Thursday, November 21, 2019

Melawan Wahabisme: Antara Islam Nusantara & Islam Maroko

Oleh Ahmad Najib Burhani

Ilustrasi. Sumber: IBTimes/Galih Qoobid Mulqi
Apakah respon terhadap Wahabisme hanya terjadi di Indonesia? Seperti apa kira-kira respon dari negara-negara yang berdekatan dengan Saudi Arabia terhadap ideologi ini? Satu perlawanan terhadap Wahabisme yang mirip dengan Indonesia, terutama dengan gagasan “Islam Nusantara”-nya, dan karena itu menarik dikaji secara khusus, terjadi di Maroko.
Nama resmi negara ini adalah al-mamlakah al-maghribiyyah atau Kerajaan Barat. Negara ini mulai menggerakkan perlawanan resmi terhadap Wahabisme ketika terjadi serial bom bunuh diri di Casablanca pada Mei 2003 yang menewaskan 45 orang, termasuk 12 pelaku bom bunuh diri. Ini merupakan peristiwa penyerangan dan bom bunuh diri paling tragis di negara itu.
Inilah yang membuat Maroko bergerak serius memberantas radikalisme dan akar-akarnya. Secara ringkas, Maroko menerapkan tiga strategi dalam menghadapi radikalisme dan Wahabisme, yaitu: Operasi keamanan untuk menghancurkan sel-sel teror; pembangunan ekonomi untuk mengangkat masyarakat yang rentan terpapar radikalisme; dan penyebaran Islam moderat dan melawan distorsi pemahaman agama.
Gambar 1. Peta Maroko dan Keluarga Raja di Boelevard de la Corniche, Anfa, Maroko

Islam Nusantara

Sebelum membahas tentang Islam Maroko, terlebih dahulu kita perlu ringkaskan tentang “Islam Nusantara”. Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi mengadopsi istilah ini ketika mereka mengangkatnya menjadi slogan gerakan dan menjadikannya sebagai tema Muktamar ke-33 di Jombang tahun 2015, yaitu “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Meski telah dipakai sejak 2015, karena kisruh dalam pemilihan pimpinan, Muktamar Jombang juga gagal melahirkan definisi terhadap konsep ini. Tokoh dan aktivis NU lantas memberikan definisi yang berbeda-beda.
Dalam tulisannya di Kompas (29/8/2015), KH Ma’ruf Amin, misalnya, mendefinisikan Islam Nusantara sebagai: “Cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para mu’assis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an”.
Beberapa tokoh NU, seperti Said Aqil Siradj dan Ahmad Mustofa Bisri, sering membandingkan karakter Islam Nusantara itu dengan Islam Arab. Bahwa Islam Nusantara itu adalah Islam yang ramah, toleran, smiling, menjaga tradisi dan khazanah leluhur, tidak suka kekerasan, dan menghargai perempuan. Sementara Islam Arab kerap digambarkan memiliki karakter yang sebaliknya.
Definisi resmi dari istilah “Islam Nusantara” ini baru muncul tahun 2019. Sebagaimana yang disepakati di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 27 Februari 2019, makna Islam Nusantara adalah: “Islam ahli sunah waljamaah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di Nusantara oleh para pendakwahnya”.
Gambar 2. Perlawanan terhadap Arabisasi yang makna utamanya adalah Wahabisasi
Dari beberapa definisi dan karakter di atas, pada intinya yang dimaksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang telah lama dipeluk dan dilaksanakan di bumi Nusantara, dengan tasamuh (toleransi) sebagai karakter yang ditonjolkan. Sementara yang dimaksud dengan Islam Arab yang sering diungkapkan para tokoh NU itu terutama mengacu kepada Wahabisme dari Saudi Arabia, sebagaimana sejarah pendirian NU merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi ini.

Keunikan Islam Maroko

Ketika terlibat dalam studi banding ke Maroko pada Oktober 2019, penulis melihat beberapa paralel atau kesamaan antara Indonesia dan Maroko dalam menghadapi Wahabisme. Jika di Islam Nusantara dianggap sebagai bentuk Islam yang khas, unik, dan distinctive atau berbeda dari Islam di negara lain, maka Maroko juga menganggap keislaman di negara itu unik, khas, dan distinctive.
Keunikan Islam Maroko itu dibangun di atas tiga pilar atau biasa disebut sebagai Moroccan triptych, yaitu: Mengikuti mazhab Maliki dalam fikih, mengikuti Ash’ary secara teologi (kalam), dan memegang kuat tradisi tasawuf atau yang biasa disebut Maraboutism.
Seperti ditulis oleh Cédric Baylocq dan Aziz Hlaoua (2017), identitas keagamaan Maroko yang tiga itu mendapat tekanan kuat dalam pidato kerajaan pada 30 Juli 2003, paska bom bunuh diri. Juga dalam sambutan Menteri Agama, Ahmad Taoufiq, pada saat membuka Mohammed VI Institute, sebagai wadah penggodokan Islam Wasatiyya bagi para khatib, imam, ustadz / ustadzah, murshid / mursyidat,pada 27 Maret 2015.
Tiga karakter keagamaan itu merupakan fondasi dari apa yang mereka sebut sebagai Islam Wasatiyya atau yang biasa disebut juga dengan istilah Islam moderat.
Islam Wasatiyya yang dibangun berdasar Moroccan triptych itu, seperti disebut dalam sambutan Raja, membuat umat Islam Maroko “balanced, open, and tolerant” (adil, terbuka, dan toleran). Dengan menganut mazhab Maliki, umat Islam Maroko menjadi memiliki karakter yang fleksibel.
Mazhab Maliki adalah satu dari empat mazhab fikih dalam Islam Sunni yang memiliki keterikatan dengan tradisi atau adat di Madinah, menekankan argumentasi, kepentingan umat Islam, dan peduli terhadap koherensi moral.
Raja juga menekankan tentang pentingnya mengacu kepada maqasid shariah dalam menentukan hukum. Konsep ini berasal dari al-Syatibi, seorang ahli hukum dan teologi dari Andalusia abad ke-14, yang menekankan tentang pentingnya memegang “major ethical aims of Islam” (kemaslahatan umat) daripada sekadar menerapkan hukum Islam. Dalam teori ini, jika penerapan hukum Islam itu berbahaya bagi kemaslahatan umat, maka ia tidak perlu dijalankan.
Selanjutnya, Raja dan Menteri Agama Maroko mengajak waspada terhadap ideologi Islam yang asing yang masuk ke Maroko. Itulah diantaranya lawan dari Islam Maroko. Di Indonesia, yang sering disebut sebagai lawan Islam Nusantara adalah ISIS, Salafi-Wahabi, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Islam Maroko vs Wahabisme

