Monday, June 27, 2011

Kontroversi Umat Islam


NU.or.id, 27/06/2011 10:43

Judul: Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU
Penulis: Tim FBMPP Kediri
Penerbit: Bina Aswaja
Distributor: Khalista Surabaya
Cetakan: I Mei 2011
Tebal: 292 Halaman
Peresensi: Junaidi*

Kontroversi di dalam hidup ini seakan-akan tidak akan pernah berakhir. Baik itu konfrontasi antar individu, kelompok, golongan, ras, dan lembaga-lembaga tertentu. Setiap individu, kelompok, golongan, ataupun ras sudah tentu memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan yang lain mengenai suatu hal tertentu.
Seperti halnya dengan pemahaman di dalam agama Islam mengenai suatu ayat, banyak mengalami kontroversi yang tidak dapat untuk dipungkiri keberadaannya. Dalam tokoh pemuka agama Islam mengenai suatu hukum antara imam Malik dan imam Syafi’ie sudah mengalami kontroversi yang sangat hebat, padahal mereka adalah antara guru dengan murid, tetapi apa yang menjadi hujjah (dalil) adalah rasional dengan dalil-dalil yang dilontarkan oleh pihak masing-masing. Namun, tidak hanya di dalam agama saja kontroversi itu terjadi, di masyarakat pun kerap terjadi perselisihan yang berdampak pada pertikaian akibat perbedaan sebuah pendapat. Yang perlu kita pahami terlebih dahulu dalam memastikan suatu hukum/keputusan adalah harus rasional dan disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan mendukung terhapadap keputusan yang kita putuskan.

Di dalam buku ini penulis memberikan sebuah pemahaman tentang ibadah dan bid’ah. Dalam perjalanan orang-orang Wahhabi, mereka tidak akan lelah dalam memperjuangkan dan membuktikan paham yang mereka ikuti. Dengan berbagai cara mereka menjadikan ‘seseorang’ yang kabarnya tidak bisa membaca kitab kuning sebagai kambing hitam (penulis fiktif) untuk memperjuangkan dan menyebarkan paham Wahhabi dalam hal ibadah dan bid’ah. Kaum Wahhabi memiliki konsep yang berbeda dengan mayoritas kaum Muslimin yang tidak pernah berhenti membid’ahkan yang beragam amaliyah yang mengakar kuat sejak lahirnya agama Islam.

Para ulama mendefinisikan ibadah dengan suatu ketaatan disertai ketundukan, puncak kekhusyukan dan kerendahan diri atau dengan kata lain puncak khudlu’dan tadzallul (ketundukan dan merendah diri). Menurut pendapat imam al-Azhar, ibadah adalah ketundukan yang disertai dengan kerendahan hati. Kita bisa memberikan sebuah konklusi bahwa ibadah adalah puncak dari ketundukan, ketaatan, dan kerenadahan diri yang hanya layak untuk lota lakukan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, amaliyah yang dilakukan oleh ummat Islam, khususnya warga Nahdliyyin seperti halnya tabarruk (mengharap barokah), tawassul (sambung doa kepada orang lain terlebih-lebih kepada orang yang telah meninggal dunia), dan lain sebagainya tidak dikategorikan sebagai perbuatan syirik.

Dalam menilai suatu ibadah kita tidak diperkenankan terlalu gegabah untuk menuduh syirik kepada seseorang, karena suatu ibadah dikatergorikan syirik atau tidaknya dilihat dari keyakinan pelakunya. Jika ia meyakini bahwa ibadah yang ia lakukan dapat memberikan kemanfaatan ataupun marabahaya, maka ibadah tersebut ternasuk perilaku syirik. Namun, jika orang tersebut berkeyakinan bahwa semua yang bisa memberikan manfaat atau marabahaya hanyalah Allah Swt, maka ibadah yang ia lakukan jelas tidak bisa dikatakan syirik.

Pembahasan di dalam buku ini tentang bid’ah tidak kalah pentingnya dengan ibadah. Tim FBMPP Kediri mendefinisikan bid’ah, secara terminologi, bid’ah dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukan di masa nabi Muhammad Saw., dan tidak ada kejelasannya di dalam Alquran maupun Alhadits.
Namun, yang perlu kita ketahui dan pahami bahwasanya tidak semua bid’ah itu jelek, namun bid’ah ada yang baik. Jadi, segala sesuatu yang belum pernah dilakukan sejak pada masa nabi Muhammad Saw., atau belum pernah adanya kejelasan dari Alquran maupun Alhadits bukan berarti semua bid’ah/haram sebagaimana yang ditegaskan oleh penulis buku “Buku Putih Kyai NU”, sehingga penilaian bid’ah dengan tanpa pemilihan merupakan pangkaburan terhadap hukum syari’ah Islam.

Dalam upaya menilai sesat warga Nahdliyyin, penulis Buku Putih Kyai NU ini tidak segan-segan mengumbar kata-kata general bahwa semua bid’ah adalah sesat. Implikasinya semua amaliyah warga Nahdliyyin yang telah diwariskan dari ulama’ salaf terdahulu ia katakana bid’ah. Ia sendiri telah mengaku kalau sekarang telah keluar dari perilaku syirik.
Hal ini berarti pengakuan bahwa ia sebelumnya telah berkubang dalam lumpur bid’ah dan kemusyrikan. Padahal ia sendiri telah terjebak dalam kesesatan paham Wahhabi. Dia tidak menyadari apa yang telah ia perbuat dalam kesehariaanya. Jika memang akan memfonis seseorang dengan perilaku bid’ah, sebenarnya dirinya itu telah mealakukan bid’ah, seperti makan nasi, pada masa nabi Muhammad Saw. tidak ada nasi, yang ada hanya roti atau kurma sebagai makanan pokoknya.

Buku yang berjudul “Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU” dikemas dengan beberapa pemikiran-pemikiran yang bisa diterima oleh akal dan masyarakat luas mengenai suatu pendapat dalam buku “Buku Putih Kyai NU” yang dianggap telah menyimpang dan tidak sesuai dengan kehidupan ummat Islam, khususnya warga Nahdliyyin yang ada di Indonesia ini.
Selama ini, ummat Islam warga Nahdliyyin yang membaca buku “Buku Putih Kyai NU” merasa diresahkan dengan sebuah pendapat penulisnya yang mengkafirkan pelaku bid’ah, seperti membaca tahlil, tawassul kepada orang yang telah meninggal dunia. Padahal itu merupakan sebuah perantara dengan meminta sambung doa, agar doa kita terkabulkan oleh Allah Swt.

Buku ini selain memberikan pelurusan terhadap buku yang berjudul “Buku Putih Kyai NU” yang isinya mengkafirkan para pelaku bid’ah (Wahhabisme), juga memberikan sumbangsih bagi kita sebagai pembaca dalam hal mengutarakan sebuah pendapat dengan rasional dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Buku ini memberikan contoh-contoh yang bisa kita jadikan sebagai pegangan hidup mengenai pendapat yang irrasional kemudian diluruskan menggunakan pendapat lain yang rasional dengan menuggunakan dalil-dalil yang cukup mendukung.

* Penulis adalah Mahasiswa Department of English Literary IAIN Sunan Ampel Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32698/Buku/Kontroversi_Umat_Islam.html

Monday, June 20, 2011

Bagian Terakhir Pemikiran dan Langkah Politik Gus Dur

Koran Sindo, 21 Feb 08

Oleh: Moh Mahfud MD

Setiap disertasi memang harus mengemukakan temuan ilmiah, termasuk kritik-kritiknya. Kritik dan saran atau rekomendasi bahkan sudah dianggap bagian dari ritualitas penulisan sebuah disertasi sehingga harus selalu ada.

Itu jugalah yang dilakukan oleh Munawar Ahmad. Munawar mengemukakan tiga kritik atas Gus Dur. 1) Ahistoric in terminus( Gus Dur membangun terminologi sejarah tanpa rujukan bukti sejarah); 2) Contradictio in terminus, (Gus Dur terjebak dalam kontradiksi antara spirit antikekerasan atau humanisme dengan penggunaan bahasa kekerasan); 3) Contradictio in actie (Gus Dur mengusung sekularisme bahwa tugas agama itu berbeda dengan tugas negara, namun pada kenyataannya selalu menggunakan pendekatan dan interpretasi agama). Menurut Munawar,kritik tersebut tidak mengurangi arti dan fungsi diskursus pemikiran politik Gus Dur yang cemerlang.Sebab,Gus Dur harus dilihat bukan hanya sebagai intelektual- pemikir tetapi juga agamawan, budayawan dan pemain politik itu sendiri.

Langkah Taktis

Munawar benar. Saya banyak mengenal kiai yang menilai tak ada yang salah dengan pemikiran dan langkahlangkah Gus Dur. Kata kiai-kiai itu, setiap pembicaraan dan langkah Gus Dur selalu terkait dengan konteks dan situasinya sehingga tak dapat dipahami dari pernyataan harfiahnya semata.

