Monday, February 28, 2011

Fiqih Sosial Ala KH MA Sahal Mahfudh

17/01/2011

Judul: Dialog Problematika Umat
Penulis: KH. MA Sahal Mahfudz
Penerbit: Khalista Surabaya dan LTN PBNU
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: xii+464 hal.
Peresensi: Ahmad Shiddiq *


Orang mengenal Kiai Sahal sebagai sosok kiai yang bersahaja. Namun, di balik kesederhanaannya, pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati, Jawa Tengah ini memiliki keluasan ilmu yang jarang dimiliki oleh kiai kebanyakan. Tidak salah kalau kemudian dalam penelitian yang dilakukan Dr Muzammil Qomar, beliau disejajarkan dengan nama-nama besar semisal (alm) KH Achmad Shiddiq sebagai tokoh yang mempunyai pemikiran liberal. Bahkan beberapa waktu yang lalu kiai bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz ini di anugerahi Doctor Honoris Causa (Dr HC) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta karena keteguhannya dalam fikih Indonesia.

Kiai Sahal adalah figur, pemimpin, ekonom, pendobrak kebekuan, kemunduran, kemiskinan, dan latar belakang. Sosok multidisipliner dan dinamisator kalangan pesantren serta Nahdlatul Ulama, dua lembaga yang membesarkan juga dibesarkannya. Sebagai ulama, Kiai Sahal tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan agamanya, khususnya penguasaan terhadap kitab kuning atau al-turast al-islami. Kapasitas keulamaan ini terlihat dari karya yang sangat banyak meliputi berbagai aspek keilmuan.

Dunia pesantren maupun akademisi begitu memberikan apresiasi sekaligus kepercayaan kepadanya untuk bisa mentransformasikan keilmuan di berbagai tempat, termasuk lewat berbagai media yang telah memberikan kesempatan kepada beliau untuk mengisi rubrik khusus sebagai kolumnis maupun forum dialog atau bathsul masail, yang diantaranya menjadi buku ini.

Dengan pemikiran yang tajam, ia mampu memberikan solusi secara kronologis, jelas, transparan dan sistematis dari setiap problema umat yang disodorkan kepadanya. Disini dibahas tuntas problematika mengenai bersuci, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji, rumah tangga, antara tuntutan ibadah dan rekayasa teknologi, akidah-akhlak, mengagungkan kitab suci, makanan, dan etika sosial.

Bagi Kiai Sahal, fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif. Fiqh harus bersenyewa langsung dengan ‘af al al-mutakallifin sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun mu’amalah (interaksi sosial ekonomi). Kiai Sahal tidak menerima kalau fiqh dihina sebagai ilmu yang stagnan, sumber kejumudan dan kemunduran umat, fiqh justru ilmu yang langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh karena itu fiqh harus didinamisir dan revitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan menggerakkan umat Islam meningkatkan aspek ekonominya demi mencapai kebahagian dunia-akhirat.

Kontekstualisasi dan aktualisasi fiqh adalah dua term yang selalu dikampanyekan Kiai Sahal baik secara ‘qauli (teks) melalui acara seminar, simposium, dan sejenisnya. ‘kitabi (tulisan) dikoran, majalah, makalah, serta fi’li (tindakan) dalam bentuk aksi langsung di tengah masyarakat dengan program-program riil dan konkret yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Dalam buku ini, jelas bahwa umat Islam sekarang dalam sebuah kebingungan menghadapi dunia modern. Dunia modern yang selama ini dibanggakan oleh masyarakat, ternyata malah menyisakan problem yang memprihatinkan. Dunia modern diagung-agungkan dengan berbagai kecanggihan informasi, transportasi, dan alat-alat teknologi lainnya ternyata gagal membentuk pribadi muslim yang luhur dan mampu mengorbankan serta pengabdian dirinya untuk masyarakat. Semua orang dengan bangga berkata sebagai orang modern, tetapi ternyata hatinya berpenyakit dan begitu menyedihkan bila ditinjau dalam segi agama.

Bagi Kiai Sahal, kebenaran sesuatu selain dari dalil-dalil naqliyah juga bisa berasal dari dalil aqliyah. Memang al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber hidayah yang paling utama dan esensial bagi umat Islam. Namun peran akal juga tidaklah kalah penting. Dalam beberapa ayat, peran akal sangat istimewa bahkan orang-orang yang diberi ilmu derajatnya tinggi dihadapannya. Hasil pemikiran sains yang berkembang sekarang dapat kita jadikan sebagai petunjuk untuk mempertebal keimanan asalkan tidak bertentangan dengan ketetapan syariah. Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran bukan bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan. Ini penting karena berguna meningkatkan kualitas hidup manusia dan bahkan bisa mempertebal iman.

Pergulatan panjang Kiai Sahal dalam lapangan fiqh sosial ini ternyata membawa perubahan besar dan dahsyat dalam lapangan pemikiran pesantren dan akademis (perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan NU), dan politik kebangsaan. Dari kalangan peasntren, pemikiran progresif fiqh sosial Kiai Sahal mendorong santri dan Gus-Gus muda pesantren belajar secara mendalam ilmu usul fiqh dan mengembangkan untuk merespons tantangan modernisasi sekarang ini. Lalu muncullah pemikir-pemikir muda pesantren dan NU progresif, transformatif, dan inovatif, dan mereka jauh lebih berani keluar mainstream pemikiran NU, tetapi tetap dalam koridor ahlusunnah wal jamaah.

Dengan demikian, dilihat dari kacamata akademik pesantren Kiai Sahal mampu menyediakan informasi yang komprehensif dan cermat dalam menganalisis serta akurat dalam menyajikan jawaban-jawaban umat. Rais Aam PBNU ini, telah lebih maju dengan memberikan tawaran gagasan-gagasan segar terkait problematika umat dengan pengembangan qawaid ushuliyah untuk menjadikan fiqh sebagai bagian dari peradaban modern.

Wal-hasil buku setebal 464 ini dapat menjadi inspirasi kaum muda dalam mengembangkan lebih jauh gagasan-gagasan ulama sekaliber KH MA Sahal Mahfudz dan tentunya patut menjadikan buku ini, rujukan menemukan jawaban hukum Islam yang berkaitan problematika umat. Selain mudah dibaca oleh siapa saja, buku ini memberikan jawaban nuansa berbeda yang disesuaikan dengan zaman kontemporer. Waallahu a’lamu bi al-shawab.

*) Penulis Santri Pesantren Luhur Al-Husna dan Redaktur Pena Pesantren Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26969

Sunday, February 27, 2011

Komitmen NU Mempertahankan Pancasila

31/01/2011

Judul: NU dan Pancasila
Penulis: Einar Martahan Sitompul, MTh.
Penerbit: LKIS, Yogyakarta
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: xxxiv+330 hal.
Peresensi: Ahmad Shiddiq *


NU telah menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas pada Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, 1984. yang menarik bukanlah penerimaan terhadap Pancasila oleh suatu organisasi, terlebih organisasi keagamaan seperti NU, melainkan argumentasi keagamaan yang diketengahkan di dalam menerima Pancasila itu. Di sinilah keunggulan NU. Kendati dijuluki tradisional, organisasi ini bukanlah suatu organisasi keagamaan yang kaku dalam menanggapi perkembangan, justru di dalam sifat yang tradisional, NU membuktikan bahwa dirinya memilki banyak rujukan untuk mengahadapi berbagai perkembangan dan tantangan.

NU dan Pancasila, Demikian Judul buku ini. mengkaji pemikiran keagamaan dalam NU sejak berdirinya pada tahun 1926 sampai dengan diterimanya Pancasila sebagai asas. Sejak terbentuk, NU telah terlibat dalam perkembangan politik, tetapi keputusan menerima Pancasila berhubungan dengan pergumulan NU baik di dalam internal NU maupun dalam perhimpunan organisasi politik Islam, menghadapi perkembangan yang terjadi, serta bagaimana menyalurkan aspirasi-aspirasi yang diembannya sebagai organisasi bernapaskan Islam. Penerimaan atas Pancasila juga berkait erat dengan perkembangan yang terjadi dalam tubuh NU, yaitu, konflik antara yang disebut ulama dan politisi.

Dengan menerima Pancasila sekaligus NU juga menyatakan dirinya kembali menjadi organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan semboyan “Kembali ke khittah 1926 ”. suatu langkah untuk mengukuhkan kembli peranan ulama sebagaimana hakikat ketika didirikan pada 1926, agar ulama memegang kendali saepenuhnya kiprah NU sebagai organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah).

Buku ini menyajikan diskursus tentang penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas setiap organisasi kemasyarakatan, bentuk final NKRI, dan keluarnya dari keanggotaan Partai Politik (PPP), yang ditetapkan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, suatu pergulatan yang kemudian dikenal dengan adagium “Kembali ke khittah 1926”. Namun demikian, yang menarik untuk ditelaah (kembali) dalam buku ini adalah proses historis penerimaan NU terhadap Pancasila, penggunaan kaidah-kaidah agama (ushul fiqh) sebagai landasan, dan sekaligus pengimplementasiannya dalam praksis ke-jam’iyah-an.

Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas Pancasila. Kendati demikian, hal itu bukanlah alasan untuk menuduh bahwa penerimaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai sikap yang emosional. NU bukan saja yang pertama yang menerima, melainkan juga yang paling mudah menerima Pancasila. Adapun argumentasi yang melandasi NU menerima Pancasila yaitu Pertama, konsep Fitrah. Yang merupakan sangat penting dalam Islam. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan tuhannya. Dorongan tersebut yang menyebabkan manusia menyerah diri (Islam) kepada Allah.

Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat rumit dan krusial. Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya adalah penerimaan Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa.

Fakta sejarah dibentangkan dimana peranan umat Islam besar sekali, bukan sebagai klaim status politis, melainkan untuk menegaskan bahwa umat Islam merupakan bagian integral dari perjuangan bangsa. Nilai sejarah terletak dalam pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka nasionalisme, ia dapat menjadi pedang bermata dua; dapat membangkitkan solidaritas dan sekaligus perpecahan, seperti yang tarjadi di Dunia Arab modern yang mayoritas bergama Islam.(hal, 189)

Kemudian penerimaan atas Pancasila berkait erat dengan semangat NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan (jam’iyyah diniyah). Sebab jika NU sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak menghabiskan tenaga untuk prestasi politis, sedangkan usaha keagamaan terbengkalai. Jika segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila, maka jalan yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-benar menjadi organisasi keagamaan. Itu yang ditegaskan dalam semboyan kembali ke khittah 1926 saat NU terbentuk sebagai organisasi keagamaan.

