Tuesday, July 26, 2011

Harlah ke-88 Nahdlatul Ulama dari NU untuk Indonesia

Republika, Selasa, 21 Juni 2011

Oleh Muhammadun AS

Pada 16 Rajab 1432 H/18 Juni 2001, Nahdlatul Ulama (NU) berusia 88 tahun. Usia menjelang seabad ini penting untuk menjadi refleksi organisasi NU dalam menyusun strategi perjuangannya. Hiruk-pikuk sosial politik dan makin gencarnya arus globalisasi menghadirkan tantangan serius bagi NU, sehingga NU perlu meneguhkan kembali spirit perjuangan yang telah ditanamkan para pendiri serta mencipta inovasi baru dalam gerakan dakwahnya. Ini tak lain agar NU bisa terus menjawab persoalan zaman dengan kaidah kemaslahatan publik yang selalu dipegangi.

Membaca jejak NU jelang seabad sekarang ini tak bisa dilepaskan dari Kota Surabaya. Di Surabaya inilah jejak-jejak NU terpahat, baik dalam artefak fisik maupun artefak imajinatif. Jejak-jejak itu menjadi sumber energi bagi NU untuk tetap eksis dengan jati dirinya. Jejak-jejak terpantul di Surabaya, seperti dalam daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya. Daerah itu menjadi tempat rapat para kiai sebelum NU berdiri. Kemudian, rumah KH A Wahab Hasbulllah di Kampung Kawatan, Surabaya, merupakan tempat lahirnya organisasi NU pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926.

Para kiai yang berkumpul di rumah KH A Wahab Hasbullah datang dari Jawa dan Madura. Pertemuan bersejarah itu dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Ma’sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), dan KH Abdullah Faqih (Gresik).

Para kiai sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Para kiai juga sepakat mendirikan organisasi (jam’iyah). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah, seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Surabaya, 1344 H).

Bukan itu saja, Surabaya memantulkan jejaknya untuk NU. Sejak 1926-1950, kantor pusat NU berada di Surabaya. Sejak 1926-1945, kantor PBNU berada di Jl Sasak No 32, Surabaya, yang tak lain adalah rumah H Hasan Gipo (Presiden PBNU 1926-1934). Saat Surabaya direbut Belanda pada 10 November 1945, KH Muhammad Dahlan, konsul NU Jawa Timur, memindahkan ke Jl Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan.

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor PBNU ke Jl Dr Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948, meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Agresi Militer Belanda II, kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibu kota RI kembali ke Jakarta pada 1950, PBNU baru pindah ke Jakarta.

Masa-masa NU di Surabaya merupakan masa generasi perintis sehingga mewariskan jejak agung ihwal prinsip, visi, misi, dan gerak perjuangan. Selain sebagai perintis NU, para kiai waktu itu juga para perintis pesantren ternama di Indonesia saat ini. Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Pesantren Tebu Ireng, Kiai Bisri Syansuri sebagai pendiri Pesantren Denanyar Jombang, dan sebagainya. Tak salah kalau sekarang ini para generasi awal selalu dirindukan dalam berbagai forum NU, baik dalam muktamar, munas, konferensi, maupun sidang pleno.

Menegakkan NKRI

Walaupun saat itu berkantor di Surabaya, NU sudah menunjukkan visi kebangsaannya dalam menjaga dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini dibuktikan dengan perjuangan para kiai yang selalu mengumandangkan Indonesia merdeka. Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar NU pernah ditahan Jepang karena mambangkang, tidak mau menyembah matahari, saikere. Kiai Hasyim tidak ingin Indonesia membungkuk kepada penjajah. Indonesia harus tegak, berdiri dengan sekuat tenaga, walaupun nyawa taruhannya. Penjara tidak membuat Kiai Hasyim berubah pendirian.

Kemudian, tatkala Belanda melakukan Agresi Militer I pascakemerdekaan, Kiai Hasyim menyerukan resolusi jihad menentang penjajah pada 22 Oktober 1945. Resolusi tersebut mewajibkan perang melawan penjajah dalam dalam lingkaran 94 km. Resolusi itu berbunyi: “…

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe

Fardloe ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedodoekan moesoeh. Bagi orang-orang jadi berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep, kalau dikerdjakan sebagian sadja) …”

(Resolusi Jihad NU 1945).

Kemudian saat negara menetapkan Pancasila sebagai dasar negara pada awal 1982, NU merupakan organisasi sosial keagamaan pertama yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggalnya.

Hal itu terjadi dalam Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Kiai Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid saat itu menjadi inisiator gerakan NU untuk Pancasila. Kemudian saat reformasi bergulir pada 1998, kala organisasi kembali berbaju agama, NU tetap menjaga visi kebangsaannya. NU selalu tampil untuk menjaga, menegakkan kedaulatan NKRI.

Sekarang, kala gemuruh negara agama sedang gencar, NU bahkan meneguhkan pilar kebangsaan kita. NU tetap setia dengan NKRI, menolak mendirikan negara agama dan menegakkan pilar berbangsa (NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika). Kiai Wahid Hasyim sejak 1945-jelang kemerdekaan-sudah mencontohkan bahwa NU setuju dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. NU akhirnya setuju Pancasila sebagai dasar negara. Itu sudah dilakukan Kiai Wahid Hasyim sebagai wakil NU dalam BPUPKI dan PPKI.

Sejak di Surabaya, NU bersenyawa dengan NKRI. Pantulan gagasan dan pemikiran dari Surabaya itulah yang terus memantulkan cahaya keikhlasan NU dalam berjuang untuk Indonesia. (Sumber: Republika, 21 Juni 2011)

Tentang penulis:
Muhammadun AS, Alumnus PP Sunan Ampel Jombang, Penekun Kajian Historiografi Indonesia Kontemporer

Friday, July 15, 2011

Syarikat and the Move to Make Amends for the Nahdlatul Ulama’s Violent Past

ARI Working Paper Series

WPS 107 Syarikat and the Move to Make Amends for the Nahdlatul Ulama’s Violent Past
Publication Title: Working Paper Series
Publisher: Asia Research Institute, National University of Singapore
Series: WPS 107
Publication Date: Sep/2008
Author/Speaker: Dr McGREGOR Katharine
Keywords: Islam; communism; history; reconciliation; truth; human rights

Abstract / Description: The role of Indonesia’s largest Islamic organisation, Nahdlatul Ulama (NU), in the killings of approximately 500,000 leftists in 1965-66 was not a particularly sensitive issue within NU circles for the duration of the anti-communist New Order regime (1966-1998). Just two years after the fall of the regime, however, young members of NU founded the NGO Syarikat, (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat, Muslim Community for Social Advocacy) aimed specifically at re-examining NU’s role in this violence and improving relations between members of NU and former leftists. This paper explains the reason for this dramatic move and critically examines how Syarikat have fared in this project. It examines a wider process of reform in NU commencing in 1984 that was crucial to opening up discussion of this issue. The paper also analyses Syarikat’s aims and achievements and probes the tensions between their joint aims of advocacy for victims and producing new versions of history. Their decision to confront one of the most delicate topics in the history of NU has had a mixed reception from within NU and these responses provide an important barometer of the extent of commitment to reform and tolerance within NU. The paper also reflects on the broader picture of human rights advocacy in the post-Suharto era and related achievements and set backs in this field.

View/Download File

Related Cluster: ARI Main, Religion Cluster

http://www.ari.nus.edu.sg/publication_details.asp?pubtypeid=WP&pubid=1066

Wednesday, July 13, 2011

Manusia Sanguine Bernama Gus Dur


Oleh: Abdul Mu’ti

Meskipun KH Abdurrahman Wahid sudah wafat, masyarakat Indonesia dan dunia tidak akan pernah kehilangan sosok yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur itu.


Jasadnya yang ringkih dengan berbagai penyakit memang telah terkubur, tetapi amal, jasa, dan kepribadiannya akan tetap hidup. Berbagai kalangan, terutama dari lingkungan keluarga dan nahdliyin, telah mencanangkan niat untuk meneruskan perjuangan Gus Dur.Mereka bahkan telah menyusun serangkaian program yang membuat pikiran dan perjuangan Gus Dur dapat dipelajari menjadi teladan bagi generasi muda bangsa.

Manusia Sanguine

Di antara keteladanan Gus Dur adalah kecerdasan, kesederhanaan, keberanian, ketegaran, dan kepribadiannya yang terbuka. Keterbatasan fisik tidak menjadikan Gus Dur seorang yang melankolis, minder, dan inferior. Mengikuti teori kepribadian Hans Eysenck (1970), Gus Dur adalah tipe manusia sanguine. Eysenck membagi kepribadian manusia menjadi empat tipe: melancholic, phlegmatic, choleric, dan sanguine.

Dua tipe yang pertama termasuk dalam kategori introverted (tertutup), sedangkan dua tipe yang terakhir termasuk dalam kategori extraverted (terbuka). Dalam kamus psikologi, sanguine berarti bloody: sosok yang optimistis, penuh semangat,dan hangat. Menurut tipologi kepribadian Eysenck, manusia tipe sanguine memiliki delapan karakteristik: sociable (suka bergaul), outgoing (peramah), talkactive (banyak/ suka bicara), responsive (cepat tanggap), easy going (supel, tidak suka repot-repot), lively (lincah), carefree (periang, tanpa beban), dan leadership(pemimpin).

Seperti dikemukakan banyak tokoh, salah satu kelebihan Gus Dur adalah pikirannya yang terbuka dan suka bersilaturahmi. Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, secara eksplisit mengatakan betapa dirinya kalah dibandingkan dengan Gus Dur dalam hal silaturahmi. Saking gemarnya bersilaturahmi, Gus Dur merupakan Presiden Indonesia yang memecahkan rekor kunjungan ke luar negeri. Seakan tidak peduli dengan besarnya anggaran negara yang harus dibayar, Gus Dur tetap menjadwalkan kunjungan ke luar negeri.

Karena itu, semasa pemerintahan Gus Dur, beberapa kalangan membuat joke: jika Presiden Soekarno mengurangi sila Pancasila menjadi trisila atau bahkan satu sila,yaitu gotong royong, Gus Dur menambah sila dasar negara menjadi enam, yaitu silaturahmi. Gus Dur adalah sosok yang egalitarian. Sikap egalitarianisme itu tecermin dari kepribadiannya yang humoris.Gus Dur tidak hanya suka membuat jokeyang menyindir orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. Gus Dur tidak hanya membuat orang lain tertawa, tetapi juga menertawakan dirinya.

Ketika masih menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak sepi dari tudingan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gus Dur diduga terlibat kasus Buloggate, sebuah kasus yang membuatnya lengser. Di tengah tekanan politik,Gus Dur menyikapi tuduhan KKN dengan enteng.Dalam sebuah pengajian di depan warga nahdliyin, Gus Dur membuat joke: ”Semua Presiden Indonesia KKN. Presiden Soekarno KKN: kanan kiri nyonya.Presiden Soeharto KKN: korupsi,kolusi, dan nepotisme. Presiden Habibie KKN: kecil-kecil nekat. Nah, saya juga KKN; kanan kiri nuntun.” Karena sikapnya yang suka humor itu, Gus Dur diterima oleh hampir semua kalangan. Bagi Gus Dur, joke memiliki makna lebih dari sekadar menghibur.