Lagipula, harus dibedakan antara pemikiran politik dan langkah politik. Pemikiran politik Gus Dur sudah jelas dari lima traktatnya, tetapi langkah politiknya adakalanya memerlukan taktik dan strategi yang sekilas tampak kontradiksi dengan traktat itu. Untuk membangun demokrasi, adakalanya harus dilakukan dengan taktik yang tidak demokratis; karena atas nama demokrasi banyak orang yang berlaku curang, misalnya dengan money politics,pembunuhan karakter, atau rekayasa kotor lain.

Itu adalah kenyataan yang sehari-hari dapat kita lihat secara telanjang. Untuk membangun demokrasi yang kerap dikotori atas nama demokrasi itu, Gus Dur menyikapi dengan keras,kalau perlu tanpa prosedur yang demokratis, misalnya perintah pemecatan atau pembekuan tanpa prosedur yang bertele-tele. Di PKB, misalnya, dikembangkan semboyan ”membangun demokrasi tanpa korupsi”.

Gus Dur pernah diberi saran oleh Menlu Alwi Shihab agar sebagai presiden bersikap lebih lunak dan tidak sembarang menyerang orang.Saat itu Gus Dur menjawab agar Alwi mengurus dan terus membina para pejabat yang sudah baik, tetapi para preman dan koruptor akan diselesaikan dengan caranya sendiri. ”Ente urus saja itu orang yang baik-baik agar tetap baik, yang preman-premen biar saya yang menyelesaikan. Preman harus dihadapi dengan cara preman,” kata Gus Dur pada Alwi.

Dalam soal humanisme dan perkawanan secara pribadi,sikap-sikap Gus Dur tak diragukan oleh siapa pun.Dia bisa bersikap sama terhadap setiap orang tanpa membedakan jabatan atau kekayaannya. Ada contoh pengalaman pribadi tentang ini.Ketika terjadi kecelakaan pesawat Garuda pada 7 Maret 2007 kira-kira jam 10 pagi saya ditelepon oleh Munib Huda, sekretaris pribadi Gus Dur. Katanya, Gus Dur yang saat itu sedang dirawat di RSCM,ingin berbicara.

”Ya, Gus. Saya sedang di kantor; ada yang perlu saya kerjakan?”tanya saya mengawali pembicaraan. ”Ini benar,suaranya Pak Mahfud?” tanya balik Gus Dur dengan nada ragu.”Ya, Gus. Mengapa?” tanya saya. ”Alhamdulillah. Ya sudah kalau ini suaranya Pak Mahfud, saya hanya mau tanya,” jawab Gus Dur lagi.”Mengapa,Gus?” kejar saya penasaran.

”Ini lho, saya melihat di televisi pesawat Garuda kecelakaan di Yogya, ada korban namanya Mahfud,ternyata Mahfud lain.Ya, sudah alhamdulillah Pak Mahfud selamat,” jawab Gus Dur lagi. Saya terharu karena dalam keadaan terbaring di rumah sakit Gus Dur menyempatkan diri menelepon saya hanya untuk bertanya dan memastikan mendengar suara saya. Saat itu saya memang mendapat banyak telepon dan SMS, seperti dari Ratu Hemas, Fadel Muhammad,Humas Pemda DIY, dan kolega-kolega di kampus, sampai sampai telepon saya hang.

Oleh sebab itu saya percaya berbagai contradictio antara pemikiran dan langkah politik Gus Dur sebagaimana dikemukakan oleh Munawar Ahmad dalam disertasinya sebagian besar adalah taktik atau strategi Gus Dur sebagai politikus.Yang penting informasi yang disampaikan kepada Gus Dur harus akurat,sebab dengan hambatan penglihatan seperti sekarang ini informasi yang diterima Gus Dur lebih banyak bergantung pada informasi lisan dari mereka yang selalu atau mau menemuinya.

Ethica Nechomochea

Tanpa mempersoalkan mutunya yang sudah dinyatakan lulus cum laude, disertasi Munawar dengan metode CDA-nya itu memang tak dapat sepenuhnya merekam apa yang sebenarnya terjadi dan memengaruhi Gus Dur sehingga tampil sebagai sosok pejuang demokrasi yang egaliter, pluralis,dan humanis.

Kesan tampilnya sosok Gus Dur yang seperti itu hanya diwarisi dari ulama-ulama NU,terutama dari kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari dan ayahnya Kiai Wahid Hasyim.Kesan yang seperti itu wajar karena metode disertasi ini hanya bertumpu pada tulisan-tulisan Gus Dur, tanpa mau mencari data primer seperti dengan wawancara.Gus Dur sendiri pernah bercerita kepada saya bahwa semua pandangan dan sikapnya yang seperti seka-rang ini turut dibentuk oleh satu pengalaman tak terlupakan.

Pada tahun 1979,Gus Dur menghadiri seminar dan berkunjung ke perpustakaan di Maroko. Gus Dur berkesempatan membaca buku Ethica Nechomochea,karya Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi atau 1.000 tahun sebelum datangnya agama Islam.

Kata Gus Dur, buku yang diterjemahkan oleh Ibn Rusyd menjadi Al- Kitaab al-Akhlaaq itu telah turut menuntunnya untuk memahami ajaranajaran Islam yang mulia tentang toleransi, egaliterianisme, dan masalahmasalah mendasar lain dalam berhubungan antarsesama manusia. ”Setelah membaca buku itu saya menangis meraung-raung karena menemukan cara memahami kemuliaan ajaran Islam justru dari buku yang lahir jauh sebelum datangnya Islam. Kalau tidak membaca buku itu,mungkin saya menjadi seorang fundamentalis,”kata Gus Dur. (habis)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/pemikiran-dan-langkah-pol

Moh Mahfud MD
Guru Besar di UII, Ketua Dewan Pakar DPP PKB

Fiqh Ziaroh


NU.or.id, 20/06/2011 08:55

Judul: Fiqh Ziaroh (terjemah Mafahim Yajibu an Tushahhah)
Penulis: Dr. Sayyid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki Al-Hasani
Penerjemah: Ibnu Ayyub Nu’man HM   
Tahun Terbit: Juni 2011
Penerbit: LTN- NU Jombang, JIIC dan Ash- Shofa Press
Jumlah halaman: xvi +146
Peresensi: Yusuf Suharto

Buku ini adalah serial keempat dari terjemah dari Mafahim Yajibu an Tushahhah karya besar Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki al- Hasani. Edisi terjemah secara berurutan berdasar kitab aslinya yang berbahasa Arab adalah Kafirnya Tuduhan Kafir, Fiqh Tawassul, Fiqh Barakah, dan Fiqh Ziarah.

Serial buku terjemah ini adalah karya kelima yang telah diterbitkan oleh LTN-NU Jombang setelah Landasan Amaliyah NU, Doktrin Aswaja, Buku Pendamping Aswaja untuk Siswa, dan Muslim Marhamah.

Keistimewaan buku Mafahim Yajibu an Tushahhah ini adalah karena disusun seorang ulama dari keturunan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam yang hidup di tengah-tengah dominasi masyarakat dan ulama sunni salafy wahhabi. Sayyid Muhammad yang banyak memiliki murid dari Indonesia ini dikenal sebagai ulama sunni moderat dan berhati-hati melabelkan kesesatan bagi paham di luar golongannya. Dengan kejujuran ilmiahnya beliau banyak mengutip pendapat ulama yang dijadikan panutan pemimpin Wahhabi. Demikian paling tidak dapat kita simpulkan dalam dua bukunya, Mafahim Yajibu an Tushahhah dan Huwallah.

Dalam buku ini Sayyid Muhammad mencoba meluruskan doktrin-doktrin sunni mainstream yang dinilai salah atau bid’ah oleh Wahhabi dengan sumber- sumber dalil dari ulama panutan mereka sendiri, yaitu terutama Syaikh Ibnu Taymiyyah, Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab.

Untuk keberanian intelektualnya ini, pakar hadis ini dikucilkan bahkan dianggap sesat. Karenanya iakemudian tidak lagi dibolehkan mengajar di Masjidil Haram, kitab-kitabnya dilarang, dan juga kedudukannya sebagai guru besar di Universitas Ummul Qura pun dicabut.

Serial buku dengan judul Fiqh Ziarah yang diterjemahkan oleh Ibnu Ayyub, salah seorang pengajar di Pesantren Lirboyo Kediri ini terdiri dari lima puluh fasal atau sub bahasan. Antara lain mengkaji tentang kehidupan barzakh adalah kehidupan yang nyata, arti kehidupan barzakh, kekalnya jasad Nabi, suara salam dan adzan yang terdengar dari kuburan Nabi dan dukungan Ibn Taymiah terhadap kenyataan tersebut, karamah di alam barzakh bagi selain Nabi, kesunnahan ziarah Nabi menurut pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal, pernyataan para ulama salaf tentang disyari’atkan ziarah, pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Taymiyyah, Perhatian al-Qur’an terhadap peninggalan para nabi dan orang shalih, pelestarian Khulafa Rasyidin terhadap peninggalan nabi, dan sebagainya.

