Saturday, March 26, 2011

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore (9/1/2008) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci.

Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi.

Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah untuk mengakhiri tahun 1428 dan mengawali tahun 1429 hijriyyah. Acara dimulai pada pukul 16.15 menit dengan membaca doa akhir tahun hingga waktu maghrib tiba.

Bacaan yang dilafalkan antara lain istighfar, shalawat nariyyah, dan doa khusus akhir tahun yang disuarakan jamaah dengan nada setengah keras sehingga gemuruh ribuan jamaah menggelegar di tengah perkebunan salak sebuah pedesaan itu. Usai doa akhir tahun di ucapkan, jamaah melaksanakan shalat maghrib berjamaah dengan imam Kiai Sholihun, kemudian membaca Surat Yasiin sekali dan doa awal tahun. Ritual selesai dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun itu.

Mengagungkan Bulan Mulia

Namun rangkaian acara Jauharul Muharram (mengagungkan bulan mulia) ke-10 ini belum tuntas. Sebab setelah doa awal tahun dipanjatkan, jamaah dipersilahkan menikmati hidangan nasi megono (nasi sayur dicampur parutan kelapa berbumbu segar) dengan lauk tahu-tempe. Hidangan makan dibawa sendiri oleh jamaah. Tapi sebelum dihidangkan, makanan dikumpulkan terlebih dahulu oleh panitia di suatu tempat, lalu dibagikan secara acak sehingga jamaah tidak makan makanan yang dibawa sendiri melainkan memakan bawaan jamaah yang lain. Di sini makna shadaqah terlaksana dengan hikmat.

KH Muhammad Yusuf Chudlori, penggagas acara dalam sambutan atasnama panitia mengemukakan bahwa tradisi Jauharul Muhaarram yang digelar di kawasan Asrama Perguruan Islam Ponpes Tegalrejo sejak 10 tahun silam merupakan upaya masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus berharap agar tahun depan segalanya menjadi lebih baik.

“Ketika bencana bertubi-tubi melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini berupa banjir, tanah longsor, dan angin kencang kita manusia diharapkan selalu mengingat kekuasaan Allah SWT,” katanya.

Acara yang digelar secara sederhana dengan acara dan menu ala orang desa ini, kata Gus Yusuf, merupakan ikhtiar membumikan nilai-nilai Islam dengan cara dan selera orang desa. Orang desa yang mempunyai kecenderungan guyub-rukun (komunalitas) harus bisa kita manfaatkan untuk hal-hal positif. Menggelar doa secara bersama, selain untuk memperdalam rasa pasrah kita di hadapan Allah, juga agar tali silahturahim antar orang desa selalu terjaga.

Sementara itu, KH Muhammad Najib (Gus Najib dari Paculgowang Jombang) yang mengisi mau’idhoh hasanah mengatakan bahwa tradisi suran (memperingati tahun baru Islam ala Jawa) merupakan tradisi Islam yang hadir di Indonesia dengan warna lokal. Kita jangan sampai terjebak pada perayaan suran yang justru keluar dari nilai-nilai Islam bahkan cenderung mengarah ke syirik (menyekutukan Allah). Banyak tradisi suran, khususnya di Jawa, yang bisa dikategorikan syirik. Titik tolak tradisi suran adalah merayakan bulan ‘Asyura.

“Karena orang Jawa sulit melafalkan ‘Asyura, maka disebut suran dan bulan bersangkutan disebut Sura. Ini harus tetap kita jaga. Di sinilah makna Islam yang tidak menghilangkan warna lokal. Justru ingin terus menghidupkan secara Islami tanpa meninggalkan khas lokal, seperti Jauharul Muharram di Tegalrejo sini,” katanya.

Acara yang disiarkan live oleh Radio Fast (96.4 FM) ini ditutup pada pukul 21.30 dengan bacaan doa sapu jagat dan doa akhir tahun oleh KH Abdurrahman Chudlori (pengasuh Asrama Perguruan Islam/API Pondok Pesantren Tegalrejo). Seusainya, jamaah pulang dengan hati tenang menatap hari esok dengan penuh harapan. Jiwa dan hati berada dalam perasaan aman-tentram. (kholilul rohman ahmad/arif hidayat)

Caption foto: JAUHARUL MUHARRAM KE-10. Sejumlah ibu di antara ribuan jamaah dari berbagai daerah terlihat sedang melafal do'a akhir tahun dalam acara Jauharul Muharram X di GOR Tepo, Dlimas, Tegalrejo, Magelang, (9/1/2008) sore yang dipimpin oleh KH M Sholihun. Ritual dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun.(foto/teks: kholilul rohman ahmad)

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/01/jauharul-muharram-di-jawa-melokalkan.html

Friday, March 25, 2011

Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967

Judul buku: Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967
Judul asli: Ulama and Politics in Indonesia a History of Nahdlatul Ulama 1952-1967
Penulis: Greg Fealy Penerjemah: Farid Wajidi, Mulni Adelina Bachtar
Penerbit: LKiS Yogyakarta-The Asia Foundation, Maret 2003
Tebal buku: xx + 438 halaman


Historiografi Kebudayaan “Jalan Tengah” Ulama Indonesia


Argumen pokok yang dibangun buku ini adalah bahwa tindakan NU dalam berpolitik sama sekali bukan tanpa prinsip; NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada “perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya” (Greg Fealy).

***

Masyarakat memandang ulama mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam kehid
upan sosial. Hal ini antara lain karena faktor sejarah penyebaran Islam di Indonesia terjadi ketika supremasi institusi khilafah (politik) sangat lemah. Memang ada lembaga politik Islam bernama sultan (: kesultanan dari Aceh hingga Nusa Tenggara) pada awal-awal Islam di Indonesia, tetapi lembaga ini tidak mempunyai legitimasi yang kokoh di dalam masyarakat Islam.

Oleh karena itu, ketika kesultanan terserap dalam sistem politik dan ekonomi kolonial, ulama membangun basis sosialnya dan semakin kokoh dengan munculnya banyak pesantren. Maka ulama tak lagi semata-mata berurusan dengan perumusan aspek-aspek doktrinal dari Islam, tetapi ia berpolitik dengan merumuskan bentuk ‘ideologis’ dari Islam, sebagai akibat dari dialog yang intens dengan lingkungan sosial politik, termasuk membentuk solidaritas umat. Sebagian kelompok ulama yang intens berpolitik itu bergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU) (M Imam Aziz, kata pengantar, hlm. xv).


Wadah NU
Bergabungnya ulama dalam sebuah wadah NU yang selanjutnya menjadi bersifat politis tak lepas dari keberadaan ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan yang sering dijadikan legitimator bagi kekuasaan. Selain itu, sebagaimana dicatat Zamakhsyari Dhofier dalam disertasi monumetalnya Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1982), karena ulama memiliki kharisma dan wibawa yang tinggi di tengah masyarakat. Kharisma dan wibawa tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan lewat proses panjang dan teruji. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pembentukannya karena sifat kejujuran, kesederhanaan, dan sopan satun. Sifat-sifat yang demikian membuat sosok kiai begitu dihargai dan dihormati oleh masyarakat.

Selama kurun waktu yang cukup panjang NU telah kenyang membangun jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) maupun bertarung di arena politik praktis. Berbagai dunia pernah digeluti dan secara kasat mata tampak berubah-ubah. Keputusan dari satu wilayah perjuangan ke wilayah lain, tentu membutuhkan kejeniusan sekaligus ketajaman berpikir dan bertindak, meskipun di sisi lain ada orang yang menganggap NU berpolitik sebagai oportunis dan tidak berprinsip.

Asumsi “Berlebihan”
Greg Fealy melalui buku ini menunjukkan bahwa kesimpulan ‘NU oportunis dan tidak berprinsip’ sangatlah berlebihan. Karena sikap NU sejak awal selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Yakni, mendasarkan diri pada fiqih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya (umat). Para elit NU selalu bersikap hati-hati, luwes, dan memilih “jalan tengah”.

Akibat seringnya NU memilih “jalan tengah”, lalu banyak akademisi mencirikan NU sebagai oportunistik. Selain itu, para pengkiritik menunjuk pada seringnya NU mengubah sikap politiknya demi menyelematkan posisinya di pemerintahan. Sebagai contoh, pada kurun 1950-an NU menyatakan komitmennya kepada solidaritas Islam, namun berulang kali membangun aliansi dengan kubu nasionalis untuk melawan Masyumi.

Namun demikian, kata Fealy, tindakan NU sama sekali bukan tidak berprinsip; NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang sudah lama dianutnya. Ideologinya didasarkan pada fiqih Sunni klasik yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para pengikutnya.

Ideologi ini menuntut kaum muslimin, terutama para ulama yang memimpin mereka, agar menjauhi segala bentuk aksi yang dapat mengancam kesejahteraan fisik dan spiritual masyarakat. Dalilnya adalah maslahah (mengejar kemanfaatan) dan mafsadah (menghindari kerusakan), amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan akhaffud dararain (memilih yang paling kecil resikonya dari dua pilihan yang sama-sama buruk) (hlm. 362).

Prinsip-prinsip ini membawa beberapa konsekuensi terhadap pendekatan politik NU. Pertama, prinsip-prinsip ini lebih menekankan perlunya bersikap hati-hati., luwes dan memilih jalan tengah karena pendekatan ini jelas tidak begitu membahayakan dibandingkan dengan sikap memusuhi dan konfrontasi.

Kedua, prinsip-prinsip ini membentuk pandangan yang realistis dengan menempatkan kekuasaan sebagai penentu utama dalam memilih strategi. Sebelum mengambil keputusan-keputusan penting para ulama harus terlebih dahulu memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan pemerintah atau kekuatan lain di masyarakat. Melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang lebih besar hanya akan memperbesar resiko kerugian bagi Islam.

Ketiga, prinsip-prinsip ini memberikan dorongan yang kuat kepada NU untuk menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah. Bila ingin menggunakan politik untuk mencapai tujuannnya, maka NU juga harus ikut memiliki andil kekuasaan dalam pemerintahan.

Penerapan prinsip-prinsip ini tampak jelas dalam pendekatan politik NU periode 1950-an dan 1960-an. Keterlibatannya dalam kabinet pertama dan kedua Ali Sastroamidjojo pada 1953 dan 1956, juga dalam Kabinet Karya 1957 dijustifikasi berdasarkan prinsip amar makruf nahi munkar. Dua pendapat ini pula yang menjadi alasan NU masuk dalam DPR Gotong Royong pada 1960 dan Nasakom. Meskipun keputusan-keputusan yang rujukan eksplisitnya dapat ditemukan dalam arsip partai, ada kemungkinan bahwa pertimbangan tersebut banyak dipakai dalam pembahasan berbagai perundingan politik penting lainnya (hlm. 363).

