Friday, March 18, 2011

Hasan Hanafi: Islam Adalah Pandangan Moderatisme

Oleh Administrator
Sabtu, 06 November 2010 02:21

Kairo-, Kamis 4/11/10, LAKPESDAM Mesir sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia di lingkup kader NU Mesir, mengadakan Simposium di Auditorium Shalah Kamil dengan mendatangkan Prof. Dr. Hasan Hanafi, pemikir revolusioner Mesir. Acara yang juga disiarkan secara langsung oleh radio NUR Mesir ini dimoderatori langsung oleh koordinator Lakpesdam, Ahmad Hadidul Fahmi, dan hendak mengupas tuntas tentang gerakan-gerakan Islam kontemporer, berikut pola interaksi yang baik dengan mereka. Acara ini bertema Hiwâr ma`a al-Harakât al-Islâmiyyah al-Mu`âshirah”.

Tema yang diusung sebagai bentuk respon terhadap beberapa kelompok Islam pergerakan yang muncul dengan orientasi yang cukup beragam, dan tak jarang menjurus pada aksi anarkis. Meski demikian, Hasan Hanafi menghimbau agar tidak menggunakan istilah-istilah yang provokatif dan cenderung menyudutkan, apalagi yang mengarah pada ‘sikap justifikatif’ atas kelompok-kelompok tertentu, seperti teroris (irhâb) ataupun ekstrim-radikal (tathrarruf), paparnya. Karena sejatinya, realitas sendiri adalah sikap (al-wâqi` huwa al-tatharruf). Sehingga, menyeruaknya berbagai gerakan Islam ditengah riak-riak fenomena sosial modern, dengan piranti pembacaannya yang berbeda, aksiomatis akan memunculkan sikap yang beragam pula.

Perbedaan pendapat di berbagai kalangan inilah yang seharusnya menyadarkan umat Islam untuk senantiasa membuka kran dialog, bukan semacam pendekatan-pendekatan dogmatis-ideologis. Setidaknya, dengan dialog, tidak ada ‘aksi justifikatif’ dari satu kelompok terhadap yang lain, sehingga kemunculannya tidak hadir dalam bentuk yang –paling- arogan. Karena yang terpenting, bukan bagaimana memaksa perbedaan digeret pada bentuk tunggalitas epistemik, tapi membuat suatu wadah yang mampu mendialogkan berjubel corak paradigma yang diusung masing-masing kelompok. Yaitu, bagaimana semuanya mampu memberikan solusi terhadap fenomena tersebut, bukan malah menambah runyam tatanan peradaban.

Namun sangat disayangkan, sikap dogmatis-ideologis, arogansi teologis hingga budaya saling meng-kafir-kan masih menjadi trend beberapa gerakan Islam. Fenomena pergerakan ini telah menghadirkan Islam sebagai agama ‘seram’. Bagi Hasan Hanafi, walaupun mereka cenderung keras dan rigid, tapi sepatutnya tak lantas berhenti berdialog dengan mereka. Karena terbentuknya disharmonitas antar gerakan tersebut, ditengarai sebagai ekses dari ekslusivitas paradigma berpikir yang menyeruak. Sehingga dengan dialog yang intens, akan sedikit-banyak mereduksi paradigma tersebut, tanpa harus ada sikap saling meng-kafir-kan. Karenanya, “apabila seseorang mengucapkan kalimat syahadat, dan ia masih dalam tataran ‘berpikir, orang tersebut masih Islam”, tegasnya. Untuk itu, perlu adanya reinterpretasi terhadap Islam, karena Islam bukan hanya agama, tapi juga sejarah, peradaban dan solusi.

Berpijak pada kenyataan bahwa Islam bukan hanya Agama, Hasan Hanafi mencoba mewacanakan, hendaknya Islam dibumikan pada tempat dan kondisi tertentu, melalui penyesuaian dengan kultur-budaya masyarakat setempat. Hal ini seperti apa yang sudah dipraktekkan melalui pesantren-pesantren yang bertebaran di Indonesia. Peranan pesantren ini telah menjadikan tranformasi Islam lebih cepat dan mudah diterima oleh banyak kalangan di tanah Jawa –khususnya. Pendekatan Islam kultural ini –bagi Hasan Hanafi--adalah potret Islam yang membumi. Menurutnya, Islam yang membumi merupakan representasi Islam yang tidak hanya berkutat pada struktur, tapi lebih mengedepankan kultur. Bahkan disinggung di awal pembicaraannya, bagaimana sikap-sikap Gus Dur terhadap setiap fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Dia juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para kader NU yang mampu berdinamika dengan baik dan konsisten dalam bidang keilmuan di Indonesia. Bagi Hasan Hanafi, Indonesia adalah percontohan Islam kultural. Menurutnya, Indonesia adalah ka`bah Islam di Asia, sebagaimana Mesir ka`bah Islam di dunia Arab (Indonesia ka’bah al-Islam fi Asia kamâ anna Mashr ka’bah al-Islam fi duwal al-‘arabiyyah).

Selanjutnya, Hasan Hanafi memaparkan bahwa gerakan-gerakan Islam berakar dari imperialisme Barat sebagai faktor eksternal (al-mil al-khârijiy) kemunculannya. Faktor eksternal ini tak hanya terjadi di Negara Arab, melainkan juga di Indonesia. Disamping itu, pelbagai ‘benturan pemikiran’ dalam tubuh umat Islam ditengarai sebagai faktor internal (al-mil al-dâkhiliy) yang melandasi gerakannya. Maka, gerakan Islam (al-harakât al-Islâmiyah) sejatinya merupakan fenomena sosial yang terlahir dari faktor-faktor yang melingkupi, baik eksternal ataupun internal.