Edisi terjemah yang mengkaji tentang ziarah dan hal terkait ini seolah ingin menegaskan bahwa antara sunni mainstream (sunni mayoritas yang berpijak dalam kerangka pikir akidah Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi) dengan sunni Wahhabi (para pengikut Syaikh Ibn taymiah dan Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab,walaupun masyarakat yang biasa menyebut dirinya sebagai ‘salafi’ ini tidak menyukai julukan Wahhabi ini) memiliki sejumlah kesamaan doktrin, terutama ketika merujuk pada pendapat para ulama rujukannya yaitu Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim, bahkan juga Muhammad Ibn Abdil Wahhab sebagai ulama yang namanya dinisbatkan menjadi paham atau golongan Wahhabi ini.

Buku yang dimaksudkan sebagai landasan etika berziarah ini memuat sekian dalil dari Al-quran dan hadis yang membuktikan kesunnahan ziarah nabi dan juga orang-orang shalih. Ditegaskan oleh Sayyid Muhammad bahwa hadis-hadis yang menjelaskan berziarah ke kuburan nabi memiliki banyak jalur periwayatan yang sebagian menguatkan sebagian yang lain, dan bahwa sebagian ulama telah menilai shahih hadis-hadis tersebut atau mengutip penilaian shahihnya seperti Imam as-Subki, Al-‘Iraqi, Qadhi ‘Iyad dan selainnya dari kalangan huffadz hadis dan para imam yang menjadi acuan (Fiqh Ziarah, 47).

Dalam buku ini diungkap bahwa sebenarnya Syaikh Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim juga Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengharamkan ziarah Nabi. Bahkan Muhammad ibn Abdil Wahhab secara tegas membantah tuduhan yang dialamatkan padanya, bahwa dia mengharamkan beberapa hal, termasuk di dalamnya ziarah Nabi Muhammad.

“Di antara kebohongan itu adalah bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat; bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar; saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taklid; perbedaan para ulama adalah bencana dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang sholih;………saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi dan mengingkari ziarah ke makam kedua oaring tua dan makam orang lain……….jawaban saya atas tuduhan mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah “Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar”. (QS. An-Nur:16). (Fiqh Ziarah, 125-126).
Sayyid Muhammad mengapresiasi sikap dan klarifikasi Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab ini dengan menyatakan, “Sikap Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab ini adalah kebijaksanaan dan kebenaran sesungguhnya. Sikap ini adalah siasat syar’i yang wajib menghiasi perilaku ulama, para pembimbing, dan para guru dalam menyuruh, melarang, member petuah dan memberi petunjuk (Fiqh Ziarah, 127)

Pandangan Ibnu Taymiyyah sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad yang selaras dengan sunni mainstream ini misalnya adalah, “Bepergian menuju masjid Nabi yang disebut bepergian untuk berziarah kepada kuburan beliau adalah kesepakatan ulama dari generasi ke generasi. Adapun bepergian untuk berziarah ke kuburan-kuburan lain maka tidak ada status hukum yang dikutip dari para sahabat, bahkan dari atba’ut tabi’in.” (Fiqh Ziarah, 49).
Mengapresiasi pandangan positif ziarah Nabi dari Ibnu Taymiah ini Sayyid Muhammad berkomentar,

Pandangan Ibnu Taymiyyah yang menarik ini mampu menyelesaikan problem besar yang memecah belah kita umat Islam dan membuat sebagian kita mengkafirkan sebagian yang lain dan mengeluarkannya dari lingkaran agama Islam. Seandainya orang yang mengklaim pengikut salaf mengikuti cara yang ditempuh Ibnu Taymiyyah, imam salaf pada masanya dan menuntut kepada orang-orang alasan akan tujuan-tujuan mereka serta berprasangka positif kepada mereka, niscaya sejumlah besar orang akan selamat dari masuk neraka dan beruntung masuk surge tempat tinggal abadi (Fiqh Ziarah,50)

Dus, dengan membaca buku yang diberi kata sambutan Rais Syuriyah PCNU Jombang, KH Abd. Nashir Fattah, dan Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang, Dr KH Isrofil Amar ini para pembaca akan mendapatkan paling tidak tiga manfaat. Pertama, kaum muslimin dapat mengetahui atau semakin memantapkan diri bahwa amaliyah  yang mereka tradisikan sedemikian mengakar memiliki dasar yang kuat dan kokoh dari Al-Qur’an, hadis juga pendapat para ulama terpercaya. Kedua, sebagai jawaban terhadap sementara anggapan yang memandang perilaku keagamaan warga muslim mayoritas menyalahi atau menyimpang dari tuntunan agama Islam. Ketiga,membangun kejujuran ilmiah dengan paparan sumber-sumber ilmiah primer dari masing-masing pihak untuk mengembangkan ukhuwwah islamiyah antar paham-paham yang dianggap berbeda tersebut di kalangan muslimin.

Penulis adalah Sekretaris Aswaja Center PCNU Jombang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32603/Buku/Fikih_Ziarah.html

Sunday, June 19, 2011

Bagian Pertama: Traktat Pemikiran Politik Gus Dur

Koran Sindo, 20 Feb 08

Oleh: Moh Mahfud MD

Gus Dur adalah contoh paling otentik, baik secara ideologis maupun secara biologis, tentang wajah keagamaan dan politik kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU).

Maka ketika warga NU menggetarkan langit Indonesia pada hari ulang tahun kelahiran (harlah) yang ke-82 dua pekan lalu, nama Gus Dur selalu muncul. Komentar positif maupun minornya selalu menjadi berita, ulasan-ulasan media massa tentang harlah NU selalu dikaitkan dengannya, dan ungkapan takzim kepadanya selalu diucapkan pada sambutansambutan resmi acara harlah NU di berbagai tempat.

Ada disertasi doktor (S-3) tentang Gus Dur yang baru diluluskan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Munawar Ahmad, penulis disertasi itu, dinyatakan lulus cum laude (dengan pujian) setelah mempertahankannya di depan para profesor penguji pada Program Pascasarjana UGM.

Disertasi dengan judul “Kajian Kritis terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 1970–2000” itu dipertahankan dalam rapat terbuka Senat Pascasarjana UGM tanggal 18 Desember 2007 lalu di depan delapan dari sembilan penguji, yaitu Yahya Muhaimin, Mohtar Mas’oed, Purwo Santoso,Joko Suryo,Moh Mahfud MD, Yudian Wahyudi, I Ketut Putra Ernawan, dan Edi Martono. Bachtiar Effendi yang juga menjadi penguji berhalangan hadir.

Metode CDA

Munawar Ahmad yang dosen pada Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta layak lulus dengan pujian (cum laude) karena hasil kerja kerasnya yang tergambar dari isi disertasinya itu.

Disertasi itu membedah dengan tekun kira-kira 500 tulisan Gus Dur yang dipublikasikan sejak 1970 sampai dengan 2000. Di dalam disertasi itu ada daftar tulisan tersebar karya Gus Dur sebanyak kirakira 300 artikel ditambah 17 buku yang menghimpun berbagai tulisan Gus Dur sehingga keseluruhannya jika dipecah-pecah dalam tulisan aslinya memang tidak kurang dari 500 artikel. Metodologi yang dijadikan bingkai atau kerangka kerja penulisan itu adalah metode critical discourse analysis (CDA).

Berbeda dengan metode content analysis lainnya seperti analisis wacana atau analisis framing, metode CDA ini mempunyai kelebihan dam diyakini mampu untuk menjawab permasalahan penelitian yang oleh Munawar dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, bagaimana konstruksi akar pemikiran politik Gus Dur sebagai prototipe pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia? Kedua, mengapa Gus Dur melakukan difference dengan cara selalu menawarkan diskursus alternatif terhadap grand politics di Indonesia?

Ketiga, bagaimana karakter ijtihad politik yang dibangun Gus Dur ketika memetakan, mengomentari, dan mendialektikakan teks ilahiah (nash) dengan konteks keindoinesiaan (urf)? Metode CDA ini mempunyai kelebihan karena mampu melakukan analisis multi-track, yakni mikro, messo, dan makro sehingga kajian terhadap diskursus tidak hanya memberi arti atau memaknai saja, melainkan juga mampu menjelaskan kontekstualitas teks itu terhadap solusi sosiologisnya yang akhirnya pada tahap makro mengkritisi temuan data.

Metode CDA dengan demikian tidak hanya melakukan elaborasi, tetapi juga melakukan kritik atas teks itu sendiri. Munawar mengatakan bahwa CDA ini mampu membongkar kejujuran dan kebohongan yang terkandung di dalam teks-teks yang dianalisis.

Lima Traktat

Apa yang menarik dari Gus Dur sehingga diangkat dalam sebuah penelitian setingkat disertasi? Munawar beralasan karena pada diri Gus Dur melekat berbagai predikat,yakni kiai, politisi, intelektual, budayawan, mantan tokoh pergerakan, dan mantan Presiden RI.

