Tuesday, November 30, 2010

ASWAJA ala Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama diantaranya adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa menyatukan antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyaraka, kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.

Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam.

Ciri utama aswaja NU adalah sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.

Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik, dengan sikap ini aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari keduanya.

Sumber Ajaran aswaja NU

Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola pemecahan masalahnya, antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’yah (kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan pendiskripsian masalah berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran islam dengan kepentingan terapan hukum positif, maka pendekatan masalahnya berintikan ”tathbiq al-syari’

Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual yang bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).

Metode pengalian atau pengambilan sumber (referensi) dan langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam tradisi keagaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah.

* Madzhab Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni” dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab, untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al Nawawi)
* Madzhab Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, serta ijmak

* Madzhab Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.

Aqidah aswaja

Ketika Rasullah Muhammad SAW masih hidup, setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin langsung dapat diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga sering terjadi perbedaan lalu mengedap dan terjadi permusuhan di antara mereka, awal-awal perbedaan muncul persoalan imamah lalu merembet pada persoalan aqidah, terutama mengenai hukum orang muslim yang berbuat dosa besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin ketika dia mati.

Perdebatan ini akhirnya merembet pada persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke hudutsan dan ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan tersebut makin meruncing dan kian saling menghujat.

Ditengah-tengah arus kuat perbedaan pendapat munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan Maturudiyah yang keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).

Konsep Aqidah Asy’ariyah

Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah, bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.

Asy’ariyah besikap mengambil jalan tengah (tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi Mu’taziah Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu, namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran wahyu berserta langka-langkahnya.

Konsep Aqidah Maturidiyah

Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand, wafatnya sekitar tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan konsep Asy’ariyah, namun pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah bermadzhab pada Imam Syafi’i dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada Imam Hanafi.

Konsep jalan tengah (tawasuth) yang ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya pendapat Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga sebaliknya salah jika kita larut dan tidak terkendali dalam mengunakan akal. Artinya sama pentingnya mengunakan nash dan akaldalam memahami kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.

Dengan munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang Fatalistik dan Qodariyah yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Syariah aswaja an Nahdliyah

Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat menyebarkan ajaran pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang kian dinamis banyak persoalan baru yang dihadapi umat, seringkali hal yang muncul tidak tredapat jawabat secara tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad.

Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.

Kenapa harus empat mazhab

Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;

* Secara kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak diperlukan penjelasan detail.
* Keempat Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
* Para Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga sekarang
* Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.

Tasawuf aswaja ala NU

Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki prinsip, bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-ra,bu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf aswaja.

Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah, tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammmad tidak diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.

Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat mensandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah dapat melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial.

http://www.nu-jatim.org/index.php?option=com_content&view=article&id=47&Itemid=56

http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/07/aswaja-ala-nu.html

Saturday, November 27, 2010

Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik

15/06/2009

Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.

Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah:

a. Prinsip Syura (Musyawarah)

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39:

فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri.

Menurut ayat di atas, syura merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.

b. Al-'Adl (Keadilan)

Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَزِيزاً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.

c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)

Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:

a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara.
d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara.

Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).

d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.

Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah.

Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.

Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan.

Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.

Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita.

KH Said Aqil Siradj
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/07/doktrin-aswaja.html

Thursday, November 18, 2010

Bagaimana Membaca NU?

Kompas, Senin, 03 November 2003

Bagaimana Membaca NU?
Abdurrahman Wahid

SEJAK kemerdekaan, perdebatan masalah kemasyarakatan senantiasa didominasi pertukaran pikiran antara kaum elitis dan kaum populis. Memang ada suara- suara tentang Islam, seperti dikembangkan Bung Karno, tetapi itu semua hanya meramaikan situasi yang tidak menjadi isu utama. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana selanjutnya Indonesia harus dibangun, yang dalam "bahasa agung" disebut "mengisi kemerdekaan".

KALANGAN elitis selalu menggunakan rasio/akal dan argumentasinya senantiasa bernada monopoli kebenaran. Mereka merasa sebagai yang paling tahu, rakyat hanya orang kebanyakan yang tidak mengerti persoalan sebenarnya. Apabila rakyat mengikuti pendapat kaum elitis ini, tentu mereka akan pandai pada "waktunya kelak". Sebaliknya, kaum populis senantiasa mengulangi semangat kebangsaan yang dibawakan para pemimpin, seperti Bung Karno, selalu mempertentangkan pendekatan empiris dengan "perjuangan ideologis".

Tentu saja cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum Muslimin tradisional-seperti warga Nahdlatul Ulama (NU)-menyusun pendapat, pandangan, dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti, baik oleh golongan elitis maupun golongan populis. Demikianlah, dengan alasan keagamaan yang mereka susun sendiri, kaum Muslimin yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 memutuskan kawasan ini tidak memerlukan negara Islam. Keputusan Muktamar NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di negeri ini mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Jadilah negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini, dan kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.

Tanggal 22 Oktober 1945, Pengurus Besar NU (hoofdbestrur NU), yang saat itu berkedudukan di Surabaya, mengeluarkan Resolusi Jihad, untuk mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia adalah kewajiban agama atau disebut jihad, meski NKRI bukan sebuah negara Islam atau lebih tepatnya sebuah negara agama. Di sini tampak kaum Muslimin tradisional dalam dua hal ini mengembangkan jalan pikiran sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan populis. Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di kalangan ilmuwan. Karena itu, mereka dianggap tidak menyumbangkan sesuatu kepada debat publik tentang dasar-dasar negara kita.

DALAM harian Kompas (8/9/2003), seorang sejarawan membantah tulisan penulis yang mengatakan Sekarmadji M Kartosoewirjo adalah asisten/staf ahli Jenderal Besar Soedirman di bidang militer. Dengan keahliannya sebagai politisi, bukankah lebih tepat apabila ia menjadi staf ahli beliau di bidang sosial-politik? Pengamat itu lupa, asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat ayahanda penulis sendiri, KH A Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri berpangkat tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Jenderal Besar Soedirman sendiri juga tidak pernah menjabat pangkat militer apa pun sebelum bala tentara Jepang datang dan menduduki kawasan yang kemudian disebut NKRI. Dari penjelasan itu menjadi nyata bagi kita bahwa layak-layak saja SM Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer. Bila ia lalu menggunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan adalah sesuatu yang lain sama sekali. Sang sejarawan lupa, penelusuran sejarah tidak hanya harus didapat dalam sumber-sumber tertulis, tetapi juga sumber-sumber lisan.

