Friday, December 28, 2012

Gus Dur Mencapai Cita-citanya

Oleh: Syu’bah Asa

SUATU kali Abdurrahman Wahid marah-marah kepada seorang tokoh Islam. Masalahnya, seorang wartawan TEMPO mengadu kepadanya. Ia dimarahi tokoh itu, karena datang ke rumahnya dengan cara melompat pagar pekarangan yang terkunci setelah tidak mendapat cara lain untuk masuk. Ini terjadi pada akhir 1970-an, zaman ketika telepon belum populer, sedangkan si wartawan memang punya janji dengan si tokoh. Mendengar pengaduan itu malah Gus Dur yang tersinggung dan membela si wartawan. “Sok kenes! Keba­rat-baratan!” katanya, ditujukan kepada tokoh yang tidak mendengar kemarah­annya itu.

Kemarahan Gus Dur dikarenakan ia tidak terlalu menganggap serius perbuatan lompat pagar yang dilakukan dengan terpaksa itu, dibanding keperluan yang mendorongnya. Itu paling-paling, kan, kenakalan anak muda. Begitu saja kok marah. Repot-repot amat. Ini semua menurut cerita si wartawan.

Tetapi, itulah Gus Dur yang dikenal kawan-kawan di TEMPO: bersahabat, tidak formal, punya empati besar, cepat bereaksi, di samping luas perhatian dan banyak guyon. Di masa-masa itu, ketika TEMPO masih berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat, sekitar akhir 1970-an sampai 1980-an, Gus Dur kerap datang untuk menulis kolomnya. Produktif sekali. Kalau tidak salah, yang satu belum dimuat, sudah datang yang lain. Andaipun terpaksa ada kolom yang harus kembali, saya kira dia juga tidak peduli. Repot-repot amat. Tapi, saya lupa menge­nai itu. Yang jelas, produktivitas Gus Dur membuat Goenawan Mohamad, Pe­mimpin Redaksi ketika itu, menyarankan kepada saya agar mengurus satu meja khusus plus mesin ketik untuk dia.

Gus Dur orangnya segar. Datang dengan gaya seperti selalu siap untuk ngobrol, pakai sandal, tidak pernah sepatu, pakai hem lengan pendek, tidak pernah pakai peci, apalagi dasi. Selalu punya lelucon yang membuat orang tergelak-gelak. Setelah ger-geran sedikit, baru ia menuju mejanya dan mulai mengetik. Sekitar dua jam kemudian ia mendatangi Goenawan, atau saya, menyerahkan tulisannya. “Ini. Terserah Mas Syu’bah.” Atau, “Terserah Mas Goen.” Sudah itu ia tidak peduli mau diapakan kolomnya: diedit, dibolak-balik, dikurangi, terserah. Repot-repot amat. Asal masih tetap pikiran dia, tentu saja. Biasanya Goenawan menaruh lagi kolom yang diberikan Gus Dur itu di meja saya. Tapi, kalau sudah dia sentuh sedikit-sedikit, ya, saya teruskan saja ke pracetak.

Hampir tiap minggu Gus Dur menulis. Ini, kemudian, diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga. Ada saja idenya. Juga ide yang bagi orang lain sering dianggap sepele, akan ia ke­mukakan dalam kalimat-kalimat serius, sehingga membuatnya penting. Kolom­nya tentang lelucon, misalnya, tentunya bisa dimasukkan ke situ. Karena pulang-pergi naik kendaraan umum, ia juga dapat ide tentang bus kota nomor sekian yang tiap hari Minggu mengubah trayek menjadi Kebayoran-Kwitang. Sopir bus itu tahu kebutuhan umat Habib Al-Habsyi yang tiap Ahad pagi berbondong-bondong ke pengajian. Lalu Gus Dur, dengan beberapa contoh lain, bicara dengan segar tentang “komersialisasi keberagamaan” dengan kedua pihak sama-sama setuju.

Ungkapan-ungkapan Gus Dur memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, misalnya, adalah asli dari dia dan bukan dari penyunting. Berpikirnya ringan tetapi amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkap­annya prosais. Hanya saja, karena rata-rata dikerjakan dengan cepat, tanpa selalu sempat memilih ungkapan yang efektif, terkadang karangan agak boros kata, dan itu mengaburkan barik (tekstur).

Sebaliknya, karena ide, atau unit pikiran kecil-kecil, sering banyak sekali, ia juga bisa agak melompat, mengira orang sudah paham, padahal diperlukan jem­batan — yang sering hanya dua-tiga kata. Betapapun, tulisan Gus Dur tidak termasuk yang ditangani, misalnya sampai ke tingkat “dikerjain”. Sekadar men­jaga bagaimana agar ketajaman pikiran dan analisisnya tidak dikaburkan oleh semak belukar kata. Kalau ternyata malah sudah beres dengan sendirinya, sudah.

Itu penting. Apalagi untuk penulis produktif dengan spektrum pemikiran yang luas seperti dia. Memang, lebih luas dari siapa pun. Kalau dibandingkan dengan Nurcholish Madjid atau Amien Rais, spektrum perhatian Gus Dur masih lebih luas. Tulisan-tulisannya mulai dari masalah-masalah sosial, politik, agama, bu­ruh, tani, dakwah, musik, sampai sepak bola—nasional maupun internasional.

Dan itu sesuai dengan keluasan ruang geraknya dan banyaknya komunitas yang dia masuki. Ia orang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmu­wan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar. Dia kan punya perangkat leori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU. Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk ling­kungan antaragama. Sampai ke tingkat antarnegara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki.

Ia bukan seniman, hanya kecenderungan humanioranya besar sekali. Bacaan novelnya, atau majalah budaya, paling tidak terbitan Timur Tengah atau terjemahan sana, dulu, waktu sekolah di Mesir, tidak bisa disamai intelektual mana pun yang bukan budayawan. Karena wawasannya pula ia dipilih menjadi salah satu ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tentu, jabatannya di NU memperkuat kans­nya sebagai ketua di DKJ. karena kita kan senang kalau, ternyata, masyarakat ini bisa dibikin tidak terkotak-kotak.

Termasuk dalam perhatiannya yang luas adalah kegemarannya pada perkem­bangan politik berbagai negara, lengkap dengan ideologi-ideologi. Jangan-ja­ngan, inilah yang paling dia gemari, walaupun bukan yang paling banyak dia tulis. Sehingga, melihat kolom-kolomnya saja kita sebenarnya tidak heran kalau Gus Dur menjadi presiden. Mungkin ada benarnya, meskipun ini karena kita berpikir sekarang, sebetulnya dari kecil Gus Dur bercita-cita ingin jadi “sesuatu”, ingin jadi somebody yang berhubungan dengan kekuasaan. Tentu kita semua juga ingin jadi somebody, tapi kan tidak semua somebody punya kaitan dengan kekuasaan. Pada saya, misalnya, tidak.

Tapi, Gus Dur datang dari keluarga aktivis besar, dalam pengertian yang dekat dengan negara. Kakeknya termasuk pendiri Masjumi dan, kemudian, pendiri NU. Ayahnya menteri agama dan sangat terkenal di kalangan Islam. Dua-duanya pahlawan nasional. Yang saya tahu, keluarga besar Gus Dur umumnya berpenda­pat dia itu mestinya menjadi menteri agama, supaya ada yang meneruskan “warisan” ayah dan kakeknya.

Dan nanti akan kita lihat, Gus Dur sendiri, paling tidak sebagai aktivis, kalau bukan juga sebagai kolumnis, tidak bisa jauh dari kekuasaan. Ia selalu bergerak di dekat-dekat situ, meskipun oleh pemerintah waktu itu tidak dibolehkan men­jadi pemain. Ini bisa dibandingkan dengan para intelektual lain mana pun yang umumnya, memang, bermental swasta. Kalaupun hidupnya berhubungan dengan pemerintah, ya paling-paling makan upah, sebagai pegawai atau dosen. Gus Dur tidak pernah makan upah.