Kemampuan Gus Dur melakukan gerakan politik diakui oleh kawan dan lawan yang ditunjukkan oleh keberhasilannya meraih jabatan presiden. Bagi sarjana politik, pemikiran dan perilaku Gus Dur dapat dipandang sebagai khazanah dalam dinamika pemikiran politik di Indonesia. Gayanya yang nyleneh menunjukkan adanya tipikal pemikiran politik saat melakukan interaksi dan advokasi politik yang untuk sebagian orang NU dianggap sebagai bentuk anomali.

Sikap nyleneh dan anomali itu merupakan keunikan sekaligus kelebihannya sebagai nilai tawar di hadapan politisi lain. Salah satu kelebihan Gus Dur yang patut diperhitungkan adalah kemampuannya membangun intelektualisme dan aktivisme sekaligus yang sangat jarang dilakukan oleh ulama klasik yang melingkunginya. Ia berjuang melalui politik praksis sambil melakukan perlawanan terhadap kebodohan politik itu sendiri dengan intelektualismenya.

Disertasi ini menemukan lima traktat pemikiran Gus Dur,yakni (1) dinamisasi dan modernisasi pesantren (1973) yang mengusung ide pendekatan ilmiah model Marxian terhadap situasi politik Indonesia ; (2) pengenalan Islam sebagai sistem kemasyarakatan (1978) yang berisi semangat mengembangkan Islam klasik serta bagaimana syariah diimplimentasikan dalam menghadapi masalah-masalah mutakhir; (3) Islam dan militerisme dalam lintasan sejarah (1980) yang berisi ide perlawanan kultural model Marxian terhadap kekerasan (violence); (4) konsep kenegaraan dalam Islam (1983) yang berisi ide sekularistik dan integralistik pemikiran Gus Dur tentang hubungan antara agama dan negara; serta (5) pribumisasi Islam (1983) yang berisi pendekatan humanisme dalam politik dan keagamaan.

Dengan traktat-traktat itulah Gus Dur tampil sebagai tokoh nasional yang menguasai jagat pemikiran, jagat keagamaan,dan jagat politik di Indonesia. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh pejuang demokrasi yang sangat pluralis,egaliter,dan humanis. Dalam berjuang Gus Dur juga bekerja sesuai dengan adagium bellum omnium contra omnes yang mendalilkan bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan kekuasaan.

Namun perlawanan kekuasaan Gus Dur terhadap kekuasaan dilakukan melalui perjuangan kultural dan antikekerasan. Bahkan Gus Dur juga lihai melakukan perlawanan melalui humor.Tentang ini ada tulisan Gus Dur yang berjudul “Melawan Melalui Lelucon” (Tempo,2000) dan saya sendiri pernah menulis (Jawa Pos,15-3-2006) berjudul “Politik Humor Gus Dur”.

Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik “tebar jala” yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12% pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/traktat-pemikiran-politik

Moh Mahfud MD
Guru Besar di UII, Ketua Dewan Pakar DPP PKB

Saturday, June 18, 2011

Islam dan Kebangsaan Sang Tokoh dan Lawan-Lawan Politiknya

Koran Sindo, 9 Juli 2007

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

SANG Tokoh yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ayah penulis,KH A Wahid Hasjim.Dalam usia muda,yaitu 39 tahun,beliau meninggal dunia di RS Boromeus,Bandung,karena kecelakaan mobil di Cimindi,pinggiran Kota Bandung.

Ia meninggal dunia dalam usia semuda itu sehabis Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Palembang, dalam perjalanan mobil ke Sumedang. Patut dicatat, dalam usia masih sangat muda, dalam Muktamar NU di Banjarmasin, ia bersama enam ribu ulama lain telah membuat NU memutuskan menerima usulan bahwa untuk melaksanakan syariah Islam di kawasan ini tidak perlu mendirikan negara Islam. Selain itu, bersama-sama saudaranya, KH A Kahar Mudzakkir dari Muhammadiyah; didorong oleh keluarganya yang lain, HOS Tjokroaminoto dan menantunya, Soekarno, melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ia berhasil mendorong para pemimpin gerakan Islam untuk membuang Piagam Jakarta dari UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Sudah tentu ada ulama lain dari NU yang tidak setuju dengan keputusan muktamar di atas. Mereka adalah para ulama dalam NU yang beranggapan bahwa Republik Indonesia harus merupakan negara Islam. Selama masa perang gerilya, mereka ”tidak bergerak”. Mereka mulai bergerak ”memperjuangkan” negara Islam bagi Kepulauan Nusantara ketika penyerahan kedaulatan terjadi. Namun, mereka selalu kalah dalam perimbangan kekuatan politik di NU oleh sang tokoh.Mereka baru bisa mendapatkan kekuatan politik itu dalam masa Orde Baru. Itu pun hanya dapat dicapai setelah melakukan perubahan besar-besaran dalam sikap politik mereka.

Mereka yang tadinya merupakan eksponen ”gagasan Negara Islam”,pada waktu itu berubah menjadi eksponen Pancasila.Mereka seolah-olah ”melupakan” gagasan negara Islam dan menjadi ”tokoh-tokoh Pancasilais”. Bahkan salah seorang dari mereka lalu menjadi seorang pejabat tinggi di negeri ini. Sikap mereka jauh berbeda dari angkatan gerakan Islam pada saat ini.Walaupun samasama ”berideologi Islam”, para pemimpin organisasi-organisasi Islam dewasa ini adalah Pancasilais yang tidak menginginkan berdirinya negara Islam.

Walau apakah pihak ini benar-benar menginginkan negara Pancasila dan tidak menginginkan negara Islam, bukanlah urusan kita. Para pengidam negara Islam itu sama halnya dengan orang-orang komunis,yang tidak akan puas jika negara yang mereka pimpin bukanlah negara komunis, sekalipun betapa jauhnya ”penyimpangan” ideologi yang terjadi. Contohnya seperti Deng Xiaoping yang pernah menyatakan, ”Tidak penting kucing berbulu putih atau hitam, yang penting ia harus mampu menangkap tikus.”Pada saat ini,RRC mengikuti dan mencoba melaksanakan ekonomi pasar (market economy) dengan membuka ekonominya untuk bersaing dengan kebanyakan perekonomian di dunia, namun landasannya tetap ideologi Marxis-Leninis dari Mao Zedong. ***** Ketika dihadapkan kepada kemungkinan melanjutkan perjuangan dengan tetap bertekad mendirikan negara Islam,ternyata lawanlawan politik sang tokoh kita itu mengalami perubahan orientasi politik.

Jika semula mereka adalah ”pejuang negara Islam”,selanjutnya ia menjadi ”tokoh-tokoh Pancasilais”.Yang lebih dahsyat lagi, mereka lalu menjadi eksponen- eksponen Pancasila itu sendiri. Ini adalah perubahan yang sangat mendasar, tapi mereka menjalani itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Bukan tidak mungkin mereka akan kembali kepada pemikiran semula, yaitu keinginan mendirikan negara Islam. Mungkin sikap penulis itu dirasa sangat berlebihan, tetapi itu lebih baik daripada kehilangan Pancasila. Memang, menempatkan pembahasan tentang konstitusi dan arah perjalanan sebuah bangsa bukanlah hal yang mudah.

Tetapi banyak hal akan menjadi sangat mudah tercapai, manakala kita mampu membatasi dialog tentang konstitusi dan orientasi politik bangsa kita sendiri. Di Amerika Serikat, sejak Mendagri Thomas Jefferson (kemudian Presiden ketiga AS) dan Menkeu Alexander Hamilton berselisih tentang hakhak individu melawan hak-hak legal dan kolektif negara bagian, terjadi ”pembatasan dialog tak tertulis” pada kedua hal itu hingga kini. Kita pun rasa-rasanya harus mencari ”pembatas” pembahasan konstitusi dan ideologi seperti itu. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan cara-cara mencapai pembatasan seperti itu. Salah satunya menuliskan hal itu dalam sebuah artikel seperti ini.

Jadi, kita memerlukan pembatasan- pembatasan tertentu dalam dialog mengenai konstitusi yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan di negeri ini.Tentu saja kita berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia saling mengenal keadaan, seperti yang kita alami saat ini.Bukankah paham ”Jerman di atas segala-galanya” (Deutsche uber alles) telah menghambat perjalanan sejarah bangsa Jerman oleh Adolf Hitler. Jadi, kita patut bersyukur dapat menghindari hal itu sendiri.Kalau Hitler mengorbankan 35 juta nyawa orang-orang Yahudi dan Rusia untuk itu, maka kita pun telah ”membayar” harga seperti itu, dalam bentuk sekitar satu juta nyawa korban penyembelihan akibat Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) pada 1965. Bukankah ini merupakan ”harga mahal” yang harus dibayar untuk kepentingan bangsa selanjutnya,bukan?