Sebagaimana ditulis dalam buku Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000), joke adalah salah satu media kritik.Sebagai seorang budayawan,Gus Dur sangat piawai mereka-reka cerita yang sarat kritik pedas, tetapi tetap jenaka dan santun. Salah satunya adalah joke tentang seorang priyayi kota yang terperosok jurang/kolam. Ceritanya, suatu ketika seorang priyayi kota berjalan-jalan ke kampung.Karena tidak menguasai medan, sang priyayi terperosok ke jurang. Berkali-kali sang priyayi berteriak minta tolong. Dalam posisi yang sekarat, datanglah seorang petani desa memberikan pertolongan.

Merasa dirinya sudah diselamatkan, sang priyayi menawarkan ”imbalan”kepada sang petani. ”Sebagai balas budi, Bapak boleh mengajukan permintaan apa saja kepada saya.” Dengan sangat tulus, petani menjawab,”Saya tidak minta balasan apa-apa dari Bapak.” ”Saya ini orang mampu,silakan Bapak mengajukan permintaan,” desak priyayi kota. Karena terus-menerus didesak, akhirnya petani desa menyampaikan permohonan, ”Saya cuma minta satu hal. Jangan laporkan kepada Pak Soeharto kalau saya sudah menolong Bapak.

” Joke ini disampaikan Gus Dur sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yang represif.Pemerintahan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tidak memberikan kebebasan berpendapat. Banyak aktivis yang ditangkap karena mengkritik pemerintah. Rakyat hidup dalam ketakutan. Seseorang yang berkata benar,kalau bertentangan dengan pemerintah, bisa masuk bui. Joke petani desa itu menggambarkan betapa pada masa Presiden Soeharto, orang berbuat baik pun ketakutan. Begitulah strategi kultural Gus Dur.

Sedikit Berlebihan

Tiada hari tanpa tertawa. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan Gus Dur.Selain jokeyang bernas dan filosofis, kadang-kadang Gus Dur membuat joke yang menjurus porno dan kasar.Sebutlah misalnya joke perihal melahirkan dari dekat dubur sebagai indikator keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.

Joke lain, yang masih meaningful, tapi menjurus kasar,adalah guyonan penyebab gempa Yogyakarta. Dalam sebuah wawancara di program Kick Andy, Gus Dur menjelaskan penyebab gempa Yogyakarta. Di depan audiens yang menunggu jawaban serius, Gus Dur menjawab mengapa terjadi gempa Yogyakarta? Jawabannya karena Nyai Roro Kidul dipaksa pakai jilbab. Sontak penonton di studio dan––mungkin––di rumah tertawa terpingkal-pingkal.Pada akhirnya, Gus Dur memang menjelaskan makna di balik joke-nya itu. Kebiasaannya melucu dan talkative membuat sebagian orang mengesampingkan pernyataan-pernyataan Gus Dur.

Mereka malah menganggapnya sambil lalu dan sebagai hiburan semata-mata. Sikapnya yang talkative dan easygoing terkadang membuatnya kurang dihormati.Kebiasaannya bercanda yang agak berlebihan terkesan meremehkan persoalan yang serius. Pernyataan khasnya, ”gitu saja kok repot”, memang telah menjadi trade mark Gus Dur yang mendunia. Banyak orang menggunakan ungkapan tersebut bukan dalam konteks positif,tetapi cenderung negatif. Di kemudian hari, Gus Dur ditinggalkan oleh orang-orang yang dibesarkannya.Tidak sedikit pun tebersit duka.

Ketika terjadi konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang melibatkan dirinya dan keponakannya, Gus Dur dengan latah menyebut PKB sebagai paman dan keponakan berantem. Tidak mengherankan jika seorang Indonesianis asal Australia yang semula sangat mengagumi Gus Dur suatu hari berkomentar: he is just playing.Meskipun dikenal sebagai seorang yang humoris, Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar tidak bercanda secara berlebihan.Kegembiraan yang berlebihan bisa membuat seseorang lupa diri dan sekelilingnya. Carefree (menyepelekan masalah) bisa membuat seseorang menjadi careless(ceroboh).

Bangsa Indonesia patut belajar dari sosok Gus Dur.Manusia sanguine yang cerdas,merdeka,dan percaya diri.Semoga khusnul khatimah, Gus.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/295767/



Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif CDCC, Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 07 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11617&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Usulan Gus Dur Pahlawan Nasional


Oleh: Asvi Warman Adam

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa melalui siaran pers mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Usulan serupa juga diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Semuanya dalam bentuk siaran pers.

Pahlawan nasional berasal dari orang yang gugur dalam perjuangan menentang penjajahan atau membela bangsa dan negara. Atau bisa juga tokoh yang semasa hidupnya memperlihatkan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi yang luar biasa bagi pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Pengusulan pahlawan nasional dapat diajukan oleh perorangan, kelompok masyarakat, organisasi, lembaga pemerintah atau nonpemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan yang disahkan Presiden pada tanggal 18 Juni 2009.

Pengajuannya disertai riwayat hidup calon dan perjuangannya; dengan kata lain, usulan itu harus disertai alasan-alasan yang kuat serta dilampiri fakta dan dokumen pendukung.

Dewan gelar

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 ditetapkan bahwa Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan meneliti dan memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai calon penerima gelar pahlawan nasional. Dewan Gelar itu terdiri dari tujuh orang diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan menteri (dalam hal ini tentunya Menteri Sosial karena direktorat kepahlawanan nasional terdapat pada kementerian ini). Komposisinya terdiri dari dua orang akademisi, dua orang berlatar belakang militer, dan tiga orang tokoh masyarakat yang pernah menerima tanda jasa atau tanda kehormatan. Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan ini harus terbentuk paling lambat enam bulan setelah undang-undang ini disahkan, berarti sebelum tanggal 18 Desember 2009.

Sepanjang pengetahuan saya, Dewan Gelar ini belum terbentuk sampai sekarang. Menteri Sosial seyogianya segera mengajukan tujuh nama anggota Dewan Gelar ini kepada Presiden agar dapat diangkat. Sementara itu, para pihak pengusul agar segera mengirimkan surat resmi beserta riwayat perjuangan Gus Dur serta persyaratan teknis lainnya melalui dinas sosial (daerah tingkat II dan tingkat I), selanjutnya kepada Direktorat Kepahlawanan Nasional Kementerian Sosial. Kementerian Sosial akan mengajukan kepada Presiden setelah diteliti oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Proses pengajuan pahlawan nasional di atas merupakan jalur resmi. Baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru terdapat tokoh-tokoh yang pengajuannya tidak dari bawah. Nyonya Tien Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Rakor Kesra). Para menteri ini menghadap Presiden Soeharto yang tentu tidak menolak ketika istrinya diusulkan.

Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen disebutkan bahwa ”Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang.” Jadi, meskipun Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat pahlawan nasional, tetapi hal ini harus dilakukan sesuai dengan undang-undang.

Peraturannya sudah dibuat DPR dan disahkan oleh Presiden pada bulan Juni tahun 2009. Presiden seyogianya pula mengambil kebijakan tidak menyalahi aturan hukum. Yang jelas, pengusulan pahlawan nasional tidak bisa melalui siaran pers atau Facebook.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/0302161/usulan.gus.dur..pahlawa

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 05 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11607&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Indonesia dan Gus Dur


Oleh: Benny Susetyo

Di tengah sakit yang mendera, pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan menelepon untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan rekan-rekan sejawat lainnya.

Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di Kantor PB NU (juga sempat menyatakan sudah makan bubur). Saat itu beliau menyatakan keluhan sakit pada giginya. Saya menanyakan mengapa tidak istirahat di rumah sakit saja, beliau masih menjawab dirinya sehat-sehat saja.

Memang ada yang berbeda dalam perjumpaan terakhir itu dan itu yang membuat saya pribadi begitu berat kehilangan. Dalam percakapan itu Gus Dur menitipkan beberapa pesan penting dan tidak saya sadari itulah pesan terakhir kepada kami.

Harga mati

Yang pertama yang beliau sampaikan secara sungguh-sungguh adalah masalah keindonesiaan kita. Beliau berharap agar keindonesiaan bisa kita jaga dengan sekuat tenaga, keberanian, dan kejujuran. Kata ”kejujuran” itu diulang berkali-kali seolah untuk menunjukkan betapa kejujuran dalam ber-Indonesia selama ini sudah benar-benar diabaikan, utamanya dalam politik-kekuasaan.

Yang kedua, ”Pluralisme itu harga mati, Romo.” Pluralisme itu mutlak untuk membangun Indonesia kita yang memiliki banyak suku bangsa dan agama. Pluralisme menjadi cara pandang paling baik untuk bersikap dan bertindak. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditawar, pluralisme harus menjadi cara pandang untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

Yang ketiga, tak lupa beliau berpesan tentang sikap yang sebaiknya dilakukan agar dalam menghadapi tantangan dan tentangan yang datang dari kaum yang memiliki fanatisme sempit dan fundamentalisme. Menurut Gus Dur, itu semua harus dihadapi dengan cinta. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan karena ia hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan. Untuk mewujudkan perdamaian, cinta adalah dasar dari nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme universal.

Tak lupa beliau mengingatkan bahwa saat ini negara kita dikendalikan oleh para mafia hitam. Mereka seolah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bisa menghancurkan kedaulatan hukum kita. Itu semua, sekali lagi ditegaskannya, karena sudah hampir hancurnya kejujuran dalam bertindak dan berperilaku. Tanpa kejujuran kita hanya akan terperosok pada hal sama berulang-ulang. Saya mengingat betul kalimat yang beliau sampaikan bahwa negara ini akan hancur apabila dibimbing oleh orang yang tidak punya nurani.

Atas itu semua Gus Dur masih meyakini bahwa peluang untuk menjadikan Indonesia lebih baik itu masih terbuka apabila kekuasaan diorientasikan untuk membantu rakyat, bukan semata-mata mendukung pada kapital. Karena itu, dibutuhkan proses yang panjang dan terus-menerus untuk mendidik masyarakat ini, demikian ujarnya.

Perjuangannya untuk kaum minoritas dan pembelaannya untuk kaum perempuan juga sudah tak diragukan lagi. Itu setidaknya dinyatakan pada akhir pembicaraan agar ikut serta membantu dan memperkuat perjuangan yang sudah dijalani oleh Ibu Shinta Nuriyah selama ini.

Dalam percakapan singkat di telepon itu, saya tidak tahu jika itu pesan terakhir Gus Dur kepada kami yang juga relevan ditujukan kepada rekan-rekan sejawat yang masih setia dengan perjuangan untuk pluralisme, demokrasi, dan humanisme melalui kekuatan hati nurani dan kejujuran.

Di tengah derita rasa sakit yang sudah dijalaninya bertahun- tahun, bahkan di akhir hayatnya, Sang Gus Dur begitu jelas dan tegas menyatakan kecintaannya untuk Bumi Pertiwi ini, dengan keyakinan dan semangat! Adakah teladan seperti ini bisa dikuti para elite dan politisi kita dewasa ini.

