Friday, December 17, 2010

Pers di Ambang Kekhawatiran

Oleh Dana Iswara


Pesimistis. Mungkin itu perasaan banyak orang setelah melihat wajah pers kita. Pesimistis bahwa pers bisa berperan sebagai pilar keempat demokrasi muncul bukan karena pers kita tak bisa menjalankan fungsinya lewat pelaporan yang bertanggung jawab, berimbang, dan jujur, tapi karena pers sering dianggap sebagai alat untuk memfitnah pihak tertentu.

Tuduhan Fraksi Kebangkitan Bangsa bahwa isi rapat konsultasi presiden dengan DPR bocor memang dianggap sudah selesai setelah Gus Dur meralat ucapannya: ia memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi bukan lantaran keduanya dianggap tak bisa bekerja sama dengan menteri lain. Banser NU juga sudah menyatakan permohonan maaf atas pendudukan kantor Jawa Pos di Surabaya. Tapi, tak ayal, pesimistis sudah mencuat karena tiap kali pers mengangkat sesuatu yang tak sehat di pemerintahan dan kelompok-kelompok kepentingan, ia bisa dituduh sebagai alat dari suatu kelompok lain untuk menjatuhkan musuhnya.

Di kalangan media dikenal istilah public right's to know atau hak publik untuk mengetahui segala sesuatu. Adalah John Milton, yang membawa istilah self-righting process. Ia beranggapan, setiap individu berhak mengemukakan pendapat dan publik harus bisa mencerna seluruh ide dan opini setiap orang di media tanpa perlu ditutup-tutupi, karena kebenaran dengan sendirinya akan muncul dari pertemuan ide di pasar bebas. Ini kemudian dijadikan dasar teori pers liberal yang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pers untuk menjadi alat kontrol pemerintah. Dalam praktiknya, teori ini membuat seorang pejabat negara yang dilindungi hak-hak privatnya sebagai warga negara menjadi merasa kehilangan privacy karena selalu diawasi pers.

Terlepas dari baik-buruknya teori pers liberal, pers Indonesia kini dalam keadaan memerlukan jaminan dari pemerintah dan semua pihak bagi terwujudnya pers bebas. Ini penting bagi pengembalian kepercayaan publik terhadap pemerintahan Gus Dur yang terasa semakin merosot akhir-akhir ini. Meski harus diakui bahwa terpuruknya rupiah bukan disebabkan reaksi pasar atas pernyataan Gus Dur soal alasan pemecatan Laksamana dan Kalla, namun karena pelbagai reaksi Gus Dur yang membuka ruang keraguan bagi publik.

Sikap Gus Dur terhadap artikel di Jawa Pos tentang bisnis keluarganya, komentarnya tentang pendudukan kantor Jawa Pos oleh Banser NU, dan sikap diamnya atas kritik yang semakin menggunung akibat penempatan Gus Im di BPPN, seperti memperkuat keraguan itu. Tentu kita berharap Gus Dur tetap pada komitmennya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya pilar keempat demokrasi - seperti yang dijanjikannya. Namun, komitmen yang tak diikuti dengan tindakan konkret akan memberi sinyal yang tak jelas bagi publik. Bagi insan media -walau tak lagi diancam dengan pasal subversif- kekhawatiran itu tetap ada. Pers tampaknya akan hidup dalam iklim ketakutan karena adanya kemungkinan tindakan main hakim sendiri oleh "para pengawal" penguasa.

Kita mencatat bagaimana kasus penganiayaan wartawan Menara di Samarinda dan kasus pemukulan wartawan di Bandung lantaran liputan mereka memerahkan telinga penguasa. Kita juga mencatat bagaimana kasus pendudukan kantor Jawa Pos. Ini semua bukan tidak mungkin akan menjadi alasan yang bisa memberi angka merah pada Gus Dur.

Ada baiknya kita melihat Amerika Serikat sebagai pembanding. Sejumlah catatan dari media membuktikan bahwa hubungan pers dengan presiden di Amerika Serikat kerap diwarnai saling curiga. Puncaknya adalah kasus Watergate yang kemudian dicatat sebagai kemenangan insan media dalam menghadapi upaya-upaya pengebirian pers terselubung oleh pemerintah yang selalu menganggap pers sebagai "musuh".

Dekade 1970-1980-an tercatat sebagai era ketika para presiden menganut teori yang menganggap bahwa ekspose dari pers yang terbatas terhadap presiden akan mengurangi risiko liputan yang negatif (Joseph C.Spear, 1984). Nixon, Carter, Ford, dan Reagan tentu punya alasan mempraktikkan teori ini: pers Gedung Putih dikenal tidak mengenal ampun dalam mencari titik lemah presiden. Skandal Billgate yang melibatkan Billy Carter, adik kandung presiden Jimmy Carter, mengingatkan saya pada laporan KKN yang ditulis sejumlah media kepada kerabat dekat Gus Dur.

Di tahun 1980, isu bahwa Billy Carter pada 1978 menerima "pinjaman" dari pemerintah Libia sebesar US$ 220.000 dan menjadi agen Libia merebak. Presiden Jimmy Carter yang sedang berjuang keras agar bisa dinominasikan kembali sebagai calon presiden untuk periode berikutnya memilih tak berkomentar. Tapi, ia segera memerintahkan Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional, untuk mencari kebenaran. Kepada subkomite di Senat yang menangani kasus ini, Carter juga bersikap kooperatif. Di sidang itu, ia mengakui telah meminta jasa sang adik untuk menjadi mediator antara pemerintah AS dan Libia dalam kasus penyanderaan di Kedubes AS di Teheran. Namun, ia menyangkal mengetahui adanya suap US$ 220.000. Subkomite Senat akhirnya menyatakan Jimmy Carter tak tahu-menahu pinjaman dari Libia kepada Billy, dan ia dinyatakan tidak terlibat Billygate.

Jika kasus ini dianggap mirip KKN keluarga Presiden Gus Dur, mengapa kita tak mau belajar? Orang bijak seperti Gus Dur sebenarnya bisa menahan diri seperti Carter untuk tidak mengatakan bahwa pers telah melanggar kode etik. Kedua, Gus Dur tak akan membungkam pers dari penulisan-penulisan berita seputar bisnis keluarganya dan dugaan KKN yang dilakukan adiknya, Gus Hasyim Wahid. Dan ketiga, mengapa Gus Dur tidak memerintahkan Kejaksaan Agung memeriksa dugaan KKN itu? Toh, pengadilan yang akan membuktikan benar tidaknya laporan media.

Saya pun teringat kata-kata bijak Jeremy Bentham, "Tanpa publisitas atas proses pemerintahan yang menyeluruh, tak ada kebaikan selamanya. Adalah karena publisitas juga kejahatan tak akan terus berlanjut. Publisitas, karenanya, adalah cara terbaik untuk menjaga kepercayaan publik". Saya yakin Gus Dur tahu bahwa masyarakat berharap kasus KKN bisa terungkap bila pers dibiarkan membantu membongkarnya.

Dana Iswara adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Asia Tenggara Universitas Nasional Australia, Canberra.

(Sumber: GAMMA, 23 Mei 2000)

No comments:

Post a Comment