berlandaskan pada khazanah klasik dan peduli pada otentisitas sumber. Karena di sanaalah pemikiran Islam dan NU khususnya berakar. NU dalam berpikir selalu memperhatikan sejarah, tradisi dan otoritas ilmiah yang lain.

Tradisi semacam itu memang seolah terlihat konservatif, sebab dalam tradisi NU, penguasaan terhadap masalah perlu dikuasai dan didalami, sebelum dipresentasikan. Tetapi hasil dari keseluruhan proses pendalaman itu adalah produk yang sangat radikal dan maju, baik dalam keputusan politik dan social. Semua ini harus dilihat sebagai proses pemikiran yang berkembang di NU baik yang secara formasl di godok dalam forum bahsul masail maupun di forum yang lain.

Kalau belakangan terjadi gelombang perkembangan pemikiran NU terutama semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, sebenarnya bukan sesuatu yang muncul begitu saja secara mendadak. Tetapi merupakan resultan dari sebuah proses dan pergumulan yang panjang. Karena itu persebarannya sangat luas dan pengaruhnya juga sangat mendalam, demikian juga tema-tema yang dimunculkan juga lebih substansial, karena itu implikasi dan kontribusinya bagi masyarakat NU.

Tetapi celakanaya bagi para peneliti yang hadire belakang, seolah perkembangan pemikiran NU yang dinamis terjadi hanya semasa Gus Dur padahal sebelumnya telah berkembang pesat, karena itu Nu sangat berperan dalam bidang social politik selama tahun 1960-an. Maka disertaasi Ahmad Zahro ini memberikan jalan untuk menelusuri tradisi pemikiran NU dengan sangat jelas dan sistematis, dengan bahan-bahan yang sangat kaya, sehingga layak menjadi rujukan bagi peneliti yang lain ketika hendak meneliti lebih jauh tentang tadisi intelektual NU.

Sementara kelemahan buku ini adalah ketiga bahan yang melimpoah itu hanya disusun secara sistematis, tetapi tidak berusaha dipetakan secara kategoris, baik yang bersifat kronik maupun tematis. Kelemahan selanjutnya adalah data yang kaya itu dikaji secara histories-empiris, bahkan cenderung teknis, tetapi tidak menyentuh wilayah makna, sehingga tidak lahir teori baru tentang tema ayang diangkatnya. Disitulah letak arti penting buku ini tentang banyak masalah yang sudah digarap, tetapi juga membuka peluang terhadap bidang yang belum digarap, yaitu wilayah makna. (munim dz)

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8225