Kolom-kolomnya sendiri, sebagian, sudah mencerminkan antusiasmenya terhadap politik dan masalah kenegaraan. Tidak hanya Gus Dur yang menulis soal luar negeri. Tetapi, rasa-rasanya, hanya dia yang datang dengan ide lebih dahulu (dan itulah yang membuatnya menjelaskan apa yang sedang terjadi, dan bukan sebaliknya) dan menulis sambil seolah-olah berkata, “Mestinya kan be­gini. Repot-repot amat.” Karangannya bisa menyangkut negara apa saja, Timur maupun Barat.

la bukan ilmuwan spesialis, misalnya ahli negara tertentu. Pengetahuannya yang mendetail (misalnya saja tentang Israel mutakhir) merupakan hasil dari minatnya yang besar, dan ia menulis dengan gaya seakan-akan masalahnya ri­ngan saja. Jadi. soal seperti lelucon ia “perjuangkan” dengan kalimat-kalimat serius untuk diberi perhatian, sementara soal politik dan kenegaraan sering ia tulis dengan segar, khas seseorang yang yakin bahwa ia mampu. Ini karena pada dasarnya ia budayawan. Sekarang ini kita bisa berkata, ia budayawan (lebih dari agamawan) yang masuk ke dunia politik.

Karena itu, tidak heran ketika masuk Istana, menjadi kepala negara, ia tidak mmder atau kelihatan sebagai junior. Ia jenis tokoh yang “matang di luar”. Tidak lewat pendidikan formal, misalnya ilmu politik. Dan seperti pernah dikatakan Munawir Sjadzali kepada saya waktu beliau masih menteri agama, orang itu “tidak punya obsesi gelar”. Itu benar. Gelar K.H. pun bukan dia sendiri yang pasang. Padahal, setahu saya Gus Dur tidak pernah mengajar ngaji kitab. Kan “Gus” itu panggilan putra kiai.

Jadi, Gus Dur itu hanya membaca, mendengar, diskusi, membaca, mendengar, diskusi, sambil ketawa-ketawa. Waktu sekolah di Mesir pun, saya bilang tadi, bacaannya novel. Sekolahnya sendiri entah lulus entah tidak, nggak pentinglah. Ada yang cerita, pernah ia naik bus ke sekolah, tapi waktu bus berhenti dekat sekolah, ia tidak turun, karena sebenarnya ia mau nonton. Saya pernah mende­ngar cerita yang hampir seperti itu tentang Bung Karno, entah benar, entah tidak. Katanjga, waktu dibuang Belanda ke Digul, kalau Bung Hatta kan kerjaan­nya membaca. Kalau Bung Karno tidak. Mancing.

Tapi, Gus Dur membaca. Dan banyak. Matanya saja sampai rusak. Mungkin lebih banyak membaca daripada Bung Karno. Apalagi dibanding Pak Harto. Habibie juga membaca, saya kira. Tapi, saya yakin dengan bahan yang lebih terbatas. Dalam buku otobiografi Deliar Noer dituliskan, waktu Pak Deliar me­wawancarai Kiai Wahid, ayah Gus Dur, untuk keperluan disertasinya, ia melihat anak kecil pakai kacamata asyik membaca di lantai. Mungkin, kata Deliar, itu Abdurrahman Wahid.

Tapi, Gus Dur bukan pembaca tipe anak sekolah, yang hanya membaca buku yang ditentukan guru atau yang ada dalam disiplin ilmu tertentu. Gus Dur mem­baca semua yang menarik dia, kalau perlu karcis bioskop dia baca. Dari situ ia dapat ide (lalu ketawa-ketawa). Ia membaca bagian yang penting-penting. Kan, zaman sekarang kita membaca buku dengan scanning atau skimming atau lewat indeks. Jadi, bisa banyak. Kecuali membaca sajak, lho, atau novel. Mana ada novel pakai indeks.

Kecerdasannya menonjol. Cepat menangkap sesuatu dan menentukan sumber masalah. la kerap berangkat dari asumsi dan akumulasi pengetahuan yang dia punya dan, memang, analisisnya pada umumnya tepat. Tentu bukan tidak pernah keliru. Ketika ia menulis tentang Filipina, TEMPO, beberapa hari kemudian tulisan yang bagus itu ditebang oleh Mahbub Junaedi di harian Kompas. Mahbub adalah kolumnis dengan dukungan sistem kliping yang baik, seperti Pater Brouwer. Waktu itu Goenawan berkala kepada saya, kira-kira, “Bagaimana, ya, cara­nya menasihati Gus Dur supaya lebih memperhatikan data. Orangnya sangat pintar, cuma nggak begitu peduli.” Dua hari kemudian, waktu saya singgung tulisan Mahbub itu, Gus Dur enteng saja menanggapi: “Ah. kita bicara ini, dia bicara itu.”

Saya kira-kira paham juga yang dimaksud Gus Dur dengan “bicara ini, bicara itu”. Memang ada benarnya. Hanya, kalau mau mencari kelemahan Gus Dur, kelemahan itu ada pada hal-hal kecil. Bisa termasuk data teknis, meskipun ia orang yang akrab dengan perpustakaan. Percakapan saya dengan dia itu sendiri berlangsung di perpustakaan — dan perpustakaan TEMPO, kan, cukup bagus. Gus Dur ke perpustakaan mencari ide, menimba, atau mengecek pikiran atau gagasan. Tokoh seperti dia kan suka ide-ide segar, termasuk yang bagi banyak orang terasa menyentak. Misalnya, yang terakhir, kata-katanya di perayaan Cap Go Meh bahwa sekarang inilah saat kita mengembangkan perbedaan. “Makin berbeda kita, makin jelas di mana titik-titik persatuan kita.”

Itu pikiran besar — kalimat orisinal — yang abstrak, tampaknya, tapi bisa mempengaruhi kebijaksanaan atau, jelas, akan sejalan dengan keputusan-keputusan yang akan diambil selanjutnya. Yang seperti itu dari Gus Dur banyak. Nah, para pembantunyalah, sekarang, yang harus lintang-pukang menyuplai sang presiden dengan hal-hal teknis, termasuk data, apa saja, agar “kebesaran” itu tidak tertumbuk dengan data atau dengan info yang tidak benar. Dokter lang­ganan saya, kebetulan keturunan Cina, sehabis mendengar dua-tiga pidato Gus Dur yang pertama, bilang, “Itu orang jenial, bukan, Pak?” “Iya, Bu. Ia salah satu putra terbaik kita.”

Perjalanannya ke kursi presiden itu sangat cepat. Bikin partai, kampanye se­dikit, terus jadi presiden. Begitu. Kecuali kalau jabatannya sebagai pemimpin NU, juga di Forum Demokrasi, sudah kita pandang sebagai kegiatan politik. Pendapat Dawam Rahardjo, misalnya, sejalan dengan itu. Suatu kali saya sendiri diajak Gus Dur ke Jawa Timur. Berdua kami berkeliling dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain. Juga beberapa famili yang menjadi pejabat di daerah.

Misalnya, kami menginap di satu kabupaten yang bupatinya kemenakannya. Biasanya mereka mengumpulkan sejumlah orang untuk menyambut cucu Hadratusy Syaikh (Hasyim Asy’ari, red.) itu, tapi yang datang tidak banyak. Kan Gus Dur belum terkenal. Di Lamongan, misalnya, kalau tidak salah cuma sekitar 40 orang. Dalam kesempatan seperti itu biasanya Gus Dur bicara, lalu menyuruh saya meneruskan. Sudah itu tanya-jawab. Dia yang jawab.

Saya berpikir, seakan-akan Gus Dur sedang mencari atau mengurut mata-mata rantai yang lepas-lepas, sambil bersilaturahmi. Kan dia belum begitu lama pulang dari Irak. Dia banyak bertanya tentang famili atau kenalan yang berada di sini atau di sana, jadi apa dia sekarang, bagaimana posisinya, pengaruhnya, keluarganya, dan seterusnya. Gus Dur sedang akan memakai jaringan yang sudah ada, yang bisa juga dari warisan, dengan maksud mengaktualkan kembali jaring­an itu dengan dirinya sebagai pemain.

Saya mencatat, perjalanan kami berdua itu berada dalam kerangka perjalanan Gus Dur sendiri, tahap awal, untuk naik ke atas. Tidak lama kemudian dia akan masuk ke dalam jajaran kepengurusan PB Nadlatul Ulama, kalau tidak salah, mula-mula sebagai wakil katib (sekretaris). Kami juga mengunjungi Kiai Ahmad Siddiq (almarhum). Malahan Gus Dur meninggalkan kami berdua agak lama. Dan nanti kita akan lihat bahwa dalam soal kembalinya NU ke Khitah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984, yang berdiri di belakangnya tak lain kedua tokoh itu: Gus Dur dan Kiai Siddiq. Dari situ Gus Dur melesat ke atas.


*Tulisan diambil dari Pengantar Buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO (2000).
Syu'bah Asa (1941-2001) adalah esais budaya, aktor teater dan redaktur senior TEMPO.

Tuesday, December 25, 2012

Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

KASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain.

Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah.

Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.

Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin.

Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?

