Friday, December 24, 2010

Kaum Muda dan Klaim "NU Otentik"

Oleh M. Imdadun Rahmat

Muktamar NU ke-31 di Solo akan segera digelar. Forum tertinggi organisasi ini akan menelorkan berbagai keputusan yang menjadi acuan perjalanan NU selama 5 tahun ke depan. Akankah Muktamar melahirkan kebijakan organisasi yang lebih greget, segar, dan transformatif? Untuk sekadar menduga-duga, ada baiknya kita lihat bagaimana para elit NU mempersepsi kaum mudanya.

Tampaknya, para penentu kebijakan di NU melihat kiprah anak mudanya dengan kecemasan. Para tetua kaum nahdliyyin ini tidak melihat generasi baru mereka sebagai potensi yang baik untuk menyambut masa depan. Tetapi mereka dianggap ancaman. Di dalam NU, arus ortodoksi dan konservatisme masih tak berlapang dada memberikan ruang gerak bagi anak muda dengan arus transformatifnya. Pernyataan PBNU bahwa Musyawarah Besar Warga NU di Cirebon Oktober yang lalu sebagai ilegal dan separatis merupakan penanda bahwa di mata para petinggi NU tak ada tempat bagi anak muda yang sedang resah melihat Khittah ‘26 dicederai. Pertemuan yang diikuti oleh 700 anak muda NU yang bergerak di wilayah pemberdayaan masyarakat ini dinilai tidak berhak mengaku sebagai warga NU. Mereka yang memikirkan nasib guru madrasah, petani, nelayan, buruh pabrik, buruh migran, perempuan pinggiran, pedagang kecil, serta bagaimana NU bisa berkhidmad kepada warganya ini dianggap bukan bagian dari NU.

Jika kita tarik ke belakang, peristiwa pemboikotan Muktamar Pemikiran NU di Situbondo yang dilanjutkan dengan “pencekalan” beberapa intelektual muda yang dianggap “tidak NU lagi” oleh kalangan kiai sepuh juga menjadi isyarat yang sama. Artikel ini ingin memotret “kesumpekan transformasi” di dalam NU sebagai akibat klaim “otentisitas NU”.

  • * *

Sejak awal dasawarsa 90-an, terjadi booming generasi muda NU yang berpikiran cerdas dan kritis. Penguasaan yang baik terhadap khazanah intelektual Islam klasik mereka padukan dengan berbagai pendekatan baru yang tidak saja bersumber dari tradisi rasionalisme Islam sendiri, tetapi juga dari tradisi rasionalisme Barat. Pengalaman membangun perlawanan sepanjang akhir kekuasaan Orde Baru juga memberi warna kerakyatan yang sangat kental bagi pemikiran dan aktifitas gerakan mereka. Dengan berbagai perspektif dan metodologi baru, anak-anak muda ini menyajikan berbagai gagasan segar yang acapkali mengejutkan banyak orang, utamanya kalangan kiai sepuh NU. Genre pemikiran Islam semisal Kiri Islam, Islam untuk Keadilan Gender, Islam Emansipatoris, Islam Pribumi, Post Tradisionalisme Islam, Islam Liberal dan sebagainya—yang menjadi pijakan gerakan kerakyatan anak-anak muda ini—selain menumbuhkan optimisme juga melahirkan kekhawatiran dan kecemasan.

Pergulatan pemikiran dan gerakan semacam ini sesungguhnya telah berakar lama, yang tumbuh diam-diam di kalangan “kiai-kiai nyentrik” yang selalu ada dalam setiap generasi NU. Jejak yang nyata memang baru kita temukan dari kehadiran Abdurrahman Wahid yang berperan sebagai peletak pilar-pilar rasionalisme sekaligus “pengayom” gerakan pemikiran dan gerakan kerakyatan ini sejak akhir 70-an. Semenjak itu, sejumlah besar pemikir dan motor gerakan yang lebih muda memperpanjang barisan “kaum minoritas kritis” dalam NU ini.

Kehadiran kelompok anak muda yang oleh Karl Menheim disebut “intelegensia” ini ternyata tidak disambut gembira oleh sebagian kiai sepuh yang menempatkan dirinya lebih sebagai penjaga dan penerus khazanah pengetahuan, nilai-nilai, dan tradisi NU. Berbagai jalan baru, pengetahuan baru, dan nilai-nilai baru yang diusung anak muda NU ini dianggap oleh kalangan ulama “literati” ini mengancam kelestarian khazanah NU dan bahkan eksistensi NU. Munculnya embrio barisan “intelektual organik” yang melakukan transformasi bersama masyarakat dipandang akan mengancam kepentingan kaum elit NU yang lebih menginginkan ketakberubahan dan kemapanan. Bentuk penolakan terhadap pemikiran anak muda ini bermacam-macam, dari sekadar keresahan hingga “pengadilan” dan “pencekalan”.

Sungguh bisa ditebak bahwa di benak para kiai dan para elit NU yang melakukan pemboikotan dan pencekalan ini terdapat imaginasi “NU otentik”. Sebuah bentuk NU yang asli, baku, pasti dan tidak berubah yang harus dipertahankan hingga akhir zaman. Sebab, bagi mereka, format NU demikianlah yang menentukan NU ada atau hilang. Bentuk ini juga yang menjadi standar untuk menilai seseorang masih NU atau tidak NU lagi. Dengan imajinasi ini, seseorang sah untuk menghakimi orang lain telah keluar dari NU. Sebab, ketika orang lain itu tak segaris dengan imajinasi ini, maka ia adalah NU yang tidak otentik sehingga tak sah menyandang predikat NU alias “tidak NU lagi”. Maka, ia pun tidak punya hak untuk mengembangkan pemikiran dan gerakan di NU.

