Saturday, March 5, 2011

Becermin dari Kiai Sepuh

31/08/2009

Judul buku : Khazanah Khatulistiwa; Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara
Penulis : Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Distributor : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : xx+230 Halaman
Peresensi : Ach. Syaiful A’la
*

Khazanah kiai di Indonesia sangatlah kompleks. Dan memang tidak ada habisnya untuk dijadikan bahan diskusi, diseminarkan, bahkan dilakukan penelitian untuk ditulis menjadi sebuah buku. Dikatakan kompleks, karena kepemimpinan atau peran kiai dalam lingkungan masyarakat tidakalah hanya satu fungsi, adakalanya ia berperan sebagai tokoh intelektual (‘ilmiyah), tokoh spiritual (rohaniyah), tokoh sosial-kemasyarakatan (ijtima’iyah), tokoh administratif (idariyah), sebagai pialang budaya (cultural broker), terkadang pula berperan sebagai tokoh (aktor) politik (siyasah).

Dari beberapa cakupan bidang di atas, maka, hingga saat ini, semenjak reformasi bergulir di Indonesia, yang paling menarik tentang perbincangan mengenai “kiai” adalah ketika melihat keterlibatannya dalam ranah politik praktis, baik ia masuk (menjadi pelaku) dalam salah satu bendera partai politik tertentu atau yang hanya menjadi pendukung salah seorang calon yang akan duduk dalam kursi kekuasaan dalam pemerintahan.

Salah satu bukti, bahwa ketokohan seorang “kiai” diakui di masyarakat adalah dengan menjadikannya kiai sebagai panutan dan kiblat masyarakat di dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut persoalan fiqh, ekonomi, faham keagamaan, serta problem lain yang terjadi di masyarakat. Sehingga keberadaan kiai di tengah-tengah masyarakat, masih belum ada yang bisa menggantikannya dengan sesuatu yang lain, selain tetap bertumpu pada keputusan kiai. Hal ini menunjukkan bahwa peran kiai sangatlah penting untuk memobilisasi massa.

Nah, tidak salah jika Clifford Geertz mengatakan bahwa kiai adalah sebagai pialang budaya (cultural broker), pentransformasi ilmu pengetahuan dan penentu arah pilihan masyarakat dalam berbagai pilihan tertentu. Walaupun beberapa dekade ini, banyak fatwa-fatwa kiai mulai luntur dan tidak lagi digubris oleh masyarakat, lantaran mereka (para kiai) terlalu masuk dalam ranah percaturan politik praktis, sehingga mengesampingkan fungsi lainnya. Kejadian tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya beberapa partai politik dan calon yang didukung oleh kiai pondok pesantren, ternyata masih berstatus “tidak jadi” (kalah) diberbagai daerah pemilihan.

Dengan beberapa “keunikan” kepemimpinan yang diperankan oleh individu kiai, seperti ketokohan intelektual, spiritual, sosial-kemasyarakatan, administratif, pialang budaya, aktor politik, maka, guna memahami – untuk mengetahui – satu persatu dari masing-masing individu kiai dibutuhkan berbagai sudut pandang dan kajian, keilmuan yang terpadu (holistic-integral), serta beberapa dokumentasi yang ada.

Terinspirasi dari latar belakang itulah, buku Khazanah Khatulistiwa; Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara ini disusun. Buku ini banyak memaparkan biografi singkat 26 kiai nusantara, yang masing-masing dari ke 26 kiai dimaksud mempunyai peran, kemampuan, keahlian (have skill) didalam melakukan sebuah peradaban kebangsaan di bumi Indonesia.

Walaupun buku seperti ini – yang menggambarkan tentang ketokohan seorang kiai memang telah banyak beredar di pasaran, seperti 99 Kiai Nusantara, jilid 1-2 (Kutub, Yogyakarta), Antologi NU, yang isinya juga banyak menyajikan tentang kiprah kiai dalam sosial-keagamaan (Khalista, Surabaya), Karomah Para Kiai (LKiS, Yogyakarta). Tetapi, Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah dalam penyusunan ini, mampu mencari hal lain yang masih belum tersirat dalam buku sebelumnya. Sehingga, kedatangan buku ini di ruangan pembaca tetap menjadi referensi baru – sebagai pelengkap – dari beberapa buku sebelumnya.

Alangkah indahnya jika penulisan buku ini, melakukan klasifikasi (pengelompokan) tentang potensi pada masing-masing individu kiai. Karena keberadaan kiai tidak semua kemampuan yang mencakup semua bidang keahlian (al-maharah) diatas. Adakalanya hanya tokoh dalam bidang ilmu fiqh, ekonomi, politik, spiritual, administratif dan ada pula kiai yang ahli dalam khazanah tulis-menulis.

Misalnya, melakukan pengklasifikasian terhadap kiai yang banyak memberikan sumbangsih di bidang ekonomi, seperti KH Hasyim Asy’ari (hlm. 9) dan KH Wahab Chasbullah (hlm. 17). Kedua tokoh ini sangat besar jasanya dalam pemberdayaan ekonomi umat dengan garapan utamanya duhulu adalah dengan mendirikan lembaga Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha) sebelum berdirinya Nahdlatul ulama (NU), ada pula KH Maksum dalam bidang ekonomi yang sempat pengalamannya menjadi seorang pedagang dan kuli (hlm. 25).

Selain dibidang ekonomi, ada pula kiai yang konsen dengan karya tulis-menulis. Seperti KH Bisri Mustofa, beliau melakukan bimbingan kepada masyarakat dengan bahasa dan pena (hlm. 43) dan kiai Syaikh Ihsan Jampes (hlm. 185). Beliau mendapat julukan “Al-Ghazali kecil dari Kota Kediri”. Sehingga tak hayal jika banyak karya Syaikh Ihsan dijadikan bacaan (referensi) wajib pada beberapa universitas di Timur Tengah.

Tak hanya cukup membaca, mengenal, dan memahami ketokohan seseorang (kiai) yang dianggap kapabel keilmuannya. Melainkan yang terpenting adalah bisa meneladani sikap dan sepak terjang perjuangannya. Misalnya sabar dengan proses, ulet, tekun, kreatif, dan penuh dengan rasa optimis dalam menjalani hidup.

*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Pondok Budaya IKON Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=19232

No comments:

Post a Comment