Main Mutlak-mutlakan Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).

Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita.

Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan?

Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja. Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

Kolom TEMPO, 30 Mei 1981

Thursday, December 20, 2012

Al-Tawassuṭ wa-l I‘tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam

Burhani, Ahmad Najib. 2012. "Al-Tawassuṭ wa-l I‘tidāl: The NU and Moderatism in Indonesian Islam". Asian Journal of Social Science, 40 (5-6): 564-581. 

Abstract
Moderate Islam is a paradox. In the United States, Muslim intellectuals and activists use this term with super caution and reservation, avoid it when possible. In contrast to that, their counterparts in Indonesia enthusiastically and proudly claim to be the champions of moderate Islam. The question is why those intellectuals and activists from the same religion but coming from different continent and type of country responded the idea of moderate Islam differently, if not contradistinctively. Given that this term is commonly used as a translation of Qur’anic term umma wasaṭ, it is also important to ask the meaning of this term in Islamic history, how Muslim exegetes throughout Islam history conceptualise umma wasaṭ? And finally, how Indonesian Muslims define moderatism after the 9/11 and what are the criteria of moderate Islam in their views? By analysing the concept of moderate Islam as adopted by the Nahdlatul Ulama (NU), the largest Islamic movement in Indonesia, this article shows that the meaning moderate in Indonesia is more theological, while in the US it is more political. Moderate Islam in Indonesia is more related to the doctrine of Aswaja, while in the US this notion has more connection with George W. Bush’s ‘war on terror.’


Affiliations: 1: University of California Santa Barbara

Available at: http://booksandjournals.brillonline.com/content/10.1163/15685314-12341262

Thursday, November 1, 2012

In Memoriam Masykur Maskub: Penggerak “Silent Transformation” di NU

Islamlib.com, 02 Januari 2006

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit “mewah”.
Tokoh yang pendiam itu telah meninggal dalam insiden kendaraan bermotor di kawasan Pancoran, pada 30 Desember 2005. Pak Masykur, guru, teman, dan sahabat yang sangat saya hormati dan cintai itu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…..

Masykur Maskub, atau Pak Masykur—begitu kawan-kawan muda NU kerap menyapanya—bukanlah tokoh yang “cemlorot” dan terkenal. Dia nyaris tak pernah muncul di TV, pernyataan-pernyataannya jarang dikutip media, dan kehadirannya mungkin hanyalah dirasakan “bermakna” buat kalangan terbatas yang mengenalnya dari dekat. Dia bukanlah Gus Dur yang kehadirannya nyaris “pervasive” dan ada di mana-mana. Pak Masykur mung tampak hadir hanya buat segelintir orang, tetapi, believe me, kehadirannya yang terbatas itu mempunyai makna yang mendalam, bukan saja buat teman-temannya, tetapi lebih besar lagi buat NU. Dialah orang yang, di mata saya, melakukan “silent transformation” (perubahan diam-diam). Jika tak khawatir menimbulkan efek berbihan, saya hampir saja mengatakan “revolusi diam-diam”.

Usahanya, tentu bersama kawan-kawannya yang lain, untuk menegakkan institusi lembaga riset, kajian dan pengembangan sumber daya manusia NU, yakni Lakpesdam-NU, serta membangun sistem yang kredibel dan bermartabat dalam lembaga itu, jarang dikenal oleh banyak orang, bahkan di lingkungan NU sendiri. Tetapi, berkat usahanya itu, Pak Masykur telah menjadikan Lakpesdam-NU sebagai salah satu lembaga NU yang berjalan normal sebagaimana laiknya sebuah institusi modern. Dia bekerja dari balik layar, wajahnya jarang, atau nyaris tak pernah, disorot oleh kamera, dan sosoknya hanya disadari oleh sejumlah orang di NU dalam kesempatan yang terbatas. Tentu dia hadir dalam setiap event besar NU, tetapi jarang orang menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang “besar” buat NU. Dan saya kira, figur-figur yang bekerja dengan diam-diam untuk NU semacam ini bertebaran di seluruh daerah, dari mulai PB hingga ke pengurus ranting. Orang jarang mengenal mereka, dan mereka tentu tak risau jika tak banyak orang mengetahui apa yang telah mereka kerjakan untuk institusi yang mereka cintai lahir-batin, Nahdlatul Ulama. Saya kira, umur NU bisa panjang karena “tangan dingin” dan keikhlasan yang nyaris tanpa pamrih dari orang-orang semacam Pak Masykur ini.

Di kalangan anak-anak muda NU, terutama teman-teman yang sering mendefinisikan diri mereka sebagai “NU kultural”, Pak Masykur dianggap sebagai pelindung dan pengayom. Meskipun jarang atau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran Pak Masykur sangat berarti buat teman-teman itu. Dia, mungkin seperti garam: tidak terlihat di mangkuk waktu Anda menyantap bakso, tetapi jika bahan itu tak ada di sana, Anda merasa ada sesuatu yang hilang. Tak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa Pak Masykur adalah semacam “mursyid” untuk teman-teman muda NU yang bergerak di jalur kultural.

Perkenalan saya dengan Pak Masykur berlangsung secara pelan-pelan, dan itu terjadi mula-mula pada 1983 di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati. Madrasah ini dipimpin oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau Kiai Sahal, sebagaimana kami dulu sering menyebut beliau. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Pada pandangan pertama, penampilan Pak Masykur sebagai seorang guru tak begitu meyakinkan. Pembawaannya terlalu “lembut” untuk mata pelajaran yang dia pegang saat itu, yakni “Kewarganegaraan Indonesia”. Kami dulu menyebutnya “pelajaran civic”. Dia mempunyai sifat yang agak unik, yaitu sulit mengatakan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dia kerapkali tampak seperti terengah-engah untuk melontarkan sesuatu yang berkecamuk di benaknya. Saat menerangkan sesuatu di kelas, Pak Masykur kelihatan seperti tergagap-gagap. Tak aneh, jika pada bulan-bulan pertama mengikuti kelas dia, saya tak terlalu terkesan.

Tetapi, pelan-pelan, kesan saya berubah total saat pelajaran sudah berjalan jauh. Meskipun Pak Masykur bukanlah seorang guru yang pandai berbicara, tetapi cara dia membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan murid luar biasa. Salah satu momen yang paling tidak saya lupa adalah saat dia menjelaskan secara detil, walaupun dengan terengah-engah, sejarah sekitar kemerdekaan Indonesia. Tentu, keterangan tentang peristiwa di sekitar proklamasi sudah kerap saya dengar di kelas dari guru-guru lain. Tetapi, keterangan Pak Masykur sangat tidak “konvensional”. Dia banyak menjelaskan detil-detil peristiwa penculikan Sukarno oleh Sukarni dan anak-anak muda “revolusioner” saat itu ke Rengasdengklok. Tentu, detil-detil itu tidak ada dalam buku teks pelajaran. Dia juga menjelaskan dengan menarik sekali rumitnya perdebatan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan RI, serta debat di konstituante yang berakhir dengan dead-lock. Sejarah, di tangan dia, menjadi begitu hidup buat saya saat itu. Yang menarik adalah, dia juga menyebutkan sumber-sumber yang dia rujuk. Ketika membahas soal debat di konstituante tentang dasar negara itu, dia menyebut buku karangan Syafii Maarif terbitan LP3ES yang, belakangan saya ketahui, ternyata menjadi bahan pembicaraan luas, yaitu “Islam dan Masalah Kenegaraan”. Dia antara lain menyebut jurnal Prisma sebagai salah satu sumber rujukannya. Seperti kita tahu, dekade 80-an awal adalah masa-masa kejayaan jurnal yang diterbitkan oleh LP3ES itu. Di sana, saya tahu ini belakangan, ada rubrik “tokoh” yang selalu memuat biografi sejumlah tokoh terkenal dalam sejarah Indonesia. Pak Masykur, saya kira, satu-satunya guru di madrasah saya yang membaca jurnal itu, bahkan berlangganan. Buat saya sebagai seorang santri dusun saat itu, nama-nama buku dan jurnal yang datang nun jauh dari kota tampak seperti barang “luks” yang nyaris tak terjangkau. Tetapi, believe me or not, Pak Masykur lah yang membuat barang-barang mewah itu bisa saya sentuh. 