Ada dua pertanyaan almarhum Gus Dur yang ditempatkan di awal artikel Douglas Ramage, yaitu “Tanpa Pancasila, negara tidak akan pernah ada”, Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia membuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Beliau (Gus Dur) akan tetap mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raganya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh oleh segelintir tentara maupun kelompok umat Islam. Pernyataan Gus Dur itu disampaikan pada juni 1992, beberapa bulan setelah Rapat Akbar NU (Maret) yang digelar untuk menegaskan kembali komitmen NU terhadap dasar negara Pancasila.

Dengan demikian, Buku ini menjadi referensi wajib bagi siapa saja yang ingin tahu tentang NU. Karena selain buku ini ditulis oleh orang luar yang objekvitasnya dapat dipertanggung jawabkan juga mampu menghadirkan perspektif berbeda perihal pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga dapat membuka cakrawala baru tentang historis penerimaan NU terhadap Pancasila.

* Mantan Pengurus PAC IPNU Gapura-Sumenep, sekarang Aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=27161

Friday, February 25, 2011

Gus Dur dan Pembelaannya Terhadap Pancasila

07/02/2011

Judul: Gus Dur dan Negara Pancasila
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Tanah Air, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2010
Tebal: xvi + 168 halaman
ISBN: 979-8521-55-2
Peresensi: Abd. Basid


Masih ingatkah kita ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat akhir tahun lalu? Tidak sedikit masyarakat yang ikut berduka atas wafatnya mantan presiden Republik Indonesia (RI) itu. Tidak hanya dari kalangan muslim, dari non muslim pun merasa kehilangan dan tertampar ditinggalnya.

Banyak warisan yang ditinggalkannya dan dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia. Coba kita lihat, ketika Gus Dur menjadi presiden RI, beliau berani mendobrak diskriminasi pada warga Tionghoa, yang selama masa Orde Baru membelenggu mereka. Selain itu, beliau juga berani mengambil risiko untuk memberikan kebebasan beribadah kepada para pemeluk agama Konghucu. Lewat “pasukan” Banser-nya (Barisan Serbaguna Nahdatul Ulama), beliau ikut menjaga kekhusyukan dan keamanan umat Kristiani saat menjalankan ibadah Paskah dan Natal dari ancaman teror.

Gus Dur memang seorang (pemimpin) yang sangat menghargai keberagaman dalam berbagai hal, terutama keberagaman suku, agama, dan ras. Gus Dur berani mengambil risiko untuk mewujudkan keberagaman itu.

Untuk itu, menyebut Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme sangatlah tidak berlebihan. Apalagi jika kita menilik pandangan dan pembacaannya tentang Pancasila. Gus Dur merupakan segelintir tokoh muslim yang dengan lantang menolak adanya negara Islam dan mempertahankan ideologi Pancasila. Baginya, Pancasila tidak hanya sebuah nama dan lambang, melainkan ia merupakan sistem tata nilai yang berlaku bagi masyarakat Indonesia.

Dalam hal ini, Nur Khalik Ridwan lewat buku terbarunya “Gus Dur dan Negara Pancasila” berhasil membaca dan memetakan gagasan Pancasila ala Gus Dur. Di sana Nur Khalik Ridwan dengan begitu lihainya mengolah data menjadikan buku ini begitu sistematis, sehingga tidak harus mengernyitkan dahi bagi mereka yang membacanya.

Pancasila dalam perspektif Gus Dur setidaknya bisa didudukkan dalam beberapa hal. Pertama, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara berstatus sebagai kerangka berpikir yang harus diikuti oleh undang-undang dan produk-produk hukum yang lain. Tata pikir seluruh bangsa, menurutnya, ditentukan oleh falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara.

Kedua, sebagai falsafah dan ideologi negara, harus jelas dikatakan adanya tumpang tindih antara Pancasila dan sebagian sisi kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME).

Di sini, Gus Dur berargumentasi: satu sisi, agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan YME mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga mengandung unsur-unsur eksklusif) sehingga sulit dibatasi hanya dalam konteks keindonesiaan, dan pada sisi lain, Pancasila adalah keindonesiaan itu sendiri.

Gus Dur menafsirkan bahwa hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antarumat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.

Meski begitu, wawasan tentang kebersamaan antar-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak sepenuhnya sama dengan wawasan tentang itu dalam agama-agama dan kepercayaan.

Kegigihan Gus Dur dalam membela dan mengajarkan arti penting Pancasila bagi bangsa Indonesia dinyatakan dalam pernyataan tegasnya bahwa, “Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas, dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya” (hal. 43).

Sebagai seorang tokoh yang sangat menjunjung tinggi Pancasila dalam hal bernegara, maka sebagai efeknya Gus Dur menolak jika bangsa ini harus menjadi negara Islam. Bagi Gus Dur negara Pancasila adalah sebuah pilihan. Islam tidak bisa dibuat dasar dalam bernegara. Dalam bernegara, Islam tidak memiliki konsep bagaimana harus dibuat dan dipertahankan. Menurut Gus Dur konsep negara Islam itu tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Islam. Jika ada yang mengatakan ada, itu tidak lebih dari hanya sekedar klaim (hal. 59).

Ada dua alasan yang dipakai Gus Dur dalam mempertanggung jawabkan pernyataanya di atas, yaitu alasan empirik (fakta) dan alasan teks. Alasan empiriknya seperti halnya bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang tegas tentang pengertian kepemimpinan. Buktinya Abu Bakar dipilih oleh dewan elit saat itu yang berbaiat kepadanya; Umar dipilih dengan penunjukan oleh Abu Bakar sebelum yang digantikan wafat; Usman dipilih oleh dewan elit saat itu yang dewan ini ditunjuk oleh Umar; dan Ali juga dipilih oleh dewan elit muslim.

Sedangkan alasan soal teks terdapat banyak ayat (baca: teks) yang dikomentari Gus Dur, di antaranya, adigium penting yang sering digunakan argumentasi oleh mereka yang mendukung adanya negara Islam. Adigium itu adalah; la islama illa bil jama’ah, wala jama’ata illa bil imarah, wa la imarata illa bit-tha’ah.

Menurut Gus Dur, adigium ini memang menyatakan adanya sebuah sistem dalam bernegara, akan tetapi sistem itu tidaklah spesifik pada sistem islami. Dengan demikian, semua sistem itu diakui oleh adigium tersebut, asalkan sistem tersebut digunakan untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam sebuah masyarakat.

Akhir kata, buku ini selain mengupas pandangan Gus Dur tentang Pancasila dan pentingnya negara Pancasila bagi bangsa Indonesia, juga merupakan karya otoritatif yang mengupas prisma pemikiran Gus Dur tentang ideologi bangsa. Dengan kedalaman analisis dan data menempatkan buku ini sebagai buku yang patut menjadi bahan refleksi bagi kita semua yang dewasa ini masih ada kelompok-kelompok tertentu yang masih antipasti negara Pancasila.

*Alumnus pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan, Madura

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=27283

Thursday, February 24, 2011

Menjaga Tradisi Kaum ‘Sarungan’

14/02/2011

Judul Buku: NU, Politik dan Tradisi
Penulis: Abu Rokhmad
Cetakan: I, 2010
Penerbit: RaSAIL Media Grup Semarang
Tebal Buku: xvi + 252
Harga: Rp. 25.000
Peresensi: Nazar Nurdin*

Prof. Dr. Martin van Bruinessen dalam bukunya NU, menyatakan bahwa Nahdlatul Ulama’ (NU) adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di negeri ini. Dalam kajian hukum Islam, ia tunduk pada madzhab Syafi’i, akidah pada al-Asy’ari dan tasawuf pada al-Maturidy.

NU sebagai satu dari sekian ormas keagamaan tampak eksis berdiri paling depan dalam organisasi yang moderat. Dalam sejarahnya, NU telah berhasil mempertontonkan suatu ‘adegan peristiwa’ sejalan dengan revolusi kemerdekaan. Tatkala itu, NU berhasil berkecimpung dan menunjukkan aksi-aksi yang rupawan. Sehingga, ia pun dikenang menjadi ormas pertama yang menerima dasar negara (Pancasila) sebagai basis ideologi negara tanpa disertai embel-embel apapun.

Hingga kini, NU dan para kader-kadernya tersebar luas di seluruh pelosok Nusantara, bahkan di seluruh dunia. Ia mempunyai basis kuat di pedesaan. Ia mempunyai ribuan pondok pesantren yang terus mencetak kader-kader militan. Pondok Pesantren dijadikan ajang menimba ilmu; baik ilmu keagamaan, ilmu kemasyarakatan, maupun ilmu bertawadhu’ kepada seseorang. Bagi sebagian pihak, pondok pesantren adalah representasi dari NU.

Bagi Abu Rokhmad, NU bukan hanya dimaknai sekedar sebagai organisasi. Namun, ia menjadi ruh bagi sebuah kultur (baca-tradisi) dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’i. NU berpedoman pada tradisi toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun) dan berlaku adil (tawasuth). NU pun terus memupuk seseorang menjadi pribadi yang bermartabat, pribadi yang moderat.

Sayangnya, teori itu tidak diimplementasikan dalam lapangan. Jamak dari kader-kader NU yang mulai menanggalkan identitasnya. Umumnya, ketika disinggungkan dengan politik praktis, kader mengalami pergeseran transformasi yang luar biasa. Santri yang semula ta’dhim pada kiai, mulai berani berontak.

Untuk menjaga tradisi agar tetap utuh, diperlukan suatu kajian yang komprehensif dengan mengkaji kembali doktrin-doktrin yang dipegang NU yakni Aswaja. Sebab, kajian itu memiliki akar historis yang cukup panjang dan merupakan langkah terobosan yang strategis.