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/analisis-sang-toko


ABDURRAHMAN WAHID
Ketua Dewan Syura DPP PKB

Friday, June 17, 2011

Muktamar NU: Momentum Kebangkitan Ulama

Kompas, 25 Maret 2010

Oleh: Zuhairi Misrawi

Ribuan ulama memadati arena asrama haji, Makassar, untuk mengikuti Muktamar Ke-32 NU. Perhelatan lima tahunan ini digelar mulai dari 23 Maret hingga 28 Maret 2010. Pertanyaan yang krusial dikemukakan, yaitu apa dan bagaimana peran ulama dalam konteks keumatan dan kebangsaan.

NU merupakan ormas yang meneguhkan dirinya sebagai perkumpulan para ulama. Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan para ulama. Dalam perjalanan sejarahnya, para ulama yang terhimpun dalam organisasi NU telah melakukan banyak hal untuk pencerdasan dan pemberdayaan umat. Hal tersebut dapat dilihat dari menjamurnya pesantren di seluruh penjuru negeri ini. Pesantren telah terbukti menjadi salah satu lembaga yang melahirkan ulama-ulama yang brilian dan konsisten dalam membela hak-hak publik.

NU telah menjadi salah satu motor penggerak gerakan masyarakat sipil yang mempunyai kekhasan karena wataknya yang bersinggungan langsung dengan umat dan warga. NU tidak hanya memberdayakan umat, tetapi juga melindungi warga negara apa pun agama, suku, dan rasnya. NU menganggap kebhinekaan merupakan sunnatullah yang harus dijadikan sebagai kekuatan untuk membangun keindonesiaan yang bermartabat.

Dalam konteks kebangsaan, ulama telah berasosiasi dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan RI. Resolusi jihad dalam rangka melawan penjajah membuktikan kepedulian ulama terhadap bangsa. NU juga turut serta dalam mengusung lahirnya Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali komitmennya pada tahun 1984 di Situbondo.

Bahkan, dalam Musyawarah Alim Ulama 2006 di Surabaya, finalitas Pancasila, UUD 1945, dan NKRI kembali dikukuhkan agar para ulama berada di garda terdepan untuk mengawal kebhinekaan.

Tantangan

Meskipun demikian, catatan sejarah yang mengharubirukan itu tidak mampu diterjemahkan secara konsisten dan konsekuen dalam ruang publik. Dalam sepuluh tahun terakhir, NU tak mampu membendung arus-arus infiltrasi ideologi yang hendak menggoyang eksistensi Pancasila dan UUD 1945. Menjamurnya kelompok-kelompok yang mengusung radikalisme dan terorisme membuktikan bahwa NU tidak mempunyai strategi yang jitu dalam rangka menyebarkan pandangan moderat dan toleran yang merupakan karakter utamanya. NU juga tak mampu menjelaskan kepada kelompok-kelompok tersebut tentang pentingnya Pancasila dan UUD 1945 dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Bahkan, alih-alih ingin menyebarkan pandangan moderat, justru beberapa kantong NU direbut oleh beberapa ormas lain yang mengusung ideologi berbeda seratus persen dengan organisasi berlambang bintang sembilan tersebut. Sebenarnya harus diakui, paham moderat yang didukung oleh basis massa yang relatif besar ibarat seekor macan yang menakutkan, tetapi sayangnya macan tersebut ompong.

Mekarnya kelompok-kelompok ekstremis harus diakui karena NU tidak mampu membentengi paham moderat ke dalam dan mengembangkannya ke luar komunitasnya. Moderasi yang dianut oleh NU pada hakikatnya adalah moderasi pasif, yaitu moderasi pada tataran wacana yang tidak mampu diterjemahkan dalam realitas sosial. Jikapun ada, justru yang melakukan adalah kalangan kultural, yang ironisnya kerap kali diabaikan perannya oleh kalangan struktural NU.

Pemandangan tersebut harus menjadi refleksi utama dalam muktamar yang sedang berlangsung di Makassar.

Pentingnya moderasi

Setidaknya ada tiga masalah serius yang harus dijawab dengan saksama: Pertama, perlunya institusionalisasi paham moderat dalam seluruh tingkatan organisasi, baik pada tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga tingkatan anak ranting.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengenalkan kembali paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana dirumuskan oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yaitu paham yang menekankan pentingnya moderasi dalam pelbagai aspek kehidupan, baik dalam ranah teologi, hukum, maupun spiritualitas.

Dalam perjalanan NU hingga usianya yang ke-84 tahun, masih banyak pihak yang tidak mengenal dengan baik paham tersebut, terutama bagaimana mengoperasionalisasikannya dalam konteks kekinian. Dalam pertemuan dengan pengurus dan kader NU di sejumlah daerah, penulis kerap kali mendengarkan bahwa paham moderasi NU tidak pernah disosialisasikan dengan serius oleh pengurus pusat. Konsekuensinya, paham yang begitu komprehensif tersebut terpisah dengan realitas sosial dan kehidupan sehari-hari.

Kedua, perlunya kaderisasi keulamaan yang menekankan dua aspek: kecendekiaan dan keasketisan. Ciri seorang ulama adalah mereka yang mengerti agama dengan baik dan mempunyai komitmen yang kuat untuk membimbing umat dari ketertinggalan dan ketertindasan. Ulama yang baik, menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya Uluminddin, adalah ulama yang tidak mudah terjerumus dalam godaan kekuasaan. Adapun ulama yang buruk adalah mereka yang mudah ditaklukkan oleh kekuasaan, apalagi dengan iming-iming harta dan kuasa.

Di dalam tubuh NU, penulis yakin masih banyak ulama yang baik, sebagaimana digariskan oleh Imam al-Ghazali di atas. Buktinya, mereka yang mempunyai kedalaman ilmu dan kepedulian yang tinggi terhadap umat masih tersebar hampir di seluruh pesantren yang berafiliasi dengan NU. Akan tetapi, sayangnya mereka tidak mempunyai peran strategis di dalam tubuh NU. Mereka ini masih mempunyai harapan besar perihal kebangkitan NU dalam konteks keumatan dan kebangsaan.

Ketiga, perlunya penyegaran kepemimpinan di segala tingkatan. Langkah ini mutlak diperlukan agar NU tidak dikuasai oleh mereka yang mempunyai tendensi harta dan kuasa belaka. Mereka yang memimpin NU harus betul-betul mengabdikan dirinya untuk pelayanan dan kemaslahatan umat. Pemimpin NU sejatinya harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi. Bahkan, jika mengikuti keteladanan Nabi Muhammad SAW, seorang pemimpin mestinya mempunyai pengorbanan yang amat tinggi dalam pelayanan umat.

Ketiga hal tersebut mutlak diperlukan untuk kebangkitan ulama kembali, sebagaimana telah dirintis oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan para ulama lainnya pada tahun 1926, lalu dikukuhkan kembali dalam muktamar NU 1948 oleh KH Achmad Shiddiq, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.

Dalam muktamar yang sedang digelar ini, harapan tentang kebangkitan ulama terus membahana. Karena hanya dengan cara seperti itu, NU akan tampil sebagai bagian terpenting di republik ini, khususnya dalam rangka mengukuhkan kebhinekaan, moderasi, dan nilai-nilai keadilan sosial. Selamat bermuktamar.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/25/04440825/momentum.kebangkitan.u

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Penulis Buku ”Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan

Thursday, June 16, 2011

Tradisionalisme dan Liberalisme NU

Kompas, 18 Feb 06

Oleh: Very Verdiansyah,

Judul buku: Menggugat Tradisi; Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU
Penulis : Masdar F Mas’udi, Said Agil Siraj, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi dkk
Penerbit : Kompas dan P3M
Tebal : xviii + 298 halaman
Terbit : September 2004

Para indonesianis-sebutan akrab bagi peneliti mancanegara-menyebut NU sebagai kalangan tradisionalis. Penyandangan "tradisionalis" bukanlah tanpa alasan. NU besar dan dibesarkan dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik (baca: kitab kuning) dan praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian terpenting dalam pandangan hidup kalangan nahdliyin secara umum. Berasal dari tradisi, oleh tradisi, dan untuk tradisi.

Begitulah, kalangan nahdliyin menancapkan identitasnya dalam lingkaran tradisi. Tradisi adalah harta karun yang harus diapresiasi sebaik mungkin untuk mempertahankan identitas dan membaca tanda-tanda zaman. Pesantren menjadi saksi sejarah kenyataan tersebut. Pesantren menjadi institusi pendidikan keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi. Namun, pertanyaan yang terlontar kemudian: apakah karenanya, NU patut dan selamanya menjadi tradisionalis?

Buku Menggugat Tradisi; Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU memberikan jawaban faktual bahwa di tangan anak muda NU tradisi menjadi jembatan untuk menuju emansipasi dan liberasi. Artinya, tradisi tidak hanya sekadar "mereproduksi dirinya" untuk dihadirkan kembali secara apa adanya, melainkan tradisi berpotensi untuk melahirkan pandangan-pandangan keagamaan progresif. Untuk itu, tradisi yang dilakoni anak muda NU bisa disebut sebagai "tradisi aktif", yaitu tradisi yang mengkritisi dirinya (al-turats yanqudu nafsahu).