Belakangan saya kemudian tahu bahwa Pak Masykur rupanya bekerja sebagai seorang “social volunteer” untuk program pengembangan pesantren yang dilakukan oleh LP3ES, dan karena itulah dia mendapat kiriman rutin jurnal Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES yang lain. Dari segi bacaan, Pak Masykur saat itu mendahului ratusan langkah dari guru-guru lain di madrasah saya. Karena cara dia mengajar yang hidup inilah saya menjadi tertarik dengan kelas dia. Setiap masuk kelas, selalu ada hal baru yang dia bawa yang tak ada dalam buku teks pelajaran. Dia selalu membawa hal-hal baru yang segar. Dunia saya sebagai seorang murid madrasah kampung yang sempit saat itu seperti diperluas cakrawalanya oleh penjelasan-penjelasan dia yang bersumber dari bahan bacaan yang kaya. Ada salah satu kebiasaan mengajar pada dia yang unik. Dia akan selalu mengakhiri kelas dengan mendaftar sejumlah bahan bacaan yang menjadi bahan rujukan dia. Tentu dia tak menuntut kami untuk membaca buku-buku itu. Sebab, semua bahan bacaan yang dia sebutkan itu tak ada di perpustakaan madrasah saya yang isinya sebagian besar adalah kitab kuning dan sejumlah buku “drop-dropan” (istilah yang dikenal waktu itu) dari pemerintah. Tetapi, ini uniknya, dia selalu mempersilakan murid-muridnya untuk datang ke rumahnya untuk meminjam buku-buku bacaan yang dia anjurkan. Dia hanya ingin memperlakukan kami, murid madarasah Tsanawiyah, seperti seorang mahasiswa.

Undangan ini langsung saya sambut dengan suka cita. Jarak antara rumah saya dan rumah Pak Masykur yang berada di desa Sumerak (sekitar 7 kilo ke arah selatan dari kota Kawedanan Tayu) sekitar 5 kilo. Saya selalu naik sepeda “onthel” (istilah yang lazim dipakai di desa saya) ke rumah dia; sekitar 45 menit. Pertama kali saya berkunjung ke rumahnya, saya terkesima. Untuk pertama kali saya melihat koleksi jurnal Prisma yang dibundel dengan rapi dan bagus. Buku-buku terbitan LP3ES juga ada di sana, dengan beragam topik dan tema: politik, ekonomi, sosial-budaya, agama, dll. Saya tak pernah menyaksikan bahan bacaan seperti itu sebelumnya, bahkan di perpustakaan madrasah pun tidak. Dalam hati, saya berkata, “Pantesan kelas Pak Masykur kaya dengan informasi-informasi baru, abis bacaannya keren kayak gini.” Saya masih ingat, buku pertama kali yang saya pinjam dari koleksi pribadi Pak Masykur adalah dua buku bunga rampai tulisan seorang intelektual Indonesia yang paling dihormati saat itu, Soedjatmoko. Dua buku itu adalah: Dimensi Manusia dalam Pembangunan dan Etika Pembebasan. Tidak seluruh tulisan Soedjatmoko yang rumit itu bisa saya cerna. Tetapi, membaca buku-buku itu, saya merasa ada sesuatu yang “lain” di luar pelajaran keagamaan a la pesantren yang saya terima selama ini. Saya juga mulai meminjam beberapa edisi jurnal Prisma. Dari sanalah saya mulai mengenal sejumlah inetelektual Indonesia yang terkenal pada saat itu: Abdurrahman Wahid, Ignas Kleden, Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Juwono Sudarsono, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, Lukman Sutrisno, Prof. Sajogjo (yang ahli pergizian itu), Sediono Tjondronegoro, Rahman Tolleng, Burhan D Magenad, YB Mangunwijaya, Soetjipto Wirosardjono, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, dll. Tentu perkenalan saya dengan tokoh-tokoh ini tidak terjadi sekaligus. Dalam rentang waktu empat tahun, sejak kelas 3 Tsanawiyah hingga 3 Aliyah, saya tak pernah henti-hentinya diajar oleh Pak Masykur, dan tak henti-hentinya pula saya melahap koleksi pribadi dia. Belakangan, setelah terbit majalah Pesantren oleh P3M, lembaga yang sekarang dipimpin oleh Masdar F. Masudi, daftar pinjaman saya tentu mencakup jurnal itu. Majalah lain yang saya pinjam adalah Pesan yang juga diterbitkan oleh LP3ES dan dikhususkan sebagai bacaan untuk para santri (‘Pesan’ adalah kependekan dari ‘Pesantren’).

Di samping mengajar di madrasah asuhan Kiai Sahal itu, Pak Masykur juga terlibat dalam sebuah LSM yang berada di bawah naungan Pesantren Maslakul Huda, asuhan Kiai Sahal. Nama LSM itu adalah BPPM, Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. BPPM adalah salah satu mitra kerja LP3ES, dan belangan P3M, dalam program pengembangan pesantren dan masyarakat. Dekade 80-an adalah periode “romantis” LSM di Indonesia. Saat itu, banyak kalangan kritis yang merintis sejumlah LSM di Jakarta percaya bahwa perubahan sosial bisa terjadi lewat jalur yang non-developmentalis, yakni di luar jalur pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah dengan ciri utamanya adalah pendekatan “top down”: pemerintah memutuskan, rakyat tinggal manut saja. Pendekatan itu dikritik sebagai sumber kegagalan pembangunan saat itu. Oleh karena itu, harus dicari alternatif perubahan sosial yang lain. Timbullah gagasan tentang perubahan yang “bottom-up”, dari bawah ke atas, dengan pendekatan yang saat itu dikenal sebagai metode partisipatoris. Karena pesantren dianggap sebagai lembaga pribumi yang berkembang dari bawah, maka banyak kalangan percaya bahwa perubahan sosial alternatif bisa ditempuh lewat peran pesantren. Ramailah orang menoleh ke pesantren, dan disertasi Zamakhsyari Dhofier yang diterbitkan oleh LP3ES saat itu dengan judul “Tradisi Pesantren” menjadi bacaan yang populer. Ada optimisme bahwa pesantren menjadi semacam “jalan ketiga” dalam melaksanakan perubahan sosial. Romantis memang.

Sebagai seorang santri madrasah, saya tak sepenuhnya memahami konsep-konsep yang rumit itu. Saya membacai banyak buletin dan terbitan-terbitan yang dikelola baik oleh LP3ES atau P3M yang dikirim ke BPPM. Semuanya mungkin karena kedekatan saya dengan Pak Masykur. Saat itu, saya bukan santri Maslakul Huda, sebab saya mondok di pesantren yang dikelola oleh ayah saya sendiri, Pesantren Mansajul Ulum di desa Cebolek. Tetapi, kedekatan saya dengan Pak Masykur memungkinkan saya untuk mengakses sumber-sumber bacaan yang dimiliki oleh BPPM yang berafiliasi dengan Pesantren Maslakul Huda itu.
Buat saya, dan saya kira juga buat murid-murid lain yang seangkatan dengan saya di Madrasah Mathali’ul Falah saat itu, Pak Masykur adalah layaknya sebuah “jendela” dari mana kami bisa menjenguk ke dunia luar. Bagi kami, Pak Masykur persis menempati posisi yang pada dekade 80-an dikenal sebagai “cultural broker”—istilah yang dikenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dan sangat populer di kalangan sarjana yang mengamati pesantren saat itu. Pak Masykur adalah “jembatan budaya” yang menghubungkan kami di madrasah dengan dunia luar yang tak kami kenal dengan baik saat itu.

Tahun 1987, kalau tak salah, Pak Masykur pindah ke Jakarta, karena diminta oleh Gus Dur untuk bergabung dengan teman-teman di Lakpesdam NU Pusat di Jakarta. Pertama kali saya bertemu dengan dia adalah pada 1988, di kantor Lakpesdam di Jl. Supomo, Pancoran. Sejak itu, saya makin dekat dengan dia, dan akhirnya, pelan-pelan, terlibat secara tak langsung dalam kegiatan di Lakpesdam yang saat itu di bawah kepemimpinan Pak Said Budairi, salah satu wartawan NU senior yang pernah terlibat di koran Duta Masyarakat milik NU. Sifat Pak Masykur tidak pernah berubah: dia tetap seorang pendiam, murah senyum, dan mengayomi. Tentu, interaksi saya dengan Pak Masykur sekarang berubah sifatnya: saya tak lagi menjadi murid dia, tetapi sebagai sesama teman di sebuah kantor; sebagai kolega. Meskipun, hingga akhir hayatnya, saya selalu menganggap Pak Masykur sebagai guru yang saya hormati. Ada kualitas-kualitas pribadi Pak Masykur yang mulai terkuak setelah saya bergaul dengan dia bukan semata-mata sebagai seorang murid, tetapi juag kolega. Dia adalah tipe orang yang “get-thing-done”, yang selalu berusaha berpikir bagaimana segala sesuatu bisa terlaksana. Pak Masykur bukanlah seorang “idealis-pemimpi” yang suka berbicara tentang konsep-konsep besar dan gigantik, tetapi dia adalah orang yang sadar, bahwa bagaimanapun konsep besar harus bisa jalan di bumi. Dia juga orang yang sadar tentang pentingnya organisasi modern bagi NU. Oleh karena itu, sistem dan aturan main adalah faktor penting yang di mata dia sangat menentukan mati-hidupnya sebuah lembaga modern.

Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur NU, tentu Pak Masykur sangat menghormati figur kiai. Bahkan, sebagaimana ia kisahkan secara pribadi pada saya, beberapa keputusan penting dalam hidupnya selalu ia ambil setelah berkonsultasi dengan seorang kiai sepuh yang sangat dia hormati, yakni allah yarham KH. Abdullah Salam, Kajen, yang di daerah kami dikenal dengan Mbah Dullah. Pak Masykur menaruh hormat yang dalam dan tulus pada kiai-kiai sepuh di NU. Tetapi, dia juga sadar bahwa NU harus ditegakkan bukan semata-mata atas dasar kharisma kiai sepuh. Sebagai lembaga modern, NU harus membangun sistem dan manajemen organisasi yang baik dan berjalan dengan normal. Dalam hal ini, Pak Masykur mengagumi figur lain dalam NU yang, secara kebetulan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dia: yakni kesederhanaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya sistem dan manajemen. Tokoh itu tak lain adalah almarhum Fahmi Saifuddin, putera dari mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dalam istilah yang dikenal selama ini di kalangan NU, Pak Masykur menghendaki agar NU tidak berhenti sebagai ‘jama’ah’ atau kumpulan biasa, tetapi juga meningkat sebagai ‘jam’iyyah’, yakni organisasi yang ditegakkan atas dasar aturan main dan sistem yang kokoh. Dedikasi Pak Masykur yang berlangsung lebih dari 15 tahun di Lakpesdam dikerahkan, antara lain, untuk membangun “jam’iyyah” itu, lewat institusi Lakpesdam. Bersama teman-teman lain seperti Lukman Saifuddin, Mufid A. Busyairi, Helmi Ali, Muntajid Billah, Yahya Ma’shum, Pangcu Driantoro, Masrur Ainun Najih, Lilis N. Husna, dan senior-senior lain sepeti MM Billah dan Said Budairi, Pak Masykur telah menjadi bagian dari arus penting untuk men-jam’iyyahkan NU.

Saya tahu, cinta pertama dan terakhir Pak Masykur adalah NU dan kiai. Oleh karena itu, seluruh orbit kehidupan dia berputar di sekiar pesantren, NU dan kiai. Dia tak pernah lepas dari dunia para kiai itu. Salah satu etos yang begitu menonjol dan dilihat secara mencolok oleh teman-teman NU pada figur Pak Masykur, dan terutama di Lakpesdam, adalah etos kesederhanaan dan kejujuran—salah satu etos yang diajarkan di pesantren. Pertama kali saya bertemu dengan dia di luar kantor adalah di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pancoran. Rumah kontrakan itu hanya mempunyai dua kamar yang sempit, dengan keadaan bangunan yang sangat sederhana. Lokasi rumah agak menjorok ke dalam, dinaungi oleh pohon sawo yang rimbun. Selama bertahun-tahun Pak Masykur tinggal di rumah sederhana itu. Baru beberapa tahun belakangan, Pak Masykur memutuskan untuk membeli rumah sendiri—rumah kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Rumah yang ia beli sendiri ini jauh dari kesan mewah, dan letaknya agak jauh dari jalan utama. Untuk mencapai ke sana kita harus melewati gang kelinci yang agak menikang-nikung. Selama hidupnya, Pak Masykur tidak memiliki mobil. Sejak pertama kali saya melihat dia di madrasah Mathali’ul Falah hingga akhir hayatnya, dia hanya memakai sepeda motor. Kami, muridnya saat itu, selalu mengenali dia lewat sepeda motor Yamaha bebek merah keluaran tahun 70-an. Saat di Jakarta, dia mempunyai sepeda motor yang agak sedikit lebih baik, yaitu Honda seri lebih baru (saya sudah lupa). Tetapi, hingga akhir hayatnya, dia selalu “istiqamah” memakai sepeda motor. Bahkan, tragisnya, dia harus meninggal dalam insiden sepeda motor.

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit “mewah”. Meskipun tak ada sesuatu yang sepenuhnya salah dalam perkembangan seperti ini, tetapi perubahan gaya hidup di kalangan tokoh-tokoh agama semacam itu tentu menimbulkan “gunjingan” di kalangan masyarakat. Pak Masykur tentu ikut risau dengan keadaan semacam ini. Dalam pembicaraan pribadi, dia selalu mengingatkan saya pada kesederhanaan hidup yang diteladankan oleh Mbah Dullah di Kajen. Dalam salah satu momen pembicaraan via telepon yang sangat menyentuh, bahkan dia nyaris menangis menceritakan kembali teladan kehidupan Mbah Dullah kepada saya. Saat dia menjabat sebagai Direktur Lakpesdam selama 10 tahun, dia sempat menikmati fasilitas mobil kantor. Tetapi, dia tak pernah membawa mobil itu ke rumah, karena tentu hal itu tak mungkin. Dia sendiri tak mempunyai areal parkir. Rumahnya berada di kawasan yang “crowded” dan berhimpit dengan rumah-rumah lain. Setelah usai menjadi Direktur Lakpesdam beberapa bulan sebelum dia meninggal, dia kembali “istiqamah” dengan kendaraan lamanya: sepeda motor. Dia tak pernah berubah: hidup dengan sederhana.

Ada satu hal yang selalu dia kisahkan kepada saya dengan penuh kebanggaan dan rasa puas, yaitu pendidikan putera-puteranya. Dia selalu bilang bahwa dia bersyukur pada Allah karena sebagai orang yang berpenghasilan tak terlalu besar, dia berhasil menyekolahkan putera-puteranya ke UGM, UI, dan ITB. Ini karunia besar yang selalu dia syukuri. Dia selalu mengatakan pada saya bahwa ini semua terjadi bukan semata-mata karena usaha keras dia dan isterinya, tetapi juga berkat restu kiai sepuh yang tak lain adalah Mbah Dullah. Dia mengisahkan bahwa keberangkatan dia ke Jakarta bukanlah tanpa suatu dilema. Dia akhirnya bisa memecahkan dilema itu setelah mendapat restu dari Mbah Dullah. Dia berangkat dengan hati yang tenang dan mantap setelah mendapat izin dari kiai yang dia sangat hormati.

Setelah usai menjabat sebagai Direktur Lakpesdam, dia aktif di lembaga baru yang didirikan oleh sejumlah anak-anak muda NU, di bawah asuhan Kiai A Mustofa Bisri, atau lebih dikenal dengan Gus Mus, yaitu “Mata Air” yang kantornya terletal di kawasan Tebet. Lagi-lagi, Pak Masykur tidak bisa bergerak jauh dari dunia kiai. Kantor lembaga itu memang tak terlalu jauh dari rumah dia, kira-kira 15 menit. Dia sering berangkat, pulang-pergi, ke kantor baru itu dengan mengendarai sepeda motor. Dia tampaknya menjadi salah satu tumpuan Gus Mus untuk menjalankan lembaga baru itu. Kesederhanaan dan kejujuran Pak Masykur nyaris seperti “mata air” di NU.

Walau nama dia tak hingar-bingar dikenal oleh kalangan luas, baik di NU atau di luarnya, tetapi Pak Masykur telah menjaid ilham untuk beberapa anak muda di NU, sekurang-kurangnya buat saya dan teman-teman saya sekelas di Mathali’ul Falah dan teman-teman muda lain di Lakpesdam. Dengan caranya sendiri, dan dengan pembawaannya yang sangat halus, dia telah melakukan transformasi diam-diam dalam tubuh pesantren dan NU.

Mari kita bacakan al-Fatihah untuk arwahnya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah dan segala kekhilafannya diampuni olehNya.