Ulama Tunisia, Pakistan, Persia
Perilaku para ulama NU tidak jauh berbeda dengan perilaku organisasi-organisasi lain, di manapun di dunia, yang dipimpin para ulama. Arnold Green (1983), dalam artikel tentang politik Islam di Tunisia, misalnya, menyebutkan bahwa kecenderungan kalangan para ulama untuk mendukung atau melawan suatu rezim didasarkan pada ancaman terhadap kepentingan sosial dan ekonomi umat yang kemungkinan akan timbul akibat keputusannya. Green juga mencatat bahwa ulama cenderung bersikap pasrah (permisif) bila berhadapan dengan penguasa yang kuat dan totoriter.

Pengamatan Leonard Binder (1961) atas politik di Pakistan, khususnya organisasi ulama tradisionalis Barelvi, Jamiyyatul Ulama Islam, ternyata memiliki banyak kesamaan dengan NU. Ulama Barelvi cenderung menyejajarkan pengakuan politik oleh pemerintah terhadap kekuasaannya dengan posisi dan perkembangan Islam di negaranya. Mereka juga menekankan bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan sebagai imbalan atas dukungannya.

Penelitian Ann Lambton (1983) tentang perilaku ulama Persia menunjukkan adanya sikap ambivalensi mereka mengenai kerjasama dengan pemerintah dan juga mencatat bahwa banyak ulama yang memilih untuk berkompromi sebagai sarana untuk mengikat pemerintah dan memperkukuh pengakuan bagi hukum Islam. Dan disertasi karya Fealy ini telah menunjukkan bahwa ulama NU juga dapat digambarkan dengan cara yang sama (hlm. 369).

Meskipun demikian, dengan pengertian menurut Fealy ini, sayangnya, prinsip politik NU yang mengutamakan kemaslahatan, keselamatan, dan kesejahteraan umat ini sangat jarang dijadikan rujukan. Orang lebih suka melihat sekilas atas perilaku para elit politik NU yang kemudian dijadikan justifikasi: “itulah NU yang oportunis, NU yang tidak berprinsip, dan NU yang mencari selamatnya sendiri”.

Dilema bagi Ulama
Dan hal ini memang diakui oleh Fealy, bahwa posisi dan sikap demikian kerap menimbulkan dilema bagi ulama. Di satu sisi, tugas dan wewenangnya diperoleh dari kedudukannya sebagai penyangga syariat dan pemimpin umat. Perannnya bukanlah sebagai pengatur, melainkan memberikan nasehat kepada pemerintah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan dan kesejahteraan umat Islam. Bahkan peran tersebut sering menyeret mereka ke dalam konflik dengan pemerintah. Otonomi ulama dari negara karena itu menjadi kondisi ideal yang dijunjung tinggi, karena otonomi akan membuat mereka lebih leluasa memenuhi kewajibannya terhadap Islam dan masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah memerlukan kerjasama dan legitimasi keagamaan dari ulama dan pemerintah, pada umumnya, juga memiliki kekuasaan untuk memaksa ulama agar bersedia memenuhi tuntutannnya. Bagi ulama, hubungan baik dengan pemerintah tidak saja hanya dapat memberikan perlindungan terhadap berbagai bentuk tekanan, tetapi juga dapat mendatangkan hak-hak istimewa, berbagai sumberdaya dan pengaruh yang dapat digunakan untuk pengembangan pendidikan Islam, layanan sosial, dan penegakan hukum agama. Budaya dan tradisi intelektual para ulama telah membuat mereka cenderung bersikap konservatif, mempertahankan status quo serta menghormati penguasa –unsur-unsur yang bukan hanya menopang prestise para ulama, melainkan juga pemerintah (hlm. 370).

Abdurrahman Wahid dalam buku Muslim di Tengah Pergumulan (Jakarta: LAPPENAS, 1981, hlm. 66) memandang bahwa kalau setiap kali ulama memberi dukungan kepada pemerintah, lalu disebut ada muatan politisnya, ini tentu tidak sehat lagi. Praduga-praduga seperti ini justru sudah menyesatkan dan akan membahayakan bagi masyarakat. Padahal kalau mau jujur, apa yang dilakukan ulama bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Dan yang lebih penting lagi, agama mengajarkan agar ulama dan pemerintah bisa menjalin kerjasama yang baik antara ‘ulama dan umara’ (pemerintah), maka berbagai persoalan yang melanda bangsa akan bisa diatasi. Tapi kalau ulama selalu dipertentangkan dengan umara’, maka justru kelamlah yang akan terjadi.

Ulama Dipertanyakan
Bila ditengok secara seksama sedikit ke belakang, ulama di Indonesia memiliki peran signifikan dalam dinamika politik umat Islam. Namun, demikian menyimak pengalaman Pemilu 1999, eksistensi ulama (-ulama tertentu) justru dipertanyakan. Beberapa kasus, seperti himbauan politik dari lembaga keulamaan (MUI) yang ditujukan kepada massa politik Islam agar tidak memilih partai politik dan caleg non-Muslim, merupakan picu konflik yang mencemaskan. Selain himbauan tersebut tidak efektif, terbukti partai-partai Islam kalah, berbagai kalangan memandang bahwa langkah tersebut tidak mendukung proses demokratisasi (M Alfan Alfian, "Memahami Polarisasi Politik Ulama", Kompas, 25/08/1999).

Mengapa himbauan itu bisa muncul? Selain signifikansi tersebut, kukuhnya sikap ulama bukan berarti tanpa resiko. Jika berdasarkan buku ini digambarkan bahwa sikap politik ulama selalu mengambil “jalan tengah”, dewasa ini asumsi tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan gambaran ulama Indonesia. Sebab kenyataan ada pergeseran otoritas, atau setidaknya, ada kelompok ulama yang “setia di garis politik sampai mati”.

Lima Resiko Ulama
Atas sikap ini menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip M Alfan Alfian (Ibid) ada lima resiko yang harus dihadapi: Pertama, resiko perpecahan umat. Dalam konteks ini adalah konflik atau pertikaian terbuka yang melibatkan kekerasan antarmassa pendukung partai berbasis umat Islam yang telah terbukti pada Pemilu 1999 (kasus perkelahian massa PPP-PKB di Dongos Pati Jawa Tengah hingga berakibat korban nyawa, salah satu contoh). Sementara itu dulu, dalam Pemilu 1955 –tatkala pertikaian nyaris tak berbentuk kekerasan—konflik lebih disebabkan oleh masalah-masalah furu’iyyah (perpedaan pendapat) seperti soal ijtihad, taklid, beda madzhab, qunut, talkin, dan persoalan fiqih praktis lainnya. Konflik karena furu’iyyah konon nyaris terhenti di dataran bahasa (felt conflict), namun tak sampai menuju (manifest conflict) yang diwarnai unsur kekerasan.

Kedua, resiko menguatnya subyektifitas politik. Setting politik nasional membikin masyarakat terkotak-kotak dalam warna politik yang berlainan. Mengentalnya subyektifitas kiai dalam menyikapi persoalan-persoalan politik boleh jadi lantas melupakan obyektivitas-obyektifitas sehari-hari. Akibatnya umat merasa bingung dan ‘kehilangan pegangan’ yang pasti. Atau, bahkan di sisi lain umat semakin fanatik membela kotak-kotak politik yang membingkainya, apalagi setelah memperoleh legitimasi dari para kiai. Kotak-kotak politik pun makin menajam, apalagi akan tambah seru dan mencemaskan bila egoisme politik dan gejala komunalisme muncul.

Ketiga, resiko terkurasnya energi umat ke persoalan-persoalan non-substansial. Berpolitik memang merupakan ibadah yang perlu dipikirkan masak-masak, agar mampu melempangkan jalan menuju cita-cita ideal umat. Artinya, politik bukan persoalan sepele. Tetapi ia butuh energi yang luar biasa besar. Politik bagaimanapun sekedar jalan untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Tetapi bagi kalangan awam tentu sulit membedakan mana yang substansial dan mana yang artifisial.

Keempat, resiko kegagalan eksperimentasi politik. Pemilu 1999 merupakan eksperimentasi politik sipil terbesar di Indonesia setelah Pemilu 1955. Umat Islam merupakan mayoritas sipil yang memiliki potensi politik besar. Melihat peta politik umat Islam belakangan, untuk mencapai hal-hal yang strategis dan kompak di antara seluruh kekuatan politik Islam, amatlah sulit dan tidak gampang. Dalam konteks ini tampilnya para ulama di panggung politik memunculkan resiko yang fatal, apabila massa politik –biasanya mengerucut di level akar rumput tak mampu menerjemahkan secara rasional pesan-pesan politik yang disampaikan para kiai, sehingga yang muncul radikalisasi.

Kelima, resiko merosotnya wibawa kultural ulama. Inilah resiko yang bagaimanapun siap diterima oleh para ulama-politik. Ulama jenis ini di mata masyarakat dinilai sudah tidak mampu mengayomi semua kalangan, karena hanya membela kepada salah satu kekuatan politik tertentu saja. Bagi ulama besar semacam Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pilihannya membela PKB dan meninggalkan posisinya sebagai pucuk pimpinan PBNU untuk sementara, yang tidak langsung disambut positif oleh segenap warga NU, bahkan banyak yang menyayangkannya. Gus Dur telah menyempitkan posisi dirinya dalam lingkup mikro, dibanding posisinya dulu yang dikenal sebagai tokoh Islam kultural yang kritis terhadap kekuasaan.
***
Buku karya Greg Fealy ini berusaha membongkar dan menelanjangi kepalsuan akademik dalam kajian ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang dilakukan oleh para intelektual dunia yang selama ini dianggap mumpuni. Dalam buku ini Greg Fealy menjelaskan bahwa terdapat dua macam model historiografi Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, model penulisan yang sangat kritis terhadap NU, dapat dikatakan bahwa model ini didominasi oleh peneliti modernis. Kedua, model penulisan yang menggunakan pendekatan yang lebih simpatik, menghargai, dan memahami tradisi budaya NU.

Model kedua mengkritisi model pertama bahwa asumsi modernis yang mengabaikan peran NU tersebut disebabkan; Pertama, kedangkalan analisa, terutama dalam memahami langkah politik NU yang bersandar pada nilai hukum Islam klasik (fikih), suatu hal yang tidak dipahami dengan baik oleh peneliti kelompok modernis atau Barat.