Peristiwa Situbondo

Begitu banyak ide nyeleneh beliau yang diposisikan kontroversial di tengah masyarakat pada akhirnya terbukti sebagai ide-ide yang lurus, yang mendukung pluralisme dan demokrasi. Itu arti- nya ada pertanyaan besar di te- ngah kita semua, adakah jalan yang kita tempuh selama ini begitu menyimpang sehingga jalan lurus pun dianggap sebagai nyeleneh?

Romo Mangun (almarhum) adalah tokoh yang memperkenalkan saya kepada Gus Dur pada 1996, terutama di sekitar peristiwa Sepuluh Sepuluh. Sebuah peristiwa yang menggemparkan sejarah hubungan agama dan negara di masa rezim Orde Baru. Kita pun ingat istilah rekayasa para ”naga merah” untuk menghancurkan ”naga putih”.

Peristiwa pembakaran gereja pertama kali di Situbondo pada 1996 itu didokumentasikan secara lengkap dalam berbagai foto, catatan, dan analisis. Saat itulah begitu jelas diketahui bagaimana rezim berkeinginan untuk mengadu domba keberagamaan masyarakat.

Saya mengingat saat itu Gus Dur datang dari Roma dan langsung menuju Situbondo, sekaligus meminta maaf atas adanya kejadian itu—walau kita tahu persis itu bukan kesalahan Gus Dur dan kelompoknya. Gus Dur menyadari ada kekuatan rezim yang mengadu-domba dengan menggunakan agama sebagai kepentingan politik.

Semenjak itu saya mengenal Gus Dur sebagai tokoh yang tidak hanya berbicara, melainkan juga melakukan tindakan. Kami sering turun ke bawah untuk memberikan penjelasan kepada umat yang diombang-ambingkan informasi sesat.

Semenjak itulah kami merumuskan apa yang selanjutnya dikenal dengan ”Persaudaraan Sejati”. Itu semua disadari dan diyakini bahwa peristiwa Sepuluh Sepuluh itu bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang menggunakan agama sebagai kambing hitam.

Begitu banyak kami menjalani hari-hari memperjuangkan pluralisme, toleransi, kebersamaan, dan demokrasi bersama Gus Dur. Sudah tak terkirakan lagi sumbangsih beliau untuk kemajuan negeri ini. Kini Indonesia hidup tanpa seorang Gus Dur. Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah kita mampu menjaga dan meneruskan semua cita-cita besar beliau untuk mewujudkan Indonesia yang beradab? Semoga.

Selamat jalan, Gus....

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/03014478/indonesia.dan.gus.dur

BENNY SUSETYO Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 05 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11605&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati


Oleh: Benyamin F Intan

Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Sebelum meninggal, Gus Dur berpesan, ”Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis” (Kompas, 3/1).

Gus Dur seorang pluralis. Gebrakannya yang terkenal: menjadikan Konghucu agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional (fakultatif).

Komitmen Gus Dur memperjuangkan pluralisme melewati ujian yang tak mudah. Tahun 1995-1997 terjadi kerusuhan etnoreligius di Jawa Timur dan Jawa Barat, daerah basis Nahdlatul Ulama (NU). Ratusan gereja dan beberapa toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Tujuannya, mendiskreditkan Gus Dur bahwa visi Islam toleran yang diusungnya gagal. Merespons kekerasan itu (1997- 1998), Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU mencegah teror lebih lanjut dengan mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.

Ketika para pakar seperti John Rawls melihat kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

Dalam bidang keagamaan, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya.

Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Dalam wawancara untuk penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa.

Kebebasan dan keadilan

Kebebasan menjadi prasyarat hadirnya pluralisme. Gus Dur mendambakan terciptanya ”komunitas merdeka” dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Dalam komunitas merdeka, hak hidup entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi dari intervensi kekuatan eksternal, tetapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik.

Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran ”etika kemasyarakatan” agama di ruang publik (Prisma Pemikiran Gus Dur, 213-4). Di sinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama: mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik.

Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah membela hak minoritas menunjukkan kepekaannya terhadap rasa keadilan. Keberpihakan kepada yang lemah dan miskin adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tak adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas.

Wacana mayoritas-minoritas yang bersifat hierarkis dan oposi- sional bukan hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya bagi Gus Dur, sekalipun Islam agama mayoritas, Islam sebagai etika kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia, apalagi menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila. Fungsi Islam seperti juga agama lain, sebatas sistem nilai pelengkap bagi komunitas sosiokultural dan politis Indonesia.

Musyawarah

Bagi Gus Dur, musyawarah menuntut kesadaran interdependensi dan sikap partisipasi. Itu berarti hidup bersama bukan lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tetapi harus secara ”teologis”. Artinya, penerimaan satu sama lain harus dengan sepenuh hati. Perbedaan diterima sebagai sesuatu yang baik secara intrinsik. Toleransi bukan lagi sekadar menerima keberagaman, tetapi bagaimana supaya keberagaman membawa manfaat.

Sepeninggal Gus Dur, upaya melestarikan pluralisme merupakan penghargaan terbesar baginya, jauh lebih besar daripada penganugerahan pahlawan nasional yang sedang diusulkan banyak pihak.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/07/02391229/gus.dur.pejuang.plural

Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 07 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11610&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Gus Dur Telah Pergi


Oleh: Franz Magnis-Suseno

Meskipun tahu bahwa Gus Dur sakit-sakitan, saat kemarin Tuhan mengatakan, ”Gus, sudah cukup!”, mengagetkan juga. Banyak dari kita, khususnya tokoh dan umat berbagai agama di Indonesia, merasa kehilangan. Kita menyertai arwahnya dengan doa-doa kita agar ia dengan aman, gembira, dan pasti terheran-heran dapat sampai ke asal-usulnya.

Betapa luar biasa Abdurrahman Wahid, Gus Dur kita ini! Seorang nasionalis Indonesia seratus persen, dengan wawasan kemanusiaan universal. Seorang tokoh Muslim yang sekaligus pluralis dan melindungi umat- umat beragama lain. Enteng-enteng saja dalam segala situasi, tetapi selalu berbobot; acuh-tak acuh, tetapi tak habis peduli dengan nasib bangsanya. Orang pesantren yang suka mendengarkan simfoni-simfoni Beethoven.

Rahasia Gus Dur adalah bahwa ia sama sekali mantap dengan dirinya sendiri. Ia percaya diri. Ia total bebas dari segala perasaan minder. Karena ia tidak pernah takut mengalah kalau itu lebih tepat, ia tidak takut kehilangan muka (dan karena itu memang tak pernah kehilangan muka), dan ia juga tidak gampang tersinggung karena hal-hal sepele.

Gus Dur berhati terbuka bagi semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Umat-umat minoritas merasa aman padanya. Gus Dur membuat mereka merasa terhormat, ia mengakui martabat mereka para minoritas, para tertindas, para korban.

Tak perlu defensif

Ada yang tidak mengerti mengapa Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama minoritas, tetapi sering keras terhadap agamanya sendiri. Namun, Gus Dur demikian karena ia begitu mantap dalam agamanya. Karena itu, ia tidak perlu defensif dan tidak takut bahwa agamanya dirugikan kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda.

Apakah Gus Dur seorang demokrat? Ia sendiri sebenarnya lebih menyerupai kombinasi antara kiai dan raja Jawa. Namun, ia seorang demokrat dalam arti yang lebih mendalam. Ia betul-betul meyakini dan menghayati hak-hak asasi manusia. Ia tidak tahan melihat seseorang terinjak martabatnya, ia menentang kekejaman atas nama apa pun.

Bagi saya, Gus Dur mewujudkan Islam yang percaya diri, positif, terbuka, ramah. Dengan demikian, ia memproyeksikan gambar yang positif tentang Islam. Dan, kalau pada kunjungan negara ia menyalami kepala negara lain dengan lelucon, mereka menyadari bahwa presiden Muslim ini seorang humanis dan warga dunia.

Bahwa karier politik aktif Gus Dur kontroversial berkaitan juga dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat melihat. Keterbukaannya tidak pernah berubah.

Apa yang tinggal sesudah Gus Dur pergi? Sekurang-kurangnya dua. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama yang dirintisnya akan berkembang terus.

Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis, dan cerdas; modal bagus bagi masa depan bangsa.

Yang dirintis Gus Dur akan berjalan terus. Nevertheless, Gus, we will miss you. Resquiescat in pace.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/04/02533153/gus.dur.telah.pergi

Franz Magnis-Suseno
Rohaniwan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 04 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11600&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Gus Dur, Raja Telah Mangkat, Hidup Raja!


Oleh: HARRY TJAN SILALAHI

Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan repitoir dari berbagai tulisan mengenai Gus Dur, yang ditulis oleh berbagai kalangan masyarakat, dan ada di mana-mana, baik lokal maupun nasional. Secara aklamasi semuanya sependapat bahwa Gus Dur adalah seorang pahlawan nasional dan guru bangsa, terutama mengenai pluralisme dan multikulturalisme, baik ini nanti diformalkan atau tidak oleh pemerintah.

Ada tradisi di (kerajaan) Barat, kalau ada seorang raja wafat, maka segera diumumkan: ”The King is dead, Long live the King”— ”Raja telah mangkat, hidup Raja”. Jadi, tidak ada ”vakum kekuasaan”. Begitu pula malam itu di Ciganjur: ”Gus Dur telah wafat, hidup Gus Dur”. Artinya, semua pelayat dengan sedih menerima bahwa Gus Dur telah wafat, tetapi semua pelayat mengakui pula bahwa ”roh” Gus Dur masih hidup.

Kenyataan ini diterima oleh semua yang hadir, juga oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Roh itu berupa ajaran dan keyakinan Gus Dur, terutama yang berupa pengakuan bahwa pluralisme dan multikulturalisme bangsa Indonesia adalah ajaran yang harus dihayati dan dilaksanakan oleh kita semua.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah mengetahui wawasan pluralisme dan multikulturalisme ini. Wawasan ini telah ada sejak diciptakannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika oleh Empu Tantular, kemudian peneguhan pemuda di Nusantara yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, serta dicantumkannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika di simbol Garuda Pancasila yang dipasang di semua kantor resmi ataupun logo ofisial kenegaraan lainnya.

Mengapa tidak

Gus Dur dengan tegas, tanpa ragu, dan serta merta mengakomodasi desakan dan keresahan daerah dan memberikan tempat yang layak dalam nation building Indonesia. Kalau pergolakan di Aceh itu disebabkan karena kebutuhan ditampungnya di dalam berlakunya syariah Islam, mengapa tak diberikan saja. Begitu saja kok repot.

Begitu pula kalau etnis Tionghoa akan merasa tidak dipinggirkan dengan pengakuan perayaan Imlek, pengakuan agama Konghucu, diperbolehkannya bahasa Tionghoa dengan aksara-aksara kanji serta barongsai, mengapa tidak! Dan untuk itu Gus Dur mengaku bahwa dirinya juga sebenarnya keturunan marga Tan. Semua jadi bahagia. Juga Irian Jaya menjadi Papua, ini memuaskan batin orang-orang Papua disertai bendera bintang kejora boleh dikibarkan sebab, kata beliau, PSSI pun punya benderanya sendiri: gitu saja kok dipersoalkan.