Selama ini, masyarakat cenderung salah kaprah ketika memandang doktrin Aswaja. Bagi Abu Rokhmad yang sependapat Said Aqil Siradj menuturkan bahwa ketika mereka memahami Aswaja, selanjutnya mereka mengidentikkan Aswaja dengan ‘Islam’. Kedua, sebagian lain melihat Aswaja hanya sebagai madzhab. Ketiga, ada tiga pula yang mengartikan Aswaja sebagai karakteristik komunitas kaum Muslimin yang mengamalkan aktivitas seperti tahlilan, manaqiban, selametan, berjanjian, qunutan dan amalan sejenisnya. Keempat, bahkan ada juga yang memakai term Aswaja sebagai langkah purifikasi ajaran Islam.

Buku setebal 252 halaman ini menyajikan ulasan yang cukup menarik. Buku dibagi menjadi 3 kategori. Kategori pertama pada aspek sejarah dan ideologi NU yakni tentang Aswaja (The people of Tradition of community). Bagian kedua, tentang kedudukan NU dalam Khittah dan Politik, dan ketiga tentang pergumulan NU dalam Islam dan Tradisi.

Nah, tradisi ‘kaum sarungan’ ini butuh sekali penjagaan agar ia tetap eksis berjalan, agar tidak digerus oleh faham-faham keagamaan yang ‘menyesatkan’.

*) Nazar Nurdin, Pemimpin Redaksi Majalah LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Peneliti Muda di Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) Semarang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=27187

Wednesday, February 23, 2011

Mendialogkan Toleransi dan Perdamaian

27/12/2010

Judul: Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian
Penulis: KH. Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Penyunting: The Wahid Institute & Soka Gakkai Indonesia
Tebal: xxvii + 310 halaman
Peresensi: Nur Huda*


Buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian ini merupakan karya terakhir alamarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebuah buku yang berisi dialog inspiratif antara Gus Dur dengan tokoh besar asal Jepang Dr Daisaku Ikeda yang juga merupakan Presiden Soka Gakkai International saat ini.

Pemikiran dua tokoh besar dalam buku ini, berasal dari dua kebudayaan berbeda, Indonesia dan Jepang, sekaligus dua agama besar dunia: Islam dan Buddha. Isi dialog mengenai pelbagai persoalan dunia, mulai dari persahabatan dan pertalian kebudayaan antara Indonesia dan Jepang, toleransi antarumat beragama, pendidikan, hak asasi manusia, hingga tantangan-tantangan dunia pada masa depan.

Membaca buku setebal 310 halaman ini, akan membawa kesimpulan pada pembacanya bahwa kedua tokoh ini memiliki pemahaman dan wawasan yang amat luas. Tak hanya menyangkut kebudayaan Jepang-Indonesia, asal negara keduanya, tapi juga negara-negara di dunia. Di buku itu mereka membicarakan hal yang mungkin dianggap remeh temeh hingga perkara besar seperti wacana membangun peradaban dan perdamaian dunia.

Sebagai pembaca saya terheran-heran ketika mereka membicarakan mengenai bunga dan kembang yang tumbuh di Jepang dan Indonesa. Dari bunga mereka bicara filosofi di baliknya. Kata Daisaku, "Indonesia memiliki banyak jenis bunga seperti kembang sepatu, bougenvil, katleya, wijayakusuma dan raflesia". Gus Dur menimpali, "Di Indonesia bunga flamboyan adalah bunga yang dijadikan sebagai tanda akan menjelang masuknya musim hujan. Saat flamboyan berwarna merah berkembang adalah puncak hari-hari paling yang panas. Saat bunganya berguguran dan tersisa daun-daun berarti mulai masuk musim hujan. Kalau di Jepang, saat bunga sakura berkembang menandakan akan datangnya musim semi, bukan?"

Ikeda menimpali lagi. "Bunga Sakura adalah bunga kenegeraan Jepang. Bunga kenegaraan Indonesia adalah bunga melati, bukan?" Kepada Ikeda, Gus Dur juga menceritakan sejak kecil ia amat menyukai bunga melati. Seperti sering ia dengar, bunga itu bunganya para wali.

Setelah bicara bunga, keduanya lantas bicara musik. Ternyata keduanya punya kesamaan hobi: sama-sama menyukai karya Beethoven Simfoni No. 9 yang dianggap mencerminkan kehidupan penciptanya yang penuh perubahan dan perjuangan keras.

Sebelumnya, seperti disinggung Dewa S. Brata dalam sambutan, melalui pembicaraan Beethoven itu Gus Dur mengungkapkan sesuatu yang ironi tapi penuh makna. Ikeda bertanya pada Gus Dur, "Apakah Gus Dur pernah memendam rasa kecewa dan kesal karena dikhianati?". Dengan santai Gus Dur menjawab. "Terlalu sering dikhianati sehingga tidak merasakannya sebagai tantangan. Nanti akan ada hikmah dari tiap kali terjadinya pengkhianatan itu. Saat saya mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden bulan Juli 2001, saya berjanji akan bekerja untuk demokrasi yang lebih baik. Saat itu saya juga tidak menyesal. Satu-satunya hal yang menyedihkan bagi saya adalah kehilangan beberapa pita kaset musik Ludwig van Beethoven yang secara khusus telah saya koleksi." Gus Dur tertawa. Saat Dewa S. Brata menceritakan itu kembali di sambutannya, sebagian besar peserta tertawa diiringi tempik sorak.

Buku ini terdiri dari tujuh bab: Perdamaian Merupakan Misi Agama, Persahabatan sebagai Jembatan Dunia, Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja, Tantangan Menuju Abad Hak Azasi manusia, Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas, Belajar Toleransi dari Sejarah Islam dan Buddha, Pendidikan Pilar Emas Masa Depan, dan Membuka Zaman Baru. Diberi kata sambutan empat tokoh: Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, Gumilar Rusliwa Somantri, dan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj.

Dialog yang ada di buku ini sendiri sebetulnya merupakan seri dialog yang diterbitkan sejak 2009 secara berseri di majalah Ushio, majalah bulanan Jepang bertiras 400 ribu eksemplar. Sejak September 2010 dialog itu lalu diterbitkan dalam bahasa Jepang dan telah terjual lebih dari 200 ribu eksemplar

Buku ini juga bisa menjadi satu titik kerja penting masyarakat Indonesia dalam melakukan dialog antaragama, antarbudaya, khususnya yang terjadi di dua negara yakni Indonesia dan Jepang.

Dialog dalam buku ini tak lain demi menciptakan toleransi dan perdamaian dunia. Karena, dialog antara kedua tokoh ini memberikan banyak perspektif baru tentang aspek-aspek commonality di antara kedua agama yang sangat penting dalam membangun perdamaian global. Karena itu, dialog di antara kedua tokoh ini selain sangat bermanfaat bagi para penganut kedua agama, juga bagi masyarakat dunia secara keseluruhan, yang hingga kini terus merindukan perdamaian di muka bumi ini.

Berbagai dialog antara Daisaku Ikeda dan KH Abdurrahman Wahid dalam buku ini menunjukkan betapa melalui perjumpaan konkret dua penganut agama berbeda dapat ditemukan persamaan untuk melangkah menuju perdamaian abadi. Perdamaian bukanlah kondisi faktual yang kita terima begitu saja. Perdamaian adalah harapan yang harus diperjuangkan semua pihak.

*Pengajar di Pesantren Al-Hidayah An-Nuriyyah Honggosoco, Jekulo Kudus Jawa Tengah

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=26709

Tuesday, February 22, 2011

Bangsa & Ideologi Transnasional

Dr KH A Hasyim Muzadi

Serangan terorisme yang meluluhlantakkan gedung terjangkung dunia, twin tower World Trade Center (WTC), di AS, 11 September 2001, setidaknya menimbulkan dua model ancaman dunia.

Pertama, ancaman radikalisme dan fundamentalisme yang bisa timbul dari agama apa pun dan dari mana saja. Kedua, ancaman liberalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih prestisius, kemewahan, dan kekuasaan yang mesti berhadapan dengan kelompok pertama yang meneguhkan konservatisme agama. Bangsa Indonesia sebenarnya sudah mempunyai jati diri bangsa, yaitu ideologi Pancasila. Karena itu, dalam konteks menghadapi ancaman dua arus besar ini, mestinya kita harus mempertegas Pancasila sebagai ideologi nasional.

Sebagai subkultur, NU sejak awal selalu mengawal dan memegang prinsip menegakkan jati diri bangsa. Islam ala NU adalah Islam ahlusunnah waljamaah (aswaja) yang berkarakter nusantara. Secara usia organisasi NU, memang mencapai 80-an tahun. Namun, secara kultur ia sudah sama tuanya dengan masuknya Islam sejak pertama di nusantara ini. Semangat keagamaan NU adalah Islam seperti yang diajarkan oleh Wali Songo. Maka, memelihara watak dan karakter bangsa dan negara bagi NU sama dan sebangun dengan memelihara ajaran NU itu sendiri.

Ideologi Transnasional

Perbenturan peradaban (clash of civilizations) dalam istilah Samuel Huntington, sebenarnya adalah perbenturan ideologi-ideologi besar di dunia yang pada awalnya merupakan gerakan pemikiran yang kemudian diikuti dengan agenda aksi secara fisik.Terjadinya perbenturan ini adalah akibat buntunya dialog yang dibangun oleh berbagai ideologi sehingga perbedaan pemikiran berlanjut menjadi perbedaan lewat aksi kekerasan fisik.

Tersebarnya ideologi liberalisme Barat sejak abad pertengahan dibarengi dengan model-model imperialisme di negara-negara Islam di Timur Tengah. Setelah sebelumnya liberalisme di Barat sendiri berhasil menaklukkan agama-agama di Barat. Kesuksesan ini diekspor ke negara-negara Timur Tengah sehingga Khilafah Islamiyah mulai dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Usmani tumbang satu per satu. Termasuk terjajahnya Indonesia oleh Belanda hingga mencapai 350 tahun.

Muncul gerakan Islam ideologis di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tharir, Majelis Mujahidin,Al- Qaeda,dan sebagainya adalah reaksi dari liberalisme berbalut penjajahan ini. Di Indonesia, zaman prakemerdekaan ditandai dengan munculnya organisasi nasionalisme seperti Budi Utomo, Serikat Dagang Islam,Muhammadiyah, dan NU serta lainnya, juga dalam rangka memperkuat nasionalisme kebangsaan mengusir penjajah waktu itu.