Tentu saja sikap tersebut berbeda dengan kalangan tua (baca: kiai dan ulama terdahulu). Mereka, Allah yarhamuhum (semoga Allah mengasihi) para kiai tersebut membaca tradisi dengan kacamata zamannya dan kaidah keilmuan yang mendasari tradisi tersebut. Salah satu corak yang menonjol adalah pembacaan tradisionalis atas tradisi. Artinya, tradisi digunakan sebagai subyek dan obyek sekaligus. Tradisi dianggap sebagai kebenaran absolut. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut kenyataan ini sebagai pemandangan yang lumrah dalam lingkungan Muslim, baik di dataran Arab maupun di luar Arab. Tradisi pada akhirnya menjadi sebuah otoritas yang mandul, bahkan memandulkan. Dampak yang amat memprihatinkan selanjutnya adalah kalangan agamawan tidak bisa memisahkan antara "agama" dan "tafsir keagamaan".

Dalam buku ini, sejumlah intelektual NU, di antaranya: Said Agil Siraj, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, dan Khamami Zada mencoba untuk menyuguhkan tradisi yang hidup, tradisi yang aktif. Tradisi harus ditanggapi secara kritis dan ditinjau ulang agar berkesinambungan dengan kemodernan. Tradisi bukanlah tujuan. Tradisi hanyalah proses, hanyalah alat. Karenanya, tradisi tidak bersifat final. Tradisi bersifat relatif dan relevan untuk pelbagai ruang dan waktu.

Namun, yang perlu diperhatikan, bahwa dalam menanggapi tradisi secara kritis tidak menggunakan tradisi lain, melainkan menggunakan tradisi itu sendiri, sebab hakikatnya tradisi tidaklah tunggal. Tradisi seperti pisau yang mempunyai fungsi sekaligus: merusak dan membangun. Ada tradisi yang memasung kebebasan berpikir, tetapi tak sedikit tradisi yang membangkitkan, bahkan mengharuskan kebebasan berpikir. Karena itu, dibutuhkan pembaruan yang berasal dari dalam tradisi itu sendiri (al-tajdid min al-dakhil). Di antaranya tradisi ushul fiqh (kaidah-kaidah dasar fikih) yang menyediakan mekanisme penalaran progresif. Penalaran tidak menggunakan penalaran atas teks, melainkan perlu penalaran atas kemaslahatan yang melandasi dan menjadi tujuan dari pesan keagamaan.

Masdar F Mas’udi dalam buku ini menulis perlunya menjadikan mashlahat sebagai acuan Syariat, sebab yang fundamental dalam agama adalah kemaslahatan universal, atau dalam bahasa operasionalnya adalah keadilan sosial (hal 61). Dan ini membongkar pandangan klasik yang menyebut fundamen agama adalah teks literal dan pendapat seseorang. Menurut Masdar, hal tersebut merupakan dilema tradisi keagamaan, karena yang demikian menyebabkan mandulnya agama dalam membaca realitas problem kemanusiaan. Agama, atau lebih khusus fikih, berada dalam kungkungan teks. Fikih belum mampu menembus dunia konteks dan realitas kemanusiaan. Untuk menghadirkan diskursus kemaslahatan, Masdar menyuguhkan parameter keagamaan yang tidak hanya bertumpu pada halal-haram, melainkan harus menembus ranah publik yang mampu memberikan acuan bagi adil-dzalim.

Sementara itu, Ulil Abshar Abdalla mengajukan perlunya penyegaran pemahaman keagamaan. Menurut Ulil, dalam kurun waktu yang cukup lama, wawasan keagamaan kita bercorak teologis, teosentris. Wahyu dikonstruksi untuk membedah "dunia Tuhan", sedangkan "dunia manusia" tak tersentuh secara maksimal. Untuk itu, perlu wawasan keagamaan yang memberikan arahan bagi penghargaan terhadap manusia. Salah satu tesis yang diusulkan untuk mencapai wawasan antroposentrisme, yaitu menghindari bibliolatry (penyembahan pada teks). Teks suci harus dipahami dalam konteks historisnya. Ia menyerukan pentingnya pembacaan yang mampu melampaui lafadz menuju wawasan etis yang tersimpan dalam pesan Tuhan. Wawasan etis merupakan pesan Tuhan yang utama.

Bukan hanya itu saja, sejumlah anak muda NU mengajukan tesis "Islam Pribumi", yaitu model keberislaman yang mengakomodasi budaya keindonesiaan. Anak muda NU di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU), seperti Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Abdul Mogsith Ghazali, dan Mushaffa Basyir menyerukan perlunya kritik atas Arabisme Islam. Wacana tentang pemurnian agama dan radikalisme merupakan tantangan serius. Sejumlah gerakan keagamaan mutakhir mengampanyekan wawasan yang bercorak arabis. Di sinilah Islam Pribumi melihat pentingnya wajah Islam Indonesia yang terbuka terhadap budaya-budaya lokal. Islam Pribumi menyerukan perlunya menghargai praktik-praktik keagamaan yang tumbuh dalam ranah budaya lokal. Al-'adah muhakkamah (adatistiadat menjadi salah satu sumber hukum), demikianlah kaidah fikih memberikan rasionalisasi.

Sungguh, beberapa pikiran segar yang terdapat dalam buku ini menarik untuk dibaca karena menyuguhkan sejumlah pandangan keagamaan yang tidak sama dengan pandangan mayoritas pada umumnya. Bukan hanya itu, buku ini juga memuat beberapa pikiran yang dihasilkan dalam Muktamar Pemikiran Islam NU, yang diselenggarakan 3-5 Oktober 2003. Di antaranya perihal dinamika internal pemikiran anak muda NU, metodologi dan kerangka praksis pemikiran keislaman NU.

Selain itu, buku ini memotret wajah pemikiran keislaman anak muda NU di Mesir. Muhammad Guntur Romli menulis, geliat pembaruan pemikiran keislaman menunjukkan kebangkitan NU di masa mendatang. Sepintas anak muda NU masih tradisional, tapi sesungguhnya mereka menyimpan liberalisme dan pandangan keagamaan yang progresif.

Atas dasar itu, Cak Nur dalam pengantarnya menulis, bahwa ketradisionalan NU bukanlah anti-kemodernan, melainkan menyimpan potensi yang luar biasa untuk melahirkan pandangan keagamaan yang maju. "Geliat pemikiran yang terjadi di tengah-tengah anak muda NU membuktikan bahwa tradisi tidak selamanya buruk dan anti-kemodernan," tulis Cak Nur.

Buku ini juga memuat pengantar secara panjang lebar oleh Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU sekaligus sebagai koordinator nasional perhelatan muktamar pemikiran Islam NU. Dalam kata pengantarnya, Zuhairi menjelaskan akar-akar geneologis pemikiran anak muda NU, dari yang tradisionalis, liberal dan ultra-liberal, hingga fokus-fokus yang menjadi perhatian anak muda NU. Sungguh, buku ini membukakan jendela pemikiran dalam lingkungan NU, yaitu dari tradisionalisme menuju liberalisme.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0411/28/Buku/1400839.htm

Very Verdiansyah, Peneliti di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Wednesday, June 15, 2011

NU and the Quest of Moderate Islam

By Mohamad Abdun Nasir

In April 14,2010, The Jakarta Post run an article about the role of religious organizations in keeping the country unity. The author gives a particular attention to NU. He argues that this organization holds a pivotal role in keeping the stability of the country. I agree absolutely. Historically this largest Islamic organization participated actively in the Independence movement. The state has awarded NU founding fathers as national heroes. Unlike recent flourishing Muslim organizations that maintains strong Islamic transnational networks and envisions the establishment of an Islamic state, NU was established in this country. To this organization, Pancasila is final and national unity is nonnegotiable. Looking at these records, it is unintelligible to question NU’s loyalty to the state. Discussing its spirit of nationalism is redundant.

Instead, the real question now is about its religious ideology. Is it still moderate or attuned to be conservative? Certainly NU, along with Muhammadiyah, is not extreme or radical. They are often regarded as the representation of moderate Indonesian Islam. However, if we consider recent cigarette, bank interest, early marriage and female genital mutilation fatwas issued by these two organizations respectively, we may question their moderateness.

NU has lately released two edicts regarding early marriage and female genital circumcision. The fatwa approved these highly controversial matters. A couple month ago, the Forum of East Java Female Pesantren, associated virtually with NU, declared that Facebook is forbidden (if it is misused). These fatwas are staggering.

As far as it is concerned, there is authoritative texts that neither conjoin nor forbid early marriage and the genital mutilation. The scripture does not set a limit for a proper minimum marriage age. No Qur’anic verse nor a sound Prophetic tradition sanction female genital mutilation. The fatwa were thus likely issued on the basis of secondary texts, such as jurist legal works. By endorsing such fatwa at the expense of primary texts and of social, economical and medical issues where early marriage could lead easily into family disharmony, manipulation and abuse and the genital mutilation could create women’s sexual and health problems, the fatwa echoes a setback in Islamic legal thought.