Kedua, penelitian model pertama diawali dengan prasangka negatif, semua pandangan dari kalangan NU dianggap sebagai pembenaran yang hanya memberi bobot keagamaan atas kepentingan NU semata (hlm. 10-11). Buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama 1952-1967 ini dapat dikategorikan dalam model penulisan kedua.

Buku karya postgraduate ini mencoba menggali peranan ulama NU dengan proses penelitian melibatkan kiai dan pesantren secara langsung. Pelibatan ini dimaksudkan bukan sekedar sebagai penambah-penderita, melainkan sebagai penyempurna dan penjelas atas fenomena keulamaan di Indonesia yang kian tergerus zaman. Maka tak berlebihan jika buku ini dinilai sebagai sebuah karya yang menggugat otoritas palsu di balik baju akademik terhadap karya-karya NU sebelumnya yang tak melibatkan dua entitas itu.

Melalui buku ini Fealy ingin mengemukakan bahwa wibawa para ulama tetap terjaga di masyarakat sepanjang sejarah karena selalu mengayomi masyarakat sesuai doktrin teologis (Islam) pada situasi apapun. Itu dulu. Namun sekarang ketika digelar Pemilu 2004 berupa pemilihan presiden secara langsung ternyata banyak ulama --yang seharusnya berperan sebagai cendekiawan penjaga moral bangsa dan netral secara politik alias tidak bersikap dukung-mendukung—terlibat secara langsung maupun tidak dalam aksi politik praktis. Beberapa di antara mereka tidak teguh dalam bersikap secara politik dan tidak kuat oleh godaan kekuasaan yang ‘menggiurkan’. Menurut Azyumardi Azra, yang demikian ini termasuk dalam kategori “pengkhianatan cendekiawan” karena ulama/kiai termasuk cendekiawan (Kompas, 25/06/2004, hlm. 6).

Akhirul kalam, bagaimanapun, di tengah kebisingan politik praktis antar kelompok saling berebut kekuasaan, diharapkan ulama dapat melakukan penyesuaian diri untuk menjalankan tugas sebagai penjaga keseimbangan masyarakat. Sebab sejarawan akan menjelaskan kepada masyarakat kejadian yang telah berlangsung ini agar generasi berikutnya dapat mengambil pelajaran yang baik bagi masa depan mereka.<::>

Kholilul Rohman Ahmad, Alumnus Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jatim; Pustakawan dan penikmat kebudayaan tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah

Keterangan foto: Sebuah tangan memegang handphone berfasilitas kamera sedang mengambil gambar para kiai sedang bai'at dalam acara Istighatsah, Deklarasi, dan Pelantikan DPW&DPC PKNU Se-Jawa Tengah di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Juli 2007.

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/03/ijtihad-politik-ulama-sejarah-nahdlatul.html

Thursday, March 24, 2011

Menggugat Tradisi-Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU

Judul: Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU
Editor: Zuhairi Misrawi

Pengantar: Prof Dr Nurcholish Madjid dan KH Masdar F Mas’udi
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Cet. I, September 2004
Tebal: xxviii+298 halaman tanpa indeks


Pergulatan Pemikiran di Tubuh NU


Tahun 2003 pada bulan Oktober, Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar Pemikiran Islam di NU (MPI-NU) di Situbondo, Jawa Timur. Forum ini menjadi majelis pertukaran dan perdebatan pemikiran Islam di NU di mana hasilnya termuat lengkap dalam buku Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU ini.

Laode Ida dalam NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (2004) menyebut langkah semacam ini sebagai progresif. Menurut Masdar F Mas’udi, progresifitas NU tak lepas dari nalar liberalitas. Sebab, setidaknya, dalam dua puluh lima tahun belakangan ini NU intens menggunakan cara pandang Islam bukan sebagai ideologi melainkan sebagai konsep etika transendental-fundamental, sebagaimana dideklarasikan dalam MPI NU. Kebanyakan, progresifitas ini diperlihatkan oleh kaum mudanya.

Berbeda konsep ideologi, Islam sebagai konsep dan kesadaran etis bersikap kritis terhadap kekuasaan dan sistem sosial (ekonomi, politik) yang dibangun dengan interes kekuasaan sebagai tujuan. Bahwa kekuasaan sebagai realitas sosiologis tidak seharusnya dipandang sebagai ‘syahwat’ untuk kemudian diperebutkan dengan segala cara.

Maka diskusi dalam MPI NU dibahas visi Islam sebagai konsep etika dalam subtopik ini, antara lain: epistemologi konsep baik buruk; kedudukan nalar (aql) dan wahyu (naql) sebagai sumber otoritas yang berwenang memutuskannya. Metodologi pemahaman teks (nash) yang dapat menangkap pesan-pesan etik-moral dari agama yang berbeda dengan pesan-pesan ideologis yang hanya mampu menangkap pesan hukum (legal) yang cenderung eksklusif; dan kerangka strategi transformasi sosial yang bermuara pada langkah-langkah praksis pembebasan (hlm. xxiv-xxv).

Di masa reformasi NU menunjukkan identitas sebagai kantong pemikiran Islam yang cukup berwibawa. Bukan hanya itu, pemikiran-pemikiran tersebut bermetamorfosis menjadi kekuatan transformatif. Pemikiran keagamaan progresif komit melakukan pemberdayaan dan kerja-kerja pembebasan. Menurut Zuhairi Misrawi, secara kultural, pemikiran progresif di lingkungan NU merupakan produk pergulatan NU dengan masyarakat sipil (civil society) akibat kembali ke khittah, terutama mendorong NU menjadi lokomotif civil society di Indonesia. Bukan hanya itu, NU telah mempertahankan dan mengembangkan watak kemoderatan dan kerakyatan.

Kenyataan ini bermula dari pergulatan antara agama dan realitas yang dinahkodai NU menginspirasikan dialektika dinamis dan fungsional antara yang profan dan sakral. Sebab Islam tidak hanya dipahami sekumpulan nilai yang melangit dan mengawang-awang, melainkan ajaran yang terlibat dalam pergulatan realitas dan problem kemanusiaan. Di sinilah watak Islam bersifat transformatif, moderat, dan progresif sebagai upaya mengakomodasi masyarakat-masyarakat lokal agar mendapatkan ruang yang sama dalam konteks mengekspresikan diri, berdemokrasi (hlm. 5) dan, kata Masdar F Mas’udi, memandang beragama dari realitas dan problem kemanusiaan (hlm. 18).

Tafsir atas Islam, sebagaimana dilakoni anak muda NU dalam buku ini, merupakan salah satu peran yang bisa dilakukan terhadap doktrin-doktrin keislaman. Tradisi berpikir dan berjihad sudah dilakukan oleh ulama sejak dulu, dan apa yang dilakukan sebenarnya melanjutkan tradisi mereka. Di sinilah mereka mencipta ruang berpikir secara bebas mengacu hadits Nabi SAW: “jikalau ijtihad itu benar, maka sudah barang tentu kita mendapat dua kehormatan. Tapi bila sebaliknya, salah, toh masih dapat satu.”

Dengan demikian terlihat visi kerakyatan bukan sekedar membalikkan teosentrisme ke antroposentrisme, tetapi juga mengupayakan pemahaman dan sikap keberagamaan yang lebih fleksibel. Sehingga kehadiran sosiologi, antropologi, filologi, biologi, dan ilmu-ilmu lain untuk menyelesaikan pelbagai persoalan kontemporer sangat dibutuhkan dengan tetap berada dalam koridor tanpa meninggalkan tradisi (turats) (hlm. 177).

Menariknya, buku ini tidak berisi nalar pemikiran NU yang satu arah alias hegemonik, namun tetap mengacu pada sifat dinamis dan inklusif sebagaimana terekam dalam buku yang terbit menjelang Muktamar ke-31 di Solo (mulai 28 November 2004). Buku ini menjadi sebuah dokumentasi yang sangat akomodatif sebagai upaya menggalang kekuatan melalui gerakan pemikiran, bukan gerakan kekerasan dan atau kekuasaan.* -kholilulrohman@yahoo.ca

  • Keterangan foto: KH Muzakki Saifurrahman sedang menelaah sebuah kitab kuning sebagai sumber rujukan dalam sebuah acara bahtsul masail fiqhiyyah dengan bahasan "apakah hadiah haji mewajibkan penerimanya wajib haji?" di Masjid Jami An-Nur Karanggeneng, Payaman, Magelang, Jawa Tengah, Januari 2007
Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/03/menggugat-tradisi-pergulatan-pemikiran.html

Wednesday, March 23, 2011

"Kaum Sarungan" dalam Pergaulan Politik

Judul buku: Komunikasi Politik Nahdhatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif
Penulis: Asep Saeful Muhtadi

Penerbit: LP3ES, Jakarta, Desember 2004

Tebal: xxxiv + 296 halaman (termasuk indeks)

Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad (Pustakawan, alumnus Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jawa Timur)



Buku ini menganalisis dinamika politik ormas NU (Nahdlatul Ulama) dari sudut pandang komunikasi. Penulis menggunakan sampel NU sebagai kajian utama buku ini karena NU mempunyai basis warga yang signifikan untuk bahan kajian, selain dinamikanya selama bergelut di dunia politik telah banyak merasakan asin-manis-pahitnya. Gagasan utama buku ini terletak pada analisis atas keunikan faktor-faktor politik yang ikut mempengaruhi dinamika politik dalam konteks komunikasi, antara lain: kiai, pesantren, massa nahdliyin, dan adagium (bahasa) yang dipakai.

Faktor-faktor ini menjadi satu-kesatuan komunikatif yang utuh dan jarang dimiliki ormas lain ketika situasi politik menghendaki untuk bergerak. Selain itu, melalui buku ini penulis menganalisis pemikiran, kegiatan, peran, serta pola-pola komunikasi politik yang dimainkan NU selama Orde Baru berkuasa di Indonesia hingga Abdurrahman Wahid menjadi presiden (1970-an sampai 2001).

Keunikan Ekspresi Politik NU

Dinamika sosial politik NU dalam kerangka Islam politik di Indonesia menarik dikaji bukan saja karena faktor pengikut yang besar, tetapi juga karena kenyataan bahwa sebagai organisasi sosial keagamaan, NU bukan hanya menampilkan Islam sebagai agama ritual, tetapi juga mengekspresikannya dalam bentuk kekuatan-kekuatan yang hampir selalu terlihat dalam pergumulan politik di Tanah Air.

Kenyataan ini semakin menarik untuk diteliti karena keunikan ekspresi politiknya yang cenderung tidak konstan. Berkenaan dengan keputusan kembali kepada Khittah 1926, misalnya, NU telah menyatakan tidak berpolitik praktis di satu pihak, tetapi di pihak lain, PBNU secara terbuka telah membidani lahirnya satu partai politik menjelang pemilu 1999 bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Inilah salah satu bentuk keunikan komunikasi yang berhasil diperankan NU.