Dalam hubungan antaragama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, banyak sikap tegas yang ditunjukkan oleh Gus Dur. Soal ini sudah banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh agama non-Islam. Sebagai Ketua Nahdlatul Ulama dan tokoh Islam yang besar, beliau tanpa tedeng aling-aling berani mengoreksi berbagai sikap/tindakan primordialistik keagamaan Islam. Gus Dur, misalnya, mengatakan bahwa tokoh Katolik, seperti Benny Moerdani, setidaknya harus bisa dibicarakan sebagai calon presiden RI, dan dengan entengnya beliau menambahkan, toh dia tidak akan dapat terpilih.

Dr Andre Feiliard, sarjana Perancis, yang disertasinya tentang Nahdlatul Ulama, menyatakan, betapa karisma dan ketegasan Gus Dur yang telah dapat dengan segera mencegah dan menghentikan kekerasan/perusakan-perusakan yang bermotif agama yang terjadi di Jawa Timur pada waktu itu. Ini sungguh kepemimpinan yang patut dikagumi.

Dengan demikian, kini yang penting dan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam situasi seperti sekarang ini adalah seorang pemimpin yang bersedia membawa ”roh” Gus Dur itu secara tegas, konsekuen dan berani, seperti halnya Gus Dur semasa hidupnya. Pada saat sekarang ini bangsa Indonesia sangat mendambakan pemimpin seperti itu. Gus Dur, R.I.P.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/03241560/gus.dur.raja.telah.man

HARRY TJAN SILALAHI
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 12 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11639&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Gus Dur, NU, dan Indonesia


Oleh: Kacung Marijan


Di sela-sela proses pemakaman Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, beberapa orang berbisik sambil bertanya, ”Bagaimana masa depan Nahdlatul Ulama sepeninggal Gus Dur?” Bahkan, ada juga yang mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana masa depan Indonesia?”

Bisa jadi, yang bertanya seperti itu bukan hanya warga nahdliyin yang sangat mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa yang merasa kehilangan atas ”kepulangan” Gus Dur juga beragam. Pemikiran dan aksi Gus Dur yang lintas etnis, kesukuan, agama, dan bahkan negara telah memungkinkan hal ini terjadi.

Basis pemikiran

Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang- orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur berbeda dengan almarhum kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya, Kiai Wahid Hasyim.

Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di alam modern yang kuat pula, di ”kawasan Menteng”. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya.

Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur berkenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial.

Ladang dan benih-benih pemikiran Gus Dur berkembang dan teraktualisasi berseiring dengan kemampuannya di bidang tulis menulis, suatu bidang yang jarang digeluti oleh anggota komunitas pesantren. Maka, sejak 1970-an, nuansa pemikiran yang dihadirkan oleh Gus Dur memiliki kekhasan, yaitu ulasan mengenai isu-isu kontemporer yang berakar pada tradisi pemikiran Islam klasik.

Di antara pemikiran Gus Dur yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan. Keduanya bisa menjadi satu kesatuan yang berkait.

Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu.

Dalam pandangan NU—dan Gus Dur— negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam sebuah wadah kebersamaan.

Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Karena itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas.

Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas.

Kepemimpinan

Pemikiran kebangsaan semacam itu bisa jadi bukan hanya khas Gur Dur. Pemi- kir-pemikir lain juga pernah mengemukakan hal serupa. Yang membedakan Gus Dur dengan yang lain adalah berkaitan de- ngan pengaruh pemikian-pemikiran itu.

Sejak 1980-an Gus Dur telah menjadi salah satu sosok yang sangat berpengaruh. Kapasitas pribadi yang berbeda dengan yang lain dan trah darah pemimpin besar Islam—Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Sansuri—telah menjadi sumber legitimasi kepemimpinan yang cukup besar bagi dirinya. Bagi orang luar, kepemimpinan itu lebih terlihat pada kemampuannya memformulasikan gagasan-gagasan secara orisinal, jernih, dan mudah terkomunikasikan, serta kemampuannya mengendalikan organisasi besar NU. Bagi warga NU, kepemimpinan itu bersumber pada kepenguasaannya pada tradisi pemikiran Aswaja, trah kiai besar, dan kemampuannya melakukan olah spiritual.

Tidak seperti kebanyakan pemimpin modern yang semata-mata mengedepankan pemikiran kasatmata semata. Gus Dur sangat dekat dengan olah spiritual. Gus Dur sangat rajin mengunjungi makam- makam, khususnya makam-makam leluhur dan tokoh-tokoh spiritual. Bahkan, konon, Gus Dur biasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh yang telah ”berpulang” itu. Kemampuan semacam itu membuat Gus Dur bukan pemimpin biasa. Implikasinya, apa yang digagas dan dikerjakan juga bukan hal yang biasa saja. Pemikiran tentang multikulturalisme, misalnya, tidak hanya telah menjadi salah satu pegangan penting bagi warga NU di dalam berbangsa dan bernegara. Komunitas di luar NU juga telah menjadikannya sebagai rujukan.

”Quo vadis”?

Orang yang memiliki pemikiran seperti Gus Dur saat ini sebenarnya cukup banyak. Namun, orang yang memiliki pengaruh besar, memiliki akar tradisional dan modern sekaligus seperti halnya Gus Dur jelas tidak mudah muncul lagi.

Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan kalau muncul pertanyaan tentang masa depan NU dan ke-Indonesiaan. Sosok Gus Dur telah memungkin- kan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komu- nitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktikkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim.

Gus Dur memang telah tiada. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak akan mudah sirna mengikutinya terutama di lingkungan NU karena di antara sumber pemikiran Gus Dur itu berasal dari tradisi pesantren. Selain itu, saat ini telah muncul pemikir-pemikir muda NU yang cukup pa- ham apa yang telah dilakukan Gus Dur.

Saat ini, masalah kebangsaan di Indo- nesia masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antara kelompok-kelompok masyarakat, baik yang mayoritas maupun minoritas, telah muncul pemikiran- pemikiran dan aksi yang tidak saling menyapa. Dalam situasi semacam itu, tidaklah salah apabila saat ini kita kembali pada akar berdirinya negara-bangsa Indonesia, yang dibangun di atas perbedaan-perbedaan untuk kebersamaan. Pemikiran Gus Dur layak menjadi salah satu rujukan penting.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/06/02271666/gus.dur.nu.dan.indones

Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya


Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 07 Jan 10
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11618&coid=1&caid=34
Copyright © 2010 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Menghargai dan Mencari Figur Pengganti Gus Dur

Kompas, 04 Jan 10

Oleh: Laode Ida

Dua hari menjelang akhir tahun 2009, warga bangsa ini ditinggalkan seorang tokoh besar, mantan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mantan Ketua Tanfidziyah PB NU selama 15 tahun (tiga periode) itu pergi untuk selamanya, hijrah ke alam baka memenuhi panggilan Sang Pencipta.

Yang merasa kehilangan atas kepergian Gus Dur tentu bukan saja kaum nahdlyin (warga Nahdlatul Ulama/NU), melainkan juga banyak pihak, utamanya bagi pencinta tegaknya nilai-nilai pluralisme di negeri ini. Bahkan, pada tingkat tertentu, ada kalangan minoritas yang sedikit gelisah lantaran membayangkan suasana psikologis yang bukan mustahil akan berbeda pada era pasca-Gus Dur.

Suasana kejiwaan sosial seperti itu memang wajar. Soalnya mereka sudah merasakan begitu signifikan dan selalu tulusnya cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu memberikan perlindungan terhadap kalangan minoritas sehingga bisa menjalankan hak-hak budaya dan agama yang dianut secara baik. Bahkan, lantaran pemikiran dan sikapnya yang demikian konsisten dalam melakukan pembelaan terhadap elemen bangsa yang terusik hak-hak budaya, agama, dan politiknya itu, Gus Dur memperoleh kritik tajam atau berhadapan dengan kekuatan konservatif dalam pandangan agama dan sikap politik tertentu.

Namun, bukan Gus Dur namanya kalau gentar atau kendur dalam menghadapi semua kritikan dan kecaman yang tertuju kepadanya. Sebaliknya, ia semakin gigih dengan memperoleh dukungan luas baik dari elemen-elemen masyarakat demokrasi di Indonesia maupun mancanegara. Semuanya menjadi bagian dari penguat gerakan pemikiran dan budaya dalam rangka mendarah-dagingkan nilai-nilai kemajemukan sehingga suasana kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan selalu harmonis dan penuh toleransi.

Eksistensi pluralisme

Gagasan dan tindakan Gus Dur seperti itu sebenarnya merupakan ajaran nilai-nilai kebangsaan yang hakiki berangkat dari realitas sosiologis keindonesiaan, berangkat dari penghargaan yang tinggi terhadap hakikat dan eksistensi kemanusiaan. Kita tak bisa menghindarkan diri dari kenyataan multi-etnik dan komunitas dengan budaya dan agama masing-masing; yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari fondasi filosofis bangsa ini: Bineka Tunggal Ika.

Tepatnya, ketika Gus Dur mengembangkan pemikiran dan gerakan sosial budaya untuk penghargaan terhadap eksistensi pluralisme, sebenarnya ia tengah melakukan penyadaran kepada masyarakat dan penyelenggara negara untuk terus memperkokoh bangunan keindonesiaan. Sebaliknya, bagi siapa pun yang menghalanginya, boleh jadi merupakan bagian dari segelintir warga atau elemen bangsa yang secara tak langsung berupaya merapuhkannya. Yang terakhir ini sudah pasti sangat tidak diinginkan.

Pemikiran kebangsaan dan perjuangan Gus Dur itu sudah sangat jelas dan seharusnya menjadikan rujukan bagi penyelenggara negara dan atau siapa pun yang berperan di ranah publik. Dengan demikian, tak perlu ada yang khawatir dengan menganggap ”jangan-jangan roh Gus Dur tak menjelma atau masuk dalam kalbu para penentu kebijakan di negeri ini”.

Masalahnya, memang, andai pun ”ajaran Gus Dur” diakui eksistensinya, tetapi belum tentu ada yang secara berani mengimplementasikannya. Padahal, penghargaan terhadap Presiden ke-4 RI yang itu bukan hanya sekadar menganggapnya berjasa sebagai ”pahlawan bangsa” dan atau istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Bapak Pluralisme, melainkan pada tingkat di mana ajarannya benar-benar diwujudkan dalam praktik hidup bermasyarakat dan bernegara. Tanpa itu, berarti sama halnya dengan mengabaikannya, hanya menjadikannya sebagai pelaku sejarah sosial dengan pemikirannya yang selalu menarik untuk dikaji, tetapi sulit atau luput diaplikasikan.

Kekhawatiran seperti itu pada dasarnya juga beralasan. Mengapa? Pertama, tindak lanjut perjuangan Gus Dur memerlukan figur berkarakter di mana, kalau mau jujur diakui, hingga sekarang kita masih sulit menemukannya. Kita memang memiliki banyak tokoh yang menonjol (prominent figures) dengan kapasitas individu yang kuat. Akan tetapi, (1) jarang yang memiliki keberanian untuk secara progresif tampil ”melawan arus”, berkorban untuk sebuah idealisme bernilai kerakyatan dan kebangsaan, dan (2) memiliki basis budaya dan massa yang jelas sebagai modal sosial dan back up politik.