Dari kasus Negara Islam Indonesia (NII) dapat dilihat, di masa lampau-pejabat-pejabat negara-juga ada yang membaca secara salah hal-hal yang ada di luar diri mereka dengan cara berpikir yang lain dari ketentuan dan kesepakatan berdirinya negara kita. Ini disebabkan adanya perbedaan cara memandang persoalan, apalagi yang berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau karena pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam hal ini, yang paling mencolok adalah jalan pikiran NU yang tidak memandang perlu adanya negara Islam. Bila ditinjau dari adanya peristiwa itu sendiri, jelas perbedaan pemahaman itu timbul dari cara berpikir keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama timbul dari sumber-sumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang diproyeksikan terhadap kebutuhan aktual masyarakat. Adapun gerakan-gerakan Islam lainnya langsung mengambil hukum tertulis dalam bentuk awal, yaitu berpegang secara letterlijk (harfiah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya.

Bahkan, di antara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham karena anutan dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan, hampir seluruh ulama NU menggunakan rukyat (penglihatan bulan) untuk menetapkan permulaan Idul Fitri. Akan tetapi, almarhum KH Thuraikhan dari Kudus justru menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama.

Adapun di antara para ahli rukyat sendiri, ada perbedaan paham. Seperti antara almarhum KH M Hasjim Asj’ari, Rais Akbar NU, dan KH M Bisri Sjansuri, Wakil Khatib Aam/Wakil Sekretaris Syuriyah PBNU, yang bersama-sama melakukan rukyat di Bukit Tunggorono, Jombang, namun ternyata yang satu melihat dan yang lain tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul Fitri keesokan harinya, sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi, meski sama-sama mengikuti jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam), dapat mencapai hasil yang saling berbeda. Karena perbedaan pendapat diperkenankan dalam pandangan fikih, yang tidak diperkenankan adalah terpecah belah. Ayat Al Quran jelas dalam hal ini: "Berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan dan jangan terpecah belah" (Wa’tashimu bi Habli Allahi Jami’an wa la Tafarraqu).

NAH, dalam hal-hal bertaraf kebangsaan dan kenegaraan -seperti penetapan orientasi bangsa-jelas kita harus menerima perbedaan pandangan karena semuanya didasarkan argumentasi masing-masing. Karena itu, ketika ada pendirian berbeda antara pihak seperti NU dan kaum Muslimin lainnya, maka kata akhirnya bukan dari pihak yang mengemudikan negara (pemerintah), tetapi hasil pemilihan umum yang menjadi acuan. Kalau ini tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada usulan-usulan yang ditolak atau ditunda oleh partai-partai, para aktivis, para wakil organisasi Islam di satu pihak dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung atau menolak gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus kita ingat setiap kali membahas "kesempitan pandangan" dari beberapa agama besar, seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dan pihak yang tidak pernah melihat pentingnya "keterwakilan rakyat".

Karena Partai Kebangkitan Bangsa-yang memiliki ikatan historis dengan NU-bukanlah sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran formal Islam dalam setiap pengambilan keputusan. Cukup bila lembaga yang menetapkan undang-undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur kelembagaan yang ditopang UU, pakar hukum agama dan segenap pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar hukum agama ini menjadi pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya. Di sinilah diperlukan kearifan dunia hukum nasional, untuk memperhitungkan pendapat yang dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama.

Dengan demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan pandangan kaum Muslimin Suni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam hal-hal yang sifatnya fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya, mengenai keyakinan akan keesaan Tuhan (tauhid).

Hal-hal semacam ini tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh kaum Muslimin sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi keyakinan agama seseorang tentu masih diperlukan telaah lebih jauh dan dapat ditolerir perubahan- perubahannya. Bukankah Al Quran sendiri yang justru menyatakan "dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal".

Dari hal ini dapat diharapkan, di masa depan produk-produk hukum kita akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan kita.

Abdurrahman Wahid Ketua Dewan Syura DPP PKB

Tuesday, November 16, 2010

Karakteristik Ahlus Sunnah wal Jamaah

Oleh : Ust. A. Zainul Hakim,SEI

I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH

ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ; "Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab : "Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para sahabatku.

Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).

Dari pengertian diatas maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA

Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama, yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.

Dilingkunagn ASWAJA sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka, tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.

Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.

III. KERANGKA PENILAIAN ASWAJA

Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan disepakati penyimpangannya.

Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4. Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6 Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.


Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih)

IV. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH

Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan, terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah, mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .

Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman serta memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib, 'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan Abu Tsaur.

Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut masalah Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap munculnya dua sikap yang ekstrim. Pertama adalah kelompok yang terlampau sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith" Kelompok ini memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau memberikan ta'wil atau tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan. Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang menggunakan kemaslahatan dan menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan kelompok ini disebut dengan "kelompok Ifrath"

Dalam berbagai diskusi dan perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan dalil-dalil manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan dengan menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby sesuai dengan anjuran Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu memahaminya, dan tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari dimauqufkan kepada Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah yang terus dikembangkan oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai benturan antara teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang berubah-rubah.

Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan mengikuti Manhaj atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut Imam Al-Qorofi, kaku terhadap teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia tidak akan mampu memahami apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
(Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)

V. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH

Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif, tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya dan lain-lain.
Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI, Sarekat Islam maupun yang lainnya.

Wal hasil salah satu karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi, Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.

Bagaimana pilar-pilar pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tentang Ahli Sunnah Wal Jama'ah? Bisa dilihat pada :
kitab karangan KH. Hasyim Asy'ari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penulis (Ust. A. Zainul Hakim,SEI.)
Sumber : http://www.darussholah.com
http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/08/karakteristik-ahlu-al-sunnah-waal.html

Saturday, November 13, 2010

Aswaja : Dari Mazhab menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis
Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.

Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.

Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.

Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.

Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Mâ ana Alaihi wa Ashâby," jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.

Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.

Aswaja sebagai Mazhab

Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

Aswaja sebagai Manhaj

Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]
Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak.
Sumber : http://nasrudincakep.blogspot.com/2007/09/aswaja-dari-mazhab-menuju-manhaj.html
http://aswaja-nu.blogspot.com/2009/08/aswaja-dari-mazhab-menuju-manhaj.html

Friday, November 12, 2010

Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia

20/10/2008

Judul: Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah
Penulis: Sokhi Huda
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xxviii + 372 halaman
Peresensi: Akhmad Kusairi

Dampak modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui hampir segala dimensi kehidupan sudah dimasuki modernitas, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern. Namun, benarkah demikian? Tumbuh suburnya majelis-majelis pengajian tasawuf mana merupakan bukti bahwa hal itu tidaklah benar. Dengan kata lain, masyarakat merasa terbelenggu kecenderungan materialisme. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat menenteramkan jiwanya serta memulihkan kepercayaan mereka yang nyaris punah karena dorongan kehidupan materialis-konsumtif. Salah satunya adalah tasawuf.

Tasawuf di Indonesia sekarang ini tidak hanya menarik perhatian para peneliti muslim, tetapi juga menarik perhatian masyarakat awam. Di Barat pun terjadi hal serupa. Akhir-akhir ini juga muncul perhatian besar terhadap tasawuf. Hal demikian tampaknya dipicu beberapa faktor, seperti adanya perasaan tidak aman menghadapi masa depan, di samping juga karena adanya kerinduan masyarakat Barat untuk bisa menyelami ajaran-ajaran rohani dari agama-agama di Timur.

Realitas di atas, tidak heran jika banyak pakar meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi tren abad 21 ini. Ramalan ini cukup beralasan karena sejak akhir abad 20 mulai terjadi kebangkitan spiritual di berbagai kawasan. Munculnya gerakan spiritual merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan hal-hal yang bersifat material-profan sehingga menyebabkan manusia mengalami keterasingan jiwa.

Kebangkitan spiritual ini terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur, termasuk Islam. Di Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama. Sedangkan di dunia Islam ditandai dengan banyaknya artikulasi keagamaan, seperti fundamentalisme Islam yang ekstrim dan menakutkan, di samping juga bentuk artikulasi keagamaan esoterik lainnya yang akhir-akhir ini menggejala, seperti gerakan sufisme dan tarekat.

Dalam konteks Indonesia, tasawuf berkembang sangat pesat. Bahkan, disinyalir ia muncul sejak awal datangnya Islam ke negeri ini. Dalam buku Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, misalnya, M. Solihin menulis bahwa Islam datang pertama kali ke wilayah Aceh.

Karena itu, Aceh sekaligus berperan penting bagi penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk juga ke semenanjung Melayu. Tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh tersebut memiliki corak falsafi. Tasawuf falsafi ini begitu kuat tersebar dan dianut sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utamanya adalah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrarri.

Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.

Munculnya dua tokoh tasawuf dari Aceh yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Shamad al-Palimbani, dan Walisongo. Munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf tipikal al-Ghazali. Bahkan, tasawuf ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara.

Pada sisi lain, patut diperhatikan juga bahwa ada dua tokoh lain yang ikut memperkaya khazanah tasawuf di Indonesia, yakni Ronggowarsito yang bernuansa "Kejawen" dan Haji Hasan Musthafa yang bernuansa "Pasundan". Kedua tokoh ini mempunyai pemahaman spiritual yang berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memperlihatkan adanya dialektika antara pemikiran tasawuf secara umum dengan budaya lokal setempat.

Berdasarkan data-data yang ada, para sufi Nusantara cukup memahami ajaran-ajaran wihdatul wujud milik Ibn Arabi dan ajaran insan kamil milik al-Jili. Teori-teori itu masuk ke Nusantara melalui dua tokoh Aceh, yakni Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani yang ditopang pemikiran Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri (India). Konsep wahdah al-wujud karya dan insan kamil kemudian berpadu dengan Tuhjah milik al-Burhanpuri sehingga melahirkan teori ”martabat tujuh”. Teori ini terlihat mewarnai wacana pemikiran sufi Indonesia.

Teori martabat tujuh ini berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli, dan ia menjadi fenomena yang banyak dijumpai di Indonesia. Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) 'alam arwah, (5) 'alam mitsal, (6) 'alam ajsam, dan (7) 'alam insan.

Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami Walisongo di pulau Jawa, yang kental dengan nuansa Sunni. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut masyarakat Islam Indonesia hingga sekarang.

Di sisi lain, dalam realitas kultural yang ada, di Indonesia juga muncul dua aliran tasawuf/tarekat yang cukup populer, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Kedua aliran ini ternyata berkembang cukup pesat di tengah masyarakat dan memiliki sistem organisasi yang cukup bagus dan solid. Menurut buku Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah ini kedua aliran ini merupakan aliran tasawuf produk Indonesia asli karena mempresentasikan formula amalan dan ajaran yang khas Indonesia dibanding dengan aliran-aliran tasawuf/tarekat lainnya.

Buku ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini, Sokhi Huda sebagai penulis, mencoba melacak kelahiran shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf serta dinamika yang terjadi di dalamnya, respons para ulama terhadapnya, juga sistem ajaran sekaligus pengorganisasiannya. Tak pelak, tema kajian buku ini sangat menarik untuk dicermati dan didiskusikan, terutama di tengah masyarakat yang sering mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar.

Sebagai sebuah penelitian, tentunya berhasil dan tidaknya buku ini ditentukan respons peneliti-peneliti lain sehingga tertarik untuk melakukan kajian terhadap tema serupa. Tasawuf kultural untuk kalangan Indonesia sepertinya sesuatu yang harus ada, sebab selama ini kelompok-kelompok tasawuf didominasi kalangan Sunni yang notabene sangat jauh dari tradisi ke-lokalan Indonesia. Karena itu, sebagai kaum muslim Indonesia sudah sepatutnya berterima kasih terhadap penulis buku ini, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu menghadirkan buku ini.

Peresensi adalah Peneliti pada The Alfalah Institut Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=14616

Thursday, November 11, 2010

Menakar ”Syahwat” Politik Santri

22/06/2009

Judul Buku : Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), 2009
Tebal : 304 halaman
Harga : Rp. 55.000,-
Peresensi : Humaidiy AS*

Islam dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati terlebih menjelang pil[pres Juli 2009 nanti. Dari perspektif politik (upaya mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan), suara umat Islam yang nota bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elit politik Indonesia, Islam ibarat "gadis cantik" yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai politik.

Abdul Munir Mulkhan melalui buku yang berjudul Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat, berusaha menelusuri sejauh mana manuver partai-partai politik berbasis Islam (diistilahkan oleh penulis sebagai politik santri) berhasil bertahan dalam lingkaran pertarungan politik praktis dengan berbagai ideologi yang di bawanya, lebih khusus mencermati kiprah perjalanan politik oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ”anak kandung” dari rahim gerakan Islam-tradisional; Nahdlatul Ulama (NU) dan gerakakan Islam-modernis; Muhammadiyah, yang tak lain adalah dua ormas terbesar di negeri ini.

Keterlibatan politik santri terlihat jelas dari perjalanan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti dirumuskan dalam khittah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.

Pada era 1950-an, terjadi pertentangan ideologis di antara partai politik yang ada. Konflik itu dipicu oleh perdebatan apa seharusnya yang pantas menjadi dasar negara setelah penjajahan. Perdebatan itu meliputi tiga macam yang harus dijadikan dasar negara, Pancasila, Islam, dan sosial ekonomi.

Partai-partai Islam menghendaki Islam dijadikan dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok partai nasionalis menolaknya. Rancangan pembukaan undang-undang dasar yang mengatakan, sila pertama ketuhanan dengan menjalankan syariah bagi pemeluknya, (Piagam Jakarta) ditentang oleh kelompok non-Islam. Melalui perbincangan yang sangat melelahkan, akhirnya umat Islam menerima keberatan kelompok non-Islam dan nasionalis dengan bersedia menghapus tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta. Sampai runtuhnya rezim Orde Baru, dasar negara tidak pernah dipertanyakan. Baru pada era Reformasi, dasar negara mulai dipertanyakan kembali. Muncullah sebagian kelompok Islam yang menghendaki Islam dijadikan dasar resmi kenegaraan dan memberlakukan syariat Islam sebagai hukum resmi pemerintah.

Asumsi yang digunakan, menggunakan Islam sebagai dasar negara adalah salah satu cara efektif untuk mengatasi krisis multidimensi bangsa Indonesia. Perbincangan Islam sebagai ideologi negara, kembali terjadi di antara partai politik Islam. PAN dan PKB secara tegas menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Alasannya, Indonesia terdiri dari penduduk yang pluralis dalam hal suku, etnis, agama, dan budaya. Sementara itu, PPP, PBB dan Partai Keadilan, setuju Islam menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pihak kemudian memandang bahwa keterlibatan gerakan politik gerakan Islam dalam dunia Islam bisa menghambat pertumbuhan demokrasi. (hal. 45).

Menurut penulis, perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan Islam dan kaum santri dalam dunia politik diakibatkan bahwa kaum santri meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai realisasi kebenaran ajaran agama yang sebenarnya profan dan sangat ptragmatis. Cara pandang ini menyebabkan aktivitas politik santri mengalami kesulitan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih (hal. 233).

Walaupun lebih dari 87% penduduk Indonesia memeluk Islam, tidak semua pemeluk Islam kemudian mendukung partai Islam. Ironisnya, perolehan suara partai Islam dalam seluruh pemilu yang dilangsungkan tidak pernah mencapai 50% dari jumlah pemeluk Islam. Suara tertinggi dicapai dalam pemilu pertama tahun 1955 (43%) dan cenderung terus mengalami penurunan.

Kenyataan ini akan terus bergulir berkelindan sepanjang identitas ideologi politik partai islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung elitis, sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai flatform (bentuk kebijakan) oleh partai-partai berbasis nasionalis atau sekuler. Simpati publik pun mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya menawarkan flatform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.

Lebih jauh, jika kita perhatikan, politik Islam Indonesia memang banyak yang bercorak formalistik dan jauh dari substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang berbuntut perpecahan internal banyak terjadi di tubuh partai Islam atau berbasis umat Islam. Perpecahan dan konflik hampir merata terjadi di tubuh PPP, PKB, PAN dan PBB adalah fakta yang tak terbantahkan. Hanya jika islam ditawarkan dengan bahasa rakyat, peluang partai santri memperoleh dukungan mayoritas pemilih muslim dan rakyat secara keseluruhan akan terbuka.

Membangun sinergi kesadaran

Masa depan suatu partai, apakah ia dibangun dari sebuah keyakina teologis, tradisi lokal ataupun ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivitas partai tersebut membangun komunikasi dengan konstituen. Kegagalan perjuangan politik Islam terjadi terutama tidak adanya kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Kenyataan demikian dapat dilihat setidaknya dari dua hal, pertama, anggapan bahwa doktrin yang berupa wahyu tampak hanya bersifat konseptual dan universal tanpa kesadaran perlunya tafsir ulang. Sebut saja misalnya penolakan-penolakan mereka terhadapa de-ide Barat dan kengototan untuk menerapkan syariat islam secara formal.

Kedua, doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu utama dalam aksi politik. Artinya, meskipun partai Islam menekankan pada egaliteranisme, keadilan dan kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan sosial lebih ditonjolkan oleh aktivis Islam politik. Hal ini tampak pada pragmatisme dan opurtonisme yang banyak menjalar pada politisi Islam.

Mulkhan dalam penelusuran bab demi bab dalam buku setebal 304 halaman ini menekankan, bahwa jika ingin merebut simpati masyarakat muslim dan memenangi pemilu, parpol Islam harus melepas keengganan untuk membangun sumber daya manusia (generasi muda santri), terutama melalui pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien. Selama ini, kekuatan politik santri lebih banyak dikerahkan pada aspek ideologis simbolis dan kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat saja.

Politik umat Islam ke depan –meminjam istilah Kuntowijoyo— haruslah melakukan objektivitas terhadap praktik perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang bergerak dilevel partai dan ormas keislaman seyogyanya memperjuangkan aspek-aspek substansi islam, memperbaikai pendidikan dan pemberantasan KKN serta bersikap toleran terhadap umat agama lain demi pelakukan pembebasan kemanusiaan. Di luar itu semua, bangsa Indoenesia suadah selayaknya tidak lagi terjebak dalam simbol-simbol politik semacam sosialis, agamis ataupun nasionalis.

Yang dibutuhkan bangsa sekarang ini adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas tindakan dan kebijakan politik demi tumbuhnya iklim demokratisasi yang sehat. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum, moral dan budaya Indoensia sudah saatnya diselesaikan dengan cara membangun sinergi kesadaran bersama oleh setiap elemen bangsa ini tanpa terjebak pada simbol golongan dan ideologi. Selamat membaca!


*Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18092

Wednesday, November 10, 2010

Membaca Misteri Gus Mus

25/06/2009

Judul buku : Gus Mus; Satu Rumah, Seribu Pintu
Penulis : Taufiq Ismail dkk
Penerbit : LKiS dan Fak. Adab UIN Yogyakarta
Cetakan : 1, Mei 2009
Tebal : 290 halaman
Peresendi: Muhammadun AS*


Baru saja KH Musthofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, mendapatkan gelar kehormatan berupa Doktor Honoris Causa bidang Peradaban Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 30 Mei 2009. Suasana begitu riuh begitu Gus Mus naik podium menyampaikan pidatonya di hadapan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga. Tidak hanya kaum akademikus yang datang, tetapi juga para seniman, budayawan, politisi, dan tentunya para santrinya dan kaum santri yang kagum karya dan pemikiran kiai-penyair ini.

Suasana riuh semakin menggema tatkala malam harinya Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Amin Abdullah, yang dikenal serius dan teoritikus, menjadi sosok periang, penuh canda tawa, dan humoris, terlebih ketika ikut serta membaca puisi bersama Gus Mus dan Emha Cak Nun. Pastilah ini suasana yang misterius bagi kaum akademikus. Karena setiap kali acara wisuda pastilah menghadirkan wajah yang resmi. Kehadiran Gus Mus menjadikan kaum akademikus menjadi santai dan membaur satu dengan yang lain.

Dunia Gus Mus memang dunia misterius. Inilah yang terekam dari berbagai kisah dan tanggapan para tokoh dalam buku bertajuk “Gus Mus; Satu Rumah, Seribu Pintu”. Buku yang memang dipersiapkan acara penganugrahan Dr. HC memang banyak mengupas sisi misterius dalam diri Gus Rembang ini. Setiap kesan yang meluncur dari pena para kawan karibnya selalu menghadirkan misteri baru yang belum terungkap. Satu persatu dari penulis membawa misteri dari Gus Mus.

Mengawali sisi misterius Gus Mus adalah M Imam Aziz yang menjadi pengantar buku ini. Mas Imam, pangggilan akrabnya, secara blak-blakan menjuluki Gus Mus sebagai sosok misterius. Sejak awal pembuka tulisan sampai merampungkan tulisannya, bagi Mas Imam, Gus Mus adalah misteri yang yang bergelayut dalam dirinya sampai sekarang. Khususnya melihat kepribadiannya yang kompleks dan sepak terjangnya dalam pergolakan di tubuh Nahdlatul Ulama’ (NU), Gus Mus dinilai sebagai sosok misterius. Gerak-geriknya kadang blak-blakan, frantal, tanpa tedeng, tetapi kadang juga “diam”, membisu, sukar ditafsirkan.

Dalam dunia tulis, Slamet Efendy Yusuf melihat sosok Gus Mus sebagaia misteri juga. Waktu itu, Slamet masih aktif di Majalah Arena IAIN Sunan Kalijaga. Ada yang mengirim cerpen, pengirimnya adalah M. Ustov Abisri. Dengan nama samaran (yang plesetan) ini, Gus Mus ingin membangun misteri dalam diri karyanya.

Misteriusitas Gus Mus juga terbaca dari tulisan-tulisan Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Ahmad Thohari, Syu’bah Asa, Jamal D Rahman, dan sebagainya. Dunia Gus Mus di pesantren yang dikenal khusyu’ dan tawadu’ sangatlah berbeda dengan dunia Gus Mus di luar pesantren, dimana beliau bisa bergerak dengan eklektik dan fleksibel dalam berbagai jala kehidupan.

Cak Nun menjuluki Gus Mus bisa menjadi air zamzam di tengah comberan. Yang dimaksud Cak Nun adalah Gus Mus mampu menjadi mata air yang sejuk dan menenangkan ketika dia harus aktif dalam gelanggang hidup yang pongah dan jengah. Air zamzam Gus Mus selalu hadir dalam setiap sepak terjang hidupnya. Walaupun kadang misterius yang dilakukan, tetap saja publik menerimanya sebagai mata air yang menentramkan, karena Gus Mus mampu menjadi ruh penyejuk yang ditunggu-tunggu pengagumnya.

Menurut Syu’bah Asa, Gus Mus bisa menerapkan pergaulan keislaman yang stel kendo. Islam yang ditampilkan selalu santai, sejuk, nyaman, dan menetramkan. Bervisi inklusif, toleran, dan harmonis. Gus Mus tidak menghendaki Islam yang stel kenceng. Islam yang dipraktekkan dengan amarah, otoriter, dan penuh intimidasi. Karena menekuni gaya ber-Islam yang stel kendo, Gus Mus selalu bisa diterima semua pihak. Termasuk dalam berbagai konflik di lingkungan NU dan lingkungan kiai, Gus Mus selalu ditempatkan sebagai penengah yang bijak.

Sementara di mata kaum akademikus, Gus Mus dinilai sukses mencipta karya tulisan dan karya kiprah di masyarakat yang sejuk, harmonis, dan toleran. Karya karya Gus Mus begitu dekat dengan spiritualitas, khususnya dekat dengan spiritualitas pesantren. Bukan sekedar spiritualis, tetapi Gus Mus juga menghadirkan kritik sosial yang berani dan menggugat. Inilah analisis yang disajikan Abdul Wachid BS, Aning Ayu Kusumawati, dan Maman S Mahayana.

Terlepas dari itu semua, bagi keluarga dan santrinya, Gus Mus adalah sosok kepala rumah tangga dan kiai yang sejuk dan demokratis. Putra-putrinya diberikan kebebasan menentukan pilihan hidup yang akan dijalani. Sekolah tidak harus di pesantren, boleh di sekolah umum. Terbukti anak pertamanya, Ienes Tsuroyya memilih sekolah SMA di Semarang, dan Gus Mus mengizinkan. Dalam memilih jodoh pun, Gus Mus mengembalikan kepada putra-putrinya.

Sementara sebagai kiai, Gus Mus sangat demokratis, tetapi sangat teguh memegang prinsip dan nilai kepesantrenan. Yahya C Tsaquf mengkisahkan bahwa ketika mau meminta bantuan kepada pejabat negara dan meminta tanda tangan sang paman, Gus Mus marah-marah. Gus Mus tidak ingin membangun pesantren dari dana-dana siluman yang tak jelas jalurnya. Sang ayah (KH Bisri Musthofa) dan sang kakak (KH Kholil Bisri) tidak mengajarkan demikian.

Segala pernak-pernik hidup yang melekat dalam diri Gus Mus, memang terus menjelma misteri. Karena ibarat rumah, tulis Hamdy Salad, Gus Mus memiliki seribu pintu. Setiap orang bisa masuk dan keluar dari mana saja yang disuka.

* Peresensi adalah pengagum Gus Mus, alumnus PP Sunan Ampel Jombang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18147

Tuesday, November 9, 2010

Pribumisasi Islam Ala Gus Dur

Pribumisasi Islam Ala Gus Dur

Oleh M. Husnaini*

Judul Buku: Islamku, Islam Anda dan Islam Kita
Agama Masyarakat Negara Demokrasi
Penulis: KH. Abdurrahman Wahid
Penerbit: The Wahid Institute
Tebal: xxxvi + 412 halaman
Cetakan: I, 2006

Persoalan yang paling rumit di dalam keberagamaan adalah masalah penafisiran. Kesalahan pada ranah ini akan berakibat fatal karena dapat mendestruksi keseluruhan nilai yang terkandung di dalam agama yang luhur ini. Terorisme dan bunuh diri di antaranya dilatari oleh kesalahan dalam menafsirkan agama tersebut, di samping sebab-sebab lain, seperti globalisasi, kepentingan politik dan ekonomi. Di sinilah, membedah pemikiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) menjadi sangat urgen untuk mengantarkan kita kepada pemahaman agama (baca: Islam) secara komprehensif.

“Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita” adalah sebuah potret pemikiran Gus Dur tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi.

Sebagai seorang cendekiawan, Gus Dur merupakan tokoh Muslim yang penuh talenta. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.

Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks keindonesiaan.

Dalam upaya ini, menurut Gus Dur, penafsiran terhadap Islam tidak murni pemahaman atas teks-teks suci belaka, tetapi juga pemahaman terhadap konteks lokalitas keberagaman dan kekinian. Dalam aras ini, varian-varian kebudayaan harus didukung oleh pendekatan tekstual sebagaimana terdapat dalam dasar-dasar fikih dan kaidah-kaidah fikih. Dengan demikian, Islam harus ditafsir sebagai proses partisispatif dan dinamis.

Pendekatan tersebut merupakan salah satu karakter terpenting dari mayoritas Muslim, khususnya kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam Muktamar NU tahun 1935, para ulama telah melahirkan sebuah pandangan keagamaan yang merupakan cikal bakal bagi keindonesiaan, yaitu wajib hukumnya mempertahankan Indonesia yang—pada saat itu—dipimpin oleh orang-orang non-Muslim (Hindia Belanda). Salah satu alasannya, agar ajaran Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga negara secara bebas. Selain itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, terakhir di Surabaya, juga mengeluarkan maklumat bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersifat final.

Dalam kaitan ini, Gus Dur sampai pada kesimpulan bahwa wacana negara Islam dan wacana politik Islam yang sejenis merupakan pemahaman yang kurang tepat (hal. 81-84), karena pada dasarnya, Islam hadir bukan untuk membentuk sebuah institusi negara, melainkan untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai universal. Atas dasar itulah, NU memandang bahwa solidaritas kemanusiaan menempati urutan teratas baru disusul kemudian solidaritas kebangsaan dan ke-Islam-an.

Dalam buku ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keber-Islam-an yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keber-Islam-an yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan. Sebagai sebuah pengalaman, pandangan ke-Islam-an seseorang tidak boleh dipaksakan (harus disamakan) kepada orang lain. Jika itu terjadi, maka akan mengakibatkan munculnya dislokasi pada orang lain yang pada akhirnya dapat “membunuh” keindahan dari pandangannya sendiri.

Kedua, Islam Anda, yaitu keber-Islam-an yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan NU bisa jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Namun perbedaan tersebut jangan sampai dijadikan alasan untuk saling menebar kekerasan di antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Dengan kata lain, keyakinan kelompok tertentu harus dihormati dan dihargai dengan sepenuh hati.

Ketiga, Islam Kita, yaitu keber-Islam-an yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.

Pada umumnya, diskursus ke-Islam-an hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan pentingnya merajut antara keber-Islam-an yang berbasis pada pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan keadilan sosial.

Nah, buku ini dapat mengantarkan kita kepada pemahaman Islam yang berbasis perdamaian, apalagi di tengah ketegangan yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam saat ini. Konflik intra-agama dan antar-agama, serta konflik yang berbasis kepentingan politik. Karena itu, harapan untuk mengakhiri kekerasan harus senantiasa digaungkan setiap saat. Sebagaimana Gus Dur telah (selalu) “menyenandungkan” keberagamaan yang penuh kedamaian, bukan kekerasan.

*) Penulis adalah Peminat buku, Alumnus Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Kontributor Jaringan Islam Kultural.

http://aliakbar212.blogspot.com/2009/07/pribumisasi-islam-ala-gus-dur.html

Monday, November 8, 2010

NU dalam Imajinasi Politik Seorang Intelijen

21/01/2009

Judul Buku : Changes to the Heart of Tradition; The Nahdlatul Ulama I Observed
Penulis : As'ad Said Ali
Pengantar : KH Sahal Mahfudz
Tebal : 217 indeks
Tahun : 2008
Peresensi : M. Hendarto


Buku "Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati" karya As'ad Said Ali sukses dalam edisi bahasa Indonesia, yang ditandai dengan didiskusikannya buku ini di berbagai tempat dan sempat cetak ulang beberapa kali. Buku ini berhasil menghentak pembaca, terutama ketika menunjukkan adanya pengaruh yang sedemikian besar pemikiran neo-liberal dalam NU. Pengaruh itu masuk melalui berbagai funding agency yang beroperasi melalui LSM yang ada dalam NU.

Terbitnya buku ini tidak urung melahirkan friksi dalam NU dengan pilahan yang semakin jelas antara kelompok yang liberal dengan kelompok yang non liberal. Dengan pemilahan itu seolah orang NU harus menegaskan dirinya sebagai pengikut liberal atau bukan. Di sisi lain buku itu juga mengakibatkan terjadinya rekonsolidasi pemikiran NU dan kembali ke jalan tengah.

Lalu dengan terbitnya edisi bahasa Inggris yang cukup lancar dan berbagai istilah yang khas NU ini tentu akan melahirkan gejolak atau setidaknya melahirkan sensasi tersendiri bagi masyarakat dunia. Sebab buku ini langsung atau tidak langsung sedang menelanjangi gerakan internasional neoliberal yang menyebar melalui gelombang globalisme. Berbagai funding agency internasional yang ada di Indonesia seprti Ford Foundation, The Asia Foundation, Frederich Nauman Stiftung, Swiss Development Cooperation dan lain sebagainya adalah penyebar liberalisme, sementara orang cukup mafhum berbagai lembaga intelijen internasional cukup aktif menggerakkan lembaga dana tersebut. Tidak hanya dalam suplai dana tetapi juga dalam menentukan agenda pemikiran dan gerakan sosial lembaga atau LSM yang dibantu.

Maka tidak aneh kalau sementara orang melihat terbitnya buku ini sebagai sebuah bentuk operasi kontra inletijen. Memang ini tidak lazim seorang Intelijen menulis secara terbuka ketika sedang menjabat yakni sebagai seorang Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN). Posisi yang cukup sentral, padahal biasanya seorang inelijen menulis setelah dia pensiun, sehingga apa yang disampaikan tidak mengganggu apa yang sedang dimainkan. Apakah ini bukan kesemberonoan yang penuh risiko, baik bagi penulisnya sendiri maupun bagi lembaga yang ditulis? Memang secara tersirat, buku ini ditulis untuk menyelamatkan NU sebagai organisasi Islam terbesar tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Ini berarti menyelamatkan Indonesia dan menyelamatkan dunia, dari cengkeraman terorisme di satu sisi dan kapitalisme global di sisi lain.

Buku ini memang menawarkan berbagai sisi yang menarik untuk dikaji dan digali, mulai dari tema yang disuguhkan hingga posisi penulisnya sendiri. Di satu sisi ia mengaku sebagai warga NU bahkan dari lingkaran paling dalam dari pesantren bahkan dari keluarga inti kiai, sehingga bisa dipahami kalu orang ini begitu mudah menggali tradisi NU dan pesantren yang begitu unik dan rumit itu. Suatu langkah yang tidak mudah dilakukan oleh seorang sarjana sekalipun, tetapi dilakukan oleh As'ad dengan cukup teliti. Karena memang dia berasal dari komunitas itu sendiri, sehingga tidak perlu memulai dari dasar karena dia cukup mengenal dan menguasai tradisi keilmuan di lingkungannya.

Selama ini As'ad dikenal sebagai intelijen yang ahli dalam politik Timur tengah, karena selama belasan tahun berada di akwasan itu, oleh karena itu keahliannya dalam menelusuri jaringan terorisme yang berkembang di wilayah itu diakui cukup handal. Karena itu sangat aneh dia tidak menulis tentang kaitan gerakan Islam di Indonesia dengan jaringan Islam Timur tengah justeru dia melacak akar-akar Barat dalam jarngan pemikiran NU. Ini sebuah penyelidikan yang tidak cukup lazim, tetapi dengan bukti-bukti yang begitu kuat dan valid sehingga orang percaya bahwa ini sebuah kenyataan, bukan fiksi atau imajinasi.

Langkah zigzag yang dilakukan As'ad ini tentu menyalahi pakem seorang intelijen, memang nampaknya ia tidak lagi berjalan normative, melankan lebih dibimbing oleh imajinasinya, sehingga langkahnya tidak lagi normatif monoton, tetapi berusaha melakukan berbagai inovasi. Selama masa akhir Orde Baru terutama sejak Mutoyib menjadi kabakin, peran badan intelijen Negara seolah dipinggirkan, dan setelah itu memang Indonesia tidak memiliki intelijen yang berwibawa seperti sebelumnya. Langkahnya menjadi monoton, sehingga dinilai sering ketinggalan bahkan sering kecolongan.

Munculnya As'ad ini agak lain, langkahnya tidak lagi monoton tetapi penuh imajinasi, sehingga melihat wilayah permainan menjadi sedemikian luas, sehingga banyak hal bisa dimainkan, tetapi masih berpijak pada demokrasi atau HAM yang dicanangkan selam masa reformasi ini. Ini problem yang sulit bagi gerakan seorang intelijen, ketika informasi serba terbuka dan masyarakat menuntut keterbukaan tanpa batas, sehingga kerahasiaan negara pun mau ditiadakan. Dalam situasi begini intelejen kalaupun diperlukan perannya akan sangat sulit mengembangkan permaianan, kecuali intelijen yang memiliki imajinasi, yaitu imajinasi politik yang tinggi, sehingga mampu membuka perpektif-perspektif baru dalam menjalankan tugasnya.

Sejak awal intelijen Indonesai memang didominasi kelompok militer, sejak dari perintisnya Kol. Zulkifli Lubis, Sutopo Juwono, Yoga Sugama hingga sekarang ini, maka tampilnya As'ad sebagai seorang intelejen dari kalangan sipil dalam tradisi intelijen di Indonesia ini sebuah kelainan. Selama beberapa tahun ia menjadi Wakil ketua, walaupun beberapa kali ketuanya ganti, ia masih tetap pada posisinya, dan tidak bisa naik, karena stausnya sebagai seorang intelejen sipil. Walaupun memiliki prestasi dan cukup disegani di dalam kalangan intelijen internasional, tetapi Kepala Intelijen dari kalangan sipil belum ada pressedennya di Indonesia.

Kalau tahun 1950-an di masa demokrasi parlementer beberapa tokoh sipil seperti Amir Sjarifuddin dan Sultan hamengkubuwono bisa menjadi menteri pertahanan, Sehingga ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden masih bisa mengangkat orang sipil seperti Juwono Sudarsono, atau Mahfud MD sebagai menteri pertahanan. Mengikiuti keberanian Gus Dur mengangkat Panglima TNI dari luar angkatan darat, yaitu dara Angkatan Laut Laksamana Widodo. Tradisi yang pengangkatan Menhan dari sipil yang dirintis Gus Dur dengan penuh keberanian itu dilanjutkan oleh Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono. Kelihatannya untuk menampilkan intelejin Sipil menjadi Kepala BIN memang dibutuhkan keberanian politik untuk mendobrak tradisi intelijen Indonesia, yang belum ada presedennya untuk menciptakan tradisi baru intelejen sipil seperti di negara maju lainnya.

NU adalah organisasi sosial keagamaan yang bersifat moderat dan toleran, tidak hanya toleran pada agama, lain tetapi juga toleran terhadap perbedaan pendapat. Sikap toleran ini memang telah tertanam secara luas dalam sistem pendidikan pesantren yang menghargai perbedaan pendapat. Kalau umumnya ormas Islam memiliki satu mazhab. Sementara NU merupakan satu satunya organisasi yang menyatakan memegang salah satu dari mazhab empat. Padahal masing-masing mazhab itu saling berbeda, apalagi di tangan pengikutnya perbedaan itu sedemikian tajam. Tetapi semuanya diakomodir oleh NU. Tidak hanya itu tarekat yang jumlahnya ratusan yang saling bertentangan, bahkan tidak jarang saling menyesatkan itu ditampung oleh NU setelah diberi status muktabaroh. Tampilnya NU dengan demikian mampu merukunkan, bukan membungkam tetapi mewadahi terjadinya berbagai perbedaan pendapat.

Dengan spectrum aliran dan pemikiran yang demikian beragam itu, maka yang terjadi adalah dinamika pemikiran, ketika masing masing kelompok berusaha meletakkan pemaduan ataupun pemilahan pemikiran. Seringkali orang melihat ini sebagai sebuah ketegangan atau perpecahan padahal merupakan sebuah dinamika dalam memberikan hujjah (argumen) dan bayyinah (klarifikasi). Demikian menurut KH Idham Cholid saat para pengemat melihat dinamika NU sebagai perpecahan. Dinamika pemikiran inilah yang menarik perhatian para pengamat sehingga banyak melakukan kajian pada NU.

Walaupun NU banyak dikaji, tetapi pada umumnya kajian dilakukan oleh para ilmuwan, tetapi baru kali ini NU dikaji oleh As'ad Ali Said seorang intelijen dari Badan Intelijen Negara (BIN). Dan anehnya yang dikaji bukan gerakan sosial atau politiknya tetapi justeru gerakan pemikirannya. Tidak mudah mengkaji gerakan pemikiran dalam NU, sebab NU memiliki tradisi keilmuan tersendiri yang tidak mudah dimengerti kelompok lain. Karena itu tidak ada sarjana yang mengkaji gerakan pemikiran ini karena tidak mampu menerobos. Tidak hanya kesulitan menghadapi bahasa terutama bahasa Arab klasik, atau melacak referensinya yang sudah sedemikian langka, tetapi penulis juga akan kesulitan dalam memahami berbagai tradisi yang melingkupinya, serta berbagai terminology yang khas, serta metode yang khas pula.

Buku ini terdiri dari tujuh bab, yang menguraikan masalah dasar-dasar tradisi keilmuan NU atau pesantren, kemudian membicarakan masalah reformasi pemikiran yang terjadi di NU, serta membuat pemetaan gerakan pemikiran yang berkembang di NU. Yang lebih menarik satu bab khusus dalam buku ini membicarakan perkembangan neoliberalisme di dunia. Termasuk pengaruhnya di kalangan LSM di Indonesia tidak terkecuali LSM yang berada dalam NU, sehingga NU menjadi agen neoliberal, sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku ini. Bahkan berbagai lembaga dana internasional yang mengucurkan dananya pada organisasi dan LSM di lingkungan NU seperti, The Asia Foundation, Ford Foundation (AS), AIDAB (Australia), Cordaid (Belanda) beserta seluruh lembaga NU yang menrima bantuannya (hal. 141-149). Padahal lebih luas dari itu misalnya lembaga yang juga masuk seperti USAID, Soros Foundation, Frederich Nauman Stiftung, AUSAID, Oxfam, Japan Foundatioan dan sebagainya. Ini dibuktikan dengan masuknya berbagai aliran dana dari kelompok neoliberal ke dalam lembaga-lembaga yang ada di NU masuk pula berbagai agenda neoliberal. Sebenarnya hal yang sama juga terjadi di organisasi Islam yang lain seperti Muhammadiyah dan lain sebagainya. Buku ini sengaja diberi pengantar oleh pimpinan tertinggi NU (Rais Aam) KH Sahal Mahfudz, seolah memberi legitimasi dan kekuatan moral bagi peredaran buku ini, sehingga layak dibaca, layak dipercaya di kalangan NU dan kaum santri.

Perkembangan NU yang dinamis ini menjadikan NU sebagai organisasi yang paling depan dalam pengembangan pemikiran, karena selain menguasai khazanah keilmuan klasik yang menjadi sumber keilmuan Islam, yang hal ini tidak lagi cukup dikuasai oleh komunitas Islam yang lain. Maka kalangan NU juga cukup menguasasi tradisi keilmuan Barat, baik filsafat ilmu sosial dan humaniora. Ini yang merupakan amunisi baru bagi gerakan NU. Sebenarnya tradisi ini juga pernah dikembangkan dalam gerakan NU awal, Kiai Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri, Muhammad Ilyas, sangat menguasasi bahasa-bahasa Barat dan menguasai filsafat barat terutama teori politiknya. Dan yang khas lagi mereka sangat memahami musik klasik Barat.

Kalau kalangan NU muda sekarang ini mengembangkan pemikiran yang dinamis dan terbuka, itu sebenarnya telah ada presedennya sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu, sejak Wahid Hasyim itu, dan terus berkembang pada generasi selanjutnya seperti Subchan ZE, Mahbub Djunaidi, Cholid Mawardi hingga Abdurrahman Wahid. Di era 1980 hingga 1990-an diaspopra pemikiran dan kader NU telah sedemikian luas, sehingga cukup mewarnai pemikiran di negeri ini. Semua perkembangan ini cukup dijelaskan dalam buku ini, sehingga orang tidak melihat perkembangan pemikiran NU dan gerakan sosialnya itu sebagai suatu yang ahistoris. Sebaliknya telah melekat dalam sejarah pertumbuhan NU itu sendiri.

Pertualangan pemikiran NU baik ke Timur tengah maupun ke barat, tidak menjadikan komunitas ini menjadi kearab-araban atau kebarat-baratan, tetapi semakin mengukuhkan keindonesiaan mereka dan kerakyatan mereka. Dengan demikian maka bisa dimengerti kalau NU menjadi organisasi yang sangat Nasionalis. Paham kebangsaan ini bukan bertolak dari pengalaman Barat, tetapi lahir dari rasa kecintaan dan apresiasinya terhadap nilai-nilai budaya lokal, sehingga cara beragamanya, cara berpolitiknya penuh dengan warna lokal. Pertahanan pada orisinalitas dan lokalitas itu menjadikan NU sering dituduh konservatif bahkan tradisional, tetapi sejarah membuktikan ketika organisasi lain yang mengkalim diri modern, yang sama-sama lahir semasa zaman kebangkitan nasional di tahun 1920-an, hanya NU yang tetap berkembang dan semakin besar. Sementara organisasi seusia lainnya tidak sedikit yang sudah hilang dari peredaran sejarah. Ini potensi besar yang diabakan banyak orang.

Bagi sistem liberal apalagi sistem global sikap NU itu menjadi ancaman, atau sedikitnya penghambat bagi liberalisme dan globalisme. Tetapi bagi mereka yang peduli terhadap integritas dan keutuhan bangsa maka posisi NU menjadi sangat penting. Dalam sejarah hampir keseluruhan komunitas Islam pernah terlibat dalam pemberontakan, tetapi NU selalu setia membela Negara dan menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. Posisi NU ketika terjadi pemilahan antara Islam dan nasionalis, NU bukan berada dalam posisi tengah yakni Islam sekaligus nasionalis, maka NU bisa menjadi mediator dalam mengatasi peredaman ketegangan semacam itu.

Kalau posisi politik NU semacam itu maka penulisan buku ini tidak hanya merupakan simpati penulis pada komunitasnya, tetapi sekaligus merupakan pemanfaatan NU sebagai faktor penting dalam bela Negara dan jaga Negara. Walaupun langkah ini tidak sedikit akan mengalami kesulitan. Karena intelijen tidak boleh berpolitik, ia harus menjadi aparat Negara yang netral, murni dan obyektif, negara. Sekali berpolitik ia akan terjebak pada sektarianisme kelompok, apalagi dalam suasana multi partai seperti sekarang ini, tarikan kelompok akan semakin kuat. Pimpinan intelejen yang tangguh dan memiliki integritas yang mampu mengatasi tarikan itu, sehingga kesetiaan pada Negara tidak diberikan pada kelompok atau bahkan Negara lain seperti dalam sistem liberal, tetapi benar-benar untuk keamanan rakyat dan negara sendiri.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15977