Di Maroko, meski banyak persinggungan, lawan dari Islam Wasatiyya adalah Daesh, Aqmi, Ansar ed-Din, Mujao, Salafi radikal, dan Hanbali-WahhabismDaesh tentu saja adalah nama lain dari ISIS dan Hanbali-Wahhabism adalah hampir sama dengan apa yang bisa disebut Salafi-Wahhabisme. Salah satu bentuk berkembangnya Hanbali-Wahhabism di Maroko adalah penggunaan niqab (cadar) oleh sebagian masyarakat.
Seperti yang terjadi di Indonesia, umat Islam Maroko juga menghadapi “takfiri jihadists” atau mereka yang suka mengkafirkan orang lain dan sedikit-sedikit bicara dan mengajak jihad. Selain itu, mereka juga menghadapi kelompok yang disebut dengan “reductionist literalists” atau mereka yang terlalu literal dalam memahami agama dan cenderung mereduksi ajaran-ajaran Islam. Kelompok ini sering anti terhadap tasawuf yang menjadi tradisi mendalam di Maroko.
Gambar 3. Mausoleum Muhammad V, Rabat, Maroko
Ketika Raja dan Menteri Agama Maroko menyebut bahwa “Islam Maroko”, ada sejumlah penentangan sebagaimana ketika “Islam Nusantara” diperkenalkan di Indonesia. Salah satunya datang dari ulama di Maroko, Sheikh Abdesalam Lazaar. Ketika bertemu dengan Direktur dari Mohammed VI Institute pada 1 April 2015, ia menolak gagasan “Islam Maroko”. Ia mengatakan bahwa “Islam wahid” atau Islam itu hanya satu.
Diantara tujuan pendirian Mohammed VI Institute adalah melawan kelompok “takfiri jihadist”, “reductionist literalist”, penentang tasawuf, penentang gagasan “Islam Maroko”, dan terutama masuk dan berkembangnya “Hanbali-Wahhabism” di Maroko, dari Tangier sampai Lagouira (gambaran luas dari negeri ini, mirip dengan istilah “dari Sabang sampai Merauke”).
Pendirian sekolah ini menjadi pelengkap dari dua strategi lain yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi radikalisme, yaitu menghancurkan sel-sel terorisme dan mengangkat ekonomi umat. Diantara negara-negara di Timur Tengah, Maroko adalah yang paling berhasil dalam mencegah radikalisme dan terorisme.

Indonesia dan Maroko

Sebagai penutup dan pelengkap tulisan ini, saya akan membuat gambaran perbandingan antara Maroko dan Indonesia berdasarkan catatan Clifford Geertz (seorang akadamisi ternama di dunia) dalam bukunya Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (1968) dan beberapa tambahan keterangan berdasarkan observasi penulis di lapangan.
Membandingkan Islam di Indonesia dan Maroko itu merupakan perbandingan antara dua negara Islam yang berada di paling timur dan paling barat dari dunia Islam. Secara ritual, satu menghadap ke Barat dan satunya lagi menghadap ke Timur ketika melakukan sholat.
Selain mazhab fikih yang berbeda, arsitektur bangunan kedua negara itu juga berbeda. Selain masjid-masjid tradisional yang menggunakan atap tumpang, seperti Masjid Kudus, banyak masjid di Indonesia mengikuti gaya arsitektur Turki, terutama dengan kubahnya. Secara arsitektur, masjid-masjid di Maroko tidak mengikuti Turki. Mereka membangun masjidnya mengikut karakter daratan Iberia dengan bangunan kotak-kotak, mirip dengan Alhambra di Granada, Spanyol.
Seperti Indonesia, mayoritas penduduk Maroko adalah Islam. Bahkan, jika Islam di Indonesia hanya 88 persen, jumlah umat Islam Maroko adalah 99 persen. Dalam kaitannya dengan sejarah, membandingkan Indonesia dengan Maroko itu, ditulis Clifford Geertz (1968), seperti membandingkan dua tokoh legendaris dari dua negara tersebut; Sunan Kalijaga vs. Sidi Lahsen Lyusi.
Kalijaga memiliki peran sangat penting dalam mengislamkan Jawa dan Indonesia. Ia merupakan salah satu dari Walisongo dan merupakan satu-satunya yang berasal dari bumi Indonesia. Kalijaga merupakan simbol dari Islam Nusantara. Sidi Lahsen Lyusi memiliki nama asli Abu ‘Ali al-Hasan ben Mas’ud al-Yusi. Lyusi adalah seorang Sharif (keturunan Nabi Muhammad) yang berperan penting dalam sejarah Islam di Maroko.
Gambar 4. Masjid Hasan II di Casablanca, Maroko
Santri dan Taleb
Dua istilah yang memiliki kesejajaran antara Indonesia dan Maroko dalam kaitannya dengan keislaman, yaitu santri dan taleb. Ketika Geertz melakukan penelitian tahun 1950-an dan 1960-an, kelompok yang disebut santri itu sebetulnya “a minority creed” (h. 66), meski mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam. Praktek-praktek keagamaan yang berlaku di masyarakat, pada dasarnya, masih mengikuti “Indic tradition”. Tesis ini kemudian dibantah oleh Mark Woodward dalam Islam in Java: normative piety and mysticism in the Sultanate of Yogyakarta (1989) dan Marshal Hodgson dalam The Venture of Islam (1974).
Kondisi keislaman di Indonesia pada masa Geertz dan sekarang memang berbeda. Kelompok santri saat ini jauh lebih banyak daripada tahun 1960-an. Proses santrinisasi ini terutama terjadi melalui berbagai pesantren dan sekolah Islam, termasuk IAIN dan UIN, serta melalui ritual haji.
Varian santri pun tidak hanya terdiri dari dua kelompok kolot (traditionalist) and moderen (modernist), tapi telah muncul berbagai varian baru. Seperti neo-modernist dengan Cak Nur sebagai salah satu tokohnya, neo-revivalist dengan kelompok PKS dan Tarbiyah berada di barisan depan, santri radikal, dan juga santri liberal. Bahkan, belakangan muncul satu varian baru yang disebut sebagai santri post-Islamism yang diantaranya berisi kelompok Hijrah.
Tak terlalu berbeda dari dunia santri di Indonesia, dinamika santri atau taleb di Maroko juga terjadi dalam perdebatan antara scripturalism dan maraboutism.
Bedanya dari Indonesia, taleb di Maroko tidak mengganggu bangunan sufisme atau maraboutisme yang telah berlangsung lama di sana. Kecuali kelompok baru yang di bagian awal tulisan ini disebut dengan Hanbali-Wahhabism. Kelompok ini mengganggu keseimbangan keagamaan di masyarakat dan karena itu mendapat penentangan dari negara dan masyarakat.

***

Dalam perjalanan sejarahnya, banyak tokoh dari Maroko yang digandrungi di Indonesia. Tokoh lama yang sangat terkenal tentu saja adalah Ibn Battuta the explorer dan Maulana Malik Ibrahim, salah satu walisongo. Tokoh baru diantaranya adalah Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Mohammed Arkoun, dan Abdallah Laroui.
Selain menjadi rujukan dari para aktivis di NU dan Muhammadiyah, al-Jabiri menjadi referensi terkait pembagian nalar pemikiran Islam menjadi bayani, burhani, dan irfani.
IBTimes.id, 12 Nov 2019
https://ibtimes.id/melawan-wahabisme-antara-islam-nusantara-islam-maroko/

Saturday, September 14, 2019

Pelajaran dari Madura dalam Pemilu 2019: NU dan Konservatisme

Burhani, Ahmad Najib. 2019. “Lessons from Madura: NU, Conservatism, and the 2019 Presidential Election,ISEAS Perspective No. 72, 10 September. 