Terlambat menyiapkan

Gus Dur merupakan sosok pemikir Islam, aktivis dan pejuang yang tanpa ragu berjuang untuk tegaknya kebenaran dan keadilan, dengan dukungan kapasitas individu dan basis sosial politik yang jelas (yaitu NU); di mana semua itu menjadikannya disegani oleh kekuatan-kekuatan konservatif yang berupaya mengganggu atau menghalanginya.

Kedua, agaknya jajaran NU sedikit terlambat dalam mempersiapkan sosok pengganti Gus Dur.

Barangkali pada saat posisi NU di bawah pengaruh Gus Dur begitu menonjol, para tokoh lain di jajaran NU lebih menikmatinya ketimbang merancang skenario regenerasi atau sirkulasi elite ”dari NU untuk bangsa” secara berkelanjutan.

Gus Dur sendiri, dengan segala kelebihannya, terkesan mencengkeram NU untuk tetap berada di bawah ”kekuasaannya” sehingga secara langsung ataupun tidak langsung menghambat peluang munculnya figur-figur alternatif dari NU. Padahal, di dalam warga NU, tanpa perlu menyebutkan namanya satu per satu, telah dan sedang bermunculan figur-figur terdidik dan potensial yang berpikiran progresif seperti halnya Gus Dur.

Kondisi sekarang ini, tak berlebihan kalau dikatakan bahwa baik NU maupun beberapa elemen bangsa ini tengah berada dalam transisi pencarian figur-figur ”Gus Dur Baru” untuk melanjutkan perjuangannya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/04/03230297/menghargai.dan.mencari

Laode Ida Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI, Artikel Ini Pandangan Pribadi

Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa

Kompas, 13 Jan 10

Oleh: Lukman H Saifuddin

Setelah meninggal pun, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ternyata masih memicu pro-kontra. Kini, berbagai kalangan harus ”repot” mendiskusikan apakah Gus Dur layak mendapat gelar pahlawan nasional karena berbagai jasa, pengabdian, dan pemikirannya, atau sebaliknya, tidak layak karena kesalahan di masa lalu, terutama yang berkaitan dengan pemberhentiannya sebagai presiden.

Dari sisi jasa, tidak ada satu pun kalangan yang membantah bahwa Gus Dur layak menjadi pahlawan nasional. Hanya saja ada sedikit ”ganjalan”, yaitu adanya Ketetapan (TAP) MPR Nomor II/MPR/2001 yang memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.

TAP MPR No II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid, sesuai dengan TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai Tahun 2002, masuk dalam kategori TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Jadi kurang relevan

Permintaan sebagian kalangan untuk mencabut TAP MPR tentang pemberhentian itu menjadi kurang relevan karena dengan sendirinya TAP MPR itu sekarang tidak bermakna apa-apa lagi secara hukum dan politik. Tap MPR yang telah masuk dalam kategori tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, dengan sendirinya tidak bisa digunakan sebagai alat untuk menghambat Gus Dur dalam meraih gelar pahlawan nasional.

Dari sisi perundang-undangan, tidak ada satu pasal pun dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang bisa menghalangi Gus Dur menjadi pahlawan. Ada yang berpendapat bahwa Gus Dur tidak memenuhi syarat umum seorang pahlawan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 25 huruf (e) UU tersebut karena ia dinilai tidak setia dan mengkhianati bangsa dan negara, dan karena itu diberhentikan sebagai presiden.

TAP MPR No II/MPR/2001 itu memberhentikan Gus Dur sebagai presiden karena yang bersangkutan tidak hadir dalam Sidang Istimewa MPR untuk menyampaikan pertanggungjawaban serta karena kebijakannya mengeluarkan Maklumat Presiden, 23 Juli 2001, yang antara lain berisi pembekuan MPR dan DPR. Jadi, dalam TAP MPR itu tidak ada pernyataan bahwa Gus Dur mengkhianati bangsa dan negara.

Pengertian dari ”setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara” menurut penjelasan UU No 20/2009 adalah ”konsisten memperjuangkan dan membela kepentingan bangsa dan negara”. Gus Dur telah membuktikan konsistensinya dalam memperjuangkan agar bangsa dan negara Indonesia menjadi demokratis, menjunjung tinggi HAM, dan lain sebagainya. Ringkasnya, ketentuan Pasal 25 huruf (e) dan ketentuan lainnya dalam UU No 20/2009 tidak dapat menghalangi Gus Dur dalam memperoleh gelar pahlawan nasional.

Kita mempunyai preseden baik bagaimana bangsa ini pada akhirnya memperlakukan mantan Perdana Menteri M Natsir yang pernah dipenjara dari tahun 1961 hingga 1966 karena sikap kritisnya terhadap Demokrasi Terpimpin dan tidak meminta maaf atas keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Presiden Soekarno memenjarakan M Natsir tanpa proses peradilan dengan menggunakan UU No 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Kalau M Natsir saja yang pernah dipenjara karena sikap politiknya sudah menjadi pahlawan nasional sejak 7 November 2008, maka Gus Dur pun layak menjadi pahlawan nasional karena Gus Dur diberhentikan sebagai presiden oleh MPR karena sikap politiknya.

Setelah mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional, sikap politik M Natsir yang dianggap ”salah” atau minimal diperdebatkan antara salah dan benar seperti keterlibatannya dalam gerakan PRRI, dengan sendirinya telah direhabilitasi, sehingga pePerintah sekarang tidak perlu lagi mengeluarkan keputusan resmi untuk menganulir keputusan Presiden Soekarno yang memenjarakan M Natsir.

Hal yang sama juga berlaku bagi Gus Dur. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur secara langsung atau tidak langsung merupakan pernyataan kenegaraan bahwa nama baik Gus Dur telah dipulihkan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara telah mendapatkan tempat yang sangat mulia. Dengan begitu, setelah Pemerintah memberikan gelar nasional kepada Gus Dur, perdebatan mengenai pemulihan nama baik Gus Dur menjadi tidak diperlukan lagi.

Tentang Soeharto

Bagaimana jika pendukung tokoh lain, seperti mantan Presiden Soeharto, yang minta agar Presiden ke-2 RI ini diperlakukan sama seperti M Natsir dan Gus Dur, apalagi sampai sekarang tak ada satu pun keputusan lembaga negara yang menyatakan bahwa dia bersalah? Mantan Presiden Soeharto tidak pernah dipenjara seperti M Natsir sebagaimana juga tidak pernah diberhentikan sebagai presiden oleh MPR seperti Gus Dur. Jadi, kabulkan saja permohonan agar Bapak Pembangunan itu dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.

Jika kita ingin melakukan rekonsiliasi terhadap persoalan masa lalu, semua tokoh yang telah meninggal dunia dan telah membuktikan jasa-jasa serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara layak untuk mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Negara perlu mengapresiasi tokoh-tokoh nasional di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang telah benar-benar berjasa bagi negeri ini tanpa harus disibukkan dengan persoalan khilaf yang sempat mereka lakukan. Terhadap tokoh-tokoh yang telah meninggal itu, kita cukup mengingat jasa-jasanya sebagai sumber inspirasi ke depan, lalu mengambil hikmah dari kesalahan-kesalahannya agar tidak terulang kembali di masa mendatang.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu memanfaatkan momentum pemberian gelar pahlawan nasional sebagai upaya rekonsiliasi bangsa. Dengan demikian, pada era ini lembaran sejarah kelam masa lalu segera dibalik agar kita dapat membuka lembaran baru dan mengisinya dengan catatan-catatan perjuangan di bidang kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, lingkungan hidup, dan seterusnya.

Semoga sebagai bangsa kita mau dan mampu berjiwa besar mengubur dalam-dalam dendam sejarah masa lalu agar tak terwa- riskan ke generasi mendatang.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/13/02525352/gus.dur.dan.rekonsilia

Lukman H Saifuddin
Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014; Pandangan Ini Bersifat Pribadi dan Tidak Mewakili MPR

Pembaruan KH Abdurrahman Wahid

Kompas, 18 Jan 07

Oleh: M Dawam Rahardjo

Buku Gus Dur (KH Dr Abdurrahman Wahid) yang berjudul Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, sebuah judul yang diambil dari sebuah artikel Bab I, "Islam dalam Diskursus ’Ideologi, Kultural dan Gerakan’" (halaman 66) ini, yang konon akan diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa dunia, adalah sebuah kumpulan artikel yang tebalnya 410 halaman.

Oleh editornya, Dr Syafi’i Anwar, buku ini dibagi menjadi tujuh bab. Bab awal memulai dengan pembahasan mengenai pengertian dan persepsi hal-hal yang mendasar di sekitar Islam; pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah apakah Islam itu sebuah sistem? Jika memang suatu sistem, apakah perlu, bahkan harus diformalkan? Apakah Islam itu juga sebuah ideologi politik? Karena itu, apakah ada negara Islam, ekonomi Islam, teori politik Islam, kebudayaan Islam, kesusastraan Islam, dan seterusnya?

Apakah "negara Islam" itu merupakan kewajiban yang harus diwujudkan oleh umat Islam? Apakah Islam harus dijadikan dasar negara, seperti di Indonesia? Apakah Islam itu sebuah ajaran yang menyeluruh dan sempurna (kaffah). Apakah Islam itu sebuah sistem hukum yang disebut syariat ataukah sebuah bimbingan cara hidup? Apakah Islam itu sebuah ideologi ataukah budaya?

Pertanyaan-pertanyaan itu dicoba untuk dijawab oleh pengarangnya, yang dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran-pemikiran lainnya. Bab selanjutnya, misalnya, berjudul "Islam, Negara, dan Kepemimpinan Umat" sebagai tema, diikuti dengan pembahasan mengenai "Keadilan dan Hak-hak Asasi Manusia", "Perekonomian Rakyat", dan diakhiri dengan bab yang berjudul "Islam, Perdamaian, dan Masalah Internasional".

Dari judul bab-bab, buku ini memang merupakan sebuah wacana mengenai pemahaman Islam dalam bingkai atau versi: "Islamku, Islam Anda dan Islam Kita" yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai sumber pembaruan pemikiran Islam, yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran para pembaru sebelumnya, seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Harun Nasution, dan Munawir Sadzali.

Dua macam

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas bisa dinilai dua macam: jawaban yang betul (right answer) dan salah (wrong answer). Tentu hal ini bergantung siapa yang menilai. Aliran Islamis-fundamentalis yang mungkin secara tidak sadar telah dipengaruhi oleh cara berpikir ilmiah, umpamanya, akan menilai bahwa jawaban yang benar adalah bahwa Islam itu memang merupakan sistem, bahkan sistem yang lengkap (a complet civilization).

Mengacu kepada penjelasan Dr H Nasuha mengenai "Teori Sistem" di atas, maka apakah Islam merupakan suatu sistem ataukah bukan bergantung dari pendekatan dalam melihat Islam. Jika dipakai teori sistem, maka ajaran Islam bisa dikonstruksikan menjadi suatu sistem yang khas, berdasarkan Al Quran dan sunah, misalnya sistem hukum, sistem kenegaraan dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem perbankan, dan seterusnya.

