Friday, December 10, 2010

Pembelaan atas Filsafat ala Pesantren

PEMBELAAN ATAS FILSAFAT ALA PESANTREN


Peresensi : Puji Hartanto*

Filsafat di dunia pesantren merupakan satu kajian yang belum tersentuh. Mungkin di beberapa pesantren masih mempopulerkan pendapat ulama kawakan, seperti , Ibnu Sholah yang berkata "Barang siapa yang berlogika-berfilsafat maka dia dihukumi kafir zindiq" terlebih Imam al-Ghazali yang karya-karyanya dijadikan simbol spiritual tertinggi di dunia pesantren, menulis suatu karya yang mungkin bagi kaum santri mungkin begitu kuat menancap. Di benak, Tahafut al-Falasifah (kerancauan para filsuf). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau sampai saat ini pesantren masih terlalu menyibukan diri pada Tafakkahu fi ad-din (memahami ilmu agama) sambil membuang arti penting dunia.

Singkat kata, filsafat didunia pesantren masih merupakan sesuatu yang asing. Bahkan sebagian kiai masih berpendapat bahwa filsafat adalah anak haram hasil perselingkuhan orang-orang Yunani dengan para cendikiawan muslim. Semesta Sabda, Novel filsafat yang ditulis oleh Fauz Noor sebagai kelanjutan novel pertamanya "Tapak Sabda" mencoba untuk membidik masalah-masalah yang selama ini kurang diperhatikan oleh para ulama kita khususnya di dunia pesantren. Misalnya dalam suratnya kepada "Sabda" di bab Bahasa Langit, Bahasa Bumi, disitu kita akan menemukan topik bahasan mengenai divinisi agama (ad-din). Selama ini ulama mendevinisikan agama sebagai ‘ketentuan-ketentuan Tuhan yang mendorong siapapun yang berakal untuk berbuat baik didunia maupun diakhirat" Menurut "firman" si penulis yang menempatkan diri sebagai pengirim surat misterius kepada "Sabda", definisi tersebut masih terlalu abstrak. Yaitu dengan menafikan keberadaan akal, padahal menurutnya, akal adalah sesuatu yang real. Disini "Firman" melakukan pembelaannya terhadap filsafat dengan mengutip hadist Nabi yang artinya: "bahwa ad-din (agama) itu akal dan tidak ada ad-din (agama) bagi orang-orang yang tidak berakal". Kemudian "Firman" mengartikan bahwa ketundukan itu akal dan tidak ada ketundukan bagi orang-orang yang tidak berakal. (hlm 78) Dari sini, kemudian "Firman" merumuskan satu kemestian berfikir, keharusan berfilsafat, bahwa sekuat apapun kita berfikir, pada akhirnya akal akan bertemu dengan ke absurdan. Sebab, al-Qur’an sendiri berkata "Kehidupan dunia itu hanya permainan dan senda gurau" (Q.S al-An’am ayat 32).

Kemudian ia mengartikan inti dari risalah muhammad, ad-din al-Islam, dengan filafat proses, dimana din merupakan "ketundukan berfikir" dan al-Islam merupakan "kepasrahan total kepada-Nya". Singkatnya, penjelasan din dan al-Islam mengisyaratkan kepada manusia untuk "adil" dulu dalam berpikir, baru engkau bisa adil dalam "bertindak". Jadi ad-din al-Islam adalah filsafat Islam itu sendiri, sebagai sebuah sikap mental, sebagai suatu paradigma berfikir dan beramal, berilmu dan beramal. Penolakan filsafat dari khazanah keilmuan Islam kiranya sangat beralasan.

Dalam buku yang pertama "Tapak Sabda", disitu diungkapkan ketika "Sabda" tokoh didalamnya yang diceritakan sebagai sosok santri yang kreatif tidak mengakui bahwa dalam khazanah keilmuan Islam. "tidak ada yang namanya fisafat Islam" ungkapnya. Menurutnya "Filsafat" diartikan dengan berpikir secara radikal sedangkan "Islam" adalah ketundukan. Jelas, dari maknanya saja sudah tidak nyambung. Lantas, bagaimana ada kajian Filsafat dalam kajian Islam !. Kata si "Sabda". Singkat kata, buku ini merupakan satu buku yang tidak hanya cukup untuk memenuhi rak buku atau perpustakaan, mengingat pembahasanya yang cukup luas, terutama bagi mereka kalangan pesantren. Terlebih bagi seorang yang telah membaca Dunia Shopie, buku ini dapat dijadikan pelengkap dari Dunia Shopie yang banyak "melupakan" cendekiawan dan filsuf muslim dalam pembahasanya. Dengan membaca buku ini, kita akan diajak berkelana dengan seabrek penulis dan pemikir baik itu dari Barat, Timur bahkan pemikir-pemikir dari Indonesia. Pemikir Barat katakanlah, Sartre, E B Taylor, Immanuel Kant, Aristoteles, Albert Camus dan lain sebagainya. Pemikir Timur, Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, Muhammad Iqbal, Mulla Sadra dan masih banyak lagi.

Akhirnya seperti yang telah ditulis oleh penulis sendiri makna semesta Sabda yang diurai dalam buku ini dimaknai dalam dua pemaknaan. Pertama, Luasnya kehidupan manusia (dalam hal ini tokoh yang bernama sabda), Kedua, luasnya sabda dunia sabda Muhammad Saw. Akan tetapi, buku ini membalikan arti "luas" menjadi "Semesta Sabda". Tentang luasnya semesta sabda, terlihat dari cerita "Sabda" yang dipaparkan dalam buku ini, bagaimana "Sabda" yang terdiam diberanda rumah lalu "merasa" terbang bersama seekor burung yang membawa "Sabda" kepada tempat yang belum pernah ia jamah; tak ada rumah, tak ada gunung, tak ada langit, tak ada laut. semua yang ia lihat hanya satu keadaan yang biru dan membiru. "Aku dimana ?" benaknya berkata "Burung, kita mau kemana? Aku dimana ? hatinya bertanya. Di dirinya seolah mendengar suara " Jangan bertanya, ikuti saja." Dia terus terbang, melayang, bukan ke awang-awang. "Ah, damai terasa aku disini, entah dimana," hatinya mengaku (hlm 70).

Melihat kisah ini, kita bisa sedikit meraba "Sabda" tengah mengalami kisah spiritual yang teramat dalam. Akan tetapi, "Sabda" menganggap pengalaman ketika disuatu senja itu sebagai "kelelahan urat saraf"saja. Tentang luasnya sabda Muhammad Saw, penulis "Firman" mengurai panjang lebar mengenai sabda-sabda Muhammad mengenai Tuhan, alam, dan manusia yang kesemuanya itu tidak pernah terlepas dari alam pikiran manusia.


Penulis adalah pecinta buku, alumnus PP Babakan Ciwaringin Cirebon, tinggal di Yoyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8240

No comments:

Post a Comment