1. NU itu tak monolitik. Meski Madura hampir 100% NU, tapi mereka tak mendukung Jokowi.
2. Madura juga contoh dimana moderatisme & radikalisme bersatu. NU-FPI bisa berkolaborasi & bekerjasama dibawah panji NU.
3. Islam Nusantara jg mendapat resistensi dr dalam NU scr kuat di Madura. Veneration kpd Islam Arab & habaib, termasuk HRS, cukup tinggi.
4. Di tengah citra NU sbg pelindung minoritas, Madura menampilkan NU wajah lain [a.l. diskriminatif thd Syiah].
5. Bangkalan contoh patron-client lokal dlm demokrasi kita. "Magical swing" terjadi, dr 18% Jokowi (2014) ke 57% (2019). 
Link artikel: https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_72.pdf?

Sunday, May 26, 2019

Ma’ruf factor and Indonesia’s democracy



    Zain Maulana

Leeds, The UK   /   Fri, May 24 2019   /  01:26 am


Recently, The Jakarta Post published a crucial and timely debate on the Ma’ruf Amin factor in April’s presidential election and its potential effect on Indonesian democracy.

While Ahmad Najib Burhani (May 9) argued that Ma’ruf, a Nahdlatul Ulama (NU) top figure, had failed to boost Jokowi’s electability and potentially degraded Indonesia’s democracy, Azis Anwar Fachrudin (May 18) emphasized the role of Ma’ruf and the NU factor in increasing Jokowi’s share of the vote in East and Central Java.

Furthermore, Azis implied that there was no need to worry about Jokowi’s alliance with the NU, because Indonesia was a Pancasila state, rather than a liberal democratic state, and indeed the alliance was better, when we consider the Indonesian political reality, than Prabowo Subianto’s Islamist-backed coalition.

Emphasizing the “shield” perspective, Azis argued that Ma’ruf’s VP candidacy shouldn’t necessarily be regarded as a move to reap votes but rather as a defensive maneuver that successfully saved Jokowi from losing a huge number of votes, especially in West Java. Ma’ruf’s nomination was also defined as the key factor behind a significant rise in electoral support in East and Central Java, as well as in Yogyakarta and among non-Muslim voters.

Indeed, measuring the Ma’ruf effect against the reelection of Jokowi is difficult, as it requires clear and complex indicators. We need to distinguish between the increase in votes for Jokowi in Central Java as a result of the Ma’ruf factor and as a result of the political consolidation of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP), since this province is the party’s traditional stronghold.

Compared with the 2014 election, the map of support for Jokowi has not changed much in Central Java and Yogyakarta this time around. Data from the General Elections Commission (KPU) show that, in 2014, Jokowi-Kalla won in those two provinces with 66.65 percent and 55.81 percent respectively. In 2019, Jokowi-Amin won in both provinces, following nearly the same pattern as the 2014 election.

This suggests that Jokowi still enjoys huge support from voters in those regions, despite the change in VP candidate. The same pattern of votes could also be seen in Jakarta; there was no significant difference between the number of votes cast in the 2014 and 2019 elections.

The claim that the Ma’ruf factor accounted for the massive increase in votes for Jokowi from non-Muslim voters is also debatable. The fundamental reason to doubt this claim is that, when he was the chairman of the Indonesian Ulema Council (MUI), he played a prominent role in the arrest of Christian, Chinese-Indonesian former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) on blasphemy charges. Non-Muslims’ support for Jokowi can be best explained as a rational choice by voters rather than as a result of the Ma’ruf factor.

Therefore, placing emphasis on the “shield” perspective when examining the Ma’ruf factor implicitly recognizes its minimal role and effect in the presidential election. The claim that there was a Ma’ruf factor is an expression of the defensiveness and low expectations of the NU and Jokowi’s supporters with regard to Ma’ruf’s VP candidacy, especially after Jokowi’s failure to retain Mahfud MD as his first choice of running mate.

With this in mind, Najib’s argument on the failure of the Ma’ruf factor can be clearly understood.

Regarding Azis’ second point in his response to Najib’s argument, he does not deny Jokowi’s tendency to favor the NU by emphasizing the close ties between the government and the country’s largest Muslim organization, including the appointment of several NU-linked ministers in Jokowi’s Cabinet and the provision of aid to NU educational institutions.

Despite Azis expressing his concern regarding improvements to Indonesia’s democracy, he does not regard the close alliance between Jokowi and the NU as requiring a balance.

Rather, he argues that the alliance is necessary to protect the government from Islamist attacks. At this point, Pancasila democracy doesn’t endorse the practice of favoritism.

Azis puts his argument in the context of the dilemmatic political situation: Jokowi’s alliance with the NU vis-a-vis Prabowo’s alliance with the Islamist groups. Within the context of a presidential candidacy, this political reality must be taken into account when deciding which of the two candidates to support.

However, continued use of this narrative would be problematic in the postelection context. Now that Jokowi has officially won the election, no more should we ask: Had Prabowo won, would his presidency have employed authoritarian policies? Instead, we should consider how we can respond to Jokowi’s presidency if it takes a turn toward authoritarianism.

Simply explaining Jokowi’s close ties with the NU as being the lesser of two evils would be to slip into acceptance and tolerance of favoritism and authoritarianism.

_________

The writer is a PhD researcher at the University of Leeds.

https://www.thejakartapost.com/news/2019/05/24/ma-ruf-factor-and-indonesia-s-democracy.html

---------------

Faktor Ma’ruf dan Demokrasi Indonesia

The Jakarta Post, Friday, May 24 2019

Zain Maulana

Belum lama ini, The Jakarta Post memuat tulisan yang memperdebatkan tentang ‘faktor Ma’ruf Amin’ dalam pemilu presiden april kemarin dan kemungkinan efeknya terhadap demokrasi Indonesia. Ahmad Najib Burhani (May 9) berpendapat bahwa pencalonan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden gagal meningkat elektabilitas Jokowi dan sekaligus berpotensi menggangu demokrasi Indonesia. Sementara itu, Azis Anwar Fachrudin (May 18) menekankan bahwa Ma’ruf Amin dan NU sangat berperan dalam meningkatkan suara Jokowi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lebih jauh, Azis berpendapat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai aliansi yang sangat dekat antara pemerintahan Jokowi dan NU karena Indonesia adalah negara demokrasi Pancasila, bukan negara demokrasi liberal. Dia juga menekankan bahwa aliansi Jokowi-NU lebih baik dari yang lainnya terutama dibandingkan dengan kedekatan Prabowo dengan kekuatan sejumlah kelompok Islam.

Dengan menekankan pada cara pandang ‘tameng’ (shield perspective), Azis berpendapat bahwa pencalonan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden seharusnya tidak serta merta dilihat sebagai ‘vote-getter’, tetapi lebih sebagai tameng atau pelindung yang diklaim berhasil memperkecil kehilangan suara untuk Jokowi terutama di wilayah Jawa Barat. Pencalonan Ma’ruf juga dianggap sebagai faktor kunci atas meningkatnya dukungan terhadap Jokowi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta dan pemilih non-muslim.