Melihat Islam historis sebagai bangunan peradaban Islam, orientalis HAR Gibb sendiri, sebagaimana dikutip oleh Natsir, menyimpulkan bahwa Islam bukan saja merupakan suatu religi, tetapi juga sebuah peradaban yang lengkap (a complete civilization). Tentu saja bisa timbul pertanyaan: apa yang dimaksud dengan sistem dalam kesimpulan Gibb tersebut dan apa yang dimaksud dengan peradaban yang membedakan diri dari religi itu. Salah satu buku Nurcholish Madjid umpamanya, berjudul Islam Agama Peradaban.

Dengan mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh para ahli (baca Dr H Nasuha, Sebagai Salah Satu Alternatif) sistem pada dasarnya adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang berkaitan satu sama lain sehingga melahirkan suatu fungsi atau proses tertentu untuk mencapai suatu tujuan.

Suatu sistem dapat dipandang baik atau buruk bergantung dari kriteria penilaiannya. Dilihat dari sudut ekonomi, suatu sistem bisa dinilai baik jika efisien, dalam arti dengan masukan (input) minimal akan dihasilkan keluaran (output) yang maksimal. Dari sudut lain, suatu sistem dapat dinilai kesesuaiannya dengan hukum alam (natural law), mungkin juga didasarkan pada kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh suatu agama.

Dari sudut Islam bisa dilihat kesesuaiannya dengan hukum syariat. Mungkin juga dari segi kemanfatannya bagi masyarakat, bersifat adil dan ramah lingkungan (saleh). Dari segi kemanusiaan, sistem tersebut memenuhi dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil warga negara. Sistem perbankan syariat ternyata dapat diterima oleh pasar bukan hanya karena antiriba, tetapi juga membuktikan dirinya dapat melayani kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan usaha dan dari sudut investor mampu memberikan keuntungan yang menarik.

Dari segi manajemen, suatu sistem dapat dinilai baik karena efisien atau dari segi sosial bermanfaat bagi rakyat kecil. Namun, perda-perda syariat banyak ditolak oleh masyarakat karena telah menimbulkan diskriminasi, melanggar prinsip kesetaraan jender, dan bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil.

Karena itu, jawaban terhadap pertanyaan Gus Dur itu tidak selalu hitam-putih, bergantung dari sampai seberapa jauh konsep tersebut memenuhi kriteria yang dipakai, yaitu dipakai oleh masyarakat luas yang terbuka dan plural. Masalahnya di sini adalah apakah tepat jika suatu agama seperti Islam ditransformasikan menjadi suatu sistem sehingga agama menjadi bersifat mekanis?

Konsep ideologi

Berdasarkan pandangan Dr H Nasuha, Islam bisa juga dikembangkan menjadi konsep ideologi negara dan pemerintahan. Tentu saja Islam bisa dikembangkan menjadi sebuah ideologi dan karena itu hendak dijadikan sebagai dasar negara.

Namun, perlu diingat, apa pengertian ideologi? Secara sosiologis, ideologi pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia dalam merancang masa depan sebagai respons terhadap suatu kondisi masyarakat. Penjajahan akan melahirkan nasionalisme, kepincangan sosial-ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia akan menimbulkan sosialisme, kediktatoran akan menimbulkan demokrasi.

Jika demikian, apakah agama yang merupakan sekumpulan doktrin dan norma itu dijadikan suatu ideologi?

Sementara itu, Daniel Bell mengatakan bahwa zaman wacana ideologi telah berakhir (end of ideology). Mengapa baru sekarang Islam hendak dijadikan suatu ideologi. Apakah ini tidak berarti reduksi Islam itu sendiri? Karena itulah, Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak perlu dijadikan ideologi. Karena Islam memberikan pedoman tingkat laku, maka Islam hendaknya dipandang sebagai sumber kebudayaan.

Pernah dalam sejarah politik di Indonesia dikembangkan konsep Islam sebagai dasar negara, bahkan konsep negara Islam. Sekali lagi, berdasarkan keterangan Nasuha tentang teori sistem (negara juga sebuah sistem, khususnya sistem politik), maka mungkin saja dibangun sebuah konsep teori politik Islam dan dari sana dikembangkan konsep negara Islam.

Masalahnya, seperti dikatakan oleh Munawir Sadzali, apakah Islam memberikan pedoman mengenai negara dan pemerintahan? Soal pemilihan dan suksesi kepala negara, tidak ada petunjuknya dalam Al Quran maupun sunah Nabi. Bahkan, menurut Dr Qomaruddin Khan, tidak ada istilah dalam Al Quran yang merupakan padanan "negara" atau "pemerintah".

Kata al daulah, yang biasa dikutip sebagai istilah untuk negara, bukan istilah Al Quran, melainkan para ahli fikih. Yang ada hanya petunjuk-petunjuk normatif yang bisa saja dijadikan landasan teoretis mengenai negara, misalnya keadilan, prinsip amanah, musyawarah, dan semacamnya.

Masalahnya adalah, menurut Nurcholish Madjid, konsep seperti itu harus dianggap sebagai hasil pemikiran manusia, dan bukan wahyu. Karena itu, maka agama tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap konsep negara Islam.

Apalagi hasil pemikiran manusia itu. Sekalipun berdasarkan sumber yang sama, akan beragam, bahkan bisa saling bertentangan, misalnya, antara otoritarian dan demokrasi.

Mana di antara konsep-konsep itu yang paling benar dan dapat diformalkan menjadi konsep negara Islam? Di sinilah akan timbul persengketaan yang saling mengklaim kebenaran atas nama Tuhan. Karena itu, Cak Nur menganjurkan lebih baik ajaran Islam dikembangkan menjadi suatu konsep keadilan sosial.

Ahli ekonomi

Mantan Presiden Republik Islam Iran Rafsanjani yang juga ahli ekonomi itu pernah mengembangkan teori keadilan sosial. Imam Khomaini juga telah mengembangkan konsep negara dan pemerintahan Islam. Prinsip kedaulatan Tuhan diterjemahkan sebagai al Wilayah al Faqih, semacam dewan ulama. Tapi, konsep itu tidak bisa disebut universal dan mewakili konsep Islam yang resmi. Karena itulah maka Gus Dur tidak menyetujui gagasan negara Islam. Baginya negara, seperti Indonesia, adalah sebuah negara kebangsaan yang sekuler.

Gus Dur juga berpendapat bahwa Islam adalah sebuah ajaran kemasyarakatan. Masalah kemasyarakatan ini memang banyak petunjuknya dalam Al Quran. Karena kita bisa menjumpai perintah untuk membentuk suatu masyarakat (QS Ali Imran: 104 dan 110).

Sedangkan perintah untuk mendirikan negara tidak ada sama sekali. Tapi, memang ada perintah agar orang menghukumi sesuatu dengan hukum Allah yang diartikan sebagai hukum syariat. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah hukum Allah yang berlaku dalam alam semesta (kauniyah) dalam masyarakat dan sejarah (sunatullah) yang banyak disebut oleh Cak Nur.

Yang dimaksud juga prinsip-prinsip yang dianjurkan dalam Al Quran, misalnya adil. Karena itu, menghukumi suatu masalah dengan hukum Allah berarti menghukum berdasarkan prinsip keadilan. Inilah yang antara lain diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Daud sebagai seorang penguasa. Anaknya, Nabi Sulaiman, dikenal dengan keadilannya sebagai raja-hakim.

Perintah untuk membentuk suatu negara biasanya mengacu kepada pembentukan negara Madinah. Tapi, yang lebih tepat adalah masyarakat (umat) Madinah, daripada suatu negara, yang sebenarnya hanyalah interpretasi dari orientalis dan sejarawan saja. Sebab, masyarakat Madinah adalah merupakan hasil dari suatu kontrak sosial (social contract), meminjam pengertian Rousseau, yaitu sebagai hasil perundingan, musyawarah, dan negosiasi antara nabi dan tokoh-tokoh masyarakat serta agama di sekitar Yatsrib (sebelum disebut Madinah yang artinya kota).

Menurut Dr Ali Abdul Razik, ulama-sarjana Al Azhar, murid Abduh itu, misi nabi adalah keagamaan dan bukan politik. Adapun negara yang dibentuk dan dipimpin oleh Khulafa’ al Rashidin yang sering dijadikan referensi itu adalah hasil ijtihad, karena tidak ada petunjuknya yang jelas dalam Al Quran maupun sunah.

Bagi Gus Dur, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah "Negara Islam". Tetapi, ada perintah dalam Al Quran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai keutamaan (viruies) yang menjalankan amar makruf (membangun kebaikan) dan mencegah keburukan, nahi mungkar, untuk menegakkan iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, maka Islam jangan direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama.

Dengan demikian, maka pembaruan Gus Dur adalah mempertegas perspektif gerakan kultural dan gerakan kemasyarakatan, yang sekarang lebih populer dengan sebutan membangun civil society yang bersifat komplementer dan mendukung sebuah negara Pancasila yang telah dimulai oleh para Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers). Itulah kurang lebih gambaran Gus Dur tentang "Islamku" dan juga "Islam Anda" dan semoga juga "Islam Kita".

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0701/19/opini/3250523.htm

M Dawam Rahardjo Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

Islam Krisis

Koran Tempo, 14 Jan 10

Mohamad Guntur Romli

KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid meninggalkan pengaruh yang dalam kepada diri saya jauh sebelum saya menjadi penyiarnya di acara Kongkow Bareng Gus Dur tiap Sabtu di Utan Kayu. Pada awal 1997, ketika saya baru lulus dari sebuah pesantren dan menjadi guru muda di pesantren itu, saya mengikuti sebuah pelatihan untuk guru dan santri se-Jawa Timur. Tuan rumahnya: Kajian 193 Universitas Islam Malang. Gus Dur hadir sebagai narasumber. Jujur saja, waktu itu saya tak suka Gus Dur dan Nurcholish "Cak Nur" Madjid. Saya memperoleh informasi tentang dua tokoh ini dari media-media, seperti Sabili, Media Dakwah, dan Hidayatullah. Kala itu saya mengidolakan sosok Amien Rais, yang dianggap sebagai representasi tokoh Islam. Sedangkan Gus Dur dan Cak Nur sering dituding oleh media-media itu "kurang kadar keislamannya".

Saya tidak terlalu tertarik akan presentasi Gus Dur. Sejak pertama kali melihat Gus Dur, saya tak sabar ingin mengeluarkan unek-unek saya (yang negatif). Setelah Gus Dur melakukan presentasi, saya yang pertama kali mengacungkan tangan untuk bertanya. Dimulailah percakapan dan dialog pertama saya dengan Gus Dur, yang mengubah haluan pemikiran saya.

"Gus, saya seorang santri. Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya ingin mengajak kita semua untuk meyakini Islam sebagai agama paling benar. Kalau kita sudah yakin, lantas bagaimana menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (menjadi berkah bagi alam semesta)?" Pertanyaan ini adalah sindiran saya yang halus kepada Gus Dur, yang menurut su'ud dzon saya pada dia--seperti yang saya baca dari media-media itu--Gus Dur tidak terlalu kuat Islamnya karena sering membela nonmuslim.