Namun, sekarang ini setelah negaranegara jajahan ini merdeka,ideologi itu terus disebarkan sehingga inilah yang membuat Samuel Hutington membuat suatu kesimpulan setelah Perang Dingin usai,akan terjadi perbenturan peradaban. Padahal,yang terjadi sebenarnya bukanlah perbenturan peradaban, tetapi perbenturan kepentingan hegemoni politik dan ekonomi.

NU berpikir, sekarang ini dunia perlu ideologi alternatif untuk menghindari perbenturan-perbenturan global yang akan menimbulkan korban sia-sia. NU menawarkan Islam moderat (tawassuth wal i’tidal) ahlussunna waljamaah. Pak Ud––panggilan akrab almarhum KH Yusuf Hasyim pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang putera Hadratus Syaikh Hasyim Hasyim’ari pendiri NU––sebelum meninggal berwasiat kepada NU lewat saya agar menghadang ideologi liberalisme dari Barat maupun ideologi radikalisme dan kekerasan dari Timur.

Menurut Pak Ud, ideologi transnasional baik dari Barat maupun Timur sama berbahaya.Sebab,liberalisme dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur toh sama-sama merusak. Masuknya ideologi transnasional ke Indonesia dapat merusak tatanan NU dan Indonesia. Pemerintah harus menggunakan Pancasila sebagai ideologi yang membatasi masuknya ideologi transnasional. Sedangkan NU harus terus memperkuat pemahaman aswajanya ke seluruh struktur dan kultur di bawah NU. Kami sepakat dengan Pak Ud, kami berkeliling ke Barat dan Timur Tengah untuk mengampanyekan NU sebagai ideologi alternatif.

Kami dari NU adalah pemimpin Islam pertama di dunia yang datang ke “ground zero” di New York,AS (lokasi pengeboman WTC pada 9/11/2001) untuk menolak “kekerasan” dari Islam ideologis. Demikian juga kami datang ke Irak, Iran, dan Palestina untuk menolak “kekerasan”dari liberalisme ala Barat. Kita datang ke Timur Tengah dan melihat ternyata Irak, Iran, dan Palestina menjadi korban ideologi liberalisme Barat.Mereka diibaratkan sebagai binatang aduan seperti jangkrik. Mereka diadu domba intelijen asing agar penjajah dapat kemenangan secara gratis. NU datang ke sana dengan misi membuat perdamaian dan mendorong agar mereka bersatu.

Kami mengampanyekan kepada mereka Islam ala NU kepada dunia bahwa NU melihat Islam adalah agama, bukan ideologi, karena itu apa yang terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai agama, tapi ideologi Islam. Dalam mengampanyekan NU sebagai ideologi alternatif,kami meneladani sikap yang telah dilakukan pendiri NU, Hadratusy Syaikh Hasyim As’ari dan KH Wahab Hasbullah. Mereka bertindak sebagai pengekspor ideologi,bukan pengimpor ideologi.

Penguatan Aswaja

Maraknya berbagai macam ideologi transnasional pascareformasi harus diantisipasi oleh seluruh jajaran NU. PBNU menginstruksikan kepada seluruh jajarannya,mulai Lembaga, Lajnah dan Banom di seluruh tingkatan mulai pusat hingga ranting terlibat dalam mempertahankan dan memperkuat ajaran ahlusunnah wal jamaah (aswaja) yang selama ini dijalankan NU. Ini karena dewasa ini sudah banyak anak-anak NU yang tidak mengetahui ajaran aswaja seperti yang diajarkan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy- ’ari. Sehingga ada guyonan:

Dulu waktu zaman Pak Idham Cholid dan Buya Hamka, NU dan Muhammadiyah rukun karena sama-sama mengertinya. Sekarang anak-anak muda NU-Muhammadiyah rukun karena sama tidak mengertinya. Jadi yang anaknya orang NU tidak mengerti NU, anaknya orang Muhammadiyah tidak mengerti Muhammadiyah. Akhirnya, hubungan antara NU dan Muhammadiyah mencair dan menyebabkan tradisi yang sebelumnya hanya dilakukan oleh satu kelompok serta menjadi ciri khasnya.

Kini tradisi tersebut juga dilakukan oleh kelompok lain seperti yasinan dan tahlilan yang dulu menjadi ciri khas orang NU, namun sekarang sudah mulai ada orang Muhammadiyah yang menjalankannya. Demikian juga saat ini anak-anak NU lebih senang tarawih 11 rakaat, bukan 23 rakaat, karena didiskon 60% dari jumlah yang seharusnya. Yang lucu dan aneh, ada Festival Salawat Badar di Jawa Timur, yang menang ternyata dari Muhammadiyah. Karena grup NU suaranya jelek, rebananya tidak bunyi. Padahal, tradisi salawat badar itu sejak dulu ciri khasnya NU. Namun, proses mencairnya kultur keagamaan seperti ini mengandung implikasi yang perlu diwaspadai oleh warga nahdliyin karena menimbulkan kerawanan sosial karena anak-anak muda tersebut tidak memahami ajaran seutuhnya sehingga ajaran-ajaran model baru dengan gampang masuk dalam diri mereka.

Dalam konteks ini berlaku hukum: siapa yang lebih dahulu masuk adalah yang menang dan mendapatkan anggota. Untuk itu, gerakan struktural dan kultural NU harus dilaksanakan secara terpadu untuk melawan gerakan transnasional tersebut. Struktur NU mulai dari PBNU,Wilayah, Cabang hingga ranting harus fungsional. Di tingkat ranting harus memiliki anak ranting yang berbasis masjid dan musala yang ada di desa itu dan masing-masing bertanggung jawab untuk mengawasi masjid. Karena ideologi transnasional ini akan bergerak dari tempat-tempat ini untuk merobohkan stelsel nasional kita: Aswaja dan ideologi nasional Pancasila. Wallahu- ’alam bishshawab. *

Dr KH A Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, President World Conference on Regions for Peace (WCRP)

Dimuat di Koran Sindo, Rabu, 09/05/2007

Saturday, February 19, 2011

Ketika Kiai Berpolitik

23/11/2009

Judul : Kiai Politik Politik Kiai
Penulis : Dr H Abd. Latif Bustami M Si
Editor : Ahmad Haidar
Penerbit : Pustaka Bayan
Distributor : Khalista Surabaya
Cetakan : I, 2009
Tebal : xv+278 hlm.
Peresensi : Noviana Herliyanti


Kiai adalah figur yang selalu dihormati kapan dan dimanapun keberadaannya. Tak bisa dipungkiri jika kehadirannya di anggap berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar. Kiai merupakan pewaris para Nabi sebagai penuntun jalan bagi kehidupan pada masa sekarang ini, di mana kebaikan merupakan hal asing atas menjamurnya nilai-nilai kejelekan. Sehingga peran dan gerakan politik kiai, sampai saat ini mampu mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Bahkan yang ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, tidak terlepas dari peranan para kiai.

Entah karena memang sudah demokrasi yang telah ternodai atau status kiai terkotori oleh segelintir yang disebut kiai palsu yaitu ketidaksesuaian antara perkataan, perbuatan dan ketetapan dalam melaksanakannya, menjadikan yang disebut politik kiai merupakan hal yang kotor. Padahal manusia dan kiai merupakan bagian dari masyarakat, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya politik. Dan sejak lahirpun kita telah diperkenalkan oleh politik, entah kita sadari atau tidak.

Pesantren dan masyarakat, adalah lingkungan di mana seorang kiai merupakan pegangan sebagaimana rakyat jelata menyerahkan segala keputusan hidupnya pada sang raja. Tapi kiai, ia orang yang berilmu dan beribadah di mana setiap perilakunya menyatu antara perkataan, perbuatan dan peraturan yang tertulis atau tidak.

Seorang peneliti Clifford Geertz, mengatakan bahwa peran kiai hanyalah sebagai “makelar budaya”. Benarkah demikian? Lalu bagaiamana tugas utamanya sebagai pewaris para Nabi? Bukankah masih banyak hal yang tak hanya dilestarikan tapi juga mempertanyakan tentang berbagai konflik baru termasuk politik?

Kiai merupakan sentral pengetahuan, dan keagamaan. Masyarakat lebih mempercayakan setiap permasalahannya pada kiai dari pada tokoh masyarakat yang lain. Karena predikat kiai tak hanya sebatas opini publik, melainkan tugasnya adalah orang yang mengajar dan mendidik manusia.

Berangkat dari predikat kiai yang diuraikan di atas, penulis buku ini lebih menonjolkan istilah politik kiai-kiai politik. Bahwa pada dasarnya kiai merupakan penunjuk jalan politik benar-salah dan hitam putih bukan politik menang-kalah atau abu-abu. Tugas kiai adalah penerang antara yang salah dan yang benar, bukan yang menang diperjuangkan walau harus hitam yang dilewati. Peran kiai bagaimana ia mampu merekonstruksi bahwa dunia politik itu putih dan yang hitam harus dienyahkan dari dunia politik.

Masyarakat mempunyai penilaian tersendiri atas status rangkap yang dimiliki kiai. Kiai independen lebih mereka hormati dari pada kiai yang berafiliasi pada kekuasaan Negara. Realitasnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan yang telah mendarah daging pada sosok yang dikenal kiai. Di mana pada saat sekarang ini, kiai mulai berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan. Parahnya ada yang telah merabunkan jalan politik itu sendiri.

Kiai seharusnyalah menempatkan posisinya sebagaimana status ulama, ngopeni, mengayomi yang kata orang madura “manjeki” pesantren dan masyarakat. Ranah politiknya hanya di pesantren dan masyarakat bukan merangkap sebagai negarawan. Karena realitasnya ketika kiai mulai terjun ke dunia kekuasaan, tak lagi nilai-nilai keagamaan yang menjadi prioritas utamanya.

Seperti halnya Jawa Timur saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagian besar kiai tapi tak justru mengurangi hitam kelamnya para pengeruk darah rakyat, kelaparan tak jua musnah, kemiskinan ternyata malah meningkat. Walau tak sedikit yang benar-benar memperjuangkan tapi lihatlah bahwa, penyebab kondisi di atas terjadi atas keringnya rohani dan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat pada saat ini.