Pada dasarnya cukup sulit untuk mengukur efek dari pencalonan Ma’ruf Amin atas terpilihnya kembali Jokowi sebab membutuhkan indikator yang jelas dan kompleks. Kita perlu membedakan antara meningkatnya suara Jokowi di Jawa Tengah karena faktor Ma’ruf Amin dan faktor yang disebabkan oleh konsolidasi politik PDIP, mengingat Jawa Tengah adalah basis tradisional partai tersebut. Dibandingkan dengan pemilu 2014, peta dukungan terhadap Jokowi di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak banyak berubah. Data dari KPU menunjukkan bahwa pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-Kalla berhasil menang sekitar 66.65 persen di Jawa Tengah dan 55.81 persen di Yogyakarta. Pada pemilu 2019, pasangan Jokowi-Amin menang di kedua propinsi tersebut dengan angka yang tidak banyak berubah sebagaimana pada pemilu 2014. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Jokowi berpasangan dengan calon wakil presiden yang berbeda, ia masih mendapatkan dukungan yang besar di wilayah tersebut. Peta dukungan yang sama juga terjadi di Jakarta, dimana tidak ada perbedaan signifikan dukungan terhadap Jokowi pada pemilu 2014 dan 2019.
Klaim yang menyatakan bahwa pencalonan Ma’ruf Amin berdampak pada meningkatnya dukungan elektoral terhadap Jokowi dari kelompok non-muslim juga sangat bisa diperdebatkan. Alasan mendasar untuk meragukan klaim tersebut adalah ketika Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua MUI, ia memainkan peran yang sangat penting dan krusial dalam penahanan mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada kasus penistaan agama. Terkait dengan hal tersebut, dukungan kelompok non-muslim kepada Jokowi lebih tepat diartikan sebagai sebuah pilihan rasional daripada diklaim sebagai faktor dari pencalonan Ma’ruf Amin.

Oleh karena itu, penekanan pada cara pandang ‘tameng’ (shield perspective) dalam melihat dan menganalisa faktor Ma’ruf Amin pada pemilu kemarin secara tidak langsung mengakui peran minimal seorang Ma’ruf Amin dan efeknya terhadap pemilihan presiden. Klaim yang menyatakan bahwa faktor Ma’ruf Amin sangat besar pada pemilu kemarin adalah bentuk ekspresi pertahanan diri dan ekspektasi yang rendah dari NU maupun para pendukung Jokowi terhadap Ma’ruf Amin, terutama setelah Jokowi gagal mempertahankan Mahfud MD sebagai pilihan utama dalam pencalonan wakil presiden. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada poin inilah kita bisa memahami dengan jelas argumen Ahmad Najib Burhani tentang kegagalan Ma’ruf Amin dalam meningkatkan dukungan elektabilitas Jokowi.

Berkenaan dengan poin ke dua dari Azis Anwar dalam merespon argumen Najib Burhani, pada dasarnya Azis tidak menafikan kecenderungan ‘politik pilih kasih’ Jokowi terhadap NU. Ia menyebutkan bahwa kedekatan Jokowi dengan NU, sebagai salah satu organisasi Islam besar di Indonesia, dapat dilihat dari sejumlah menteri yang memiliki latar belakang dan atau terkait langsung dengan NU pada kabinet pemerintahan Jokowi maupun pemberian bantuan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan NU.

Meskipun Azis memberikan perhatiannya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ia tidak melihat kedekatan atau aliansi politik antara Jokowi dan NU sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan memerlukan penyeimbang, sebab Indoneasia menganut demokrasi pancasila bukan demokrasi liberal.Sebaliknya, Azis berargumen bahwa aliansi tersebut justru sangat diperlukan untuk melindungi pemerintah dari serangan kelompok-kelompok Islam. Tentu saja hal tersebut mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Perlu ditegaskan disini bahwa demokrasi pancasila tidak mendorong praktik-praktik politik pilih kasih (favoritism).

Azis cenderung menempatkan argumennya pada konteks situasi politik yang dilematis, yaitu antara aliansi Jokowi dengan NU vis-a-vis aliansi Prabowo dengan sejumlah kelompok Islam. Pada konteks masa pencalonan presiden-wakil presiden, realitas politik ini penting untuk diperhatikan terutama sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan dari dua calon yang sedang berkontestasi. Akan tetapi, narasi tersebut tidak lagi relevan untuk terus-menerus digunakan dan diwacanakan pada konteks pasca pemilu. Setelah Jokowi dinyatakan menang oleh KPU, seharusnya tidak ada lagi pertanyaan: jika Prabowo menang, apakah kepemimpinannya tidak akan otoriter? Sebaliknya, kita harus fokus pada pertanyaan, bagaimana kita merespon kepemimpinan Jokowi jika pemerintahannya mengarah pada otoritarianisme?

Oleh karena itu, menyederhanakan kedekatan dan aliansi politik Jokowi dengan NU (pada konteks pasca pemilu) sebagai pilihan terbaik dari yang terburuk sangat rentan untuk jatuh pada sikap menerima dan memaklumi politik pilih kasih dan otoritarianisme.

Zain Maulana
Mahasiswa PhD di University of Leeds, UK. 

Saturday, May 18, 2019

Ma’ruf and NU factor

Azis Anwar Fachrudin
Holds an MA degree from the Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) of Gadjah Mada University

Yogyakarta   /   Sat, May 18, 2019   /  11:33 am


President Joko “Jokowi” Widodo (far left) delivers a speech during the national meeting (munas) of the Nahdlatul Ulama clerics at Miftahul Huda Al-Azhar Islamic boarding school in Citangkolo, Banjar, West Java on Feb. 27 (Antara/Adeng Bustomi)

Ahmad Najib Burhani’s piece in The Jakarta Post (May 9) on the Ma’ruf Amin factor in Joko “Jokowi” Widodo’s reelection made two points worth reexamining: that Ma’ruf failed “to boost Jokowi’s electability in Muslim majority regions”, and that Jokowi’s tight alliance with a particular religious group, in this case Nahdlatul Ulama (NU), is prone to slipping into “practicing favoritism or even authoritarianism”. The former demands critical reviewing, while the latter needs caveats.


As for concern about authoritarianism, reference to the government’s disbandment of Hizbut Tahrir Indonesia means that Jokowi’s alliance with the NU is indeed not good news from a liberal democracy standpoint (perhaps with the exception of Germany, which has also banned the local chapter of Hizbut Tahrir). Prominent NU intellectuals have said that Indonesia’s democracy isn’t a liberal democracy, but rather a Pancasila democracy.


Najib’s first point was in response to claims that Ma’ruf was appointed as Jokowi’s vice-presidential candidate to shield the incumbent against sectarian attacks and to mobilize support from NU members. Najib’s refutation of these claims were a bit surprising, given that he himself, in his past commentary on the same issue (published on the website of the Institute of Southeast Asian Studies), was one of the few analysts who argued that Ma’ruf’s main role was that of a shield rather than a vote-getter. His past view was actually more accurate than his latest.

Indeed, Ma’ruf in Banten couldn’t replicate the Jusuf Kalla factor in South Sulawesi where Jokowi won in 2014. The current VP also failed to boost Jokowi’s electability in West Java. Yet in light of the “shield” perspective of reading the election results, the question shouldn’t be why Jokowi didn’t gain more votes, but rather why Jokowi didn’t lose a significant amount of votes he had five years ago in West Java and other vote bases of his rival Prabowo Subianto (which Najib referred to regarding the predominantly NU island of Madura, East Java).

More importantly, as national electoral mapping shows, Jokowi obtained a massive increase of more than 10 percent in both East and Central Java, including Yogyakarta. Note that East and Central Java make up nearly a third of the total voters. Jokowi’s vote gain in these regions, plus another massive increase from non-Muslim voters, compensated his defeat in South Sulawesi and his bigger loss in Prabowo’s vote bases in Sumatra.

At the national level, electoral support for Jokowi from NU members actually increased. Indikator Politik’s exit polls in 2014 and 2019 show that, while NU voters were relatively evenly distributed between the two candidates five years ago, most NU members voted for Jokowi this year, with a margin of 12 percent. This is a massive increase, and the Ma’ruf factor should be strongly suspected to have come into play.