Respons Gus Dur di luar perkiraan saya. "Siapa nama santri tadi itu? Santri kok Islamnya krisis." Mendengar ucapan Gus Dur ini, belasan orang yang hadir tertawa terbahak-bahak. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Ucapan Gus Dur seperti setrum megawatt yang menyengat saya. "Kalau kita sudah yakin pada Islam, tak perlu teriak-teriak lagi. Biasanya yang sering teriak itu masih ragu atau takut. Saya sering dianggap tidak Islam hanya gara-gara sering membela orang nonmuslim. Saya dianggap tidak ngerti ayat Quran yang berbunyi, 'tidak akan pernah rela orang Yahudi dan Kristen pada kamu (orang Islam) sampai kamu mengikuti agama mereka'," ujar Gus Dur, yang mengutip penggalan ayat ke-120 dari surat Ali Imran. Ungkapan Gus Dur itu juga seperti mengorek-orek asumsi-asumsi buruk yang menempel di otak saya.

Gus Dur melanjutkan, "Bagi saya, makna 'tidak rela' itu jangan didramatisir, dipahami biasa-biasa saja, karena sebaliknya kita orang Islam tidak pernah rela pada keyakinan mereka. Sama saja, kan? 'Tidak rela' bukan berarti mau menyakiti atau membunuh. Contohnya Siti Nurbaya tidak rela menikah dengan Datuk Maringgih. Ya, Siti tidak rela saja, bukan lantas dia ingin menyakiti atau membunuh Datuk Maringgih. Buktinya, Siti Nurbaya melahirkan anak-anak Datuk Maringgih." Orang-orang yang hadir kembali tertawa lebar mendengar tamsil Gus Dur soal "tidak rela" itu. Ketika menjawab pertanyaan saya tentang "Islam rahmatan lil alamin", Gus Dur mengutip wejangan KH Ahmad Siddiq bahwa Islam harus merawat tiga ikatan persaudaraan, yaitu "ukhuwah islamiyah" (persaudaraan keislaman), "ukhuwah wathaniyah" (persaudaraan kebangsaan), dan "ukhuwah basyariyah" (persaudaraan kemanusiaan). Jika mampu merawat tiga ikatan persaudaraan ini, Islam akan menjadi berkah bagi alam semesta.

Sindiran Gus Dur yang menganggap saya sebagai seorang muslim yang krisis--meskipun saya lulusan pesantren dan telah menimba ilmu keislaman selama bertahun-tahun--membuat saya kembali bertanya kepada diri sendiri. Benar juga komentar Gus Dur itu. Kalau saya benar memiliki keimanan terhadap Islam yang kuat, kenapa perlu teriak-teriak, yang menunjukkan saya masih ragu? Merasa paling benar memang kadang untuk menyembunyikan keraguan.

Pertemuan dengan Gus Dur itu telah meruntuhkan fanatisme saya yang sebelumnya mudah curiga dan menyalahkan pendapat orang lain; saya yang selalu menganggap diri sendiri sebagai muslim yang paling benar. Pertemuan itu juga mengubah image saya terhadap Gus Dur. Seperti menebus dosa, saya mulai rajin mencari dan membaca buku-buku karangan Gus Dur untuk mengenal pemikirannya secara langsung bukan dari tulisan atau perkataan orang lain. Ketika saya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Mesir, pada 1998, saya masuk Nahdlatul Ulama Mesir untuk mengukuhkan kekaguman saya kepada Gus Dur. Pun saya mulai tertarik untuk membaca pemikiran Cak Nur langsung dari tulisan-tulisannya.

Dalam kesempatan yang lain, Gus Dur juga sering merujuk pada soal "Islam krisis" ini pada fenomena kekerasan dan kebencian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal terhadap kelompok yang lain. Krisis yang dimaksud adalah rasa tak percaya diri atau diliputi penuh ketakutan. Kata Gus Dur, "Mereka itu dalam bayang-bayang ketakutan, merasa terkepung dan terancam oleh Barat, tapi di sisi lain pihak yang disebut lawan itu, Barat, juga merasa takut dan terancam oleh mereka." Inilah lingkaran ketakutan yang menyebabkan krisis, kecurigaan, dan kebencian terhadap pihak yang lain. Padahal sumber ketakutan dan apa yang ditakutkan sering kali tak jelas.

Pesan Gus Dur yang selalu saya ingat dan akan terus menjadi pegangan adalah "jangan takut". Seorang muslim yang baik dan memiliki iman yang kuat berarti telah terbebas dari ketakutan-ketakutan. Takut yang berasal dari kecurigaan yang bisa melahirkan kebencian dan permusuhan. Muslim yang percaya diri tidak akan pernah takut untuk terbuka kepada pihak luar. Membuka diri adalah bukti keberanian, sementara menutup diri merupakan reaksi ketakutan.

Dua tahun lalu saya menyampaikan "pengakuan dosa" ini kepada Gus Dur. Seperti biasa, Gus Dur hanya tertawa-tawa. Saya pun ikut tertawa geli, mengenang kekonyolan masa lalu.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/13/Opini/krn.20100113.18

Mohamad Guntur Romli
Penyiar Kongkow Bareng Gus Dur di KBR68H dari November 2005-2009

Pak Harto,Gus Dur,dan Gelar Pahlawan Nasional

Koran Sindo, 21 Jan 10

Oleh: Salahuddin Wahid

Beberapa hari setelah Gus Dur wafat muncul usulan agar Gus Dur diberi gelar pahlawan nasional. Entah siapa yang pertama kali melontarkan gagasan itu tetapi dalam waktu singkat banyak yang mendukungnya.

Ada yang mengusulkan supaya gelar itu segera diberikan.Bahkan, Amien Rais menyatakan bahwa tidak perlu ada pertimbangan atau seminar membahas usulan itu, langsung saja Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional. Putri-putri Gus Dur mengatakan bahwa Gus Dur tidak ingin menjadi pahlawan nasional dan tanpa gelar itu pun telah menjadi pahlawan di hati masyarakat. Hal itu betul, tidak ada pahlawan yang punya ambisi menjadi pahlawan nasional.Tetapi, hal itu tidak menjadi halangan bagi negara untuk memberi mereka gelar pahlawan.

Kita sebagai bangsa perlu memberi gelar pahlawan nasional kepada mereka yang betul-betul layak menerimanya. Itu sejalan dengan pendapat bahwa bangsa yang besar adalah yang mampu menghargai para pahlawannya. Saat saya ditanya wartawan tentang masalah itu, saya menyampaikan dua hal. Pertama, jangan tanya pendapat saya karena jawabannya pasti subjektif, tanyalah pihak lain.Kedua, saya tidak setuju usul Amien Rais yang tidak mendidik. Kita harus mengikuti ketentuan UU yang mengatur bahwa harus diadakan usulan dari DPRD kabupaten dan DPRD provinsi kepada Departemen Sosial,lalu diadakan diskusi atau seminar mengenai sumbangsih Gus Dur terhadap bangsa.

Syukur, itulah proses yang kini sedang berjalan. Takkan lari gunung dikejar.Waktu masih cukup untuk mengikuti proses itu yang sekaligus bisa kita manfaatkan untuk belajar dan mencari ilham dari kisah perjuangan Gus Dur. Kalau Gus Dur diangkat sebagai pahlawan nasional,maka kakek (KH Hasyim Asy’ari), putra (KH Wahid Hasyim), dan cucu (KH Abdurrahman Wahid) akan menjadi pahlawan nasional. Besar kemungkinan, tidak ada prestasi lain semacam itu di dunia.

Pak Harto Juga Layak?

Lalu muncullah gagasan untuk juga memberikan gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto. Selain tokoh dari Partai Golkar,usulan serupa datang dari salah satu tokoh PPP yaitu Lukman Hakim Saifuddin. Gagasan itu terutama didasarkan pada argumentasi bahwa Pak Harto telah banyak berjasa bagi bangsa dan negara.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, Gus Dur yang mempunyai cacat yuridis (karena pernah diberhentikan dari jabatan presiden berdasar TAP MPR No II/MPR/2001) saja layak menjadi pahlawan nasional, tentu Pak Harto yang bebas dari segala cacat hukum tidak punya halangan apa pun untuk menjadi pahlawan nasional. Tidak bisa dihindari timbullah pro-kontra menanggapi usul itu. Otto Gusti, seorang doktor filsafat, menulis di salah satu harian nasional (18/1) bahwa kesalahan Pak Harto itu bukanlah kesalahan biasa atau dosa pribadi,tetapi sebuah kejahatan sistematis terhadap warganya.

Mochtar Pakpahan saat ziarah ke Tebuireng juga mengatakan pendapat yang sama, langsung kepada saya.Pendapat dua tokoh di atas mewakili aspirasi para korban akibat politik kekerasan dari Pemerintahan Orde Baru seperti para tapol yang terkait PKI dan tapol lainnya. Upaya untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan Orba itu sampai kini belum berhasil dilakukan. Otto Gusti menulis bahwa usulan gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto harus diuji validitasnya di hadapan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pada dialog tentang kepahlawanan oleh Depsos (2000) muncul pertanyaan dari peserta dialog, apakah Pak Harto akan menjadi pahlawan nasional?

Karena Dr Ruslan Abdul Gani tidak bersedia menjawab, saya terpaksa menjawab. Jawaban saya terhadap pertanyaan itu, suatu saat Pak Harto akan diberi gelar pahlawan nasional tetapi tidak dalam waktu dekat. Bung Karno lengser pada 1967 dan wafat pada 1970. Beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 1983 bersama Bung Hatta,16 tahun setelah lengser, dan 13 tahun setelah wafat.Dengan patokan itu,maka Pak Harto mungkin akan mendapat gelar pahlawan nasional sekitar 2014 sampai 2021.Ternyata, 13 tahun setelah lengser dan 2 tahun setelah wafat, penolakan terhadap gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto masih amat kuat.

Jajak Pendapat

Akankah Pak Harto mendapat gelar pahlawan nasional? Saya masih tetap pada pendapat di atas bahwa perlu waktu panjang bagi Pak Harto untuk bisa diterima sebagai pahlawan nasional. Makin lama jasa Pak Harto akan makin diingat dan kesalahannya akan makin dilupakan. Lepas dari kekuatan dan kebenaran dari argumentasi para pendukung dan penolaknya, itulah realitas politik yang kita hadapi.

Salah satu cara untuk mengetahui seberapa besar dukungan dan penolakan masyarakat terhadap penganugerahan gelar bagi Pak Harto adalah melalui jajak pendapat terhadap seluruh rakyat Indonesia.Tahun 2007 jajak pendapat LaKSNU menampilkan hasil bahwa Pak Harto adalah Presiden terbaik (di atas 30 %),Bung Karno kedua terbaik (hampir 30%), Gus Dur paling akhir (di bawah 10%). Kalau jajak pendapat tentang presiden terbaik dilakukan saat ini,hasilnya bisa saja berbeda.

Kalau kita lihat sikap bangsa lain terhadap para pemimpinnya, kita akan melihat bahwa para pemimpin yang semula dikecam dan dianggap sebagai monster, ternyata akhirnya banyak yang mendapat penghargaan yang menurut bangsa itu layak.Presidenlah yang akan memutuskan apakah Pak Harto akan dianugerahi gelar pahlawan nasional.Keputusan presiden itu tentu akan berdampak pada citra dan popularitas presiden.