Menurut penulis (Asep Saeful Muhtadi) dalam kerangka sistem politik, realitas politik yang diperankan NU selama ini menggambarkan adanya proses dan fungsi yang dilaluinya sesuai dengan tuntutan situasional. Dan semua fungsi yang ditampilkan oleh suatu sistem politik, seperti sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, pembuatan dan penerapan serta penghakiman atas pelaksanaan peraturan, dilaksanakan melalui sarana komunikasi.

Lewat komunikasi inilah, NU kiai, serta para pemuka agama lainnya menanamkan sosialisasi politik. Para pemimpin kelompok kepentingan, wakil-wakil dan pemimpin partai di kalangan NU melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi politik mereka dengan mengomunikasikan tuntutan dan rekomendasi untuk dijadikan kebijakan organisasi.

Demikian pula halnya yang terjadi di tingkat bawah. Setiap tindakan dan perilaku politik yang diperankannnya didasarkan pada informasi yang mereka terima, dan saling dikumunikasikan di antara mereka sendiri dan dengan unsur-unsur lainnnya yang terlibat dalam sistem politik.

Proses komunikasi sosial yang berlangsung baik secara kultural maupun struktural seperti ini yang telah mengantarkan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini pada realitas politik yang seringkali dinilainya sangat dilematis.

Berkaitan dengan realitas tersebut, terdapat beberapa unsur komunikasi yang menyiratkan fungsinya yang masih belum jelas diketahui. Keterkaitan antara proses komunikasi dengan sikap dan perilaku politik di lingkungan organisasi NU, misalnya, dalam banyak hal menarik dikaji, terutama untuk mengungkap lebih jauh tentang hubungan-hubungan kausalitas di antara faktor-faktor tersebut (hlm. 3).


Berkenaan relasi-relasi dinamis antara negara di satu pihak dengan sikap dan perilaku politik NU di pihak lain, buku ini secara spesifik mengungkap sisi-sisi menarik dari dimensi-dimensi komunikasi yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran sikap dan perilaku politik NU. Fokus analisis ini juga dimaksudkan untuk menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan hubungan antara kekuatan politik NU dengan negara, dari konfrontatif menjadi akomodatif, atau sebaliknya.

Karena itu, pada setiap komunitas terdapat budaya komunikasi yang menjadi salah satu identitasnya, khususnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan interaksi dan pertukaran informasi yang mewarnai kehidupannya. Termasuk dalam hal ini komunitas beragama yang juga memiliki ciri-ciri tersendiri bagaimana mereka memainkan peran-peran komunikasi, baik di antara sesamanya (in-group) maupun ketika berhubungan dengan komunitas yang ada di luar dirinya. Ciri-ciri itu tentu saja berbeda dari komunitas lain pada umumnya yang juga memiliki ciri tersendiri dalam berkomunikasi (hlm. 17).

Buku ini memberi kesimpulan bahwa budaya komunikasi kaum nahdliyin secara umum berakar pada pandangan religius ahlussunnah wal jamaah (Aswaja), yang menjadi dasar semua perilaku organisasi, termasuk perilaku politiknya. Karakter Aswaja yang mengutamakan keseimbangan orientasi dalam memahami ajaran (Islam) ini pada hakikatnya merupakan aliran tengah dari dua kutub besar jabariyyah (fatalistik) dan qadariyah (rasional). Konsekuensinya, watak komunikasi politik NU berlangsung di antara dua kubtun pemikiran: radikal dan akomodatif.*

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/03/komunikasi-politik-nahdhatul-ulama.html

Tuesday, March 22, 2011

KH.achmad Siddiq: Khitthah Nahdliyyah

17/06/2006

Hasil Penggalian Otentik atas Jatidiri NU

Peresensi : Rijal Mumazziq Z *

Dalam pejalanan NU selama 80 tahun, Khitthah 1926 yang merupakan landasan dasar pergerakan NU adakalanya mengalami sebuah masa ketika rumusan yang meneguhkan NU hanya merupakan organisasi sosial keagamaan murni (jamiyyah ijtimaiyyah diniyyah mahdhah) sedikit terlupakan. Sebab, dengan dinamisnya pergerakan NU, bukan tidak mungkin jika kemudian organisasi ini mengadakan sebuah langkah akomodatif dengan situasi dan kondisi agar lebih shalih li kulli zaman wa makan (relevan di setiap situasi dan kondisi).

Hingga kemudian, sejarah mencatat bahwa NU bermetamorfosis menjadi sebuah partai politik. Tak pelak, akibat persinggungan NU dengan dunia politik yang semakin kompleks, nada sumbang kian bergema akibat semakin terkurasnya perhatian NU ke wilayah politik daripada membuktikan diri sebagai ormas sosial keagamaan murni.

Inilah yang kemudian melatar belakangi beberapa kader menggali dan merumuskan kembali Khitthah NU yang sempat ter(di)abaikan. Secara historis, keputusan penguasa orde baru yang melebur partai-partai Islam (termasuk NU) dalam satu wadah bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan titik klimaks yang mencederai kiprah NU di panggung politik nasional.

Akibatnya, Partai NU yang sebelumnya mendapatkan suara signifikan dalam pemilu 1971 menjadi keok saat berfusi di dalam tubuh PPP. Hingga kemudian arus yang berkembang dalam tubuh PPP faksi NU mengalami sebuah kekecewaan akibat dominasi faksi MI (yang beranggotakan politisi PSII dan Parmusi.

Dari pengalaman yang membuktikan NU bukan lagi (menjadi) sebuah organisasi sosial religius inilah, kemudian. Almaghfurlah KH. Achmad Shiddiq menggali (meminjam bahasa Bung Karno) dan merumuskan kembali landasan pergerakan NU yang sempat tertimbun selama puluhan tahun. Wacana kembali ke Khitthah 1926 ini mencapai puncaknya saat berlangsung Muktamar NU ke-27 di Asembagus Situbondo. Namun, secara genetis, embrio gagasan kembali ke Khitthah 1926 ini sebenarnya lahir saat Muktamar ke-26 di Semarang yang dicetuskan oleh KH.Achmad Siddiq, meski saat itu belum menjadi acara pembahasan, apalagi keputusan. Lalu bagaimana sebenarnya hasil penggalian KH. Achmad Siddiq atas rumusan Khitthah 1926 tersebut?.


Dalam buku yang ditulis pada 1979 ini, (diterbitkan kembali oleh Penerbit Khalista setelah sempat “tertimbun” beberapa tahun), terungkap betapa luhurnya cita-cita yang diperjuangkan oleh founding fathers NU. Dalam risalah (demikianlah kiai asal Jember ini menyebut buku ini) yang sempat dibagikan dalam Muktamar ke 26 di Semarang ini, terdapat sebelas poin utama yang menjadi titik tekan NU dalam bergerak dan berorganisasi, diantaranya, ciri diniyyah, kedudukan ulama, Ahlussunnah wal jamaah, bahaya-bahaya bagi kemurnian ajaran Islam, sistem bermadzhab, karakter tawassuth wal I’tidal, pola berorganisasi, konsepsi da’wah, ma’arif dan mabarrot (sosial), ekonomi muamalah dan diakhiri dengan rumusan Izzul Islam wal Muslimin.

Dalam “Pencerminan dan Penjabaran Ciri Diniyyah” (sub bab Ciri Diniyyah), KH. Achmad Siddiq mengemukakan bahwa ciri diniyyah NU tercermin dalam beberapa hal seperti, didirikan atas motif dan asas serta cita-cita keagamaan, yaitu izzul Islam wal muslimin menuju rahmaan lil alamin, sehingga segala sikap, tingkah laku dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan serta diukur dengan norma hukum dan ajaran Islam. Lebih lanjut, KH. Achmad Siddiq menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama menitikberatkan aktivitasnya pada domain yang berinteraksi langsung dengan religiusitas, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, da’wah, maarif, serta muamalah (hal 15). Jadi dari pemaparan ini, dapat terbaca jika aktivitas di bidang lain dibatasi sekedar mendukung dan memenuhi persyaratan perjuangan keagamaannya.

Begitu pula saat KH. Achmad Siddiq mengulas tentang karakteristik urgen Nahdlatul Ulama, yaitu al-tawassuth wa al-I’tidal. Beliau lebih dulu menyitir Surat al-Baqarah ayat 143 sebagai penopang karakter at-Tawassuth, serta Surat al-Maidah ayat 9 yang menjadi tiang pancang sikap I’tidal, yang kemudian disertai dengan kutipan Surat al-Hadid ayat 25 sebagai dasar atas sikap at-Tawazun Nahdlatul Ulama.

Selanjutnya beliau pun mengulas bahwa sikap at-Tawassuth (termasuk al-I’tidal dan at-Tawazun) bukanlah sikap serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan berarti mengucilkan diri dari menolak persinggungan dengan semua unsur (hal 62). Bagi KH. Achmad Siddiq, prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam harus diterapkan di segala bidang, supaya agama Islam serta ti

http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8249

Friday, March 18, 2011

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44) Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.

2. Syari’ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht’i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/karakter-tawassuth-tawazun-itidal-dan.html
http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/04/21/karakter-tawassuth-tawazun-itidal-dan-tasamuh-dalam-aswaja/

Hasan Hanafi: Islam Adalah Pandangan Moderatisme

Oleh Administrator
Sabtu, 06 November 2010 02:21

Kairo-, Kamis 4/11/10, LAKPESDAM Mesir sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia di lingkup kader NU Mesir, mengadakan Simposium di Auditorium Shalah Kamil dengan mendatangkan Prof. Dr. Hasan Hanafi, pemikir revolusioner Mesir. Acara yang juga disiarkan secara langsung oleh radio NUR Mesir ini dimoderatori langsung oleh koordinator Lakpesdam, Ahmad Hadidul Fahmi, dan hendak mengupas tuntas tentang gerakan-gerakan Islam kontemporer, berikut pola interaksi yang baik dengan mereka. Acara ini bertema Hiwâr ma`a al-Harakât al-Islâmiyyah al-Mu`âshirah”.

Tema yang diusung sebagai bentuk respon terhadap beberapa kelompok Islam pergerakan yang muncul dengan orientasi yang cukup beragam, dan tak jarang menjurus pada aksi anarkis. Meski demikian, Hasan Hanafi menghimbau agar tidak menggunakan istilah-istilah yang provokatif dan cenderung menyudutkan, apalagi yang mengarah pada ‘sikap justifikatif’ atas kelompok-kelompok tertentu, seperti teroris (irhâb) ataupun ekstrim-radikal (tathrarruf), paparnya. Karena sejatinya, realitas sendiri adalah sikap (al-wâqi` huwa al-tatharruf). Sehingga, menyeruaknya berbagai gerakan Islam ditengah riak-riak fenomena sosial modern, dengan piranti pembacaannya yang berbeda, aksiomatis akan memunculkan sikap yang beragam pula.