“Jikalau tidak ada ulama/kiai, niscaya keadaan kehidupan manusia seperti binatang”. Perkataan Imam Hasan tersebut, semakin mempertegas bahwa peran dan fungsi kiai adalah sebagai pendidik dan bertugas menyiapkan generasi masa depan yang mampu menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ketika kiai mampu melahirkan generasi-generasi yang tak hanya mengkotori nilai-nilai politik, tapi juga membersihkan noda yang melekat padanya serta mampu melestarikan kehidupan politik yang sehat. Maka predikat kiai sebagai ahli ibadah yang berilmu akan tetap sejajar dengan status Nabi, sebagai penyelamat manusia dari nilai-nilai kebobrokan manusia.

Buku ini menguraikan secara gamblang tentang peran kiai yang telah mewarnai perpolitikan di Indonesia. Sayang, penulis tak menyertakan gagasan tentang peran kiai yang seharusnya dan selayaknya seperti apa. Namun kehadiran buku ini sangatlah dibutuhkan dan bermanfaat bagi para politisi khususnya bagi kalangan santri. Juga penulis buku ini patutlah diapresiasi, karena ia membantu memberikan pelajaran politik demi tegaknya demokrasi bangsa ini. Semoga bermanfaat amin.

Peresensi adalah Alumnus PP An-nuqayah Guluk-guluk Sumenep, Mahasiswi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan saat ini aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=20525

Friday, February 18, 2011

Gerakan Pena Kaum Sarungan

21/12/2009

Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*


Verba volant, scripta manent
(kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)

Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.

Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.

Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.

Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.

Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.

Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.

Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.

Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.

Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.

Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)

Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.

Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.

Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.

Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.

* Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=20968

Thursday, February 17, 2011

Kidung Sastra dari Pesantren

18/01/2010

Judul : Sekutum Nyawa untuk Sahabat; Antologi Cerpen Santri
Penulis : Aleyo Sas Melas, dkk.
Editor : Rijal Mumazziq dan M. Husnaini
Penerbit : Imtiyaz Surabaya
Cetak : I, Desember 2009
Tebal : xv + 148 halaman
Peresensi : Abd. Basid*


Istilah sastra secara harfiah berarti huruf, tulisan, atau karangan. Kata sastra ini kemudian diberi imbuhan su-(dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah. Artinya baik isinya dan indah bahasanya. Selanjutnya, kata susastra diberi imbuhan gabungan ke-an sehingga menjadi kesusastraan yang berarti nilai hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti sastra adalah: (1) bahasa (kata-kata/gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Dari sini, maka tidak semua bentuk karagan termasuk dan bisa dikatakan karya sastra. Yang termasuk dalam kategori sastra seperti novel, cerita (cerpen) (tertulis atau lisan), syair, pantun, sandiwara (drama), lukisan (kaligrafi) dan sejenisnya. Terus, sampai di mana sebuah karya akan dinamakan sastra? Menuru Plato, batasan sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis).

Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang.

Buku antologi cerpen “Sekuntum Nyawa Untuk Sahabat; Antologi Cerpen Santri” termasuk kategori di atas. Buku antologi yang ditulis oleh 12 santri pondok pesantren al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan ini menyiratkan karya kesusastraan (cerpen) yang berlatar belakang pesantren. Mereka (para penulis) merupakan insan pesantren yang biasa dikenal dengan sebutan kolot dan jauh dari peradaban. Jangankan bicara sastra, mau ngotak-atik benda eletronik pun insan pesantren terkesan tabu.

Namun, semua itu, sekarang sudah tidak pantas lagi untuk dicitrakan pada mereka. Mereka sudah tidak dan bukan yang dulu lagi. Banyak kita temukan santri juga bisa Facebook-an, YM-an, nge-Blog, Twitter-an dan bahkan juga mewarnai dunia tulis menulis termasuk sastra. Salah satu contoh kecilnya buku antologi cerpen ini.

Isi dan pesan buku ini menggambarkan kehidupan yang memang jamak terjadi pada dan di masyarakat. Indahnya di dalamnya berisi banyak pesan moral, hikmah, dan kritik sosial—termasuk pada pejabat dan pemimpin negara—dengan setting religiutas. Jika kita kesulitan untuk menemukan cerpen-cerpen yang settingnya islam(i), maka buku ini hadir untuk mewarnainya. Sebut saja seperti cerpen Ika Nur Ridiawati. Jika kita membacanya kita akan menemukan pesan moral-keagamaan di sana.

Diceritakan bahwa di balik perjuangan sang bapak untuk membiayai Ana untuk tetap bersekolah ternyata sang bapak diam-diam menjadi copet. Mengetahui hal itu, Ana memberanikan diri untuk lebih baik putus sekolah dari pada harus melanjutkan dengan biaya uang haram. Semua itu oleh Ika Nur Ridiawati digambarkan degan penggambaran yang begitu menyentuh apalagi ditambah lagi sang bapak mati dengan meninggalkan senyuman penyesalannya (hal. 37-46).

Aleyo Sas Melas lewat cerpennya yang berjudul “Maafdkan Kakak Dik!” menceritakan fenomena trafficking dalam kehidupan masyarakat miskin yang tidak mampu dilawan karena sudah menjadi sindikat yang kuat yang tak segan melakukan kekerasan dalam melancarkan aksinya. Tidak itu saja, kritik terhadap pemerintah pun juga Aleyo Sas Melas selancarkan.

Di salah satu perjalanan mencari adiknya sang kakak—dalam cerpen itu—melihat anak-anak kecil lagi ngamen di jalanan, yang tentunya mereka putus sekolah (hal. 7). Hal ini, merupakan adegan cerita yang bisa dimaksudkan supaya para pemimpin negara ini memperhatikan anak-anak miskin putus sekolah di jalan sana.

Bertolak pada kekritisan isi seperti yang telah digambarkan di atas, maka tidak salah kalau kiranya saya prediksikan—dari segi pesan—bahwa buku ini sealiran dengan karya tokoh sastra masa kini seperti Emha Ainun Najib, KH. M Dahlan Saleh, Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Haiburrahman el-Shirazy (Kang Abik), di mana tokoh-tokoh itulah yang sampai sekarang melanjutkan sastrawan pesantaren terdahulu seperti Buya Hamka, Yoesoef Soe’b, dan Bahrun Rangkuti.

Buku ini cocok untuk dibaca semua kalangan, seperti pelajar, guru, pendidik, tokoh, dan termasuk (juga) mereka para pemimpin daerah/kota maupun pusat. Di dalamnya kita akan menemukan cerita-cerita konstruktif. Bahkan buku ini juga cocok untuk bahan bacaan cerita pengganti dongeng anak sebelum tidur untuk orangtua. Bahasanya datar gampang dicerna dan sekali lagi isinya kaya makna. Inilah nilai plus buku ini.

* Penikmat buku dan pustakawan pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=21556

Wednesday, February 16, 2011

Gus Dur, Manusia Multideminsi

27/01/2010

Judul Novel : Sejuta Hati Untuk Gus Dur, Sebuah Novel dan Memorial
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal : 384 halaman
Harga : Rp. 45. 000
Peresensi : Mashudi Umar*

Pada saat pemakaman almarhum Gus Dur, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (31/12/2009) mengatakan bahwa, Gus Dur sebagai tokoh beragama Islam telah memberikan inspirasi besar bagi bangsa Indonesia. Pemikiran Gus Dur mengenai keadilan keadamaian dan toleransi sangat dihormati oleh bangsa Indonesia, bahkan seluruh dunia. Gus Dur telah mengajarkan kemajemukan. Gus Dur menurut SBY, adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kepada kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan.

Kepergian Gus Dur yang begitu cepat sungguh mengejutkan bukan hanya masyarakat Indonesia, tapi juga dunia internasional. Doa senantiasa menggema di jagat republik ini, termasuk dalam pesta malam Tahun Baru 2010 yang lalu dan klimaksnya saat tahlilan ketujuh hari baik di Tebuireng Jombang Jawa Timur dan Ciganjur Jakarta Selatan, belum lagi 40 harinya. Lautan manusia Muslim dan non-Muslim bersatu berkumpul untuk mendoakan guru bangsa, pembela minoritas dan waliyullah menurut masyarakat NU.

Banyak julukan diberikan kepada Gus Dur, tetapi mayoritas orang menyebutnya adalah guru bangsa. Karena ia mengabdikan dirinya demi bangsa. Bangsa yang tetap menjiwai dan dijiwai keanekaragaman. Itulah integritas yang dipertahankan dengan seutuhnya dalam seluruh kehidupannya. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam semua dimensi eksistensinya.

Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Dia lahir dan besar di tengah suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan.

Karier yang dianggap paling kontroversi -dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus ketua umum PBNU- dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 dan 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4 dalam sebuah drama demokrasi tahun 1999 yang dipilih langsung oleh anggota DPR/MPR RI.

Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh Gus Dur, ”gitu aja koq repot.”

Di sisi yang lain, catatan perjalanan karier Gus Dur adalah membentuk dan menjadi ketua Forum Demokrasi (Fordem) untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non-Muslim. Sebagai tokoh agama (NU), Gus Dur justru menolak masuk dalam organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibentuk atas kehendak Presiden Sueharto. Tidak hanya menolak, Gus Dur bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.

Gus Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil-politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan dan melengkapi.

Gus Dur ingin membangun Indonesia baru yang damai tanpa prasangka dan bebas dari kebencian. Untuk itu, masa lalu yang kejam, kelam, serta tidak toleran harus diputus. Partisipasi masyarakat mesti dibangun, yang lemah tidak ditinggalkan. Dengan kesetiakawanan yang luas dan menyeluruh itu kita baru bisa membangun Indonesia yang kuat. Untuk itu Gus Dur tidak keberatan untuk meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang oleh Banser NU. Meskipun Gus Dur mengatakan bahwa ia juga memiliki kerabat yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, balas dendam itu tidak ada gunanya dilanjutkan. Kita tidak akan mampu mewujudkan rekonsiliasi tanpa menghilangkan stigma atau kecurigaan terhadap suatu kelompok.

Novel bertajuk, “Sejuta Hati Untuk Gus Dur” adalah karya kreatif Damien Dematra, seorang novelis, sutradara dan pelukis yang diadapatasi dari skenario film Gus Dur: The More, yang awalnya direncanakan akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia untuk menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-70 pada bulan Agustus 2010. Namun berpulangnya sang tokoh pluralisme pada Sang Pencipta sangat mengejutkan semua pihak. Sehingga Damien, penulis novel, langsung banting setir dan spontan untuk menyelesaikan novel ini dalam waktu yang sangat singkat yaitu tiga hari tiga malam.

Dalam novel ini, Damien mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang Gus Dur dari sebelum kelahirannya hingga akhir hayatnya. Juga sebuah kisah kehidupan anak manusia yang sungguh besar jasanya bagi bangsa dan kemanusiaan. Sungguh sulit menemukan tokoh seperti Gus Dur di Indonesia dalam 100 tahun mendatang. Menariknya lagi, novel ini dilengkapi dengan wawancara esklusif dengan Ibu Shinta Nuriyah Wahid beserta putri-putri Gus Dur.

Tidaklah berlebihan, Ahmad Syafii Ma’arif (Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah) mengomentari Gus Dur dalam novel ini, ”Abdurrahman Wahid telah berangkat menghadap penciptanya untuk waktu tak terbatas. Bangsa ini telah kehilangan pahlawan humanis yang tidak mudah dicari penggantinya. Dengan novel ini, kenangan manis terhadap sahabat kita ini akan terus hidup dan segar dalam lipatan kurun yang panjang.”

*Peresensi Adalah Mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Probolinggo Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=21701

Tuesday, February 15, 2011

Akar Pemikiran Politik Gus Dur

01/03/2010

Judul Buku : Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur
Penulis : Dr. Ali Masykur Musa
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : vii + 162 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*


Pencetus humor “Gitu aja ko’ repot” tiada habisnya untuk dibicarakan, didiskusikan dari berbagai perspektif oleh anak bangsa termasuk ketika Gus Dur menjadi presiden yang dipilih langsung oleh MPR, awal mula “kran” demokrasi dibuka tahun 1998 ini. Gus Dur di panggung kekuasaan adalah sejarah besar bagi warga nahdliyin, sejarah yang ingin diakui oleh generasi penerusnya. Sejarah Gus Dur di panggung kekuasaan berakhir setelah Megawati Suekarno Putri dilantik menjadi Presiden RI ke-5 dalam SI MPR. Barangkali itulah politik, harus rela menghadapi resiko dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya. Dan Gus Dur sudah mendapat resiko paling buruk dilengserkan dari kursi kepresidenan.

Semenjak menjadi Presiden RI, Gus Dur sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun demokrasi, kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum minoritas. Gus Dur selama berkuasa (1998-2001) telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi presiden banyak sekali sumbangan Gus Dur bagi bangsa ini. Bahkan proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi menjadi wacana politik yang menakjubkan saat itu. Yang masih dalam catatan kita khususnya anggota DPR saat itu, Gus Dur ketika memberikan sambutan pada sidang paripurna mengatakan bahwa anggota DPR sama dengan “Taman Kanak-Kanak”.

Karena bagi Gus Dur, negara tidak mesti mengatur seluruh aktivitas warga negaranya, sehingga dalam pemerintahannya, kebebasan masyarakat benar-benar berlangsung. Manuver dan aksi politik pun dilakukan secara terbuka. Hal ini terlihat dengan jelas dan konflik yang berlangsung antara presiden dengan DPR, hingga ia harus dilengserkan dalam SI tersebut. Dengan kata lain, liberalisasi politik benar-benar terjadi.

Semuanya ini diberikan kebebasan oleh Gus Dur, karena gagasan progresifnya yang tidak saja disemangati oleh prinsip demokrasi, tetapi juga disemangati oleh pandangan Islam sebagai agama yang inklusif dan dinamis. Islam sebagai agama inklusif tidak bersifat kaku terhadap teks wahyu. Islam telah menyediakan ruang-ruang yang bebas tafsir dan takwil. Itu sebabnya, Gus Dur sangat mendorong perkembangan Islam yang toleran, anti kekerasan yang ditunjukkan dengan kebijakannya yang melindungi kaum minoritas dan tertindas. Bahkan dimana ada kaum minoritas dan tertindas, pasti disitu ada Gus Dur.

Secara kritis, kita juga bisa mengatakan, Gus Dur saat jadi presiden telah melakukan kekeliruan-kekeliruan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kita harus mengakui bahwa ketika Gus Dur berada diluar kekuasaan memiliki gagasan besar kedepan tentang demokrasi dan civil society. Namun setelah berada di istana, Gus Dur seakan lupa dengan gagasan besarnya. Hal ini terlihat dari kebijakan yang sangat kontroversial, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit.

Tak pelak, orientasi dari sikap, kebijakan, dan pemikiran Gus Dur yang sering berseberangan dengan pola pikir yang berkembang di masyarakat dan para elit politik serta bahkan sikapnya yang nyeleneh, membuat ia harus selalu pasang badan. Akan tetapi di balik sikap kontroversi dan kenyelenehannya, Gus Dur sebagai sosok fenomenal dan dengan segala kecerdasan yang dimilikinya, tidaklah mengherankan jika kemudian sosoknya menjadi komoditas penelitian dan topik diskusi, baik bagi rakyat yang dibuat bingung oleh tindakannya maupun para elit politik yang geram karena kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak sesuai dengan sendi ekonomi, politik, budaya dan bahkan konsep agama.

Begitu juga dengan isu-isu keislaman, tak jarang beberapa langkah Gus Dur ini sering disalah tafsirkan, bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Gus Dur disebut agen zionis Israel, dicap mendukung kristenisasi, diisukan dibaptis, hingga Gus Dur dianggap sebagai orang sesat. Para kiai di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pun pernah menyidang Gus Dur di awal tahun 1990-an, karena tersiar kabar Gus Dur ingin mengganti sapaan ”Assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”. Menanggapi cercaan dan makian ini, Gus Dur pantang mundur.

Bagi dia membumikan Islam sebagai rahmatan lil alamin merupakan misi utama yang tidak bisa ditawar-tawar. Upaya mewujudkan Islam ramah, toleran, dan pelindung kaum lemah memang tidak semudah membalikkan tangan. Karena dalam pandangan beliau konsep itu menuntut nilai-nilai Islam bersifat universalitas. Ini berarti nilai-nilai Islam harus mampu beradaptasi, selaras dengan seluruh umat manusia yang beragam, baik karena faktor geografis maupun tingkat kebudayaannya. Di sini diperlukan elaborasi lebih jauh nilai-nilai Islam yang terpancar dari Alquran dan hadist dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada konteks inilah, kita mampu melihat arti penting seorang Gus Dur. Berasal dari kelompok yang dinilai tradisional, cucu pendiri NU ini mampu mengelaborasi nilai-nilai Islam untuk selaras dengan perkembangan zaman, sehingga diterima oleh banyak golongan sebagai kebenaran substantif. Bagi kalangan Islam, khususnya kalangan Nahdliyin, Gus Dur mampu mendobrak kejumudan cara berpikir dalam menggali hukum-hukum Islam.

Buku “Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur” karya Ali Masykur Moesa, seorang anak ideologis Gus Dur yang mampu menerjemahkan dan melanjutkan dalam sisi intelektual yang progresif juga dinamis. Dalam pengantarnya, Ali Masykur mencatat, bahwa Gus Dur sesungguhnya bukanlah sosok yang kontroversial, ia justru seorang muslim sejati yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam secara membumi. Logika awamlah yang justru seringkali tertinggal dibelakang, sehingga terkesan bahwa Gus Dur adalah sosok yang nyeleneh dan melawan arus, padahal keterbatasan kitalah yang tidak mampu memahami pemikiran dan sikap politiknya.

Buku ini, selain ingin memaparkan akar pemikiran politik Gus Dur, juga ingin membuktikan bahwa pemikiran dan tindakan Gus Dur selama hidupnya bukanlah suatu yang kontroversial. Pemikiran dan tindakannya justru implementasi dari nilai-nilai Islam secara membumi dari seorang Muslim sejati.

Singkat kata, Gus Dur layaknya sebuah teks yang memiliki multi tafsir, sebuah buku besar yang dibaca oleh setiap orang dan membahasnya tidak mudah, baik sebagai budayawan, intelektual, politisi, ulama, ahli strategi dan seorang humoris bahkan seorang pengamat sepak bola. Gus Dur walaupun pergi selamanya, impian dan gagasannya yang besar tetap bersama kita.

*Peresensi adalah Mantan Redpel Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22298

Monday, February 14, 2011

Peluang dan Tantangan NU

08/03/2010

Judul Buku : NU Untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif Untuk Muktamar NU Ke-32
Penulis : Prof. Dr. H. Ali Maschan Moesa, M.Si
Editor : Ach. Syaiful A’la
Penerbit : Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya
Cetakan : I, Pebruari 2010
Tebal : xv+65 Halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*

Berbicara masalah NU tidak lepas dari proses panjang berdirinya, maksud dan tujuan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) terbesar di belahan bumi khususnya di Indonesia, yang motori oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, dengan semangat awal yakni mendirikan Kebangkitan Bangsa (Nahdlatu Wathan), kemudian Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatut Tujjar), dan artikulasi pemikiran (Tashwirul Afkar). Ketiga hal tersebut merupakan tiga pilar berdirinya Nahdlatul Ulama.

Dalam sejarah perkembangannya, NU tidak bisa diremehkan hanya sebagai organisasi keagamaan yang berbasis kemasyarakatan. Kontribusi-kontribusi NU yang didarmakan untuk bangsa ini cukup besar. Pada masa awal kemerdekaan NU mampu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam perumusan Pancasila sebagai dasar Negara. Melalui resolusi jihad dari KH Hasyim Asya’ari, tentara sekutu yang hendak mengusik keutuhan NKRI berhasil diusir oleh pejuang-penjuang dari kota Pahlawan (Surabaya).

Era Orde Lama, NU mempertegas wujudnya dalam ranah kepemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang bersifat konstruktif. Seperti penggagasan berdirinya Masjid Istiqlal oleh KH A. Wahid Hasyim, selaku Menteri Agama saat itu, dan disetujui oleh Soekarno. Penggagasan pendirian IAIN oleh KH Wahib Wahab. Realisasi penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia pada masa Depag dipimpin oleh menteri dari NU, Prof KH Syaifuddin Zuhri. Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an diprakarsai oleh Menag dari NU, KH. M. Dahlan. Tegas kiprah NU pada saat itu tidak bisa dianggap remeh.

Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali pada khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.

Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin. Gus Dur berhasil terpilih sebagai presiden RI ke-4 melalui kendaraan politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mana kendaraan tersebut aspirasi warga nahdliyyin. Melalui Gus Dur sebagai Presiden tentu saja banyak sekali kontribusi yang disumbangkan terhadap bangsa ini. Kita lihat sendiri, testimony dari mayoritas khalayak memberikan laqab kepada beliau sebagai guru bangsa.

Namun, disisi lain, lahirnya PKB banyak yang mempertanyakan eksistensi Khittah 1926. Melalui buku NU untuk Siapa? Pikiran-Pikiran Reflektif untuk Muktamar NU ke-32, KH. Ali Maschan Moesa, menjawab bahwa jika NU membidani lahirnya sebuah partai politik, itu sebagai perantara untuk mewadahi warga yang ada kepedulian terhadap politik praktis dan bukan berarti NU melanggar tatanan khittah. NU melanggar khittah jika secara institusional terikat oleh organisasi politik tertentu (hlm. 1).

Jika NU pada masa Orde Lama berkontribusi aktif terhadap eksistensi NKRI, kemudian pada rezim Orde Baru mentransformasikan wujudnya untuk menciptakan civil society dan melahirkan konsensus untuk berkhittah, maka bagaimanakah wujud NU pada Muktamar ke-32 yang akan berlangsung dekat ini?

Melalui buku ini, pembaca bisa melihat lebih jauh tentang apa yang harus dilakukan NU kedepan. Misalnya kita bisa membaca tantangan-tantangan NU (mulai tantangan agama, tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu pengetahuan, tantangan degradasi alam). Problem yang sedang dihadapi NU (Problem sumberdaya manusia, sumberdaya dana dan problem organisasi), Kekuatan-kekuatan NU (mempunyai kekuatan kiai dan pesantren, dana besar, banyaknya anggota), serta bagaimana men-design langkah-langkah yang harus ditempuh oleh NU kedepan.

Lain dari tersebut di atas, ada empat tantangan yang tidak kalah menariknya yang sedang dihadapi oleh organisasi Bintang Sembilan saat ini. Pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya faham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa difahami secara utuh oleh warga NU. Kedua, tantangan dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru banyak diminati oleh kalangan muda NU itu sendiri. Ketiga, adalah tantangan yang datang dari atas, dalam hal ini kuatnya represi penguasa dalam politik praktis, dan yang terakhir – keempat – adalah tantangan dari bawah ditandai dengan semakin rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang juga kalau kita lihat diinternal pun terjadi pertarungan para elit-elitnya. Ketika para elit mulai berkomplik dan kemudian akan diikuti oleh pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah dan atau bahkan jama’ah yang ada.

Maksud hadirnya buku ini diruang pembaca, ke depan (pasca muktamar) NU diharapkan mampu memberikan problem solving terhadap persoalan-persoalan yang tengah dihadapi bangsa seperti persoalan ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Yang kalau tilik sejarahnya perkembangan bangsa Indonesia, NU tidak pernah absen untuk selalu aktif berperan bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi bangsa.

Setidaknya NU dalam keadaan apapun dan bagaimanapun harus diposisikan sebagai jam’iyah diniyah yang memiliki kepedulian bagi semua pihak. Dengan ungkapan lain NU (Nahdlatul Ulama) untuk NU (Nahdlatul Ummah). Kebangkitan ulama pada dasarnya untuk membangkitkan dan mengentaskan ummatnya dari segala kesusahan dan kemelaratan. Selamat membaca! Sukses Muktamar NU ke-32 kali ini.

*Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) IAIN Sunan Ampel, Pengurus Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22377

Sunday, February 13, 2011

Potret Kaum Santri Menembus Peradaban

15/03/2010

Judul Buku : Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : PT Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan : I, 2010
Tebal : xiii + 426 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Geliat kaum santri melakukan pengembaraan intelektual sungguh luar biasa. Kaum santri tidak lagi menjadi manusia yang puas hanya dengan sarung dan kitab kuning. Mereka memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjelajah keilmuan modern di luar pesantren. Hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang menuntut setiap manusia bergerak cepat. Sedikit saja lengah atau mengabaiakan kesempatan, maka peluang-peluang emas akan terlewatkan. Sebagaimana petuah Ronggowarsito bahwa di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak kebagian. Tapi, seberuntung-beruntungnya orang edan, adalah mereka yang senantiasa eling (sadar) dan waspada. Jangan sampai hanya terjebak pada kenikmatan sesaat yaitu sekedar kenikmatan duniawi.

Nampaknya, kaum santri ingin menjadi orang yang eling tersebut. Ini karena mereka dibekali dengan pengetahuan ad-din (agama) sebagai penyangga kehidupan agar tidak terjebak dalam kubangan hedonisme semata. Dengan bekal tersebut, mereka telah siap menceburkan diri ke dalam hiruk-pikuk kehidupan di era modern agar tidak tertinggal zaman. Disinilah para santri diuji untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan kawan-kawan lain yang notabene non-santri. Pertarungan di kancah keilmuan pun berlangsung hangat dan menantang. Inilah wajah baru pendidikan Islam di era kontemporer.

Lebih lanjut, Asrori S. Karni dalam buku Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, memotret fenomena santri yang sukses meraih kursi di Universitas ternama. Buku yang akan kita kupas ini, juga mengangat keberhasilan pendidikan Islam, baik Pesantren, Madrasah, maupun Universitas di segenap penjuru tanah air. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah. Sebelumnya, pendidikan Islam hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Bertahun-tahun, pendidikan Islam terutama pesantren, sama sekali tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari pendidikan nasional.

Bertahun-tahun pesantren dan pendidikan Islam lain selalu terpinggirkan. Padahal, telah ratusan tahun pesantren memberi kontribusi positif bagi generasi bangsa. Pesantren adalah pendidikan yang selalu terbuka untuk semua kalangan. Siapa pun asal memiliki kemuan, boleh masuk pesantren tanpa dipandang seberapa besar kemampuan ekonominya. Para Kyai telah mendidik putra-putri bangsa dengan tulus ikhlas tanpa mengharap bayaran. Sungguh sangat ironis jika kenyataan ini diabaikan oleh pemerintah. Apalagi generasi pesantren telah terbukti mampu memimpin Negara seperti Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya.

Beruntunglah pemerintah saat ini mulai terbuka dengan pesantren dan bisa mengurangi diskriminasinya. Sejak dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pesantren dan Madrasah diakui menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan adanya regulasi yang setara, program-program, serta asupan dana dari APBN. Berbagai beasiswa banyak diberikan Depag kepada sejumlah pesantren yang memiliki sekolah formal agar para lulusannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Kisah sukses para santri di Perguruan Tinggi ternama saat ini bukan lagi omong kosong. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, ada santri lulusan Pondok Pesantren Khusnul Khatimah, Jalaksana, Kuningan Jawa Barat, bisa masuk ke ITB Bandung. Ia adalah Muhammad Reza Akbar, putra dari pedagang plastik di Pasar Tradisional Cidadas, Bandung. Jika melihat ekonomi keluarga, Reza tidak mungkin berharap kuliah. Beruntung ia bisa mengikuti tes seleksi beasiswa Depag dan bisa masuk ke ITB Bandung. Selain Reza, ada juga Ahmad Adhim, santri asal Pesantren Matholiul Anwar, Lamongan. Ia bersama kawan-kawan santri lainnya berhasil masuk ITS Surabaya dari beasiswa Depag (hal 166).

Terkait prestasi para santri di Perguruan Tinggi, rupanya mereka tidak kalah saing dengan mahasiswa yang berasal dari SMU. Bahkan diantara mereka ada yang mampu meraih skor penuh : 4. Hal ini sebagaimana diraih oleh Yahman Faojio, santri lulusan MA di Pesantren Raudlotul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Ia berhasil masuk IPB dan menggondol IP 4. Tentu saja ini menjadi kejutan bukan hanya bagi pesantren Raudlotul Ulum, tapi juga bagi IPB sendiri. Ini juga membuktikan bahwa generasi santri mampu bersaing dengan generasi lain yang notabene dari pendidikan umum. Meskipun diantara mereka juga ada yang kesulitan untuk beradaptasi sehingga mendapat IP kurang memuaskan. Tetapi semua itu adalah proses sehingga membutuhkan keuletan dan ketekunan.

Selain kisah sukses para santri, banyak juga pesantren yang mampu mengembangkan pendidikannya sehingga mendapat status Mu'adalah (persamaan). Misalnya, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Hamid Pasuruan, Pesantren Pabelan Magelang, dan Pesantren Darussalam Garut. Adanya status Mu'adalah ini, sangat memudahkan para lulusan pesantren melanjutkan ke pendidikan formal atau mendaftar jadi PNS. Kendala ijazah sebagaimana lazim terjadi dahulu, kini bukan lagi menjadi faktor penghambat. Ini karena ijazah Mu'adalah sudah setingkat pendidikan formal lainnya. Tentu saja, proses menuju Mu'adalah tidak serta merta (taken for granted) terjadi, tetapi melalui proses seleksi yang ketat. Pemerintah harus menilai beberapa hal, seperti komponen penyelenggara pendidikan, status pesantren, serta penyelenggara pesantren (hal 199).

Dengan suksesnya pesantren meningatkan kualitas pendidikannya berkat perhatian pemerintah, ke depan negri ini akan dipenuhi generasi yang cakap dalam intelektual dan luhur dalam moral. Mereka adalah generasi yang siap memajukan bangsanya dengan segenap jiwa raga. Bukan generasi bermental uang maupun kekayaan yang justru akan merusak bangsa ini. Kasus-kasus akut seperti korupsi yang justru banyak dilakukan oleh 'orang-orang pintar', pada akhirnya akan sirna karena ke depan orang-orang pintar tersebut lahir dari rahim pesantren yang berdedikasi tinggi dalam menjaga moralnya.

