Saturday, March 26, 2011

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore (9/1/2008) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci.

Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi.

Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah untuk mengakhiri tahun 1428 dan mengawali tahun 1429 hijriyyah. Acara dimulai pada pukul 16.15 menit dengan membaca doa akhir tahun hingga waktu maghrib tiba.

Bacaan yang dilafalkan antara lain istighfar, shalawat nariyyah, dan doa khusus akhir tahun yang disuarakan jamaah dengan nada setengah keras sehingga gemuruh ribuan jamaah menggelegar di tengah perkebunan salak sebuah pedesaan itu. Usai doa akhir tahun di ucapkan, jamaah melaksanakan shalat maghrib berjamaah dengan imam Kiai Sholihun, kemudian membaca Surat Yasiin sekali dan doa awal tahun. Ritual selesai dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun itu.

Mengagungkan Bulan Mulia

Namun rangkaian acara Jauharul Muharram (mengagungkan bulan mulia) ke-10 ini belum tuntas. Sebab setelah doa awal tahun dipanjatkan, jamaah dipersilahkan menikmati hidangan nasi megono (nasi sayur dicampur parutan kelapa berbumbu segar) dengan lauk tahu-tempe. Hidangan makan dibawa sendiri oleh jamaah. Tapi sebelum dihidangkan, makanan dikumpulkan terlebih dahulu oleh panitia di suatu tempat, lalu dibagikan secara acak sehingga jamaah tidak makan makanan yang dibawa sendiri melainkan memakan bawaan jamaah yang lain. Di sini makna shadaqah terlaksana dengan hikmat.

KH Muhammad Yusuf Chudlori, penggagas acara dalam sambutan atasnama panitia mengemukakan bahwa tradisi Jauharul Muhaarram yang digelar di kawasan Asrama Perguruan Islam Ponpes Tegalrejo sejak 10 tahun silam merupakan upaya masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus berharap agar tahun depan segalanya menjadi lebih baik.

“Ketika bencana bertubi-tubi melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini berupa banjir, tanah longsor, dan angin kencang kita manusia diharapkan selalu mengingat kekuasaan Allah SWT,” katanya.

Acara yang digelar secara sederhana dengan acara dan menu ala orang desa ini, kata Gus Yusuf, merupakan ikhtiar membumikan nilai-nilai Islam dengan cara dan selera orang desa. Orang desa yang mempunyai kecenderungan guyub-rukun (komunalitas) harus bisa kita manfaatkan untuk hal-hal positif. Menggelar doa secara bersama, selain untuk memperdalam rasa pasrah kita di hadapan Allah, juga agar tali silahturahim antar orang desa selalu terjaga.

Sementara itu, KH Muhammad Najib (Gus Najib dari Paculgowang Jombang) yang mengisi mau’idhoh hasanah mengatakan bahwa tradisi suran (memperingati tahun baru Islam ala Jawa) merupakan tradisi Islam yang hadir di Indonesia dengan warna lokal. Kita jangan sampai terjebak pada perayaan suran yang justru keluar dari nilai-nilai Islam bahkan cenderung mengarah ke syirik (menyekutukan Allah). Banyak tradisi suran, khususnya di Jawa, yang bisa dikategorikan syirik. Titik tolak tradisi suran adalah merayakan bulan ‘Asyura.

“Karena orang Jawa sulit melafalkan ‘Asyura, maka disebut suran dan bulan bersangkutan disebut Sura. Ini harus tetap kita jaga. Di sinilah makna Islam yang tidak menghilangkan warna lokal. Justru ingin terus menghidupkan secara Islami tanpa meninggalkan khas lokal, seperti Jauharul Muharram di Tegalrejo sini,” katanya.

Acara yang disiarkan live oleh Radio Fast (96.4 FM) ini ditutup pada pukul 21.30 dengan bacaan doa sapu jagat dan doa akhir tahun oleh KH Abdurrahman Chudlori (pengasuh Asrama Perguruan Islam/API Pondok Pesantren Tegalrejo). Seusainya, jamaah pulang dengan hati tenang menatap hari esok dengan penuh harapan. Jiwa dan hati berada dalam perasaan aman-tentram. (kholilul rohman ahmad/arif hidayat)

Caption foto: JAUHARUL MUHARRAM KE-10. Sejumlah ibu di antara ribuan jamaah dari berbagai daerah terlihat sedang melafal do'a akhir tahun dalam acara Jauharul Muharram X di GOR Tepo, Dlimas, Tegalrejo, Magelang, (9/1/2008) sore yang dipimpin oleh KH M Sholihun. Ritual dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun.(foto/teks: kholilul rohman ahmad)

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/01/jauharul-muharram-di-jawa-melokalkan.html

No comments:

Post a Comment