Thursday, June 22, 2017

Melumerkan Konservatisme di dalam Nahdlatul Ulama


Daniel Dhakidae



Judul : Pergolakan di Jantung Tradisi:
NU yang Saya Amati
Penulis : As’ad Said Ali
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, 2008
Tebal : xxiii + 263 halaman
ISBN : 9789793330761


Sekurang-kurangnya terbuka dua cara membaca buku ini. Cara pertama adalah membacanya sebagai pandangan orang dalam yang menyaksikan dari dekat perkembangan Nahdlatul Ulama (NU): ajarannya, dogma, dan doktrin, para pemimpin puncak yang datang silih berganti. Karena itu dengan sendirinya bisa dipahami mengapa judul “Pergolakan di Jantung Tradisi” dipersonalisasikan menjadi pergolakan yang “saya amati”, sebagai sub-judul. Legitimasi asal-usul penulisnya, hubungan kekerabatan dengan elite Nahdlatul Ulama, menjadi bagian dari personalisasi ini. Dengan mengambil posisi seperti itu, legitimasi internal, buku ini menjadi sesuatu yang tentu saja memberikan sumbangan khas.
Cara kedua, memusatkan perhatian pada sesuatu yang tidak jauh dari judul: pergolakan. Meskipun dimaksudkan sebagai “pergolakan di jantung tradisi” Nahdlatul Ulama, sumbangan terbesar buku ini untuk para pembaca umum, yang tidak melihatnya sebagai pergerakan agama, adalah pergolakan di dalam NU dalam sambungannya dengan pergolakan sosial dan politik pada masa-masa yang sangat krusial menuju pergolakan besar, yaitu gerakan reformasi yang menumbangkan Orde Baru, dan awal dari krisis-demi-krisis sesudahnya. Tinjauan ini memusatkan perhatian pada yang kedua, yaitu melihat dari sisi perubahan yang terjadi di dalam NU, dan menelusuri babak-demi-babak persambungan ideologis, agama, dan gerakan sosial yang terjadi di Indonesia pada masa mutakhir.

Perubahan di NU
Inilah suatu organisasi tua yang didirikan pada 1926 di tengah bergeloranya nasionalisme yang dipimpin kaum cendekiawan Indonesia. Karena itu, umurnya setua pergerakan nasional, dan dalam banyak hal mewarisi semangat pergerakan itu, dalam konteks dan tuntutan zaman sampai sekarang.
Melihat namanya, organisasi itu adalah organisasi kaum elite, demi kebangunan kaum elite, yaitu kaum alim ulama yang memiliki solidaritas sosial yang kuat. Pendidikan menjadi  ajang utama kegiatannya. Kesan kedesaan, yang melekat atau diusahakan untuk dilekatkan dengannya, dalam banyak hal tidak jauh dari kenyataan karena orientasinya memang diarahkan pada lapisan masyarakat itu; namun, di pihak lain, lebih merupakan social prejudice semata. Kedesaan tidak pernah menjadi soal sampai konsep itu disamaratakan dengan konservatisme.
Di sana baru muncul soal kalau pembaca usai membaca buku ini. Usaha untuk melepaskan diri dari yang kedua, konservatisme tanpa ampun, sudah berlangsung lama. Salah satu usaha besar dalam gerak menuju perubahan itulah yang menjadi topik bahasan buku ini, yaitu gerakangerakan dari dalam yang—sebagaimana khusus dibahas buku ini—berasal dari lapisan elite yang lain, yaitu kaum muda NU. Menurut penulis buku ini, sejumlah besar perubahan sedang berlangsung tidak saja secara organisasional, “… melainkan justru mempertanyakan pola yang selama ini dianggap baku ...
Sistem bermazhab ... terus-menerus digedor oleh pemikiran kritis, yang justru berasal dari lingkungan NU sendiri. Tak disangka, perubahan itu berlangsung cepat. Pola bermazhab qauly, (mengambil ‘pendapat jadi’ dalam pemikiran fiqh klasik) segera dilengkapi dengan pola manhajy (pengambilan hukum dengan menggunakan metodologi yang digunakan ahli fiqh). Perubahan ini sesungguhnya cukup radikal, karena dengan mengimplementasikan pola manhajy, NU sebenarnya mulai menerapkan ijtihad, suatu prisip yang sangat dihindari selama ini yang seakan menjadi monopoli kaum modernis” (hal. 6).
Bila diperhatikan untuk perubahan pada masa-masa mutakhir, penulis buku ini menempatkan tahun 1970-an sebagai tahun-tahun paling menentukan bagi NU modern. Pemilihan tahun 1970-an sebagai titik-tolak tentu sesuatu yang jeli untuk dilihat, meski tahun-tahun itu tidak semata-mata menggerakkan perubahan di dalam NU, karena berbagai sektor sosial-politik dan ekonomi nasional memang dirancang untuk berubah dari atas, Orde Baru, dengan seluruh konsekuensi yang ditanggung.
Karena berurusan dengan pendidikan maka kontak-kontak dengan berbagai lembaga pendidikan resmi kenegaraan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi faktor penentu bukan saja terhadap perubahan, tetapi juga terhadap jenis dan kualitas perubahan (hal. 6-11). Dari antaranya kontak dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menjadi sesuatu yang sangat mendalam dan menentukan dalam beberapa arti berikut ini:
Pertama, kontak itu menjadi semacam breakthrough untuk menyibak dikotomi yang selama ini berkembang di kalangan NU, seperti NU yang konservatif dan Muhammadiyah yang modern, yang dilanggengkan oleh pertikaianpertikaian politik “seperti pisahnya NU dengan Masyumi, konflik unsur dalam PPP dan beragam peristiwa politik lainnya” (hal.51). Kedua, pesantren sendiri tiba pada suatu self-consciousness yang membawa perubahan besar, yaitu kesadaran akan potensi dirinya sendiri dalam mengadakan hubungan dengan dunia luar. Semua yang disebut di atas seolah-olah menjadi persemaian ke arah perubahan besar yang dialami NU pada tahun-tahun ke depan yang menjadi topik utama pembahasan buku ini.