Perbedaan pendapat di berbagai kalangan inilah yang seharusnya menyadarkan umat Islam untuk senantiasa membuka kran dialog, bukan semacam pendekatan-pendekatan dogmatis-ideologis. Setidaknya, dengan dialog, tidak ada ‘aksi justifikatif’ dari satu kelompok terhadap yang lain, sehingga kemunculannya tidak hadir dalam bentuk yang –paling- arogan. Karena yang terpenting, bukan bagaimana memaksa perbedaan digeret pada bentuk tunggalitas epistemik, tapi membuat suatu wadah yang mampu mendialogkan berjubel corak paradigma yang diusung masing-masing kelompok. Yaitu, bagaimana semuanya mampu memberikan solusi terhadap fenomena tersebut, bukan malah menambah runyam tatanan peradaban.

Namun sangat disayangkan, sikap dogmatis-ideologis, arogansi teologis hingga budaya saling meng-kafir-kan masih menjadi trend beberapa gerakan Islam. Fenomena pergerakan ini telah menghadirkan Islam sebagai agama ‘seram’. Bagi Hasan Hanafi, walaupun mereka cenderung keras dan rigid, tapi sepatutnya tak lantas berhenti berdialog dengan mereka. Karena terbentuknya disharmonitas antar gerakan tersebut, ditengarai sebagai ekses dari ekslusivitas paradigma berpikir yang menyeruak. Sehingga dengan dialog yang intens, akan sedikit-banyak mereduksi paradigma tersebut, tanpa harus ada sikap saling meng-kafir-kan. Karenanya, “apabila seseorang mengucapkan kalimat syahadat, dan ia masih dalam tataran ‘berpikir, orang tersebut masih Islam”, tegasnya. Untuk itu, perlu adanya reinterpretasi terhadap Islam, karena Islam bukan hanya agama, tapi juga sejarah, peradaban dan solusi.

Berpijak pada kenyataan bahwa Islam bukan hanya Agama, Hasan Hanafi mencoba mewacanakan, hendaknya Islam dibumikan pada tempat dan kondisi tertentu, melalui penyesuaian dengan kultur-budaya masyarakat setempat. Hal ini seperti apa yang sudah dipraktekkan melalui pesantren-pesantren yang bertebaran di Indonesia. Peranan pesantren ini telah menjadikan tranformasi Islam lebih cepat dan mudah diterima oleh banyak kalangan di tanah Jawa –khususnya. Pendekatan Islam kultural ini –bagi Hasan Hanafi--adalah potret Islam yang membumi. Menurutnya, Islam yang membumi merupakan representasi Islam yang tidak hanya berkutat pada struktur, tapi lebih mengedepankan kultur. Bahkan disinggung di awal pembicaraannya, bagaimana sikap-sikap Gus Dur terhadap setiap fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Dia juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para kader NU yang mampu berdinamika dengan baik dan konsisten dalam bidang keilmuan di Indonesia. Bagi Hasan Hanafi, Indonesia adalah percontohan Islam kultural. Menurutnya, Indonesia adalah ka`bah Islam di Asia, sebagaimana Mesir ka`bah Islam di dunia Arab (Indonesia ka’bah al-Islam fi Asia kamâ anna Mashr ka’bah al-Islam fi duwal al-‘arabiyyah).

Selanjutnya, Hasan Hanafi memaparkan bahwa gerakan-gerakan Islam berakar dari imperialisme Barat sebagai faktor eksternal (al-mil al-khârijiy) kemunculannya. Faktor eksternal ini tak hanya terjadi di Negara Arab, melainkan juga di Indonesia. Disamping itu, pelbagai ‘benturan pemikiran’ dalam tubuh umat Islam ditengarai sebagai faktor internal (al-mil al-dâkhiliy) yang melandasi gerakannya. Maka, gerakan Islam (al-harakât al-Islâmiyah) sejatinya merupakan fenomena sosial yang terlahir dari faktor-faktor yang melingkupi, baik eksternal ataupun internal.

Dari perbedaan latar belakang kelompok pergerakan tersebut, seruan mereka sebenarnya berkisar pada; Pertama, Islam adalah solusi (al-Islam huwa al-hâll) untuk pelbagai ketimpangan sosial. Kedua, Islam adalah alternatif (al-Islam huwa al-bâdil). Pada saat masyarakat merasa sistem sosialisme gagal, kapitalisme ambruk, mulai muncul perasaan bahwa Islam adalah alternatif terbaik dari sistem itu semua. Ketiga, kedaulatan Tuhan (al-hâkimiyah liLLah); berawal dari model kepemimpinan manusia (basyar) yang gagal, mereka pun mengembalikan pada Tuhan sepenuhnya. Keempat, penerapan Syariat Islam; mereka merasa dengan penerapan syariat Islam akan bisa merubah keadaan menjadi lebih baik. Sayangnya mereka selalu berpijak pada pembacaan Islam klasik, dengan mengabaikan sekat ruang-waktu. Sehingga yang muncul adalah paradigma pembacaan Islam yang arogan, baik arogansi teologis maupun fikih. Tentunya, sikap eksklusif dan anti dialog ini seringkali berakhir dengan kekerasan. Padahal, dimensi ruang-waktu ini sangat diperhatikan Islam, dengan hadirnya konsep nasikh-mansukh yang sangat berkelindan kuat dengan konsep mashâlih. Konsep ini sangat penting agar terbentuk relevansi agama dengan fenomena sosial.

Sejatinya, Hassan Hanafi tak mengingkari seruan-seruan tersebut, tapi harus ada reinterpretasi akar epistem yang dikembangkan gerakan-gerakan tersebut pada beberapa sisi yang mulai keropos digerogoti masa. Hingga akhirnya, Islam hadir seperti apa yang dicita-citakan, menjadi rahmat bagi seluruh peradaban manusia seutuhnya. Hasan Hanafi kemudian mencontohkan kelompok IM (ikhwân al-muslimîn) dan Hizbu Tahrir Indonesia –dalam konteks Indonesia, dan beberapa gerakan lainnya. Seruan khilâfah yang digaungkan beberapa kelompok Islam tersebut--dengan bertendensikan pada pola pemerintahan awal Islam untuk kemudian diterapkan pada sosio-kultur masyarakat modern--sangatlah cacat secara epistemik. Untuk itu, harus dibedakan terlebih dahulu antara gerakan Islam politik (al-harakât al-siyâsiyah) dengan gerakan agama (al-harakât al-dîniyyah). Baginya, baik IM maupun HTI sejatinya bukanlah gerakan keagamaan, tapi murni gerakan politik. Baik IM maupun HTI selalu mencari dalil-dalil agama untuk menyusun kekuatan politik. Dari sini, banyak pemaknaan ayat-ayat agama menjadi kabur dan tereduksi.

Hasan Hanafi juga memaparkan bahwa sejatinya jika berpijak pada sejarah Islam klasik, DNA ideologi mereka berkelindan dengan sekte Khawarij, yaitu sekelompok orang yang pada awalnya mendorong sahabat Ali ibn Abi Thalib untuk menerima tawaran Muawiyah ibn Abi Sufyan, terkait tahkîm (arbitrase-perundingan) di tengah berkecamuknya perang Siffîn, kemudian mereka keluar (desersi) dari barisan Khalifah Ali, setelah hasil perundingan kedua belah pihak tidak sepaham dengan mereka. Hasan Hanafi mengingatkan, seharusnya muslim mengingat fenomena sejarah kelam peradaban Islam dulu. Untuk itu, paradigma demokrasi sangatlah tepat bagi kultur masyarakat modern. Karena didalamnya, ada semangat dialog yang diusung, bukan arogansi politik, sebagaimana Pancasila yang dijadikan pijakan dasar Republik Indonesia.

Di akhir kata, Hasan Hanafi menjelaskan bahwa Islam adalah pandangan moderat (wasâthiyyah) terhadap kehidupan, bukan radikalis (tatharruf). Untuk mendekati prespektif Islam yang moderat adalah dengan cara dialog. Untuk itu, kita harus mambudayakan sikap dialog demi mencapai kebenaran, karena kebenaran akan selalu beragam, ungkapnya. Ia juga berharap, agar Nahdlatul Ulama mampu memberikan solusi untuk umat. NU harus mengembangkan konsep-konsep moderatismenya, sehingga bisa banyak memberi perubahan sosial, pungkas Hasan Hanafi.

Selepas acara, Subhan Azhari, ketua panitia Simposium Lakpesdam, ketika diwawancari LMI NU menyatakan kepuasaannya atas suksesnya acara. Terbukti, acara yang dihadiri delegasi organisasi dan kekeluargaan Masisir, serta utusan berbagai negara mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai pihak. “Tak lupa kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama seluruh pihak yang turut serta mensukseskan acara besar Lakpesdam ini”, ujarnya sembari tersenyum. (Abang Lihun)

http://lakpesdam.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35:hasan-hanafi-islam-adalah-pandangan-moderatisme&catid=4:berita&Itemid=4

Thursday, March 17, 2011

NU, Gus Dur, Moderatisme, dan Soft Power

Oleh Zacky Khairul Umam*

`Political leaders have long understood the power that comes from attractions.... Soft power is a staple of daily democratic politics.' (Josep S Nye, Jr, Soft Power, 2004:6)

ISLAM moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat Indonesia. Warga nahdiyin perlu bangga dengan hal ini.

Itu karena diakui secara mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya.

Dalam hal itu, Gus Dur lebih sering berperan sebagai `subjek'. Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacanawacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya.

Tetapi, Gus Dur dianggap lebih `islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.

Bangkit dari dalam Salah satu warisan berharga dari Gus Dur ialah `jualan' Islam dalam lanskap pemikiran yang moderat. Titik berangkat Gus Dur bermula dari isu-isu pembangunan pesantren sebagai bagian dari subkultur masyarakat. Ketika pertama kali Gus Dur memasarkan pesantren di dunia internasional, ada yang lebih berharga ketimbang mengakui pesantren sebagai salah satu lembaga independen umat muslim yang asli tradisi Nusantara. Hal berharga itu ialah cara berpikir dari kelokalan sebagai sebuah sumber pembacaan, bukan sebaliknya. Bagi Gus Dur, pesantren ialah wahana tempat olah kreasi tradisi dengan kiaikiai sebagai pimpinannya. Kiai tak sekadar sebagai `pialang budaya' seperti diungkapkan Clifford Geertz, tapi memerankan peran penting sebagai `penghasil budaya' bagi masyarakat. Gus Dur memandang pemribumian (vernacularization) ialah keperluan agar tradisi tidak tercerabut. Ketika ilmu-ilmu sosial dari Barat diimpor besar-besaran, Gus Dur malahan perlu sekali untuk melihat pesantren sebagai laboratorium hidup bagi masyarakat. Di hadapan tradisi besar keilmuan dunia, Gus Dur tidak inferior. Dia sangat percaya diri bahwa dari konteks kelokalan bisa muncul kreativitas. Tak berhenti di situ.