Boston, 30/12/2005

Retrieved from: http://islamlib.com/id/artikel/masykur-maskub-penggerak-silent-transformation-di-nu

Saturday, September 29, 2012

Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan

Gus Miek dan Gus Dur
Pict : temborocity.blogspot.com
Pengantar Redaksi:

Gus Miek, panggilan akrab tokoh semaan Al Quran, Kyai Haji Hamim Jazuli, Sabtu 5 Juni lalu meninggal di RS Budi Mulya, Surabaya dalam usia 53 tahun, karena mengidap kanker paru-paru dan ginjal akut. Jenazahnya dimakamkan tanggal 6 Juni di Pemakaman Aulia Tambak, Kecamatan Mojo, Kediri, bersebelahan dengan KH Anis Ibrahim dan KH Achmad Sidiq. Teman dekatnya, KH Abdurrahman Wahid -- Ketua PBNU, menuliskan obituari khusus untuk Kompas berikut ini.

 

TIGA tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, Desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek di sebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju ke arah selatan dan hanya dapat kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju ke surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, "Di situ nanti Kiyai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan". Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal Al Quran. Saya katakan kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al Quran. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika KH Ahmad Sidiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiyai Ahmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah KH Ahmad Sidiq.

Hal-hal seperti inilah yang seringkali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa KH Hamim Jazuli alias Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan super natural. Sesuai dengan "tradisi" penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan super natural Kiyai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan estakologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul'adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimilikinya, Gus Miek lalu memperoleh status orang keramat. Banyak "kesaktian" ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema'an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Quran oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan Al Quran, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan Al Quran secara utuh, biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau'izah hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kharismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema'an, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop dan "arena persinggahan perkampungan" orang-orang tuna susila.

Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperanan sama. Memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema'an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.

***

DUA tahun yang lalu, Gus Miek mengatakan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, agar saya teruskan perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak "merugikan" kepentingan organisasi yang saat ini sedang saya pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak ajakan itu dua tahun yang lalu, karena saya beranggapan perjuangan melalui NU masih tetap efektif.

Baru sekarang saya sadari, menjelang saat kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa dengan "menggendong" beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya belajar untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar ranting.

Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan hidup dunia gebyar. Untuk beberapa bulan hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya.

Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara dan berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.

Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syafi'i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua buah gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.

Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiyai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.

Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat "kesalahan" keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, karena ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai sema'an.

Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek super natural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super karena dia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. Natural, karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyleneh (khariqul'adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk di mata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh?

Oleh : KH Abdurahman Wahid

Dimuat di Harian KOMPAS Minggu, 13-06-1993. Halaman: 1

Retrieved from: http://www.gubraker.com/tokoh.html#.UGeO0K4QFWo

Saturday, September 22, 2012

Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia

Edited by Greg Fealy and Greg Barton 
Published by Monash Asia Institute

This is the first English-language book on Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia's largest Islamic organisation and also one of its least studied. Founded in 1926 to defend the interests of traditional Islam, NU has had a tumultuous history as both a political party and a socio-religious organisation. Its behaviour has frequently been enigmatic. 
The contributors: (left to right) Andree Feillard, Greg Barton, Martin van Bruinessen, Mitsuo Nakamura, Greg Fealy and Douglas Ramage.
  
This book with its collection of articles ranging from the historical to the contemporary, seeks to explain key aspects of NU's ideology and behaviour. These include the nature of its traditionalist doctrine, religio-political thought, relations with the state and internal power structures as well as its responses to change and modernisation. The six authors have all studied NU closely and their findings represent a substantial contribution to scholarly understanding of this organisatioon. Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia will be of considerable value to those interested in Indonesian political history and Islam. 
Monash Asia Institute 
Monash Paper on Southeast Asia No. 39 

Table of Contents

Introduction 
Foreword  
by Abdurrahman Wahid 

Chapter 1 
Wahab Chasbullah, Traditionalism and the Political Development of Nahdlatul Ulama 
Greg Fealy 

Chapter 2 
Traditionalist Islam and the Army in Indonesia's New Order: The Awkward Relationship  
Andree Feillard 

Chapter 3  
The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang  
Mitsuo Nakamura 

Chapter 4  
NU's Leadership Crisis and Search for Identity in the Early 1980s: From the 1979 Semarang Congress to the 1984 Situbondo Congress  
Mitsuo Nakamura 

Chapter 5  
Islam, Pancasila and the Middle Path of Tawassuth: The Thought of Achmad Siddiq  
Translation and Introduction by Greg Barton 

Chapter 6  
Tile 28th Congress of the Nahdlatul Ulama: Power Struggle and Social Concerns  
Martin van Bruinessen 

Chapter 7  
Traditions for the Future: The Reconstruction of Traditionaliir Discourse within NU  
Martin van Bruinessen 

Chapter 8  
The Liberal. Progressive Roots of Abdurrahman Wahidls Thought 
Greg Barton 

Chapter 9  
Democratisation. Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid  
Douglus E. Ramage 

Chapter 10  
The 1994 NIJ Congress and Aftermath Abdurrahman Wahid. Suksesi and the Battle for Control of NU  
Greg Fealy 

Contributors  Glossary and Abreviations 
Bibliography 
Publisher Notice

Available at: http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku01/daftar_isi.htm

Saturday, August 4, 2012

Daftar Susunan Pengurus PBNU Periode 2010-2015

Daftar Susunan Pengurus PBNU Periode 2010-2015

Susunan pengurus PBNU periode 2010-2015 yang resmi telah diumumkan oleh Rais Am PBNU KH Sahal Mahfudh dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. Keputusan pengumuman struktur baru itu untuk menepis isu susunan pengurus yang sempat beredar di media beberapa waktu lalu. Dalam susunan pengurus yang baru, KH Hasyim Muzadi tidak lagi bertengger di posisi Wakil Ketua Rais Am. Kiai Hasyim hanya diposisikan menjadi salah satu di jajaran syuriah. Sebab, dalam AD/RT NU hanya diatur satu Wakil Ketua Rais Am PBNU yang saat ini ditempati KH Mustofa Bisri.
Demikian juga Slamet Effendy Yusuf yang sebelumnya diposisikan menjadi Wakil Ketua Umum PBNU. Dia dipindah hanya menjadi salah satu ketua. Sebab, dalam AD/RT NU hanya diatur satu Wakil Ketua Umum PBNU yang saat ini ditempati As’ad Said Ali.
Pengumuman ini disampaikan langsung oleh duet KH Sahal Mahfudh dan KH Said Aqil dalam jumpa pers di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Senin (19/4/2010). Kiai Said selaku Ketua Umum PBNU membacakan susunan pengurus PBNU masa bakti 2010-2015. Sementara Mbah Sahal yang hadir dalam acara ini, hanya menjadi saksi tanpa ikut membacakan.
Selain kedua orang tersebut, secara umum tidak ada perubahan dan pergeseran nama-nama yang masuk di kepengurusan sebagaimana draf yang beredar. Hanya memang beberapa nama yang sebelumnya di posisi tidak strategis seperti Saifullah Yusuf di struktur A’wan dimasukkan ke posisi salah satu ketua PBNU.
Inilah susunan resmi Pengurus PBNU hasil muktamar ke 32 di Makassar beberapa waktu lalu. Pengurus ini akan menjalani masa khidmat dari tahun 2010-2015 mendatang.

MUSTASYAR

Prof Dr KH M Tholhah Hasan
KH Muchit Muzadi
KH Maemun Zubair
KH Ma’ruf Amin
KH Idris Marzuki
KH E Fakhrudin Masturo
KH Chotib Umar
KH Dimyati Rois
Tuan Guru Turmudzi Badrudin
Dr HM Jusuf Kalla
KH Abdurrahman Mustafa
Prof Dr KH Maghfur Usman
Prof Dr Nassarudin Umar, MA
KH Sya’roni Ahmadi
Prof Dr Ridwan Lubis
KH Abdul Muiz Kabri
KH Mahfudi Ridwan
Dr Ing H. Fauzi Bowo
KH A Syatibi

PENGURUS HARIAN SYURIAH
Rais Am: Dr KH M AM Sahal Mahfudh
Wakil Rais Am : Dr KH A Mustofa Bisri

Rais:
KH Habib Lutfi bin Hasyim bin Yahya
KH AH Sanusi Baco
KH Hasyim Muzadi
KH Masduqi Mahfudh
KH Hamdan Kholid
KH Masdar F Mas’udi, MA
KH Mas Subadar
Prof Dr H Machasin, MA
Prof Dr KH Ali Mustofa Yakub
Prof Dr H Artani Hasbi
KH Ibnu Ubaidillah Syatori
KH Saifuddin Amsir, MA
KH Adib Rofiuddin Izza
KH Ahmad Ishomuddin MAg

