Wednesday, March 23, 2011

"Kaum Sarungan" dalam Pergaulan Politik

Judul buku: Komunikasi Politik Nahdhatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif
Penulis: Asep Saeful Muhtadi

Penerbit: LP3ES, Jakarta, Desember 2004

Tebal: xxxiv + 296 halaman (termasuk indeks)

Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad (Pustakawan, alumnus Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jawa Timur)



Buku ini menganalisis dinamika politik ormas NU (Nahdlatul Ulama) dari sudut pandang komunikasi. Penulis menggunakan sampel NU sebagai kajian utama buku ini karena NU mempunyai basis warga yang signifikan untuk bahan kajian, selain dinamikanya selama bergelut di dunia politik telah banyak merasakan asin-manis-pahitnya. Gagasan utama buku ini terletak pada analisis atas keunikan faktor-faktor politik yang ikut mempengaruhi dinamika politik dalam konteks komunikasi, antara lain: kiai, pesantren, massa nahdliyin, dan adagium (bahasa) yang dipakai.

Faktor-faktor ini menjadi satu-kesatuan komunikatif yang utuh dan jarang dimiliki ormas lain ketika situasi politik menghendaki untuk bergerak. Selain itu, melalui buku ini penulis menganalisis pemikiran, kegiatan, peran, serta pola-pola komunikasi politik yang dimainkan NU selama Orde Baru berkuasa di Indonesia hingga Abdurrahman Wahid menjadi presiden (1970-an sampai 2001).

Keunikan Ekspresi Politik NU

Dinamika sosial politik NU dalam kerangka Islam politik di Indonesia menarik dikaji bukan saja karena faktor pengikut yang besar, tetapi juga karena kenyataan bahwa sebagai organisasi sosial keagamaan, NU bukan hanya menampilkan Islam sebagai agama ritual, tetapi juga mengekspresikannya dalam bentuk kekuatan-kekuatan yang hampir selalu terlihat dalam pergumulan politik di Tanah Air.

Kenyataan ini semakin menarik untuk diteliti karena keunikan ekspresi politiknya yang cenderung tidak konstan. Berkenaan dengan keputusan kembali kepada Khittah 1926, misalnya, NU telah menyatakan tidak berpolitik praktis di satu pihak, tetapi di pihak lain, PBNU secara terbuka telah membidani lahirnya satu partai politik menjelang pemilu 1999 bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Inilah salah satu bentuk keunikan komunikasi yang berhasil diperankan NU.

Menurut penulis (Asep Saeful Muhtadi) dalam kerangka sistem politik, realitas politik yang diperankan NU selama ini menggambarkan adanya proses dan fungsi yang dilaluinya sesuai dengan tuntutan situasional. Dan semua fungsi yang ditampilkan oleh suatu sistem politik, seperti sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, pembuatan dan penerapan serta penghakiman atas pelaksanaan peraturan, dilaksanakan melalui sarana komunikasi.

Lewat komunikasi inilah, NU kiai, serta para pemuka agama lainnya menanamkan sosialisasi politik. Para pemimpin kelompok kepentingan, wakil-wakil dan pemimpin partai di kalangan NU melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi politik mereka dengan mengomunikasikan tuntutan dan rekomendasi untuk dijadikan kebijakan organisasi.

Demikian pula halnya yang terjadi di tingkat bawah. Setiap tindakan dan perilaku politik yang diperankannnya didasarkan pada informasi yang mereka terima, dan saling dikumunikasikan di antara mereka sendiri dan dengan unsur-unsur lainnnya yang terlibat dalam sistem politik.

Proses komunikasi sosial yang berlangsung baik secara kultural maupun struktural seperti ini yang telah mengantarkan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini pada realitas politik yang seringkali dinilainya sangat dilematis.

Berkaitan dengan realitas tersebut, terdapat beberapa unsur komunikasi yang menyiratkan fungsinya yang masih belum jelas diketahui. Keterkaitan antara proses komunikasi dengan sikap dan perilaku politik di lingkungan organisasi NU, misalnya, dalam banyak hal menarik dikaji, terutama untuk mengungkap lebih jauh tentang hubungan-hubungan kausalitas di antara faktor-faktor tersebut (hlm. 3).


Berkenaan relasi-relasi dinamis antara negara di satu pihak dengan sikap dan perilaku politik NU di pihak lain, buku ini secara spesifik mengungkap sisi-sisi menarik dari dimensi-dimensi komunikasi yang melatarbelakangi terjadinya pergeseran sikap dan perilaku politik NU. Fokus analisis ini juga dimaksudkan untuk menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan hubungan antara kekuatan politik NU dengan negara, dari konfrontatif menjadi akomodatif, atau sebaliknya.

Karena itu, pada setiap komunitas terdapat budaya komunikasi yang menjadi salah satu identitasnya, khususnya dalam kerangka pemenuhan kebutuhan interaksi dan pertukaran informasi yang mewarnai kehidupannya. Termasuk dalam hal ini komunitas beragama yang juga memiliki ciri-ciri tersendiri bagaimana mereka memainkan peran-peran komunikasi, baik di antara sesamanya (in-group) maupun ketika berhubungan dengan komunitas yang ada di luar dirinya. Ciri-ciri itu tentu saja berbeda dari komunitas lain pada umumnya yang juga memiliki ciri tersendiri dalam berkomunikasi (hlm. 17).

Buku ini memberi kesimpulan bahwa budaya komunikasi kaum nahdliyin secara umum berakar pada pandangan religius ahlussunnah wal jamaah (Aswaja), yang menjadi dasar semua perilaku organisasi, termasuk perilaku politiknya. Karakter Aswaja yang mengutamakan keseimbangan orientasi dalam memahami ajaran (Islam) ini pada hakikatnya merupakan aliran tengah dari dua kutub besar jabariyyah (fatalistik) dan qadariyah (rasional). Konsekuensinya, watak komunikasi politik NU berlangsung di antara dua kubtun pemikiran: radikal dan akomodatif.*

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/03/komunikasi-politik-nahdhatul-ulama.html

No comments:

Post a Comment