Kaidah ulama klasik yang hidup di pesantren, al-muhafazhatu `alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, `memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik,' sesungguhnya dipegang Gus Dur. Itu kenapa, ia tak gamang ketika harus berbicara tentang demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Baginya, itu bukan saja hal yang haram bagi umat Islam, bahkan menjadi sesuatu yang wajib justru untuk menop a n g nilai-nilai Islam yang kosmopolitan, berkeadilan, dan beradab. Dalam bahasa kaidah Islam klasik berbunyi, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib, `sesuatu yang mendesak dibutuhkan maka bersifat wajib dilakukan.'

Dalam cakrawala keislaman seperti itu, TIYOK keislaman seperti itu, Gus Dur telah membangun model `Islam moderat' yang dibutuhkan. Dalam istilahnya, hal itu adalah bagian dari teorema `Islam kita' sebagai sebuah peleburan fusi dari keislaman, kemajemukan, dan tradisi keindonesiaan. Membaca Gus Dur, dengan demikian, adalah jendela untuk melihat Islam moderat yang tidak buta dengan tradisi yang hidup, menjalin kerja sama antaragama dan multikultural, serta tidak gamang dengan perubahan tingkat global. Persis moderatisme inilah yang dikembangkan Gus Dur sebagai soft power yang perlu dijadikan sebagai kebutuhan primer dalam masyarakat demokratis saat ini. Kekuatan soft power, seperti diungkapkan Joseph Nye (2004), terletak pada daya tarik dan bujukan dari nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat. Gus Dur berhasil membangun citra Islam moderat sebagai salah satu soft power dari budaya masyarakat Indonesia dalam lingkungan mondial.

Masa depan Menyadari pentingnya pencitraan Indonesia di dunia internasional, moderatisme Islam hendaknya dipahami sebagai sebuah kekuatan diplomatik gaya soft power. Itu dibutuhkan bukan saja tantangan terorisme dan radikalisme yang mengancam, melainkan juga pergeseran geopolitik global yang melihat Asia Tenggara sebagai sebuah `pusat baru' yang selama ini dipinggirkan. Terminologi orientalis yang memandang `Islam adalah pinggiran bagi Asia Tenggara; dan Asia Tenggara adalah pinggiran bagi Islam' hendaknya dikikis habis. Setiap tradisi Islam, di mana pun, punya suara untuk menyatakan diri sebagai sesuatu yang khas dan unik.

Terutama, hal itu mengingat Islam yang selama ini dipandang selalu bersumber dari dunia Arab secara perlahan mulai berpindah untuk mencari episentrum baru model keislaman yang ramah dengan perdamaian di tengah kekuatan multipolar. Islam Indonesia, dengan jumlahnya yang terbesar di dunia disertai dengan tradisi pacifiquenya,menjadi tak terelakkan untuk dilirik di masa mendatang.

Ini peluang sejarah yang tidak bisa disia-siakan. Islam moderat tidak boleh berhenti sebatas pada meninggalnya figur-figur anutan para guru bangsa. Kini, mewujudkan Islam moderat lebih merupakan `kerja jemaah' seluruh umat muslim.

Ide-ide moderatisme, seperti disuarakan Gus Dur, sudah banyak diketahui, tinggal bagaimana menyusun penjabaran rumusan, penelaahan lebih jauh, serta pengejawantahan di lapangan.

Dari sini, Islam moderat tak hanya menjadi bagian intrinsik dari kehidupan demokratis kita, tapi akan melahirkan spektrum peradaban yang membuat bangsa menjadi maju di hari esok.

Kemungkinan itu menjadi kewajiban bersama untuk diwujudkan.

Nah, tentu saja, warisan Gus Dur yang sangat berharga itu, yakni kemoderatan Islam, menjadi penting untuk diteruskan dalam suksesi dan regenerasi di dalam tubuh Nahdlatul Ulama itu sendiri sebagai Islamic based civil society dalam lanskap pencitraan dan politik identitas di dunia global saat ini. Selamat bermuktamar!

*Wakil Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia

Sumber: Media Indonesia | Opini | Selasa 23 Maret 2010

Tuesday, March 8, 2011

Bercermin Bersama Gus Mus

29/06/2009
Judul Buku : Cermin; Kumpulan Tulisan H. Ahmad Mustofa Bisri
Penulis : H Ahmad Mustofa Bisri
Penerbit : Yayasan Mata Air, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : xi + 112 Halaman
Peresensi : Fikrul Umam MS*

Apakah cermin dan definisi tentang cermin, pengungkapan kata cermin memiliki arti yang luas, karena dengan cermin kita bisa melihat dunia bahkan melihat ketampanan wajah kita. Lewat cermin keindahan akan nampak, dan wajah-wajah teman kita juga terlihat di cermin, namun cermin tak selamanya memperlihatkan keindahan adakalanya cermin merupakan wajah buruk bagi kita.

Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas ketimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya, lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?

Buku yang penulis resensi adalah kebanyakan opini yang diterbitkan media massa. Karakteristik tulisan Gus Mus kebanyakan lebih banyak memuat tentang Agama dan Kebudayaan, keindahan kata-kata yang mengalir dan mampu menembus ruang-ruang sejuknya dalam hati ketika tulisan Gus Mus diperdengarkan merupakan wujud dakwah yang sempurna. Masyarakat membaca tulisan Gus Mus seakan-akan bertemu langsung dengan sang penulis, dan mampu membuka pikiran si pembaca untuk memahami konteks masalah yang diselesai kan Gus Mus lewat tulisan. Inilah cara dakwah efektif dan efisien di tengah bangsa yang lagi krisis moral dan krisis kepercayaan.

Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap ustadz atau kiai pesantren yang dulu mempunyai pengaruh besar di lingkungannya, dikarenakan gaya sang Kiai yang semakin elitis dan terjun ke dunia politis. Bagaimana ghiroh perjuangan NU dalam perkembangan terakhir seakan dirusak oleh beberapa tokoh NU dengan perebutan kekuasaan baik di daerah dan di pusat ibukota. Pilkada adalah salah satu bentuk keniscayaan, karena sang Kiai dimintai orasi dengan tawaran-tawaran khusus, untuk melanggengkan sang putra Kiai yang memperebutkan kekuasaan di daerah. Kondisi ini menimbulkan crash&nb sp;dengan para kiai lainnya yang juga punya ambisi besar untuk melanggengkan calon kepala daerah yang lain yang telah membayar sang Kiai.

Beda dengan KH Ahmad Mustofa Bisri yang baru saja menerima gelar Doktor (HC) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia sosok yang doyan berpolitik, Gus Mus lebih senang di daerah dan mengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, setelah sepeninggal kakaknya, Almaghfurlah KH Kholil Bisri beliau melanjutkan pesantren ayahnya yang masih berkibar hingga saat ini.

Cara dakwah Gus Mus sejalan dengan dakwah Sunan Kalijaga, begitu tanggapan Prof Dr Amin Abdullah, MA yang memberikan sambutan dalam penganugerahan gelar Doktor kepada Gus Mus. Dakwah Gus Mus mampu mengartikulasikan pesan agama yang mudah diterima oleh masyarkat Indonesia, tidaklah heran ketika pengajian Gus Mus banyak sekali masyarakat yang berbondong-bondong untuk mendengarkan ceramah Gus Mus walaupun jarak lokasi pengajian dengan rumah jauh. Inilah tanggapan positif tentang kontribusi besar pola dakwah Gus Mus yang sekarang mulai digandrungi oleh banyak penyair dan budayawan Yogyakarta.

Banyak sekali skripsi yang mengupas tentang karya-karya Gus Mus dan menjadi buku untuk diterbitkan, ini bukti keberhasilan Gus Mus dalam mebangun pola pikir mahasiswa yang dalam mengupas tulisan-tulisannya. Bahkan puisi Gus Mus tidak jarang menjuarai di level Asia maupun Indonesia pada umumnya. Inilah karya monumental yang berhasil dikumpulkan oleh Yayasan Mata Air Jakarta untuk dibaca dan diambil hikmah yang tersimpan dalam tulisan Gus Mus.

Semakin banyak membaca tulisan Gus Mus semakin peka terhadap kondiri riil masyarakat Indonesia, dan menariknya ke dalam suatu solusi positif dan aktif untuk mampu menyelami lebih dalam dan mengambil langkah-langkah yang telah diajarkan oleh Gus Mus. Semakin banyak membaca, semakin pula banyak yang didapatkan baik itu masalah sosial, agama, politik Kiai NU, maupun budaya yang sering dikupasnya. Selamat membaca!

*Peresensi adalah penikmat tulisan Gus Mus, Direktur Kajian Suro Al-Mahmudi Pati, Jawa Tengah

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18148

Monday, March 7, 2011

Kiai ”Salaf" Memaknai Sebuah Kepemimpinan

13/07/2009

Judul buku: Percikan Pemikiran Para Kiai
Penulis: Samsul Munir Amin
Penerbit: Pustaka Pesantren
Terbitan: Juni, 2009
Tebal: xiv+244 hlm
Presensi: Heri Kurniawan*


Dalam dunia kepesantrenan ada istilah Kiai Salaf dan Kiai Kholaf. Secara universal, Kiai Salaf idealnya adalah sosok Kiai yang konsisten mempertahankan tradisi-tradisi ulama terdahulu baik itu dalam pengambilan hukum, maupun prilaku keseharianya, tanpa terkontiminasi oleh adanya pertaruhan perubahan dalam era modernisasi saat ini.

Kalau kholaf adalah sosok Kiai yang telah melebur dalam era perubahan modernisme, sehingga hukum yang dibangun serta prilaku kesehariaanya telah menunjukan adaptasinya terhadap kondisi zaman. Itulah perbedaan sekilas antara Kiai Salaf dan Kiai Kholaf

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan diantara keduanya. Kiai Salafcenderung berjarak dengan politik praktis. Ini yang membuat mereka banyak disukai oleh masyarakat awam, mauidhonya banyak didengar. Ini yang menjadi kelebihan mereka dibanding dengan Kiai Kholaf yang seringkali bergesekan dengan politik praktis, dan birokrasi pemerintah Akhirnya, masyarakat awam jarang sekali menghargai keberadaan mereka. Ini yang menjadi kelemahan Kiai Kholaf.