During the campaign period, the rhetoric that NU members should vote for Jokowi because his running mate was a former NU supreme leader was frequently uttered by NU leaders both on the central board and in the NU’s vast network of pesantren (Islamic boarding schools). At the grassroots level, as I encountered during my fieldwork at large pesantren in East and Central Java, that rhetoric was prominent. Key NU national and pesantren leaders who had supported Prabowo in 2014 shifted to Jokowi in 2019, with Ma’ruf’s VP candidacy being one of the main reasons. The real count results on the General Elections Commission website, up to the local level, show that the shift did come into effect (as I wrote in my latest piece on the New Mandala website).

So, while more Muslims voted for Prabowo, with a tiny margin (as they did in 2014), the Ma’ruf factor did massively boost Jokowi’s electability among NU voters and — again in light of the “shield” perspective — arguably prevented Jokowi from losing more among Muslim voters.

As for Najib’s second point, the President was already close to the NU in 2014, although five years ago the NU was far less united behind Jokowi than it is today. His VP candidate then, Kalla, was to become a member of NU’s advisory council, while Prabowo’s then-running mate, Hatta Rajasa, was from the National Mandate Party (PAN), a Muhammadiyah-linked party.

For his first Cabinet, Jokowi appointed six ministers with an NU background (four were from the NU-based National Awakening Party/PKB), the largest number of NU affiliates in the Cabinet since the Reform Era.

In addition, Jokowi also fulfilled his campaign promise to the NU community in 2015 when he declared Oct. 22 “National Santri [pesantren students] Day”.

Jokowi’s attempt to tighten relations with the NU in 2019, therefore, shouldn’t come as a surprise, be it ideological or transactional: The NU has been the most potential Muslim organization to be his close ally to save him from Islamist attacks, especially as some senior Muhammadiyah figures were inclined to his challenger or had even become harsh critics of the government.

Jokowi arranged cooperation with NU’s bases at the rural grassroots, such as through the Agriculture Ministry, as he did with Muhammadiyah, including with the Environment and Forestry Ministry. Jokowi is indeed channeling aids to NU’s educational institutions. But it was only within the last two years that the Jokowi administration began giving special funds to pesantren, while other non-state finance institutions have received them long before. Without more detailed data, the latest case can still be interpreted between Jokowi’s favoritism of NU or rather affirmative policies to pesantren.


Najib’s concern is indeed valid, legitimate criticism, and I share his aspiration to improve Indonesia’s democracy. However, none of the two camps contesting the presidency really cares about liberal democracy. It barely featured during election campaigns.

And we are confronted with imperfect choices: between the NU-backed Jokowi and the Islamist-backed Prabowo. Which one is more potentially supportive of democratic norms? Had Prabowo won, would his presidency not employ authoritarian policies or even be worse than the status quo?

Those questions have to be taken into account if we are willing to be more realistic about Indonesia’s political state of affairs, which has always been a contested arena of patronage, where the state can’t avoid choosing religious groups to accommodate. Najib’s criticism should therefore not only be a concern for the incumbent, but also for the challenger and the religious groups backing him.
***

The writer is an Indonesia correspondent fellow at New Mandala and a researcher at the Center for Religious and Crosscultural Studies at Gadjah Mada University, Yogyakarta.

https://www.thejakartapost.com/academia/2019/05/18/maruf-and-nu-factor.html

Wednesday, May 8, 2019

Ma’ruf factor in Jokowi’s reelection success


Ahmad Najib Burhani

Jakarta   /   Thu, May 9 2019   /  01:42 am


While the official results of the presidential election will be announced only on May 22, quick counts from some pollsters indicate that Joko “Jokowi” Widodo and his running mate Ma’ruf Amin will win the race. Considering his incumbency and the grand coalition behind him, ranging from big political parties to Nahdlatul Ulama (NU), the country’s largest Muslim organization, Jokowi’s 55 percent of the vote, just 2 percent more than he won in 2014, constitute a failure.

The question now is how significant the role of Ma’ruf was in Jokowi’s seeming reelection and how far identity politics undermined his electability.

Some have defended Ma’ruf, saying that had Jokowi not picked him as his running mate, he would have lost the race. They say Ma’ruf has shielded Jokowi from various attacks relating to identity politics, such as accusations that he belonged to an abangan (nominal Muslim) group and was anti-Islam. They also highlight Ma’ruf’s capability to mobilize NU leaders and members to fight it out for Jokowi.

Those claims, however, contradict the results of an exit poll conducted by Indikator Politik Indonesia on April 17, which found that only about 56 percent of NU members voted for Jokowi-Ma’ruf, while the remaining 44 percent voted for their challengers, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Ma’ruf was reportedly responsible for taming Banten and West Java, the strongholds of Prabowo where Jokowi lost in the 2014 race. A quick count conducted by Saiful Mujani Research and Consulting on April 17 discovered that Jokowi-Ma’ruf were defeated by Prabowo-Sandiaga in the two provinces. In Banten, where Ma’ruf hails from, Prabowo-Sandi won about 63 percent of the vote, while in West Java they collected 60 percent of the vote

In East Java, although Jokowi-Ma’ruf won a total of 66 percent of the vote, they lost in Madura, an island where almost 100 percent of the population are loyal to NU. From four regencies in Madura, Jokowi-Ma’ruf only managed to win in Bangkalan with 57 percent of the vote. In the other three regencies, i.e. Pamekasan, Sampang and Sumenep, Prabowo-Sandiaga reigned supreme with 82, 69 and 60 percent of the vote respectively. Some have speculated that the Madura people were disappointed with Jokowi’s last-minute replacement of Mahfud MD, a Madura native, as his running mate.

Hasanuddin Ali, a researcher of Alvara Institute, says identity politics matters in this year’s presidential election, at the expense of Jokowi. His study found that the greater the percentage of the Muslim population, the fewer people who voted for Jokowi. On the contrary, the smaller the percentage of Muslim population, the more people voted for Jokowi.

The quick count by Charta Politika proved the phenomenon true. The pollster discovered that Prabowo-Sandiaga won big in Aceh and West Sumatra, where Muslims account for 98 percent of the population. The results, however, could not offset their defeat in Central Java and the predominantly-Hindu province of Bali.

Although the appointment of Ma’ruf as VP candidate seems unable to boost Jokowi’s electability in Muslim majority regions, key NU leaders remain solid behind him. The unity and solidity of NU leaders behind Jokowi-Ma’ruf, as reported recently by the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), is partly ideological, but mostly transactional.

As declared during its annual congress and conference in the West Java town of Banjar on Feb. 27, the reason behind the NU leaders’ all-out support for Jokowi and efforts to protect him from the politics of identity is partly their wish to become an important part of the government. Using a term commonly quoted in NU circles, including by NU chairman Said Aqil Siradj, they want to become ashabul qoror (decision makers). It is not enough just to win the government’s favor; the NU leaders want to become part of the power.

There is no such free lunch in this case and NU leaders will demand fulfillment of their wishes after the election. Even before the election, NU member and chairman of the National Awakening Party (PKB), Muhaimin Iskandar, had suggested that Jokowi allocate more seats for NU in the new Cabinet should he get reelected.

For Jokowi, aligning himself so closely with NU carries a risk, namely alienating other Muslim organizations or making them second favorite. The question is how far can Jokowi satisfy the leaders of NU without jeopardizing his relationship with other Muslim groups.