*) Peresensi adalah Ketua Tanfidziyah PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=22492

Saturday, February 12, 2011

Membangun Keluarga Maslahah

19/04/2010

Judul Buku : Keluarga Maslahah, Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal
Penulis : M. Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid
Penerbit : Mitra Abadi Press, Jakarta
Cetakan : 1, Maret 2010
Tebal : v + 316 Halaman
Peresensi : Mashudi Umar*


Membangun keluarga maslahah merupakan unsur sentral dalam ajaran Islam, sebab unit keluarga memang merupakan sendi utama masyarakat. Atas landasan unit-unit keluarga yang sehat akan berdiri tegak bangunan masyarakat yang sehat. Karena, perkawinan dalam Islam adalah sebuah ikatan bathiniyah dan dhahiriyah antara dua pasangan setara yang telah mengucapkan ijab qabul. Keluarga juga sebagai tempat pembinaan pertama (madrasatul ula) menjadi sangat menentukan akan fondasi keimanan yang kokoh dan melahirkan anak-anak yang baik secara kualitas dan kuantitas.

Karena pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai miitsaaqan ghaliizhah (perjanjian agung), bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka. Rasulullah SAW bersabda bahwa “Suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”

Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya. Suami istri saling memberikan ketentraman menuju keluarga sakinah, mawaddah, warahmah (QS. Ar-Rum, 30:21)

Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggungjawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.

Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang mulya baik pada pribadi-pribadi dan keluarga, akan menciptakan masyarakat yang baik dan harmonis juga. Karena itu, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang.

Paradigma berkeluarga seorang Muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi, menjaga kesucian diri, dan melakukan aktivitas sehari yang berkaitan dengan keluarga. Sabda Rasulullah SAW berbunyi; “Sesungguhnya menikah adalah sunnahku, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka dia bukan golonganku.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi sangat penting bagi seorang Muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Kompetensi keluarga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakan nilai-nilai Islam di masyarakat dan membangun moralitas anak bangsa.

Buku ini memberikan gagasan terobosan dalam menciptakan keharmonisan keluarga yang dirumuskan dalam keluarga maslahah (baik). Sebuah rumusan yang berangkat dari ketentraman satu sama lain menuju keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Dengan kata lain, fiqih sosial ala Kiai Sahal Mahfudz ini bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial dalam perspektif Islam harus dengan mengintegrasikan hikmah hukum pada illat (alasan) hukum, sehingga diperoleh suatu jalan keluar yang berorientasi pada prinsip kemaslahatan umum dan memperkokoh ketahanan nasional untuk meningkatkan kualitas bangsa.

Kiai sahal adalah kiai yang konsern betul dalam masalah kependudukan. Menurut Mbah Sahal membenahi masalah kependudukan berarti juga memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia. Jumlah penduduk yang besar dan tidak berkualitas akan membawa kesulitan yang luar biasa bagi bangsa ini. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam jumlah kecil saja tidak mudah, apalagi harus menanggung beban jumlah penduduk yang begitu besar. Mbah Sahal bahkan berani melakukan sebuah resistensi atas dominasi tafsir yang sudah berkembang di dunia pesantren tentang membangun kualitas keluarga. Umumnya dan menjadi masyhur ditengah-tengah masyarakat bahwa “memperbanyak anak banyak rezeki”.

Kiai Sahal yang juga Rais Aam PBNU untuk ketiga kalinya dan Ketua Umum MUI Pusat termasuk salah satu dari sedikit kiai yang rajin menulis, sebuah tradisi yang langka terutama di lingkungan kiai NU. Ratusan risalah (makalah) telah ditulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Belakangan sebagian karya-karya tersebut dikumpulkan dalam buku berjudul Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994); Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999); Telaah Fikih Sosial, (Semarang: Suara Merdeka, 1997).

Kredibilitas keulamaan dan integritas pribadinya diakui hampir seluruh masyarakat, tidak saja di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) tapi juga ditingkat nasioanal dan internasional. Independensi dan keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip juga sisi lain dari kehidupan Kiai Sahal. Sikapnya yang moderat dalam menyikapi berbagai problem sosial menunjukkan pribadi yang menjunjung tinggi sikap tawasuth (Moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (egaliter) dan i’tidal (adil), tapi juga menunjukkan kearifan pribadinya.

Kiai Sahal mendapat gelar kehormatan, Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, karena sumbangsih besarnya dalam mendinamisasi pemikiran fikih pesantren dari normatif ke analitis-konstektual, dari tekstual ke rasional filosofis.

Penulis buku Cholil Nafis dan Abdullah Ubaid, mampu menyediakan informasi yang komprehensif, cermat dalam analisis dan akurat dalam penyajian data tentang pikiran-pikiran Mbah Sahal dalam konteks keluarga maslahah, sehingga akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, baik kualitas maupun kuantitasnya sebagaimana cita-cita setiap insan berkeluarga. Sehingga buku ini menjadi penting dibaca sebagai referensi membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.

*Mashudi Umar adalah aktivis Simpul Jaringan Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Sijar Fapsedu) Jakarta.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=23065

Friday, February 11, 2011

Dinamika NU di Tengah Pusaran Zaman

03/05/2010

Judul Buku : Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
Editor : Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xii + 260 Halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani*


NU, merupakan Organisasi massa terbesar -saat ini- di Indonesia, bahkan di dunia. NU, baru saja menggelar Muktamar ke-32 yang berlangsung di Asrama Haji Sudiang Makasar Sulawesi Selatan 22-27 Maret 2010 yang lalu. Banyak persoalan penting yang dibahas dalam muktamar tersebut, seperti meneguhkan kembali jati diri NU melalui pemantapan makna “kembali ke khittah”, pembentukan Pengurus Anak Ranting (PAR), peneguhan identitas Ahlussunah Waljamaah, selain agenda penting –pemilihan rais am dan ketua umum. Di luar itu, juga banyak digelar acara pendukung, seperti seminar, bedah buku, bursa buku, dan sebagainya.

Melalui muktamar inilah, NU berupaya melakukan refleksi dan evaluasi-kritis atas peran dan kontribusi NU dalam konteks sosial-kemasyarakatan, dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini telah menunjukkan bahwa NU benar-benar eksis, baik secara kultural-struktural, maupun jamaah-jam’iyyah. Dengan kata lain, ini menjadi modal awal mengantarkan NU untuk selalu berada di garda terdepan dalam rangka mengawal dinamika perubahan yang terus terjadi dalam koridor ahlussunah waljamaah.

Sebagaimana yang disampaikan Mbah Sahal Mahfudh dalam khutbah iftitah di Muktamar ke-32. Bahwa, berdirinya NU, sesuai dengan namanya, adalah momentum kebangkitan para ulama yang seiring dan menyertai kebangkitan seluruh bangsa Indonesia dalam tekad perjuangan untuk mencapai cita-cita kemanusiaannya, yaitu kemerdekaan sejati dan keluhuran martabat lahir dan batin. Sejarah pun mencatat sumbangsih NU yang menjadikannya tak terpisahkan dari NKRI, alam jati diri, jiwa, dan cita-cita. Selanjutnya, Mbah Sahal juga menuturkan, NU menyadari bahwa, dewasa ini dinamika dunia internasional telah menempatkan Islam dalam posisi kritis, dengan maraknya paham keagamaan yang cenderung ekstrem, fundamentakistik, formalistik, dan tidak toleran. Menanggapi fenomena ini, NU bertekad untuk mengambil bagian dalam upaya mengatasi masalah kemanusiaan. NU siap mengambil peran aktif, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Sementara, Presiden SBY mengatakan, sebagai organisasi, NU memiliki nilai dasar dan prinsip jati diri yang kukuh, yang mencerminkan setidaknya dua hal. Pertama, sebagai organisasi keumatan yang menganut jalan tengah yang lurus yang dikenal sebagai jalan moderat, yang menolak jalan ekstremitas dan jalan kekerasan. Jalan itu justru menghormati kemerdekaan dan kemajuan, yang menjalin ukhuwah Islamiyah (persatuan Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persatuan bangsa) yang menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semua alam (rahmatan lil alamin). Kedua, NU adalah organisasi yang terus membangun kemitraan dengan pemerintah untuk menyukseskan program kesejahteraan rakyat, seperti ekonomi kerakyatan; pendidikan, baik pesantren maupun umum; kesehatan masyarakat; gerakan melawan kejahatan, seperti narkoba dan korupsi; dan pemeliharaan lingkungan. (Kompas, 24/3/10)

Buku ini merupakan kumpulan pikiran-pikiran cerdas kaum muda NU, yang mencoba untuk melakukan refleksi dinamika perubahan yang selalu dan terus terjadi dalam perspektif NU dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa yang beradab dan bermoral. Buku yang berisi pelbagai opini yang telah di muat di Kompas dalam kurun waktu 2004-2009 ini dapat menggambarkan betapa gigihnya perjuangan NU dalam rangka membangun keutuhan NKRI. Ternyata, NU sebagai organisasi umat terbesar, telah menjadi bagian penting dari kekuatan masyarakat beradab untuk berkontribusi dalam membangun keadaban bangsa. NU Berhasil membangun keadaban bangsa yang didasarkan pada semangat kebersamaan lintas agama dan keyakinan, begitulah kata Zada-editor buku ini. Kiranya, tekad bulat NU –seperti ini- patut diapresiasi dan terus didukung oleh umat kebanyakan.

Tantangan bagi NU adalah, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia mampu (sekaligus) mau menampilkan karakter Islam ala Indonesia, seperti yang telah dipraktikan oleh para pendiri, sebut saja Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik (hlm. 131).

Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang berbasis keislaman sekaligus keindonesiaan. NU senantiasa menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi beragama. Dengan prinsip dasar dan jati diri itu, NU terus meningkatkan pengabdian dan perannya dalam membangun bangsa ini. Semua yang dilakukan NU pada masa lalu masih tetap relevan dan tetap diperlukan pada masa sekarang ataupun masa depan. Sebagai organisasi Islam yang berpengaruh, kehadiran NU di Tanah Air bukan saja memberikan pencerahan dan pencerdasan umat, melainkan melampaui perbedaan agama. Masyarakat dibimbing ke dalam kehidupan bermoral, berakhlak, berbudi, dan bermartabat sebab Islam membawa nilai-nilai universal serta menembus batas-batas negara dan peradaban. (Kompas, 24/3/10)

NU kini berada pada suatu zaman yang memerlukan penyikapan matang dan bijaksana. NU berada pada arus perubahan dan informasi yang cepat. Sudah seharusnya warga NU tetap menjaga komitmen untuk memegang kaidah “Almuhaafadhatu ‘alal qadiimish shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah”.

* Alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini aktif di Pusat Pengembangan Sumber Manusia “Fathoni Institute”

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=23238