Dari perbedaan latar belakang kelompok pergerakan tersebut, seruan mereka sebenarnya berkisar pada; Pertama, Islam adalah solusi (al-Islam huwa al-hâll) untuk pelbagai ketimpangan sosial. Kedua, Islam adalah alternatif (al-Islam huwa al-bâdil). Pada saat masyarakat merasa sistem sosialisme gagal, kapitalisme ambruk, mulai muncul perasaan bahwa Islam adalah alternatif terbaik dari sistem itu semua. Ketiga, kedaulatan Tuhan (al-hâkimiyah liLLah); berawal dari model kepemimpinan manusia (basyar) yang gagal, mereka pun mengembalikan pada Tuhan sepenuhnya. Keempat, penerapan Syariat Islam; mereka merasa dengan penerapan syariat Islam akan bisa merubah keadaan menjadi lebih baik. Sayangnya mereka selalu berpijak pada pembacaan Islam klasik, dengan mengabaikan sekat ruang-waktu. Sehingga yang muncul adalah paradigma pembacaan Islam yang arogan, baik arogansi teologis maupun fikih. Tentunya, sikap eksklusif dan anti dialog ini seringkali berakhir dengan kekerasan. Padahal, dimensi ruang-waktu ini sangat diperhatikan Islam, dengan hadirnya konsep nasikh-mansukh yang sangat berkelindan kuat dengan konsep mashâlih. Konsep ini sangat penting agar terbentuk relevansi agama dengan fenomena sosial.

Sejatinya, Hassan Hanafi tak mengingkari seruan-seruan tersebut, tapi harus ada reinterpretasi akar epistem yang dikembangkan gerakan-gerakan tersebut pada beberapa sisi yang mulai keropos digerogoti masa. Hingga akhirnya, Islam hadir seperti apa yang dicita-citakan, menjadi rahmat bagi seluruh peradaban manusia seutuhnya. Hasan Hanafi kemudian mencontohkan kelompok IM (ikhwân al-muslimîn) dan Hizbu Tahrir Indonesia –dalam konteks Indonesia, dan beberapa gerakan lainnya. Seruan khilâfah yang digaungkan beberapa kelompok Islam tersebut--dengan bertendensikan pada pola pemerintahan awal Islam untuk kemudian diterapkan pada sosio-kultur masyarakat modern--sangatlah cacat secara epistemik. Untuk itu, harus dibedakan terlebih dahulu antara gerakan Islam politik (al-harakât al-siyâsiyah) dengan gerakan agama (al-harakât al-dîniyyah). Baginya, baik IM maupun HTI sejatinya bukanlah gerakan keagamaan, tapi murni gerakan politik. Baik IM maupun HTI selalu mencari dalil-dalil agama untuk menyusun kekuatan politik. Dari sini, banyak pemaknaan ayat-ayat agama menjadi kabur dan tereduksi.

Hasan Hanafi juga memaparkan bahwa sejatinya jika berpijak pada sejarah Islam klasik, DNA ideologi mereka berkelindan dengan sekte Khawarij, yaitu sekelompok orang yang pada awalnya mendorong sahabat Ali ibn Abi Thalib untuk menerima tawaran Muawiyah ibn Abi Sufyan, terkait tahkîm (arbitrase-perundingan) di tengah berkecamuknya perang Siffîn, kemudian mereka keluar (desersi) dari barisan Khalifah Ali, setelah hasil perundingan kedua belah pihak tidak sepaham dengan mereka. Hasan Hanafi mengingatkan, seharusnya muslim mengingat fenomena sejarah kelam peradaban Islam dulu. Untuk itu, paradigma demokrasi sangatlah tepat bagi kultur masyarakat modern. Karena didalamnya, ada semangat dialog yang diusung, bukan arogansi politik, sebagaimana Pancasila yang dijadikan pijakan dasar Republik Indonesia.

Di akhir kata, Hasan Hanafi menjelaskan bahwa Islam adalah pandangan moderat (wasâthiyyah) terhadap kehidupan, bukan radikalis (tatharruf). Untuk mendekati prespektif Islam yang moderat adalah dengan cara dialog. Untuk itu, kita harus mambudayakan sikap dialog demi mencapai kebenaran, karena kebenaran akan selalu beragam, ungkapnya. Ia juga berharap, agar Nahdlatul Ulama mampu memberikan solusi untuk umat. NU harus mengembangkan konsep-konsep moderatismenya, sehingga bisa banyak memberi perubahan sosial, pungkas Hasan Hanafi.

Selepas acara, Subhan Azhari, ketua panitia Simposium Lakpesdam, ketika diwawancari LMI NU menyatakan kepuasaannya atas suksesnya acara. Terbukti, acara yang dihadiri delegasi organisasi dan kekeluargaan Masisir, serta utusan berbagai negara mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai pihak. “Tak lupa kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama seluruh pihak yang turut serta mensukseskan acara besar Lakpesdam ini”, ujarnya sembari tersenyum. (Abang Lihun)

http://lakpesdam.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=35:hasan-hanafi-islam-adalah-pandangan-moderatisme&catid=4:berita&Itemid=4

No comments:

Post a Comment