After failing to avoid the trap of what IPAC calls a “vicious cycle of heavily sectarian competition” during the recent election, now Jokowi has to struggle to escape from another challenge in the form of NU aspiration to influence government affairs.

If not handled with care, strong involvement of certain religious authority in managing the state could lead Jokowi’s government to practicing favoritism or even authoritarianism, in which dissent is countered with the labels of intolerant, anti-Pancasila, radical or even extremist and terrorist.

________

The writer is a senior researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). https://www.thejakartapost.com/news/2019/05/09/ma-ruf-factor-jokowi-s-reelection-success.html

---------------

The Jakarta Post, 9 Mei 2019

Faktor Ma’ruf dalam keberhasilan pemilu kedua Jokowi   

Ahmad Najib Burhani

Sementara hasil resmi pemilihan presiden akan diumumkan hanya pada 22 Mei, penghitungan cepat dari beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa Joko “Jokowi” Widodo dan pasangannya, Ma'ruf Amin akan memenangkan pertarungan. Mengingat posisinya sebagai pihak penguasa dan koalisi besar di belakangnya, mulai dari partai-partai politik besar hingga Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim besar di negara ini, 55 persen suara Jokowi, hanya 2 persen lebih banyak daripada yang dimenangkannya pada 2014, merupakan kegagalan.

Pertanyaannya sekarang adalah seberapa penting peran Ma'ruf dalam terpilihnya kembali Jokowi dan seberapa jauh politik identitas menggerus keterpilihannya.

Beberapa membela Ma'ruf, dengan mengatakan bahwa jika Jokowi tidak memilihnya sebagai pasangannya, ia akan kalah dalam pemilihan ini. Mereka mengatakan Ma'ruf telah melindungi Jokowi dari berbagai serangan yang berkaitan dengan politik identitas, seperti tuduhan bahwa ia termasuk dalam kelompok abangan (Muslim nominal) dan anti-Islam. Mereka juga menyoroti kemampuan Ma'ruf untuk memobilisasi para pemimpin dan anggota NU untuk memperjuangkan Jokowi.

Klaim itu, bagaimanapun, bertentangan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada 17 April, yang menemukan bahwa hanya sekitar 56 persen anggota NU memilih Jokowi-Ma'ruf, sementara 44 persen sisanya memilih penantang mereka, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Ma'ruf dilaporkan bertanggung jawab untuk menjinakkan Banten dan Jawa Barat, benteng Prabowo tempat Jokowi kalah dalam pemilu 2014. Penghitungan cepat yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting pada 17 April menemukan bahwa Jokowi-Ma'ruf dikalahkan oleh Prabowo-Sandiaga di dua provinsi ini. Di Banten, tempat Ma'ruf berasal, Prabowo-Sandi memenangkan sekitar 63 persen suara, sementara di Jawa Barat mereka mengumpulkan 60 persen suara.

Di Jawa Timur, meskipun Jokowi-Ma'ruf memenangkan total 66 persen suara, mereka kalah di Madura, sebuah pulau di mana hampir 100 persen penduduknya setia kepada NU. Dari empat kabupaten di Madura, Jokowi-Ma'ruf hanya berhasil menang di Bangkalan dengan 57 persen suara. Di tiga kabupaten lainnya, yaitu Pamekasan, Sampang dan Sumenep, Prabowo-Sandiaga memimpin tertinggi dengan masing-masing 82, 69 dan 60 persen suara. Beberapa berspekulasi bahwa orang-orang Madura kecewa dengan penggantian Mahfud M, seorang asli Madura, sebagai pasangan Jokow, pada menit terakhir.

Hasanuddin Ali, seorang peneliti dari Alvara Institute, mengatakan politik identitas penting dalam pemilihan presiden tahun ini, dengan mengorbankan Jokowi. Studinya menemukan bahwa semakin besar persentase populasi Muslim, semakin sedikit orang yang memilih Jokowi. Sebaliknya, semakin kecil persentase populasi Muslim, semakin banyak orang yang memilih Jokowi.

Penghitungan cepat oleh Charta Politika membuktikan fenomena itu benar. Survei menemukan bahwa Prabowo-Sandiaga menang besar di Aceh dan Sumatra Barat, di mana umat Islam merupakan 98 persen dari populasi. Hasilnya, bagaimanapun, tidak dapat mengimbangi kekalahan mereka di Jawa Tengah dan provinsi Bali yang mayoritas Hindu.

Meskipun penunjukkan Ma'ruf sebagai kandidat wakil presiden tampaknya tidak dapat meningkatkan keterpilihan Jokowi di wilayah mayoritas Muslim, para pemimpin kunci NU tetap solid di belakangnya. Persatuan dan soliditas para pemimpin NU di belakang Jokowi-Ma'ruf, seperti yang baru-baru ini dilaporkan oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebagian bersifat ideologis, tetapi sebagian besar bersifat transaksional.

Sebagaimana dinyatakan dalam kongres dan konferensi tahunannya di kota Banjar di Jawa Barat pada 27 Februari, alasan di balik dukungan habis-habisan para pemimpin NU untuk Jokowi dan upaya untuk melindunginya dari politik identitas adalah sebagian dari keinginan mereka untuk menjadi bagian penting dari pemerintah. Menggunakan istilah yang biasa dikutip di kalangan NU, termasuk oleh ketua NU Said Aqil Siradj, mereka ingin menjadi ashabul qoror (pembuat keputusan). Tidak cukup hanya dengan mendapatkan bantuan pemerintah; para pemimpin NU ingin menjadi bagian dari kekuasaan.

Tidak ada makan siang gratis dalam kasus ini dan para pemimpin NU akan menuntut pemenuhan keinginan mereka setelah pemilu. Bahkan sebelum pemilu, anggota NU dan ketua Partai Kebangkitan Nasional (PKB), Muhaimin Iskandar, telah meminta agar Jokowi mengalokasikan lebih banyak kursi untuk NU di kabinet baru jika dia terpilih kembali.

Bagi Jokowi, menyelaraskan dirinya sangat erat dengan NU membawa risiko, yaitu mengasingkan organisasi Muslim lainnya atau menjadikannya favorit kedua. Pertanyaannya adalah seberapa jauh Jokowi dapat memuaskan para pemimpin NU tanpa membahayakan hubungannya dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya.

Setelah gagal menghindari perangkap dari apa yang IPAC sebut sebagai "lingkaran setan persaingan sangat sektarian" selama pemilu baru-baru ini, sekarang Jokowi harus berjuang untuk menghindari diri dari tantangan lain dalam bentuk aspirasi NU untuk mempengaruhi urusan pemerintahan.

Jika tidak ditangani dengan hati-hati, keterlibatan kuat otoritas keagamaan tertentu dalam mengelola negara dapat menyebabkan pemerintah Jokowi mempraktikkan favoritisme atau bahkan otoritarianisme, di mana perbedaan pendapat dilawan dengan label-label tidak toleran, anti-Pancasila, radikal atau bahkan ekstremis dan teroris.