Pertanyaan yang penting diajukan untuk menanggapi klaim NU otentik ini adalah: apa yang layak disebut otentik dari NU? Lalu adakah NU otentik saat ini? Untuk menjawab pertanyaan pertama paling tidak kita perlu menengok rumusan jam’iyyah NU berdasarkan Anggaran Dasar NU yang disebut Qanun Asasi NU 1926. Lebih jauh lagi, kita juga perlu menengok rumusan para kiai yang membidani lahirnya NU.

Mukaddimah Qonun Asasi yang ditulis Hadratusyekh Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa NU adalah “organisasi yang berdiri di atas landasan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh ummat”. Jam’iyyah NU menganut Ahlussunnah Waljama’ah yakni “para ulama tafsir Qur’an, sunnah Rasul dan ulama fiqih yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaurrasyidin”. Syekh Hasyim Asy’ari selanjutnya mengatakan bahwa di antara ulama Ahlussunnah Waljama’ah adalah para Imam Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i) yang harus diikuti. (Hasyim Asy’ari, Qonun Asasi, t.t.)

Para ulama muassis awwal (pendiri NU) pada umumnya merumuskan Ahlussunnah Waljama’ah adalah berfiqih berdasarkan empat imam madzhab, dalam tauhid bermadzhab kepada Imam Al-Maturidi dan Al-Asy’ari, dan dalam tasawuf bermadzhab kepada Imam Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Maka, dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah dalam rumusan ini merupakan standar satu-satunya yang menentukan eksistensai NU dan juga menentukan apakah seseorang bisa dikatakan NU atau tidak. Kalau otentisitas itu ada, ini adalah rumusan yang “otentik” dari NU.

Melihat rumusan ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi NU sangatlah longgar. Sebab, rumusan ini sangatlah umum dan tidak mungkin bisa dibakukan dalam rumusan turunan dan implementasi yang baku. Oleh karena itu, penjelasan dan syarah dari ketentuan ini bisa sangat beragam dan berbeda-beda. Antara kiai yang satu dengan kiai yang lain bisa berbeda pendapat. Contoh konkret dari perbedaan ini adalah adanya perbedaan tafsir tentang ketentuan bermadzhab. Ada sekelompok kiai yang terbuka untuk mengakomodasi aqwal (produk hukum) madzhab fiqih lain selain Syafi’i dan ada yang sangat mengutamakan Syafi’i.

Bahkan, ketentuan bermadzhab yang sebelumnya lebih dimaknai sebagai mengikuti qaul (produk hukum), pada tahun 1992, Munas Alim Ulama di Lampung memutuskan bahwa bermadzhab bisa juga dengan mengikuti manhaj (metode penggalian hukum). Artinya, orang NU boleh tidak mengikuti produk hukum imam madzhab asalkan ia masih mengikuti metodologinya. Keragaman pendapat juga mewarnai kategori mu’tabar dan ghayru mu’tabar (otentik dan tidak otentik) baik dalam kitab rujukan fiqih, kalam (teologi), maupun aliran tarekat.

Keragaman ini juga terjadi dalam implementasi peran organisasi dan sikap-sikap politik dan strategi perjuangan NU dalam kurun sejarahnya. Ada kalanya NU berperan sebagai ormas dakwah dan kemasyarakatan, ada kalanya NU menjadi motor perjuangan kemerdekaan, dan ada kalanya NU menjadi partai politik.

Melihat ini semua, maka kita tak bisa berkata bahwa saat ini terdapat NU otentik dan NU tidak otentik. Imajinasi adanya NU asli dan NU tidak asli adalah buah dari taqdis (sakralisasi) pemahaman sekelompok orang. Pemahaman ini pada akhirnya dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mengatasi pemahaman lain tentang NU. Sebab, pada hakikatnya pemikiran kaum muda NU yang didaku tidak otentik itu merupakan varian dari pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah dalam rumusan yang umum di atas.

Dalam sejarah kebudayaan mana pun, keberadaan dua jenis intelektual intelegensia maupun literati sangat dibutuhkan. Para literati bertugas menjaga dan meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai budaya serta berperan menjaga tradisi, sedangkan kaum intelegensia berperan mencari jalan-jalan baru, merumuskan pengetahuan baru, dan memperkenalkan nilai-nilai baru. Tentu dalam usaha itu kelompok kedua tak bisa menghindar dari peran menerobos nilai-nilai baru yang dijaga oleh intelektual literati (Menheim: 1979)

Dalam kasus NU, peranan kaum ulama sepuh untuk menjaga identitas budaya NU dengan memberi bentuk-bentuk baku terhadap pola-pola kebudayaan pesantren akan terusik oleh kerja-kerja kaum anak muda untuk mendorong inovasi ke arah perubahan dengan meninggalkan pola-pola yang sudah dibakukan dan berusaha memperkenalkan pola-pola baru yang belum populer.

Maka, ketika peran salah satu jenis intelektual ini melemah atau dilemahkan maka akan terjadi kemunduran. Jika kaum anak muda intelegensia lemah maka akan terjadi kemandegan yang akan berujung kepada pembusukan tradisi intelektual pesantren yang berujung kehancuran. Sedangkan jika kaum kiai sepuh literati lemah maka akan terjadi kehampaan intelektual akibat pola-pola baku yang menyediakan acuan bagi “keteraturan intelektual” telah runtuh. Maka, untuk menghindari dua pilihan buruk di atas, perlu dikembangkan pola dialog yang membebaskan, saling menghargai peran masing-masing, dan saling memperkuat kebudayaan bersama. Semoga Muktamar Solo memberikan ruang yang cukup bagi anak muda NU. Wallahu ‘a’lam.

Tashwirul Afkar/17/2004 (1/11/2005 3:07:33 PM)

No comments:

Post a Comment