Pergulatan Dua Kubu
Sebagaimana dikatakan di atas, kesan kedesaan, meski benar, sering menafikan upaya intelektual, yang sangat urban, yang berlangsung keras di dalam NU. Buku ini memilih pergumulan itu dengan jitu. Ia mengambil dua kutub paling menentukan dalam perkembangan NU,baik secara organisasi maupun, malah yang paling utama, berani mengambil langkah apa yang disebut buku ini sebagai pola manhajy, yaitu menafsirkan sendiri teks berdasarkan konteks sosial dan politik yang berlangsung di luar konvensi yang sampai saat itu dihormati. Dari beberapa temuan, dikemukakan polarisasi dua kutub pergerakan di kalangan muda NU. Mungkin ini yang paling menarik untuk disimak bukan saja ditinjau dari perkembangan NU, tetapi juga sesuatu yang sangat berguna untuk studi-studi pergerakan di Indonesia pada umumnya.
Namun, sebelum melihat bagaimana interaksi dua kubu itu, perlu dilihat lingkungan sosialpolitik dan ekonomi yang memungkinkan perkembangan ini. Proses yang sangat menentukan adalah perubahan dalam kepemimpinan NU yang sudah mengambil bentuk sejak tahun 1970-an dan menjadi matang pada proses pergantian kepemimpinan tertinggi NU ketika yang menggantikan adalah generasi non-founding father pada 1981. Waktu itu Kiai Ali Ma’sum dipilih menjadi Ketua Rais Aam yang pada dasarnya dimotori oleh kaum lebih muda seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Semua ini melicinkan jalan menuju pilihan “keluar dari gelanggang politik” yang secara resmi diputuskan pada Muktamar Situbondo (hal. 60-63). Dengan berkiprahnya Gus Dur yang membawa
serta kaum muda, dengan jaringan luas yang dimilikinya, terjadi perubahan yang semakin dalam memasuki NU dan berpuncak pada pengambilan keputusan untuk keluar dari politik dan “kembali ke Khittah” yang tidak lain “bringing the society back in” bagi kalangan NU. Semua sebenarnya tidak menjadi soal kalau sekiranya tidak bertabrakan dengan kontradiksi yang diciptakan oleh Orde Baru. Secara teoretis, Orde Baru seharusnya menyetujui paham “kembali ke Kitthah”, untuk keluar dari politik yang seharusnya mempermudah urusan politik Orde Baru. Namun, meninggalkan politik berarti “meninggalkan Orde Baru” yang dengan sendirinya akan diamati seteliti membelah rambut untuk dibagi tujuh.
Keluar dari politik dalam konteks ini adalah “pembangkangan”. Mengembalikan masyarakat atau kembali ke masyarakat artinya resistensi kepada kekuatan negara Orde Baru Suharto yang tengah membina kekuasaan neofasis dengan langkah-langkah pasti sejak tahun 1982 (hal. 67-89). Dengan “kembali ke Khittah” yang berarti mengembalikan masyarakat ke pangkuan NU, dibentuk lembaga-lembaga independen berpandangan kritis, baik dalam maupun luar, sambil tetap resisten terhadap Orde Baru. Dalam konteks inilah terbentuk kutub kutub seperti dikemukakan di bawah ini.
Kutub Satu: LKiS, Yogyakarta
Gerakan pemuda, mahasiswa, dan masyarakat tahun 1980-an memisahkan diri dari berbagai gerakan mahasiswa tahun 1970-an yang praktis mengekor kepada apa yang didikte oleh gerakan mahasiswa Jakarta yang selalu menggemakan slogan “gerakan moral” untuk menandaskan keterpisahannya dari gerakan politik. Gerakan ini, dilihat dari sisi internasional, adalah bertemunya berbagai pemikiran kiri modern yang berembus dari Amerika Latin, pemikiran kiri modern dari Timur Tengah, terutama yang berasal dari Iran dan Mesir, dan revival pemikiran kiri kaum pergerakan Indonesia tahun 1920-an yang menghipnotis mahasiswa. Dari Barat, persisnya Amerika Latin, paham- paham liberation theology begitu menarik mahasiswa dan aktivis bangsa ini. Logika Marxis dari teologi Kristen-Katolik tidak lagi dilihat secara sektarian sebagai milik agama Kristen, tetapi yang dilihat adalah aplikasi politik dari semua asumsi teologis itu bagi suatu pemahaman politik masa kini. Universalisme aplikasi menjadi sesuatu yang jauh lebih penting. Penindasan terjadi karena sumbangan yang tidak kecil dari pemahaman, dan (salah) tafsir biblikal oleh kaum mapan dalam barisan para ahli teologi.
Karena itu alkitab harus mendapatkan tafsiran baru dan pembenaran terhadap penindasan tidak bisa/boleh dianut oleh agama apa pun. Penindasan Orde Baru terhadap masyarakat di sekitar Kedung Ombo pada tahun 1980-an menjadi kekuatan penggalang yang mempersatukan gerakan tanpa memedulikan agama yang di kalangan kaum muda NU dilanjutkan dengan gerakan pembebasan versi sendiri yang diterjemahkan menjadi “teologi pembebasan mazhab serambi mesjid” (hal. 146). Inilah yang menjadi cikal-bakal pembentukan “Lembaga Kajian Islam dan Sosial” yang secara simbolik  disingkat menjadi LkiS. “I”slam yang menjadi “i” kecil “... bukanlah kesalahan melainkan suatu kesengajaan, untuk menunjukkan bahwa islam yang dimaksud bukanlah Islam yang berwajah ideologis dan doktriner melainkan gagasan Islam yang membebaskan” (hal. 146). Islam-nya adalah Islam menurut tafsiran para aktivis itu.
Ketika lembaga itu bergerak dalam berbagai bidang, antara lain penerbitan, perhatian dipusatkan pada penerbitan buku-buku kiri hasil pemikiran kiri yang berasal dari Iran. Kutipan berikut cukup menunjukkan suatu panorama luas dari pemikiran kiri teologis Islam yang dibawa masuk ke dalam terjemahan Indonesia atas prakarsa lembaga ini yang, “... mengorganisir diskusi mengenai pemikiran Islam kontemporer, seperti Hasan Hanafi, Fatima Mernisi, Asghar Ali Engeneer, Nasr Hamid Abu-Zayd, Mohammad Arkoun, dan lainnya” (hal.147).