Tapi, meskipun Kiai Salaf cenderung berjarak dengan dunia politik, kekuasaan di tingkat birokrasi pemerintah dan sebagianya, mereka tetap memiliki pandangan yang cukup otentik dengan refrensi agama yang telah ada mengenai bagaimana sebuah kekuasaan itu harus dilaksanakan.

Melalui buku ”Percikan Pemikiran Para Kiai” ini, kita akan dibuka sebuah wawasan baru dari sosok Kiai Salaf dalam memaknai arti sebuah kekuasaan, kepemimpinan, dan bagaimana pemimpin itu yang ideal untuk dipilih masyarakat awam.

Dalam pandangan KH Syaifuddin Zuhri, sosok pemimpin ideal untuk dipilih dalam pandang beliau adalah mereka yang memiliki tingkat kualitas kesabaran dan istiqamah yang kuat. Dengan dua sikap itu, Negara akan dapat membawa masyarakat menuju pada tingkat kesejahteraan.

Dalam pandangan beliau Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan sebagai saritauladan bagi kita. Nabi adalah sosok manusia yang memiliki sikap kesabaran dan istiqamah yang kuat. Melalui dua sikap ini, nabi mampu membangun masyarakat Makkah dan Madinah yang pada saat itu masih dalam keterpurukan. Budaya jahiliyah berkembang dengan kuatnya. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang tak berharga. Egaliterianisme dan emansipasi di tingkat masyarakat tidak terjewantahkan.

Namun melalui kegigihan Nabi, serta tekad yang kuat tanpa mengenal putus asa, akhirnya sanggup merubah semua itu. Egaliterianisme diberlakukan. Tidak ada yang membedakan antara miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanyalah kadar kualitas ketaqwaanyadihadapan Allah SWT.

Itulah kesuksesan Nabi sebagai sosok seorang pemimpin yang mampu mengubah kondisi masyarakat menuju tingkat kesejahteraan, dan berkeadilan sosial. Karena bagimana pun juga, kehidupan bermasyarakat adalkah prioritas dalam Islam. Seperti yang dikatakan oleh KH Ali Yafie, ciri utama manusia menurut Islam adalah hidup bermasyarakat, yakni hidup yang diselenggarakan bersama seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. (QS Al-Hujarat: 3)

Dari pijakan ini jugalah KH Moh Dahlan memaknai Negara Indonesia berideologi Pancasila sebagai bagian dari pembangunan pemerintahan secara spiritual yang tidak terbatas pada memenuhi kebutuhan akal, rekreasi, kebudayaan, dan keamanan. Hal itu sesuai dengan filsafat Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana implementasinya secara kongret ialah kehidupan beragama yang dimanifestasikan oleh amal ibadah, sifat dan karakter dari kehidupan bangsa kita, serta ruh dan semangat yang tercermin dari segala peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Yang pastinya, melalui buku ini kita dapat menziarahi berbagai bentuk dan varian pemikiran para Kiai seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, juga salah satu pendiri Organisasi Masyarakat Nahdatul Ulama (NU), KH A. Wahid Hasyim, putra beliau, KH Moh Dahlan, KH Saifuddin Zuhri, H Ali Maksum pendiri Krapyak Yogyakarta, KH Achmad Siddiq, KH M. Bisri Syansuri, dan masih banyak lagi lainya.

Melalui pemikiran beliau-beliau, kita dapat mengerti bagaimana kekuasaan dipandang oleh mereka. Tidak terbatas pada konteks masa lalu saja, tetapi konteks kekinian pun terbahas. Tiidak terbatas pada negara Islam saja, tetapi lebih luasnya juga Negara semi sekuler dan religius seperti negara kita Indonesia. Itulah sisi kebijakan beliau yang jarang dimiliki orang.

*Presensi adalah Alumni Pesantren Khozinatul Ulum Banan Gunung Rejo Kedungpring Lamongan, dan Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18420

Sunday, March 6, 2011

Biografi Intelektual Gus Dur

10/08/2009

Judul: Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Koekoesan, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 330 Halaman
Peresensi : Muhammad Yunus*

Sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin telah mengalami defisit politik. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari berbagai kekalahan strukturalnya, sejak kegagalan pencalonan presiden pada Pemilu 2004, hingga terlepasnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari otoritasnya, pada Pemilu 2009 ini. Gus Dur seakan hilang dari peta politik nasional, dan kiprahnya tinggal sejarah yang diperingati.

Namun, membincang sosok yang sering terdaulat sebagai guru bangsa ini, tak sesempit politik praktis. Senyatanya, kebesaran cucu Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari ini tetap terasakan, dengan bukti seabrek tanya kritis dan harapan yang tetap tertumpu padanya, dalam konteks pencarian Indonesia alternatif. Hal ini beralasan sebab perjuangan Gus Dur di negeri ini tidak sebatas PKB. Perjuangannya, telah menjulur lama sejak negeri ini terhegemoni negara Leviathan Orde Baru.

Buku karya Syaiful Arif, santri Pesantren Ciganjur asuhan bertajuk Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif:Sebuah Biografi Intelektual, yang membuktikan hal ini. Buku tersebut bahkan mengcover Gus Dur tidak sebagai politisi, melainkan pemikir sosial yang mampu menggerakkan diskursus ilmu sosial transformatif. Jadi tesis utamanya adalah, jika pada era Orde Baru, Koentowijoyo memiliki ilmu sosial profetik, Cak Nur memiliki pembaharuan pemikiran Islam, Moeslim Abdurrahman memiliki Islam transformatif, dan Amien Rais dengan tauhid sosial, maka Gus Dur sebagai pemikir muslim telah menggerakkan ilmu sosial transformatif.

Hal ini merupakan penemuan baru dalam jagad penulisan pemikiran Gus Dur, karena buku ini berhasil menggali akar intelektualitas penulis Jurnal Prisma ini, bahkan sebelum beliau menjabat Ketum PBNU. Apa yang digagas Arif adalah satu tesa bahwa Gus Dur merupakan pioneer bagi diskursus teologi pembebasan yang pada dekade 1970 sedang menggeliat di Dunia Ketiga, guna mengimbangi hegemoni pembangunanisme. Tak ayal Gus Durpun terposisi berseberangan dengan ideologi negara tersebut, dan dengan cantik mampu mengolah keilmuan klasik Islam, sehingga membentuk suatu teori Islam transformatif yang bertujuan untuk perubahan sosial-politik.

Penulisan pemikiran dan praksis Gus Dur, sejak 1970 hingga 1990 ini terasa mampu menyajikan ulasan komprehensif atas intelektualisme Gus Dur. Kenapa? Karena yang dikaji bukan cabang pemikiran seperti Islam dan demokrasi misalnya, melainkan struktur politik (baik negara maupun kuasa pengetahuan) yang melatari pemikiran Gus Dur, dan bagaimana Gus Dur menanggapi latar politik tersebut. Hasilnya, kita bisa menemukan keutuhan; berpijak dari apa, struktur pemikirannya apa saja dan bagaimana, serta untuk membela apa, suatu pemikiran Gus Dur, terlontar.

Bagi publik politik, buku ini bermanfaat karena memberikan peta ulang ideologi di Indonesia, yakni developmentalisme Orde Baru, dan bagaimana Gus Dur menghadapi ideologi tersebut, berbasis kekayaan pemikiran Islam tradisional. Peta ulang ini penting, karena saat ini kita tengah mengalami pembuyaran ideologi, sehingga arah politik kita tiada jelas. Bagi kalangan intelektual, buku ini menyajikan ulasan ilmu sosial versi NU. Satu hal yang masih langka, karena di negeri ini, kalangan nahdliyin terlihat minim pergulatan dalam hal tersebut. Ilmu sosial NU mampu mengisi “celah lubang” bagi kekeringan ilmu sosial kita yang tak mampu berangkat dari tradisionalitas Islam Indonesia. Dalam buku ini, Arif berusaha menemukan mekanisme epistemik, bagaimana logika NU menggerakkan ilmu sosial untuk mengimbangi ilmu sosial negara Orde Baru.

Bagi kalangan NU, buku ini penting sebab NU sekarang –meminjam Arif- telah kehilangan Gus Dur sebagai supra-intelektual. Dengan kehilangan tersebut, NU tak mampu lagi mengelaborasi kekuatan kreatifnya guna menahbiskan diri sebagai oposisi kultural terbesar, vis a vis negara. NU pasca Gus Dur adalah NU politis, yang tak lagi diperhitungkan dalam carut politik nasional. Hal ini terjadi sebab NU tiada lagi memijakkan diri pada pemikiran, padahal pemikiranlah yang menjadi potensi terbesar bagi kaum sarungan ini. Melalui buku ini, warga nahdliyin bisa melakukan muhasabah, bagaimana NU melakukan peran idealnya bagi perjuangan masyarakat sipil, yang teramanatkan oleh Khittah 26.

* Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Ushuludin, UIN Jakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18870

Saturday, March 5, 2011

Becermin dari Kiai Sepuh

31/08/2009

Judul buku : Khazanah Khatulistiwa; Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara
Penulis : Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Distributor : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : xx+230 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A’la
*

Khazanah kiai di Indonesia sangatlah kompleks. Dan memang tidak ada habisnya untuk dijadikan bahan diskusi, diseminarkan, bahkan dilakukan penelitian untuk ditulis menjadi sebuah buku. Dikatakan kompleks, karena kepemimpinan atau peran kiai dalam lingkungan masyarakat tidakalah hanya satu fungsi, adakalanya ia berperan sebagai tokoh intelektual (‘ilmiyah), tokoh spiritual (rohaniyah), tokoh sosial-kemasyarakatan (ijtima’iyah), tokoh administratif (idariyah), sebagai pialang budaya (cultural broker), terkadang pula berperan sebagai tokoh (aktor) politik (siyasah).

Dari beberapa cakupan bidang di atas, maka, hingga saat ini, semenjak reformasi bergulir di Indonesia, yang paling menarik tentang perbincangan mengenai “kiai” adalah ketika melihat keterlibatannya dalam ranah politik praktis, baik ia masuk (menjadi pelaku) dalam salah satu bendera partai politik tertentu atau yang hanya menjadi pendukung salah seorang calon yang akan duduk dalam kursi kekuasaan dalam pemerintahan.

Salah satu bukti, bahwa ketokohan seorang “kiai” diakui di masyarakat adalah dengan menjadikannya kiai sebagai panutan dan kiblat masyarakat di dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut persoalan fiqh, ekonomi, faham keagamaan, serta problem lain yang terjadi di masyarakat. Sehingga keberadaan kiai di tengah-tengah masyarakat, masih belum ada yang bisa menggantikannya dengan sesuatu yang lain, selain tetap bertumpu pada keputusan kiai. Hal ini menunjukkan bahwa peran kiai sangatlah penting untuk memobilisasi massa.

Nah, tidak salah jika Clifford Geertz mengatakan bahwa kiai adalah sebagai pialang budaya (cultural broker), pentransformasi ilmu pengetahuan dan penentu arah pilihan masyarakat dalam berbagai pilihan tertentu. Walaupun beberapa dekade ini, banyak fatwa-fatwa kiai mulai luntur dan tidak lagi digubris oleh masyarakat, lantaran mereka (para kiai) terlalu masuk dalam ranah percaturan politik praktis, sehingga mengesampingkan fungsi lainnya. Kejadian tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya beberapa partai politik dan calon yang didukung oleh kiai pondok pesantren, ternyata masih berstatus “tidak jadi” (kalah) diberbagai daerah pemilihan.

Dengan beberapa “keunikan” kepemimpinan yang diperankan oleh individu kiai, seperti ketokohan intelektual, spiritual, sosial-kemasyarakatan, administratif, pialang budaya, aktor politik, maka, guna memahami – untuk mengetahui – satu persatu dari masing-masing individu kiai dibutuhkan berbagai sudut pandang dan kajian, keilmuan yang terpadu (holistic-integral), serta beberapa dokumentasi yang ada.

Terinspirasi dari latar belakang itulah, buku Khazanah Khatulistiwa; Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara ini disusun. Buku ini banyak memaparkan biografi singkat 26 kiai nusantara, yang masing-masing dari ke 26 kiai dimaksud mempunyai peran, kemampuan, keahlian (have skill) didalam melakukan sebuah peradaban kebangsaan di bumi Indonesia.

Walaupun buku seperti ini – yang menggambarkan tentang ketokohan seorang kiai memang telah banyak beredar di pasaran, seperti 99 Kiai Nusantara, jilid 1-2 (Kutub, Yogyakarta), Antologi NU, yang isinya juga banyak menyajikan tentang kiprah kiai dalam sosial-keagamaan (Khalista, Surabaya), Karomah Para Kiai (LKiS, Yogyakarta). Tetapi, Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah dalam penyusunan ini, mampu mencari hal lain yang masih belum tersirat dalam buku sebelumnya. Sehingga, kedatangan buku ini di ruangan pembaca tetap menjadi referensi baru – sebagai pelengkap – dari beberapa buku sebelumnya.

Alangkah indahnya jika penulisan buku ini, melakukan klasifikasi (pengelompokan) tentang potensi pada masing-masing individu kiai. Karena keberadaan kiai tidak semua kemampuan yang mencakup semua bidang keahlian (al-maharah) diatas. Adakalanya hanya tokoh dalam bidang ilmu fiqh, ekonomi, politik, spiritual, administratif dan ada pula kiai yang ahli dalam khazanah tulis-menulis.

Misalnya, melakukan pengklasifikasian terhadap kiai yang banyak memberikan sumbangsih di bidang ekonomi, seperti KH Hasyim Asy’ari (hlm. 9) dan KH Wahab Chasbullah (hlm. 17). Kedua tokoh ini sangat besar jasanya dalam pemberdayaan ekonomi umat dengan garapan utamanya duhulu adalah dengan mendirikan lembaga Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha) sebelum berdirinya Nahdlatul ulama (NU), ada pula KH Maksum dalam bidang ekonomi yang sempat pengalamannya menjadi seorang pedagang dan kuli (hlm. 25).

Selain dibidang ekonomi, ada pula kiai yang konsen dengan karya tulis-menulis. Seperti KH Bisri Mustofa, beliau melakukan bimbingan kepada masyarakat dengan bahasa dan pena (hlm. 43) dan kiai Syaikh Ihsan Jampes (hlm. 185). Beliau mendapat julukan “Al-Ghazali kecil dari Kota Kediri”. Sehingga tak hayal jika banyak karya Syaikh Ihsan dijadikan bacaan (referensi) wajib pada beberapa universitas di Timur Tengah.

Tak hanya cukup membaca, mengenal, dan memahami ketokohan seseorang (kiai) yang dianggap kapabel keilmuannya. Melainkan yang terpenting adalah bisa meneladani sikap dan sepak terjang perjuangannya. Misalnya sabar dengan proses, ulet, tekun, kreatif, dan penuh dengan rasa optimis dalam menjalani hidup.

*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Pondok Budaya IKON Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19232

Friday, March 4, 2011

Kisah Edukatif dari Sang Kembara

28/09/2009

Judul buku : Geger Kiai, Catatan Mistis Sang Kembara
Penulis : Fahrudin Nasrullah
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Terbitan : Mei 2009
Tebal : xxi+188 hal
Peresensi : M. Alif Mahmudi*


Bukan hal yang rahasia, saat ini bangsa kita mengalami problem berupa terkikisnya moral dan spiritual. Padahal, keduanya adalah kebutuhan primer manusia sebagai dasar pondasi membangun mentaltalitas bangsa. Hal semacam in penting, karena sangat mentukan dalam proses keberhasilan membangun bangsa dan negara ke depan.

Dalam konteks ini, ada banyak faktor yang menyebabkan terkikisnya moral dan spiritual bangsa. Akulturasi budaya, kurangnya penyaringan terhadap budaya luar yang masuk dan juga yang tak kalah penting adalah kurangnya pengkajian terhadap kisah-kisah penuh hikmah dari para pendahulu terutama masyayyikh (para kiai).

Dalam hal inilah penulis ingin menuturkan beberapa kisah yang penuh hikmah dari para pendahulu dan masyayyikh (para kiai), dengan harapan kembalinya moralitas dan spiritualitas yang akan mampu membangun mentalitas bangsa kita kedepan. Penulis menyadari, beberapa kisah sederhana yang di dalamnya memberikan suatu nilai moral maupun spiritual, kini hampir lenyap dimakan masa. Padahal hal tersebut adalah salah satu tiang dalam pembangunan mentalitas bangsa ke depan.

Dalam buku ini, pengarang mencoba menuangkan kembali suatu kisah sederhana yang penuh hikmah, dan di dalamnya dapat dijadikan suatu arahan dalam konteks moral dan spiritual bagi bangsa.

Dalam buku ini, pengarang menuangkan kisah-kisah sederhana dari para masayyikh (para kiai), yang bersifat edukatif.

"Tuangkan anggur dalam gelas tersebut ke dalam air di baskom. Dan air itu akan berubah warnanya, Tapi, tuangkan anggur yang sama ke dalam laut, maka warna laut tak akan berubah." (hlm:154)

Kutipan di atas, mengandung suatu nilai edukasi moral dan spiritual. Yang mana di zaman yang serba modern ini, nilai-nilai moral dan spiritual sudah banyak ditinggalkan, orang-orang kebanyakan hanya mengejar kesenangan sesaat semata, tanpa memperdulikan nilai-nilai moral. Sehingga banyak fenomana-fenomena amoral yang membuat hilangnya martabat dan jati diri bangsa. Untuk itu diperlukan suatu kesadaran untuk kembali mengkaji suatu makna yang terpendam dalam sebuah kisah ataupun cerita yang di dalamnya mengandung suatu nilai edukasi untuk kembali menata moral bangsa.

Banyaknya fenomena amoralitas yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum, bahkan dilakukan oleh pejabat Negara, dapat dijadikan satu barometer, betapa hancurnya moral banga kita, mulai dari kasus korupsi hingga kasus skandal wanita yang dilakkukan oknum pejabat negara. Dan hal tersebut menjadi parasit dalam pembangunan bangsa dan negara, dan menjadikan citrta dan harga diri bangsa di pandang rendah dalam pergaulan internasional, sehingga keberadaan bangsa kita kurang di perhitungkan. dan dampaknya, kita akan menjadi bangsa yang terpuruk.

Kasus-kasus amoral yang banyak terjadi, cukup memberikan kontribusi yang besar bagi kehancuran moral bangsa, dan tentunya hal tersebut sangatlah tidak kita inginkan. Karena, kita tidak mau dianggap sebagai bangsa yang tidak bermoral, dan tidak mempunyai jati diri.

Seharusnya hal tersebut dapat diminimalisir, jika kita mau mengkaji makna dari kisah-kisah yang mengandung suatu nilai yang dapat dijadikan asupan moral dan spiritual. Karena bagaimanapun juga, hal tersebut sangatlah di butuhkan dalam kehidupan untuk mencapai suatu kesejahteraan sosial, dan menjaga image bangsa.

Indonesia yang dulu terkenal dengan ragam budayanya, kini mulai tergusur. Budaya Indonesia yang terkenal dengan moralitasnya yang tinggi kini dipertanyakan. Akulturasi budaya, dan dalam konteks pemuda yang condong bergaya hidup ala barat, membuat terkikisnya moral kebangsaan. Sehingga nasib kebudayaan bangsa kini dipertanyakan masa depanya.

Tidak dipungkiri, perbuatan amoral kini juga telah merambah kaum santri, yang notabene mereka adalah kaum terdidik yang paling banyak dijejali pelajaran yang menyangkut tentang moralitas dan spiritualitas. Mereka yang seharusnya menjadi tameng atas terkikisnya moral bangsa malah mulai terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat ke-duniawian.

Apa faktor-faktor permasalahan di atas? Jika kita kaji secara mendalam, salah satu faktornya adalah kurangnya pengkajian terhadap suatu kisah atau cerita yang di dalamnya mengandung aspek-aspek edukasi moril dan spirituil yang mana dapat membangun mentalitas bangsa ke depan.

Buku ini, cukup memberikan kontribusi dalam konteks di atas, dimana permasalahan-permasalahan di atas memerlukan kajian dari suatu kisah sederhana namun memberi makna. Buku ini telah menuangkan kembali makna yang hampir hilang tersebut.

Namun, dalam penyusunan cerita, buku ini masih tergolong kurang sistematis. Juga terdapat cerita yang kurang singkron dengan judul dalam cover. Meskipun begitu, buku ini sangat di perlukan untuk dijadikan tinjauan kembali bagi generasi penerus, sebagai salah satu media untuk membantu meminimalisir problematika di atas.

* Penulis adalah dewan penasihat dan instruktur pada KOMA (Komunitas Santri Jurnalistik Bahrul’ulum) tinggal di Lamongan

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19564