KH. Sahal Mahfudz, a re-elected NU Chairperson, once pronounced the idea of Fikih Sosial, a notion that Islamic law is best perceived as a social ethic for social enforcement. The idea reflects a strong wish to develop the methodology of Islamic law (manhaj) rather than to embrace its products (qaul) uncritically. Similarly, the late KH. Abdurrahman Wahid launched the idea of Pribumisasi Islam to ground Islam deeply rooted in its historical context. Islam in this perspective is conceived of being a universal and cosmopolitan religion that is able to interact with its local contexts. Islam is dialogic, accommodative and responsive. These are a bright idea, yet they apparently remain underdeveloped. The issuance of the two fatwa is a glaring example emerging conservatism and a bitter blow to that reform spirit.

A newly announced NU Central Board Member is dominated by male figures. Even no female member is found. This does not necessarily mean harmful, but another indication of its conservative bias and patriarchalism. In this view, women are seen inappropriate to occupy a central position in Islamic leadership. NU has for sure woman’s wing organizations, such as Muslimat and Fatayat. Yet, its central board that has the highest authority to direct the organization and to compose its strategic plan and agenda remain lacked of female figures. This could strengthen patriarchal and gender biases, as the two fatwas already demonstrated.

NU has a great number of potential cadres and female activists who are engaging in women’s empowerment at the social basis and local level. Pesantren, as its mass and cultural basis, has to a considerable degree participated in gender mainstreaming. Many pesantren have conducted various training in reproductive health, women’s life skill and human right campaigns. Pesantren graduates have also successfully made strong and qualified publications regarding gender issues, such a widely-read book Fikih Perempuan by progressive figure KH. Husein Muhammad. It is therefore justifiable to ask why these progressive button-up movements and reform spirits and voices from below do not touch its elite central organization. Are the myth of women as a source of chaos (fitna) and misogyny, as these are preserved in traditional literature circulated and read in traditionalist Islamic schools, still so appealing? This is perpetual theme, that should be addressed immediately.

Conservatism has also encouraged a fierce controversy over the involvement and active participation of NU young generations in Islamic liberal networks. This resentment has catapulted Ulil Abshar Abdalla from taking any position in its central board organization despite the fact that he was one of the chairperson candidates who earned not insignificant votes. These all are noticeable features, from which we might interpret NU’s current religious ideology.

It is of course unfair to judge NU new board regressive until it is conversely proven. The new board has just been elected and perhaps has not begun drawing upcoming agenda. However, it is now a right moment to raise the question on moderatism, hoping that they do not repudiate to accommodate this other voice from below. The phenomena discussed here are a real challenge that this organization faces. Managing such issues will considerably determine in its own image and character building as moderate. Success to resolve this challenge will move its position into the middle way. We hope and wait, but do not want to be disenchanted.

The writer is an Atlanta-based member of North America NU Community.

http://read00.blogspot.com/

Tuesday, June 14, 2011

Muktamar NU Karakter (Memilih) Pimpinan Kaum Sarungan

Koran Sindo, 24 Mar 10

Oleh: Laode Ida

Peranan figur pimpinan dalam Nahdlatul Ulama (NU) baik di jajaran Tanfidziyah maupun (apalagi) Syuriyah,diakui atau tidak, memiliki peranan yang sangat signifikan.


Soalnya, dalam organisasi ini sungguh-sungguh memiliki watak patronatif,tempat berhimpunnya para patron dari seluruh nahdliyin dari berbagai kelompok basis. Pengakuan terhadap figur yang dijadikan patron dimulai dari bawah, dari pesantren- pesantren,dan atau dari suatu satuan komunitas penganut ahlusunnah waljamaah. Berbeda dengan pola hubungan antara kiai dan para santri atau jamaahnya, hubungan antar kiai (patron) satu dan lainnya adalah setara, egaliter, bukan subordinatif. Maka untuk menjadi pimpinan dalam organisasi NU baik di tingkat daerah maupun (apalagi) di tingkat nasional tidaklah mudah, karena harus memperoleh pengakuan dari para tokoh lokal itu.

Proses-proses seperti itu tentu saja sungguh-sungguh tidak mudah dan tak bisa pula tercipta dalam waktu singkat, harus dimulai dengan membangun pencitraan untuk meyakinkan figur-figur lain tentang berbagai kelebihannya. Karena itu pula, ketika seseorang terpilih menjadi pimpinan NU, figur yang bersangkutan akan semakin mapan dan mengakar di kalangan para tokoh nahdliyin bersamaan dengan pengaruhnya yang lebih besar lagi di intern NU dan publik bangsa.Tak heran kemudian kalau figur bersangkutan umumnya kembali diminta untuk tetap bertahan menakhodai NU untuk periode kepengurusan berikutnya.

KH Idham Cholid, misalnya, pernah menjadi ketua Tanfidziyah NU (dengan status organisasi sosial keagamaan dan sekaligus sebagai partai–yang terakhir ini hanya sampai awal 1970-an di mana setelah itu NU merupakan elemen dari fusi PPP) selama 32 tahun (1952-1984). Dia bukan bebas dari kritik tajam.Dalam muktamar ke-26 di Semarang (1979), tokoh putra Kalimantan Selatan itu bahkan pernah dihujat dengan sangat keras oleh muktamirin sehingga sudah seperti berada di ujung tanduk.

Namun, seperti yang direkam oleh ahli NU asal Jepang Mitsuo Nakamura,dengan cara dan segala kerendahan hati meminta maaf atas segala kekeliruannya seraya menetes air mata,hati (yang terkesan keras) dari para kiai dan muktamirin pun jadi luluh.Kemudian dia didaulat untuk kembali memenuhi harapannya memimpin kaum sarungan itu lima tahun berikutnya. Demikian juga dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memimpin NU selama tiga periode (1984-1999).

Dia benarbenar tampil sebagai pimpinan NU yang dikenal dan diakui publik nasional dan internasional buah dari pemikiran dan gerakannya yang sangat progresif di bidang HAM dan demokratisasi di Indonesia,termasuk di dalamnya membangun paradigma toleransi hubungan antar umat beragama. Karena pengaruhnya itu pula,dia mampu melakukan perubahan posisi politik lembaga Tanfidziyah dari yang semula terkonsepsikan hanya sebagai pelaksana dan di bawah kendali lembaga Syuriyah (Rois Am), dalam realita politiknya justru tampil sebagai “pengendali” dari seluruh elemen NU termasuk di dalamnya lembaga Syuriyah.

Gus Dur juga, selama memimpin NU, sungguh tidak lepas dari berbagai kritik tajam dari kalangan kiai, terutama karena pemikiran serta tindakan sosial dan politiknya yang dianggap jauh melampaui batas-batas tradisi kaum sarungan. Namun, dengan segala kecerdasannya, dia mampu menjelaskannya (kendati tak selalu harus meyakinkan seluruh pengkritiknya), karena ia tahun betul bagaimana dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi komplain para tokoh Islam tradisional yang konservatif. Apalagi dia dikenal dari keluarga inti NU di mana banyak pula yang menganggapnya sebagai “tak mungkin membawa komunitas habitatnya ke jurang kehancuran”.

Dengan posisi sosial dan politik seperti itu,andai saja Gus Dur ingin tetap memimpin NU di posisi Tanfidziyah, muktamar di Lirboyo pada 1999 niscaya akan sangat mulus terpilih kembali, apalagi saat itu dia menjabat sebagai Presiden RI ke-4 (pilihan MPR).Gus Dur lebih memilih melakukan regenerasi dengan rekomendasi utamanya kepada KH Hasyim Muzadi yang kemudian memimpin NU selama sepuluh tahun (dua periode). Kalau tak berubah sikap, KH Hasyim Muzadi juga akan melakukan regenerasi dalam Muktamar Ke- 32 di Wisma Haji Sodiang, Makassar ini, kendati kalau saja masih mau kembali memimpin Tanfidziyah PBNU niscaya masih akan sangat mulus terpilih.

*** Proses memilih pemimpin NU memang sungguh sangat unik, karena memang cikal bakalnya lebih mengandalkan kepercayaan berdasarkan faktor-faktor khusus yang lebih mekanik ketimbang pertimbangan yang lebih rasional dalam ukuran yang sebenarnya. Selain Gus Dur sebagai kekecualian, figur-figur yang secara modern dianggap pintar dan terkenal sekalipun, belum menjadi ukuran untuk dikatakan layak untuk dipilih menjadi pemegang otoritas tertinggi di dalam NU.Apalagi mereka yang sudah sejak awal diberi label sebagai kontroversi sementara basisnya tidak terlalu kuat, berkarakter urbanis atau kurang memiliki relasi sosial dengan kalangan kiai dengan basis komunitas desa,sudah pasti akan sangat sulit penerimaannya di kalangan pemilik suara.