Kutub Dua:Aliran Liberal Jakarta
Dengan meninggalkan gerakan-gerakan “tengah” yang lain, tinjauan ini langsung mengarah pada suatu gerakan modern dengan sayap  “liberal”. Fundamentalisme Islam lebih menjadi perhatian dan kritiknya: “... munculnya lasykar lasykar Islam, yang dengan menggunakan atribut-atribut Islam justru memprovokasi masyarakat  untuk melakukan tindak kekerasan. Sebagian besar kelompok itu bercirikan kurang toleran terhadap kelompok Islam lainnya atau bermusuhan dengan fenomena sosial yang dianggap tidak sesuai dengan doktrin Islam” (hal. 163). Mereka yang berpandangan ini berkumpul di dalam gerakan bertajuk “Jaringan Islam Liberal.” 
Sebagaimana Marxisme dan teologi pembebasan yang memberi ilham kepada LKiS untuk suatu gerakan pembebasan, pemikiran liberal dengan semangat membela kebebasan yang menjadi hak setiap individu menjadi ciri kelompok ini. Demokrasi dan kebebasan pers, termasuk kapital yang menjadi pendukungnya dibela seperti suatu kebenaran alkitabiyah. Meskipun gerakan yang terhimpun dalam jaringan ini tidak bisa didaku menjadi milik NU, akan tetapi banyak aktivis utamanya memang berlatar belakang NU.
Penutup
Penulis buku ini tidak mengatakan bahwa dua kutub ini bertikai di dalam gerakannya, akan tetapi dasar berpikir yang berbeda masuk ke dalam organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Fakta ini saja sudah cukup untuk melihat gejolak, pergolakan, dan pergerakan yang sungguh masuk ke dalam “jantung tradisi NU”. Pada awal tinjauan itu dikemukakan dua soal besar yang biasanya melekat di tubuh NU, yaitu “kedesaan” dan “konservatisme”. Dengan semua jenis aksi, dan pergolakan pemikiran di dalam Nadlatul Ulama yang disadap dari Barat dan Timur sekaligus, dan dicerna dengan tingkat intensitas begitu tinggi berdasarkan pengalaman sejarah bangsa ini sendiri, pertanyaan besar tak tertahankan: setelah selesai membaca buku ini di mana “kedesaan”? Di mana “konservatisme?”•

http://www.prismajurnal.com/issues.php?id=5c5f3bb2-56c0-11e3-a6cc-429e1b0bc2fa&bid=29ac1eea-56b8-11e3-a6cc-429e1b0bc2fa