Katib Am: Dr KH Malik Madani, MA

Katib:
Drs KH Ichwan Syam
KH Mustofa Aqil
KH Kafabihi Mahrus Ali
KH Yahya Staquf Cholil
Drs H Shalaluddin Al Ayyubi, MSi
Affifuddin Muhajir
H Mujib Qolyubi MHum

PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH
Ketua Umum: Prof Dr KH Said Aqil Siroj
Wakil Ketua Umum: Drs H As’ad Said Ali

Ketua:
Drs H Slamet Effendy Yusuf, Msi
KH Hasyim Wahid Hasyim
KH Abbas Muin, MA
Drs H Muh Salim Al-Jufri
Prof Dr H Maksum Mahfudz
Prof Dr H Maidir Harun
Drs H Saifullah Yusuf
Drs M Imam Aziz
Drs H Hilmi Muhamadiyah, Msi
Drs H Abdurrahman, MPd
Drs H Arvin Hakim Thoha
Dr KH Marsudi Syuhud
Prof Dr Kacung Marijan
H Dedi Wahidi, SPd, MSi

Sekretaris Jendral: Ir Iqbal Sullam

Wakil Sekjen:
Drs H Enceng Sobirin
Drs H Abdul Mun’im, Dz
Dr H Affandi Muchtar
DR Dr Syahrizal Syarif, MPH
Dr H Hanif Saha Ghofur
Imdadun Rahmat, MA

Bendahara: Dr H Bina Suhendra

Wakil Bendahara:
Dr H Abidin, HH
Nasirullah Falah
H Raja Sapta Ervian, SH MHum
Hamid Wahid Zaini, MAg

Sumber : detikcom

Retrieved from: http://justnurman.wordpress.com/2010/04/19/daftar-susunan-pengurus-pbnu-periode-2010-2015/

Friday, June 15, 2012

Pakai Pisau Asing, Tusuk Bangsa Sendiri

Gatra, Friday, 15 June 2012 00:02

Kritik Hasyim Muzadi atas tudingan intoleransi agama di Indonesia dari Dewan HAM PBB mendapat perhatian luas. Sebagai figur berpengaruh, sikap Hasyim dinilai jitu dan tepat mewakili suara mayoritas diam (silent majority). Ia menyangkal memberi angin kepada gerakan garis keras.

Rilis KH Hasyim Muzadi ini beredar cepat ke berbagai media cetak, online, jejaring sosial, dan beberapa grup BlackBerry Messenger, pekan pertama Juni ini. Ketua Umum PBNU 1999-2009 itu merespon rekomendasi Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, 23 Mei lalu, tentang intoleransi agama di Indonesia. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun setoleran Indonesia," tulis Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) itu.

Hasyim menuding intoleransi agama di beberapa negara Eropa lebih buruk daripada di Indonesia. "Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss, yang sampai sekarang tidak memperbolehkan menara masjid. Juga lebih baik dari Prancis yang masih mempersoalkan jilbab. Indonesia pun lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada Undang-Undang Perkawinan Sejenis," Hasyim menambahkan.
Sekretaris Jenderal International Conference for Islamic Scholars (ICIS) itu juga memberi catatan pada beberapa kasus aktual yang kerap dijadikan indikasi intoleransi: Ahmadiyah, GKI Yasmin Bogor, penolakan diskusi Irshad Manji, dan konser Lady Gaga. Tentang Irshad Manji dan Lady Gaga, Hasyim menyatakan, "Bangsa mana yang mau tata nilainya dirusak? Kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya untuk kebanggaan intelektualisme kosong."
Banyak komentator di jejaring sosial memberi apresiasi. Ada pula yang menambahkan dua bukti lain keunggulan toleransi agama Indonesia: hari besar enam agama jadi hari libur nasional dan pendidikan enam agama jadi kurikulum sekolah. Di Barat dan Timur Tengah, hari besar agama hanya untuk agama mayoritas.

Sebagian komentar memberi catatan minor. Hasyim dinilai menutup mata atas pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dan diskusi Irshad Manji. "Saya juga anti-kekerasan," Hasyim merespons. "Saya yang pasang badan mencegah FPI menyerang gereja di Pandaan. Saya nggak hanya bicara di media, juga turun lapangan. Tapi nggak mungkin semua saya tulis dalam rilis singkat itu."

Untuk mendalami pandangan Hasyim tentang potret toleransi agama di Indonesia dalam komparasi internasional, wartawan Gatra Asrori S. Karni mewawancarai Hasyim yang sedang berada di rumahnya, kompleks Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur via telepon, Selasa pagi lalu. Berikut petikannya:

Apa yang mendorong Anda menulis rilis itu?
Rekomendasi Dewan HAM PBB yang membuat saya menulis pernyataan itu. Dengan PBB menyerang Indonesia, berarti masalah sudah dalam. Kalau ndak ada sikap PBB, saya ndak bikin tanggapan, cukup diatasi secara lokal. Kalau PBB sudah campur tangan, apalagi menunjukkan kasus-kasusnya, pasti ada laporan dari sini. Sebagai anak bangsa, saya harus meluruskan.

Apa yang keliru dalam laporan dari lembaga internasional di Indonesia?
Kita menyayangkan lembaga di Indonesia yang bekerja untuk kepentingan internasional, tapi merugikan bangsa sendiri, dengan menyetorkan borok-borok bangsa ke internasional supaya bangsa kita dipukul. Itu tidak nasionalis. Kalau lembaga itu berbuat untuk kebaikan Indonesia di mata internasional, itu yang benar.

Kemendagri perlu me-review, mana lembaga asing yang bermanfaat untuk Indonesia ke dunia internasional dan mana yang hanya menjadi agen kepentingan internasional. Itu bisa ada di banyak sektor. Tidak hanya HAM, bisa ekonomi, politik, agama, dan sebagainya, untuk memperlemah posisi Indonesia di mata internasional.

Khusus potret toleransi agama di Indonesia, apa catatan Anda?
Saya ini di Indonesia bisa disebut sebagai pemadam kebakaran konflik lintas agana. Di mana pun ada konflik lintas agama, saya datang. Sebagai Presiden WCRP, itu kewajiban saya. Saya datang ke Ambon, NTT, Bogor, Solo, Bekasi, Pandaan (Pasuruan), Batu, dan Malang. Alhamdulillah, semua selesai, kecuali kasus GKI Yasmin Bogor. Seluruh kegiatan saya merukunkan konflik agama alhamdulillah berhasil. Sampai kasus HKBP di Sumatera Utara, saya membantu menyelesaikan. Tapi mentok dalam kasus GKI Yasmin.

Mengapa kasus GKI Yasmin tidak selesai?
Saya sudah berkali-kali ke Bogor bertemu berbagai pihak. Saya bilang ke GKI, kalau begini, ada masalah politisnya, selain masalah hukum. Bagaimana kalau saya mediasi? Mereka tidak mau. Saya jadi terkejut setelah ke Polandia, ternyata Indonesia diserang soal kasus GKI Yasmin. Mereka iuran untuk membantu GKI Yasmin. Saya diberitahu Menteri Agama, ada utusan dari Amerika Serikat, keturunan India, mempersoalkan GKI Yasmin.

Saya hanya berpikir, kenapa harus menggunakan kekuatan internasional untuk menekan bangsa sendiri. Ini yang saya nggak suka, gitu lho, Mas. Saya tawarkan diri untuk mediasi, ditolak. Mungkin saya dianggap ecek-ecek. Saya berdiskusi dengan Menag. Kesimpulan saya, GKI Yasmin memang tidak ingin menyelesaikan masalah. Maunya internasionalisasi masalah. Kalau begitu, ya, semakin sulit.

Apa kata kunci kasus-kasus lintas agama yang bisa Anda mediasi penyelesaiannya?
Kata kuncinya, mereka bersengketa masalah agama saja. Setelah masalah agamanya diredakan dengan saling pengertian antartokoh, maka selesai. Tapi, kalau ada masalah tambahan di luar konflik agama, ini yang susah. Sebagian besar kasus yang saya mediasi itu persoalan pendirian gereja atau mau diserbu FPI. Yang menghadang FPI supaya tidak menyerbu gereja juga saya.

Berkembang anggapan, justru Anda pembela FPI?
Salah. Waktu FPI dikejar-kejar mau dibubarkan, saya memberi nasihat, "FPI, sampeyan harus berhenti dari kekerasan, karena kekerasan itu proses bunuh diri untuk Anda sendiri." Alhamdulillah, selama enam bulan reda. Ndak tahu kalau kemudian kambuh. Saya di Malang dan Surabaya berkali-kali menghentikan serangan FPI ke gereja. Saya pernah menyelamatkan gereja di Pandaan, Pasuruan.

Saat itu (April 2006), sekelompok anak FPI mau menyerbu sehabis Jumatan. Saya sehabis Jumatan persis sudah di gereja itu. FPI juga pernah berencana menyerang gereja di Batu, Malang. Saya berada di tengah jalan yang mereka lalui. FPI, kalau tahu saya, ndak jadi nyerang, Mas. Saya itu orang yang berani bicara di tengah-tengah orang garis keras dan marah-marah kepada mereka.

Waktu saya membela habis-habisan Kristen, mereka (pengkritik Hasyim) diam saja. Sekali saya menyentuh Ahmadiyah dan GKI Yasmin, saya dibilang pembela FPI. Kalau saya membela minoritas, nggak teriak-teriak di media saja, Mas, saya juga turun ke lapangan. Saya tidak membela FPI-nya. Saya membela kepentingan negara secara keseluruhan dengan mencegah penggunaan tangan asing untuk memukul kepala bangsa sendiri.

Pada kasus Ahmadiyah, Anda menyebut akarnya pada pandangan Ahmadiyah yang menyimpang, bagaimana dengan penyerang masjid Ahmadiyah?
Harus dipahami, saya paling mengutuk kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kesalahan mereka yang menyerbu Ahmadiyah juga sama. Tapi saya harus memberitahu umat bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang. Kalau ajaran menyimpang, cara membetulkannya bukan dengan merusak masjid, melainkan dengan meluruskan paham keagamaan melalui dakwah.

Kekerasan tidak bakal menghentikan Ahmadiyah. Harus diluruskan secara dakwah. Mungkin mereka orang terpinggirkan atau butuh santunan. Itu bisa menjadi pekerjaan baru bagi kepala daerah dan masyarakat. Cuma, saya juga tidak senang kenapa orang asing cuma ngurusin Ahmadiyah, padahal yang menyelewengkan ajaran bukan hanya Ahmadiyah. Menurut saya, karena Ahmadiyah ada unsur internasionalnya.

Solusi Anda agar Ahmadiyah pindah agama apakah mutlak?
Itu salah satu. Kalau dia jadi agama sendiri, pasti reda. Di London itu, kalau saya bertemu dalam dialog interfaith, unsur Islam sendiri, unsur Ahmadiyah sendiri. Dan Ahmadiyahnya mau dipisahkan dari Islam.

Pemerintah juga harus seimbang. Kekerasan dengan dalih apa pun harus dicegah. Tindakan pemerintah mencegah kekerasan memang kurang, Mas. Pemerintah harus tegas. Kalau FPI nggak suka Ahmadiyah, minta ke pemerintah, jangan merusak masjid.

Saya khawatir, selain akibat kesalahan teman-teman garis keras, juga ada penyusupan. Setiap gerakan massa dalam konflik sangat rawan penyusupan dan pembelokan arah. Maka, sebenarnya tidak perlu gerakan massa.

Penyusupnya dari mana?
Ini dugaan saya, dari kelompok ateis, orang yang tidak menyukai semua agama. Dia dengan mudah menjadi Islam, sorenya jadi Kristen, besok paginya jadi Buddha. Dia bisa enak saja, wong dia nggak percaya Tuhan. Dia mendorong konflik lintas agama untuk justifikasi bahwa agama tidak menyelamatkan kemanusiaan. Gerakan ini harus dicegah. Caranya, jangan bikin keributan.

Dari perbandingan internasional, Anda melihat kondisi Indonesia relatif baik?
Ya. Misalnya ada konflik dalam pendirian gereja, kan bisa diselesaikan, minus GKI Yasmin tadi. Kalau nggak ada masalah sama sekali, ya, nggak mungkin. Yang penting, masalahnya bisa diselesaikan. Jangan hanya kesulitan pendirian gereja yang disorot. Masjid di Kupang juga ditolak masyarakat dan DPRD. Di Papua (Manokwari), masjid didemo. Semua harus dilihat secara komprehensif. Saya ingin bangsa ini menyadari kepentingan bangsanya. Jangan parsial mengatasi masalah. Paling bahaya kalau menusuk bangsa sendiri memakai pisau asing.

Anda juga berpengalaman mengunjungi sejumlah negara yang umat Islamnya minoritas.
Ya. Di negara yang Islamnya minoritas, umat Islam juga mendapat perlakuan isolatif. Ada pembatasan-pembatasan. Cuma, intensitasnya berbeda. Ada yang tinggi dan rendah. Pembatasan itu variatif, mulai lunak sampai keras. Paling lunak di Swiss. Menara masjid ndak boleh. Itu undang-undang lho, Mas. Berarti disengaja, bukan accident.
Di Roma boleh mendirikan masjid, tapi jangan lebih tinggi dari Saint Peter's Basilica. Saya sudah lima kali ke Vatikan, jadi paham. Kalau di daerah sekuler murni seperti Denmark, Austria, dan Norwegia, masalahnya tidak hanya pada minoritas. Seluruh agama harus dipisahkan, sehingga tidak boleh undang-undang diganggu dengan alasan agama. Katolik dan Kristen juga dirugikan oleh negara.

Apa pesan khusus Anda pada kaum muslim di negara minoritas Islam?
Selama saya ketemu kaum muslimin di berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika, saya selau bilang, "Anda tidak dituntut melakukan sesuatu di luar kemampuan Anda." Kalau keadaan sulit, ya, ibadah saja, belajar yang baik. Tidak usah melibatkan diri pada konflik sosial dan politik dan tidak usah mengganggu sistem negara itu.

Ada negara yang umat Islamnya menderita karena umat Islam sendiri. Misalnya di Filipina, Islam minoritas, tapi mau berontak. Memberontak itu bukan kewajiban agama. Itu dimensi politik. Yang dimensi agama adalah ibadah, pendidikan, dan sosial berdasarkan tauhid. Selebihnya kondisional. Saya berkali-kali ke Thailand Selatan dan pernah ketemu Nur Misuari di Filipina. Saya bilang, Anda ini mau beragama atau mau jadi kepala negara.

Apa rekomendasi Anda pada penyelenggara dalam pemeliharaan toleransi agama?
Pertama, secara ideal kembali pada Pancasila. Bahaya laten yang mengancam Pancasila itu saat ini ada tiga: neoliberal, neo-ateisme, dan neo-Kartosuwiryo (pendukung negara Islam). Tarikan tiga sudut itu tidak akan pernah berhenti, lalu saling memanfaatkan. Kedua, pemerintah segera menyusun konsep tentang visi HAM. Apakah humanisme seperti pandangan Ghandi, my nationality is humanity, atau westernisme, ukurannya dari Barat semua, atau Indonesianisme.

HAM harus menopang kreativitas dalam mengangkat ideologi, nilai, norma, hukum, dan kepentingan Indonesia. Kalau tidak, HAM akan menjadi monster yang membongkar tata nilai, tata budaya, dan tata hukum Indonesia. Ketiga, kalau menghadapi kebenaran dan kezaliman, yang tegas saja. Kalau ragu-ragu, akhirnya rusak semua.

Profil:
Nama                         : Ahmad Hasyim Muzadi
Tempat & tanggal lahir : Bangilan, Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1944
Ayah & Ibu                 : H. Muzadi & Hj. Rumyati
Istri                            : Hj. Muthomimah
Anak                          : Enam putra dan putri

Jabatan :
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang, Jawa Timur dan Depok, Jawa Barat Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) Sekjen International Conference for Islamic Scholars (ICIS) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 1999-2009 Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2004 Anggota DPRD Jawa Timur Fraksi PPP (1984-1987)

Pendidikan:
Doktor Honoris Causa IAIN Sunan Ampel Surabaya (2006) Sarjana IAIN Malang (1964-1969) Pondok Pesantren Sarang, Lasem, Jawa Tengah (1963) Pondok Pesantren Senori, Tuban, Jawa Timur (1963) Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1956-1962) SD - SMP di Tuban, Jawa Timur (1950-1956)

Retrieved from: http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/14148-pakai-pisau-asing-tusuk-bangsa-sendiri


Wednesday, June 6, 2012

KH Hasyim Asy’ari, Sang Penjaga Islam Tradisional

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie, bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).

Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Berikut silsilah lengkapnya. Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Pendidikan
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Kesan Akhlak dan Kecerdasan
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

Perjuangan dan Penjajahan
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

Mendirikan Benteng Islam Tradisional
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.

Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Kisah Pendirian Nahdhatul Ulama’
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: masphi.blogspot
Retrieved from http://www.fimadani.com/kh-hasyim-asyari-sang-penjaga-islam-tradisional/