Begitulah karakter figur yang dikehendaki dan atau ditolak.Meski demikian, dalam sejarah keberadaan NU, figur yang pernah menjadi pimpinannya dari dua sumber utama,yakni keluarga inti NU (utamanya dari bani Hasyim Asy’ari) dan santri-santri yang menjadi kepercayaan pihak keluarga darah birunya.Figur yang dari keluarga pendiri NU ada dua orang, yakni KH Idham Cholid dan KH Hasyim Muzadi. Namun, inilah yang menjadi karakter pewarisan pimpinan di dalam tradisi NU di Jawa, figur di luar keluarga inti NU haruslah benar-benar dipercaya dan atau menjadi “anak manis” dari para patronnya, sehingga diharapkan bisa tetap dikendalikan oleh mereka-mereka yang dianggap sebagai pemilik otoritas kultural jamiyah tadi.

Kapan figur pimpinan dari luar keluarga darah biru yang dipercaya itu, dalam proses kepemimpinannya,sedikit menunjukkan jati diri sesungguhnya dan atau dianggap berseberangan dengan pihak yang semula mempercayainya, posisinya akan sangat “tidak aman”. Begitulah, kalau mau jujur diakui, yang sedikit dirasakan oleh KH Hasyim Muzadi setelah terkesan berseberangan dengan patron awalnya, Gus Dur–di mana semula sebenarnya boleh dikatakan sebagai bagian dari “santri manis”.

Maka ketika dalam muktamar kali ini muncul sejumlah nama di luar keluarga inti NU yang bertarung memperebutkan baik posisi ketua umum Tanfidziyah maupun Syuriyah dan akan bersaing dengan figur-figur dari keluarga cikal bakal pendiri NU,kemudian muncul pertanyaan: mampukah mereka memenangkan pertarungan? Kita tunggu saja hasil muktamar.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/312898/

Laode Ida
Sosiolog dengan Tesis dan Disertasi tentang NU, Wakil Ketua DPD RI

Monday, June 13, 2011

Ketika "Kaum Sarungan" Terlibat Muktamar NU


Oleh: Aswin Rizal Harahap Dan M Zaid Wahyudi

Shalatullah salamullah...”. Lantunan shalawat Nabi yang dikumandangkan kencang oleh peserta Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama terdengar menggema di arena pembukaan muktamar di Celebes Convention Centre di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (23/3) siang. Lantunan shalawat itu seperti air yang menyejukkan saat sempat terjadi adu tegang antara petugas dan peserta yang hendak menerobos masuk ke arena pembukaan muktamar.

Kala itu, sekitar dua jam sebelum acara digelar, ruangan tempat pembukaan muktamar penuh. Seluruh kursi terisi. Petugas pun mengarahkan peserta tak memaksakan diri untuk masuk. Namun, banyak muktamirin (peserta muktamar) yang merasa diundang bertahan, tak beranjak dari antrean di muka pintu yang sudah tertutup.

”Kami dapat undangan, masak tidak boleh masuk. Kasihan ulama yang sepuh-sepuh,” ujar seseorang di tengah kerumunan seraya mendorong tubuhnya agar bisa masuk ruangan.

Dalam sekejap, lantunan shalawat itu ibarat komando yang membuat peserta merangsek. Petugas pun tidak mampu lagi membendung. Alhasil, peserta langsung berdesak-desakan agar bisa cepat masuk ke arena pembukaan muktamar. Alat pendeteksi logam (metal detector) yang semula digunakan tak lagi berarti. Alat itu dipinggirkan.

Pemandangan hari itu memang berbeda. Biasanya, setiap acara resmi yang dihadiri presiden atau wakil presiden standar pengamanan yang diterapkan Pasukan Pengamanan Presiden selalu ketat. Bukan hanya pemeriksaan memakai pendeteksi logam, melainkan juga sampai cara berbusana pun harus rapi dan formal. Akan tetapi, itu semua seperti tidak berlaku pada pembukaan Muktamar Ke-32 NU.

Jika biasanya peserta acara resmi dilarang memakai celana jins dan harus memakai sepatu, muktamirin seperti mendapat keleluasaan. Mereka boleh datang bersarung dan memakai sandal. Gaya sarungan atau bersandal boleh jadi merupakan ciri khas warga nahdliyin.

Pada pembukaan Muktamar NU, menerapkan standar pemeriksaan sangat ketat sepertinya tak mudah dilakukan. Muktamirin yang hadir jumlahnya ribuan orang, baik laki-laki maupun perempuan, muda ataupun sepuh. Bahkan, dua jam sebelum dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pukul 13.00, lokasi itu sudah dipenuhi muktamirin. Sejumlah pintu tak mampu menampung peserta yang ingin masuk ke dalam ruangan. Akibatnya, terjadi antrean di setiap pintu masuk. Petugas segera menutup pintu begitu ruangan penuh.

Tetap sabar

Walau banyak kemudahan yang diterima peserta muktamar, mereka juga harus dihadapkan banyak kerumitan, mulai dari arus lalu lintas di sekitar lokasi, banyaknya peserta yang tak mendapat kursi, hingga koordinasi peserta yang terkesan kacau. Banyak peserta muktamar kebingungan dari pintu mana mereka harus masuk.

Maklum, tamu yang harus diurus mencapai lebih dari 4.000 orang dengan melibatkan banyak tokoh dan pejabat, mulai dari Presiden, menteri, anggota DPR, tokoh partai politik, sampai ulama. Selain itu, hadir pula duta besar dari belasan negara, puluhan mufti dari sejumlah negara, hingga warga awam.

Di dalam ruangan pertemuan, udara terasa pengap dan panas, tetapi itu tidak membuat mereka hengkang dari kursinya. Meski jenuh karena lama menunggu, mereka tetap sabar menanti dimulainya perhelatan akbar NU lima tahun sekali itu.

Untuk mengusir kejenuhan, sejumlah peserta muktamar memilih berjalan-jalan mengunjungi peserta lain, berfoto bersama teman, atau membaca koran yang berulang kali dibaca. Ada pula peserta yang memilih tidur terlebih dahulu dengan menyandarkan kepala pada sandaran kursi di depannya.

”Tidak jelas kapan acara akan dimulai. Di undangan disebutkan acara mulai pukul 13.00, tetapi kami diminta berangkat ke lokasi pembukaan sejak pukul 07.00. Tiba di lokasi sejak pukul 09.00,” kata Mappasabbi (40), Sekretaris Pengurus Cabang NU Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Untuk mengusir udara panas, sebagian besar peserta menggunakan buku kecil pidato iftitah (pembukaan) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar NU KH MA Sahal Mahfudz sebagai kipas.

Selain itu, agar nyaman, mereka juga duduk dengan meletakkan salah satu kaki bersila di kursi dan menanggalkan sandal atau duduk selonjor. Mereka juga bebas menikmati makanan dan minuman yang dibagikan panitia sebagai pengganjal rasa lapar. Bahkan, di sisi kanan panggung, termasuk ketika Presiden memberikan pidato, muktamirin duduk lesehan di atas karpet. Itulah suasana yang terasa tak umum jika dibandingkan dengan acara resmi yang dihadiri Presiden.

Lain di dalam, lain pula di luar ruangan. Sebagian peserta muktamar memilih duduk di luar ruangan demi mendapat udara segar, bebas bergerak, dan bebas merokok. ”Lebih enak di luar karena sejuk dan bisa merokok,” ujar As’ad Gazeli (50), anggota Pengurus Cabang (PC) NU Martapura, Kalimantan Selatan.

Bagi As’ad, pembukaan muktamar kali ini adalah yang ketiga kali diikutinya. Sebelumnya, ia mengikuti muktamar di Yogyakarta tahun 1989 dan Boyolali (2004). ”Bagi kami, pembukaan hanya sekadar seremoni. Kami juga tidak datang jauh-jauh untuk melihat acara dibuka, tetapi karena ingin bertemu teman dan berwisata,” tutur Wildani (48), rekan As’ad, yang juga pernah mengikuti dua muktamar sebelumnya. Wildan dan As’ad tak kecewa karena gagal mengikuti acara pembukaan di dalam gedung akibat terlalu penuh.

Ketua PC NU Bondowoso, Jawa Timur, Abdul Qodir Syam (55) pun mengaku tak menyesal tak mengikuti seremonial pembukaan muktamar secara langsung. Ulama yang lima kali mengikuti muktamar itu menilai agenda lain dalam muktamar jauh lebih penting dibandingkan dengan pembukaan. ”Mungkin pembukaan lebih cocok bagi ulama muda atau peserta yang baru kali ini mengikuti muktamar,” katanya enteng.

Warga NU memang dikenal memiliki karakter yang unik. Mereka sering diidentikkan dengan masyarakat tradisional yang bergerak mencicipi modernitas. Namun, mereka tetap aset bangsa ini.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/24/02470024/ketika.kaum.sarungan.t

Aswin Rizal Harahap Dan M Zaid Wahyudi
Kompas

Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 24 Mar 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11751&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org