__

Penulis adalah peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Friday, May 3, 2019

Teropong NU Pascapilpres

Penulis: Hatim Gazali Dosen Universitas Sampoerna, JakartaPada: Sabtu, 04 Mei 2019, 01:20 WIB 

TULISAN Ahmad Najib Burhani, Rekonsiliasi Nasional Pascapemilu (29/3) di harian ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Bukan saja memberikan catatan penting ihwal rekonsiliasi pascapemilu, persoalan spiritualisasi dan komodifikasi agama, Ahmad juga menyuarakan nada ketakutan akan otoritarianisme agama yang diperankan Nahdlatul Ulama akibat persekongkolan Jokowi dengan KH Ma'ruf Amin yang notabenenya ialah mantan Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Najib kemudian memberikan argumentasi historis dengan membaca kolaborasi politik dan agama di Arab Saudi, antara Ibn Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Benar bahwa kolaborasi pemerintah Arab Saudi dengan salah satu ideologi Islam yang diwakili Muhammad bin Abdul Wahhab melahirkan puritanisme yang tidak ketulungan.
Persekongkolan inilah yang menjadi salah satu faktor didirikannya NU yang dikomandani KH Hasyim Asy'ari setelah mengirim KH Abdul Wahab ke Arab Saudi sebagai utusan untuk menolak ide-ide wahabisme yang diembuskan pemerintah Arab Saudi saat itu. Meminjam kerangka teori Ernest Gellner, NU berdiri untuk membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam.
Memang, perkawinan negara dengan salah satu ideologi menjadikan negara tersebut berpotensi bersikap otoriter terhadap ideologi-ideologi lain. Dalam sejarah, perkawinan agama dan negara sering kali diwarnai dengan ketegangan, kontroversi, dan pasang surut. Sesekali agama menjadi subordinat negara seperti yang terjadi pada agama Kristen di era Konstantinus Agung, dan pada saat yang lain, negara menjadi subordinat agama sehingga restu agama menjadi kunci untuk menjadi kepala pemerintahan (raja).
Dalam konteks ini, saya setuju dengan gagasan implisit Najib Burhani, bahwa tidak boleh ada perkawinan satu agama atau aliran keagamaan dengan negara. Negara harus berada di atas dan menaungi seluruh agama dan aliran keagamaan.
Tiga argumen
Namun demikian, sebagai peneliti LIPI yang kerap menghadiri acara-acara NU seperti muktamar dan musyawarah nasional, Ahmad Najib Burhani tak perlu menyimpan kekhawatiran yang berlebihan. Dengan mencermati sejarah NU dari masa ke masa, serta tradisi dan ideologi yang dipegang teguh NU, tentu kekhawatiran berlebihan ihwal potensi terjadinya otoritarianisme agama dapat dengan mudah ditepis.
Sekurang-kurangnya, ada tiga argumen mendasar. Pertama, argumen kesejarahan. Sepanjang republik ini berdiri, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, tak pernah berorientasi untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara agama, apalagi negara NU.
Memang, pada era penjajahan Belanda, NU melalui Mukmatar ke-11 1936, memutuskan bahwa Indoensia ialah negara Islam (Darul Islam). Namun, pemaknaan negara Islam yang disodorkan NU bukanlah negara teokrasi ataupun formalisasi ajaran islam ke dalam negara, melainkan untuk memberikan argumen bahwa melawan penjajah ialah jihad dan wajib bagi seluruh umat Islam sebagai bentuk mempertahankan negara Islam. Karena itulah, KH Ahmad Siddiq (1926-1991) memberikan definisi Darul Islam dengan wilayatul Islam (wilayah Islam).
Karena pemaknaan Darul Islam seperti itulah, NU secara tegas menolak gagasan dan gerakan SM Kartosoewirjo yang hendak mendirikan Darul Islam (DI). Ulama NU memberikan keputusan fiqh kepada Kartosuwiryo sebagai pelaku bughat (pemberontakan kepada negara yang sah) akibat pemikiran dan gerakannya itu.
Di saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang notabene mantan Ketua Umum PBNU (1984-1999) menjadi presiden RI, juga tak menjadikan Islam ataupun NU sebagai ideologi negara. Gus Dur memiliki pendirian yang sangat tegas perihal wawasan kebangsaan, pluralisme, dan demokrasi.
Secara politik, bahkan Gus Dur menyusun komposisi kabinet Persatuan Nasional tidak monolitik, tetapi mengakomodasi beragam aliran keagamaan yang ada. Kedua, argumen teologis.
Sikap NU terhadap negara dan Pancasila sudah dianggap selesai. Musyawarah Alim Ulama Nasional NU 1983 di Situbondo, Jatim, memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai asas dan memulihkan kembali posisi NU sebagai organisasi keagamaan sesuai dengan khitah (semangat) 1926. Negara bukanlah kepanjangan tangan suatu agama atau aliran keagamaan, ia harus mengayomi seluruh warga negara secara adil.

KH Sahal Mahfudz (alm), Rais 'Aam PBNU periode 1999-2014 pernah menggagas sikap politik NU yang disebutnya politik tingkat tinggi (siyasah 'aliyah samiyah), berupa politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.
Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan yang disebutnya politik tingkat rendah (siayasah safilah) ialah porsi parpol bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan, sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Sikap ini tetap dijunjung tinggi organisasi NU. Ini terbukti ketika HM Jusuf Kalla yang notabene pengurus mustasyar PBNU menjadi wakil presiden baik pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo, tak menjadikan NU sebagai anak emas.
Begitu pula sebaliknya, NU tak lantas membebek kepada pemerintah atau negara. Yang terjadi justru NU menjadi kekuatan besar untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip yang diyakini NU, tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah, bahwa pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan umum.
Ketiga, argumen sosiologis. Sikap politik warga NU secara sosiologis tak pernah tunggal. Ketika KH Hasyim Muzadi ataupun KH Salahuddin Wahid menjadi calon wakil presiden Megawati dan Wiranto pada Pemilu 2004, tak serta-merta warga NU berduyung-duyung menjatuhkan pilihan kepadanya. Padahal, dengan jemaah yang dimilikinya, NU dapat memenangkan perebutan kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Sedari awal, jemaah NU memiliki kemandirian dan kedewasaan politik yang baik. Ketika NU menjadi parpol pada 1954 juga tak menjadikan NU menjadi partai pemenang karena bagi warga NU, pilihan politik itu bersifat otonom.
Betul bahwa NU memiliki saham politik yang cukup besar bagi perolehan suara Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Namun, beranggapan bahwa dengan saham tersebut akan terjadi otoritarianisme agama yang dilakonkan NU sebagaimana kekhawatiran Najib Burhani, bagi hemat penulis cukup berlebihan. Sebagaimana yang sudah lazim terjadi dalam sejarah, NU akan tetap menjadi kekuatan yang mendukung pemerintahan pada satu sisi dan memberi keseimbangan pada sisi lain.
Sebagai wujud untuk memberi keseimbangan dan stabilitas kepada negara, sudah saatnya NU mengambil peran 'pemadam kebakaran' yang terjadi karena pesta demokrasi kemarin. Hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian yang terjadi kepada tiap-tiap capres-cawapres perlu segera dipadamkan. Dengan kekuatan kiai, ustaz, dai, pesantren, guru ngaji yang dimiliki, NU memiliki peran yang sangat besar untuk mendinginkan suasana.
Tentu saja, NU perlu perlu menggandeng kekuatan-kekuatan organisasi masyarakat lainnya baik di internal Islam maupun di luar Islam untuk menghadirkan rasa damai dan persatuan di kalangan masyarakat. Peran ini tak muluk-muluk, bukan saja karena faktor besarnya warga NU, melainkan juga sudah menjadi tradisi dan kelaziman NU untuk senantiasa mendahulukan persatuan Indonesia dan kemashalatan umum. Semoga.
https://mediaindonesia.com/read/detail/233326-teropong-nu-pascapilpres


Tuesday, April 30, 2019

Rekonsiliasi Nasional Pascapemilu


Penulis: Ahmad Najib Burhani Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pada: Senin, 29 Apr 2019, 09:25 WIB KOLOM PAKAR
DALAM naskah yang diajukan ke ISEAS-Yusof Ishak Institute, Hafiz Al Azad (2018) membuat judul yang sangat provokatif untuk menggambarkan media sosial dan dunia maya lainnya, yaitu cyber jahiliyyah. Istilah itu mengacu kepada berbagai bentuk sektarianisme (algorithmic enclaves) dan karut-marut dunia maya yang seakan belum menerima pencerahan dengan kehadiran seorang nabi.
Masyarakat jahiliah Arab pra-Islam sering digambarkan sebagai masyarakat penyembah berhala, membunuh anak-anak, memperbudak dan memperdagangkan manusia, dan juga menjadikan perempuan sekadar sebagai properti. Dunia maya saat ini juga digambarkan sebagai tempat yang uncivilized atau belum memiliki peradaban dan menunggu kehadiran 'nabi' atau 'filsuf' yang bisa memberi pedoman moral.
Ketakberadaban dunia siber itu semakin terasa dalam suasana politik ketika masyarakat mengalami polarisasi yang keras. Sikap ‘ashabiyyah' atau sektarianisme itu muncul dalam kecenderungan untuk hanya memiliki kawan dan informasi sepihak. Kita kadang bahkan memutus perkawanan, meng-unfriend, dengan mereka yang berseberangan pandangan. Dunia digital menjadi digital fortresses (benteng) yang membentengi kita dari informasi berbeda.
Sedihnya, alih-alih menjadi 'sang pencerah', selama pemilu kemarin agama justru menjadi kompor bagi panasnya suasana politik, terutama di dunia maya. Politik identitas dengan menggunakan agama menjadi warna yang kental dalam kontestasi pemilihan presiden dan membelah masyarakat menjadi dua kubu yang terus berhadapan dan saling menghujat. Inilah yang disebut dengan politisasi agama, yaitu menjadikan agama semata-mata sebagai tunggangan untuk meraih ambisi politik.
Amin Abdullah menggambarkan ini dengan menyebut agama sebagai alat untuk antem-anteman. Alih-alih saling menasihati, para dai dan penceramah sibuk saling melempar hoaks, fitnah, dan kebencian. Kubu yang satu menuduh kelompok lain tak bisa wudu dan salat, sementara kubu lainnya membalas dengan menyebut lawannya sebagai anti-Islam.
Spiritualisasi dan komodifikasi
Politisisasi agama sebetulnya hanya salah satu dari tiga kecenderungan keagamaan yang menggejala saat ini. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, misalnya, melihat dua model keberagamaan lain yang saat ini menggejala di masyarakat, yaitu spiritualisasi dan komodifikasi.
Maksud spiritualisasi di sini mengacu ke kecenderungan pada orientasi ritual dan spiritual, serta lupa bahwa misi utama dari perintah keagamaan itu ialah pengejawantahannya dalam urusan dunia dan kemanusiaan. Pada pengajian di kantor Muhammadiyah Menteng beberapa waktu lalu, Haedar Nashir, misalnya, mencontohkan tentang fenomena masyarakat yang memiliki semangat beribadah yang begitu luar biasa. Bahkan beberapa pimpinan daerah, menurutnya, mewajibkan untuk salat berjemaah. Meski demikian, dalam kehidupan sosial mereka ini tidak mencerahkan.
Sealur dengan kritik terhadap spiritualisasi di atas, Hajriyanto Thohari (2015) juga melihat bahwa keberagamaan kita itu cenderung inward-looking yang membuat masyarakat kita, meski majemuk, tapi segmented (terbelah) dan segregated (terkotak-kotak). Dengan mengutip ungkapan yang cukup terkenal, Hajriyanto menyebutkan bahwa mestinya menjadi religious itu menjadi interreligious (to be religious today is to be interreligious). “Bahwa tanpa memahami iman tetangga, orang atau komunitas beragama yang hidup dalam masyarakat yang majemuk bahkan tidak dapat memahami dirinya sendiri,” katanya. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, kita semakin anti terhadap perbedaan.
Selain kecenderungan negatif terkait spiritualisasi, komodifikasi agama juga menjadi sesuatu yang trendy saat ini. Istilah sederhananya, agama menjadi 'ladang bisnis'. Ini bisa dilihat dengan maraknya tour and travel yang menawarkan umrah dan haji atau ziarah ke tempat-tempat suci, penjualan berbagai jenis jilbab dan fashion show muslim, semaraknya labelisasi halal dan sertifikasi syariah, digandrunginya film dan musik-musik religi, serta berkembangnya klaster perumahan dan pekuburan berdasarkan agama tertentu. Tentu ini tak sepenuhnya negatif, tapi sering kali karena ghirah (semangat) beragama yang tinggi di masyarakat, ada perusahaan yang memanfaatkannya dengan menipu dan menelantarkan para jemaah umrah.
Otoritarianisme Agama
Ada beberapa tantangan seusai pemilu yang mesti dihadapi. Tantangan pertama tentu saja ialah melakukan rekonsiliasi nasional terhadap berbagai elemen bangsa yang selama pemilu terpolarisasi, saling menafikan dan bermusuhan. Sebelum polarisasi sosial ini semakin melebar dan sulit diatasi atau bahkan dimanipulasi kembali untuk Pemilu 2024, Jokowi perlu bertindak cepat. Tantangan lainnya ialah menyelesaikan persoalan yang terkait dengan spiritualisasi dan komodifikasi agama.
Selain ketiga tantangan tersebut, masih ada tantangan baru yang bisa saja muncul, yaitu ancaman otoritarianisme agama. Meskipun pada 1984 NU menyatakan dirinya kembali ke khitah (misi dasar sebagai gerakan sosial keagamaan), kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin akan menjadikan NU kembali menjadi bagian integral pemerintah. Menggunakan istilah yang sering dipakai di lingkungan NU, mereka bisa kembali menjadi ashab al-qoror atau pembuat keputusan.
Kolaborasi antara Jokowi dan NU mengingatkan kita pada kolaborasi politik dan agama di Arab Saudi, antara Ibn Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahhabisme). Meski NU memiliki orientasi keagamaan yang berlawanan langsung dengan Wahhabisme, peran mereka dalam memenangkan Jokowi dapat memicu mereka untuk meminta bagian yang banyak dalam pemerintahan baru. Jika kolaborasi antara kekuasaan agama dan politik terjadi, akan sulit untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Jika tak hati-hati, ini bisa memunculkan apa yang disebut dengan otoritarianisme agama. Bahayanya ialah bahwa NU bisa menjadi satu-satunya penentu keputusan terkait isu-isu agama dan menjadi pemegang kekuasaan dalam hal ortodoksi dan heterodoksi. Jika ini terjadi, dikotomi 'NU vs Islam lainnya' bisa menjadi lebih besar.

https://mediaindonesia.com/read/detail/232513-rekonsiliasi-nasional-pascapemilu?

Tuesday, April 23, 2019

Belajar Demokrasi dari Tebuireng