Karena Presiden SBY tidak akan maju lagi dalam pilpres 2014, keputusan tentang pemberian gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto tidak akan berdampak apa-apa. Diperlukan keberanian dan kearifan seorang presiden untuk bisa menetapkan Pak Harto sebagai pahlawan nasional.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/299174/

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

Gus Dur sebagai "Orang Asing"

Kompas, 8 Jan 2010

Oleh: Wildan Pramudya

Gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional, Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme, sungguh layak diberikan kepada mendiang Gus Dur. Namun, penulis ingin menghormati Gus Dur bukan dengan gelar-gelar kehormatan semacam itu, melainkan hanya dengan mengenangnya sebagai orang asing.

Mengenang Gus Dur sebagai orang asing akan bisa lebih dipahami kalau diletakkan dalam kerangka pemikiran sosiolog Jerman, Georg Simmel. Dalam salah satu tulisannya, The Stranger, Simmel memberikan pengertian yang kompleks, khas, dan unik atas konsep orang asing.

Bagi Simmel, orang asing bukan sebuah tifikasi identitas (orang yang tidak dikenali asal-usulnya), melainkan suatu tifikasi relasi tertentu seseorang dalam suatu komunitas. Tipe relasi yang dimaksud adalah relasi interseksi yang dibangun atas dasar kedekatan (nearness), tetapi sekaligus berjarak (remoteness).

Dalam relasi interseksi, orang asing menjadi bagian dari komunitas, tetapi tidak sepenuhnya menjadi bagian dari komunitas tersebut karena ia tetap mampu mengambil jarak dengannya. Orang asing adalah orang yang berada di dalam sekaligus di luar komunitas.

Gus Dur tepat disebut sebagai orang asing karena selama ini Gus Dur mengembangkan relasi interseksi tersebut tidak saja di dalam komunitas NU, tetapi juga dengan kekuasaan dan berbagai komunitas lain yang lebih luas.

Kritik pedas

Terlahir sebagai cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari; dididik secara kultural di dalam tradisi NU, memulai dan memantapkan karier politik di NU merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah elemen penting dan tak terpisahkan dari komunitas NU. Namun, pada saat yang sama, tidak jarang sikap Gus Dur berseberangan dengan tokoh-tokoh penting lainnya di NU dan secara terbuka kerap melancarkan kritik pedas terhadap beberapa kiai nahdliyin, seolah-olah ia tidak sedang menjadi bagian dari NU.

Begitu pula relasi Gus Dur dengan kekuasaan. Pada era Orde Baru, Gus Dur kerap mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto, tetapi—pada saat yang sama—”mengambil” dan menerima Pancasila, yang menjadi kebijakan politik resmi Orde Baru itu, sebagai asas NU.

Hal ini berlanjut saat Gus Dur sendiri berada dalam pusat kekuasaan, yaitu sebagai presiden ke-4 RI. Saat itu Gus Dur secara sinikal menyebut para anggota DPR ibarat murid taman kanak-kanak. Padahal, DPR saat itu diisi oleh banyak anggota yang berasal dari partai koalisi yang justru mendukung dan memilihnya sebagai presiden. Dengan sikapnya itu, Gus Dur dianggap tidak konsisten, mencla-mencle, dan berkhianat pada ikatan koalisi besar partai politik yang mendukungnya. Klimaksnya, Gus Dur pun dilengserkan dari kekuasaan oleh orang-orang yang dulu pernah mendukungnya.

Kendati begitu, dari situ kita bisa memetik pelajaran. Pertama, dengan relasi interseksi sejatinya Gus Dur berupaya untuk tetap (ber)independen terhadap segala bentuk ikatan, sekalipun itu ikatan dengan komunitas paling primordial baginya: NU, ataupun kekuasaan yang sesungguhnya bisa sangat menguntungkan dirinya. Kedua, Gus Dur berusaha mene- rapkan suatu perspektif sosial yang lebih obyektif dalam memandang individu, kelompok, atau institusi.

Obyektivitas

Persis dijelaskan Simmel bahwa orang asing adalah orang dengan pandangan yang obyektif. Obyektivitas orang asing adalah suatu pandangan yang hanya mungkin diperoleh dalam suatu relasi interseksi, yaitu kedekatan dan keberjarakan. Ini berbeda dengan obyektivitas kaum ilmiah positivistik yang hanya memandang sesuatu dengan mengambil jarak dari obyek.

Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas, seperti umat Konghucu dan Ahmadiyah, misalnya, bisa dipahami dalam kerangka obyektivitas orang asing ini. Gus Dur membela keberadaan mereka atas dasar pandangan obyektif dengan meneropong keberadaan mereka tidak hanya dari kejauhan, tetapi juga dari dekat. Dengan cara ini, Gus Dur mampu memahami cara hidup dan berkeyakinan mereka secara adil dan apa adanya. Maka, dengan cara pandang ini, tidak heran jika kemudian Gus Dur bisa diterima dan dikagumi oleh banyak orang dari berbagai kelompok dan golongan.

Terhadap lawan-lawan politiknya sekalipun, Gus Dur taat menerapkan pandangan obyektif semacam ini dan sangat piawai menjalin relasi interseksi dengan mereka. Dengan demikian, di mata Gus Dur, secara obyektif keberadaan lawan politik adalah sekaligus kawan politik. Sungguh ini sebuah estetika politik yang mungkin tidak mudah dilakukan tokoh politik lainnya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/02574579/gus.dur.sebagai.orang.

Wildan Pramudya Aktif di LP3ES

Dengan Mati, Gus Dur Abadi

Kompas, 5 Januari 2010

Oleh Yudi Latif

Tunjukkan padaku seorang pahlawan, niscaya akan kutulis suatu tragedi,” ujar pujangga F Scott Fitzgerald. Di tengah gemuruh takbir dan derai isak tangis yang mengiringi kepergian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebuah ode ditulis banyak orang di media dan jejaring maya yang menobatkannya sebagai pahlawan.

Pahlawan adalah mereka yang berani mengubah tragedi menjadi jalan emansipasi. Seperti itu jualah Gus Dur. Secara individual ataupun komunal, ia tumbuh mengerami rangkaian kepahitan dan keterpinggiran.

Sejak masa kanak-kanak, ia mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, ditambah kecelakaan susulan yang mengganggu penglihatannya. Sebagai ”cucu dari kakeknya dan anak dari ayahnya”, Gus Dur yang mewarisi rumah Islam tradisional juga mendapati umatnya dalam situasi keterpurukan, sebagai subaltern (yang terpinggirkan) yang diremehkan rezim kemodernan.

Ia tidak menyerah. Sebelah matanya yang berfungsi baik ia optimalkan untuk membaca. Keterpurukan tradisi tidak membuatnya rendah diri, melainkan memberinya dorongan untuk melakukan penyelamatan.

Dalam mencari modus penyelamatan itu, ia mengamalkan nasihat Imam Syafi’i kepada para pencari untuk berani melakukan pengembaraan (intelektual). ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tidak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya.”

Gus Dur berbeda dengan pendahulunya yang demi mengagungkan tradisi kerap menolak unsur kemodernan, yang membuat pondok pesantren agak terlambat mengantisipasi kemajuan. Gus Dur berani melakukan pengembaraan hingga ufuk terjauh filsafat, pengetahuan, dan peradaban Barat.

Namun, dia berbeda dengan pengembara lain yang cenderung melupakan asalnya sehingga, menurut Harry J Benda, adalah suatu perkecualian kaum inteligensia Indonesia yang mengenyam pendidikan Barat akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelas asalnya. Gus Dur ibarat kacang yang tak pernah melupakan kulitnya. Sejauh apa pun ia mengembara, ia selalu ingat jalan kembali ke rumah tradisi, dengan menjangkarkan kemodernan pada akar jati diri dan mensenyawakan universalitas keislaman dengan lokalitas keindonesiaan. Tempat perabadiannya di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng meneguhkan komitmen Gus Dur untuk senantiasa kembali ke rumah tradisi.

Jadilah ia bak pohon dengan akar yang menghunjam dalam, batangnya menjulang tinggi, dedaunannya rindang. Dengan akarnya yang kuat, ia tumbuh menjadi pemimpin yang percaya diri, tidak mudah goyah diterpa angin kritik, fitnah, tuduhan, dan ancaman. Dengan batangnya yang menjulang, ia menjadi pemimpin yang visioner yang melampaui zamannya. Dengan dedaunannya yang rindang, ia bisa menjadi pelindung siapa saja yang merasa kepanasan dan terpinggirkan.

Kepergian Gus Dur adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Seperti kata Sayidina Ali, ”Jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya.” Tugas kita adalah membuat Indonesia negeri yang cocok bagi hidupnya para pahlawan alim yang baru.

Kehilangan harus menjadi pemicu bagi kebutuhan. Biduk perahu Indonesia terancam oleng oleh ketiadaan nakhoda kepemimpinan yang kuat, visioner, dan pengayom. Tanpa keteguhan untuk mempertahankan nilai tradisi luhur jati diri bangsa, pemimpin kita mudah menyerah pada dikte kepentingan dan falsafah lain. Tanpa ketinggian dan keluasan visi, kepemimpinan terperangkap dalam ritualisme pencitraan dan pragmatisme jangka pendek, tak memiliki daya antisipatif dalam merespons perkembangan global. Tanpa kesiapan menjadi pengayom, kepemimpinan menjadikan kemajemukan sebagai alat manipulasi politik, melupakan kemungkinan konvergensinya bagi usaha emansipasi dan kemajuan bangsa.

Gus Dur meninggalkan kita di tengah keprihatinan yang ditimbulkan kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama ia perjuangkan. Rule of law menjadi sekadar rule by law, dengan berbagai aturan dibuat demi melegitimasikan kepentingan kuasa dalam kemasan pencitraan taat hukum. Pelarangan buku dan ”pemanggilan” media dilakukan. Korupsi politik demi melestarikan kekuasaan merebak dengan mengancam perhatian kuasa dalam mengemban tugas pelayanan dan penyejahteraan.

Dalam situasi seperti ini, tugas intelektual untuk ”berkata benar pada kuasa” penting dipancangkan sebagai penjaga kewarasan bangsa. Keberanian berkata ”benar” inilah warisan kepahlawanan Gus Dur yang teramat mulia untuk dijunjung tinggi tunas pahlawan masa depan. Seperti kata Leo Tolstoy, ”The hero of tale—whom I love with all the power of my soul, whom I have tried to portray in all his beauty, who has been, is, and will be beautiful—is Truth.”

Dengan ”kebenaran” yang engkau wariskan, pulanglah, Gus, dengan tenang. Kita hanyalah anak sang waktu yang mengalir dari titik ke titik persinggahan sementara. Namun, setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap kata yang engkau sapakan memberi gairah pada hidup. Setiap canda yang engkau kelakarkan memberi senyum pada kemelut. Setiap darma yang engkau sumbangkan memberi tenaga pada sesama. Dengan menanam, engkau hidupkan asa masa depan. Dengan mati, engkau abadi!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/02394140/dengan.mati.gus.dur.ab

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan