Monday, March 7, 2011

Kiai ”Salaf" Memaknai Sebuah Kepemimpinan

13/07/2009

Judul buku: Percikan Pemikiran Para Kiai
Penulis: Samsul Munir Amin
Penerbit: Pustaka Pesantren
Terbitan: Juni, 2009
Tebal: xiv+244 hlm
Presensi: Heri Kurniawan*


Dalam dunia kepesantrenan ada istilah Kiai Salaf dan Kiai Kholaf. Secara universal, Kiai Salaf idealnya adalah sosok Kiai yang konsisten mempertahankan tradisi-tradisi ulama terdahulu baik itu dalam pengambilan hukum, maupun prilaku keseharianya, tanpa terkontiminasi oleh adanya pertaruhan perubahan dalam era modernisasi saat ini.

Kalau kholaf adalah sosok Kiai yang telah melebur dalam era perubahan modernisme, sehingga hukum yang dibangun serta prilaku kesehariaanya telah menunjukan adaptasinya terhadap kondisi zaman. Itulah perbedaan sekilas antara Kiai Salaf dan Kiai Kholaf

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan diantara keduanya. Kiai Salafcenderung berjarak dengan politik praktis. Ini yang membuat mereka banyak disukai oleh masyarakat awam, mauidhonya banyak didengar. Ini yang menjadi kelebihan mereka dibanding dengan Kiai Kholaf yang seringkali bergesekan dengan politik praktis, dan birokrasi pemerintah Akhirnya, masyarakat awam jarang sekali menghargai keberadaan mereka. Ini yang menjadi kelemahan Kiai Kholaf.

Tapi, meskipun Kiai Salaf cenderung berjarak dengan dunia politik, kekuasaan di tingkat birokrasi pemerintah dan sebagianya, mereka tetap memiliki pandangan yang cukup otentik dengan refrensi agama yang telah ada mengenai bagaimana sebuah kekuasaan itu harus dilaksanakan.

Melalui buku ”Percikan Pemikiran Para Kiai” ini, kita akan dibuka sebuah wawasan baru dari sosok Kiai Salaf dalam memaknai arti sebuah kekuasaan, kepemimpinan, dan bagaimana pemimpin itu yang ideal untuk dipilih masyarakat awam.

Dalam pandangan KH Syaifuddin Zuhri, sosok pemimpin ideal untuk dipilih dalam pandang beliau adalah mereka yang memiliki tingkat kualitas kesabaran dan istiqamah yang kuat. Dengan dua sikap itu, Negara akan dapat membawa masyarakat menuju pada tingkat kesejahteraan.

Dalam pandangan beliau Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan sebagai saritauladan bagi kita. Nabi adalah sosok manusia yang memiliki sikap kesabaran dan istiqamah yang kuat. Melalui dua sikap ini, nabi mampu membangun masyarakat Makkah dan Madinah yang pada saat itu masih dalam keterpurukan. Budaya jahiliyah berkembang dengan kuatnya. Perempuan dianggap sebagai mahluk yang tak berharga. Egaliterianisme dan emansipasi di tingkat masyarakat tidak terjewantahkan.

Namun melalui kegigihan Nabi, serta tekad yang kuat tanpa mengenal putus asa, akhirnya sanggup merubah semua itu. Egaliterianisme diberlakukan. Tidak ada yang membedakan antara miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan. Yang membedakan hanyalah kadar kualitas ketaqwaanyadihadapan Allah SWT.

Itulah kesuksesan Nabi sebagai sosok seorang pemimpin yang mampu mengubah kondisi masyarakat menuju tingkat kesejahteraan, dan berkeadilan sosial. Karena bagimana pun juga, kehidupan bermasyarakat adalkah prioritas dalam Islam. Seperti yang dikatakan oleh KH Ali Yafie, ciri utama manusia menurut Islam adalah hidup bermasyarakat, yakni hidup yang diselenggarakan bersama seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. (QS Al-Hujarat: 3)

Dari pijakan ini jugalah KH Moh Dahlan memaknai Negara Indonesia berideologi Pancasila sebagai bagian dari pembangunan pemerintahan secara spiritual yang tidak terbatas pada memenuhi kebutuhan akal, rekreasi, kebudayaan, dan keamanan. Hal itu sesuai dengan filsafat Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana implementasinya secara kongret ialah kehidupan beragama yang dimanifestasikan oleh amal ibadah, sifat dan karakter dari kehidupan bangsa kita, serta ruh dan semangat yang tercermin dari segala peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Yang pastinya, melalui buku ini kita dapat menziarahi berbagai bentuk dan varian pemikiran para Kiai seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, juga salah satu pendiri Organisasi Masyarakat Nahdatul Ulama (NU), KH A. Wahid Hasyim, putra beliau, KH Moh Dahlan, KH Saifuddin Zuhri, H Ali Maksum pendiri Krapyak Yogyakarta, KH Achmad Siddiq, KH M. Bisri Syansuri, dan masih banyak lagi lainya.

Melalui pemikiran beliau-beliau, kita dapat mengerti bagaimana kekuasaan dipandang oleh mereka. Tidak terbatas pada konteks masa lalu saja, tetapi konteks kekinian pun terbahas. Tiidak terbatas pada negara Islam saja, tetapi lebih luasnya juga Negara semi sekuler dan religius seperti negara kita Indonesia. Itulah sisi kebijakan beliau yang jarang dimiliki orang.

*Presensi adalah Alumni Pesantren Khozinatul Ulum Banan Gunung Rejo Kedungpring Lamongan, dan Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18420

No comments:

Post a Comment