Thursday, December 16, 2010

Jaringan Internasional Intelektual Tradisional

Penulis : Abdurrahman Mas'ud

Judul : Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
17/06/2006

Jaringan Internasional Intelektual Tradisional

Tradisionalitas selalu dikaitkan dengan lokalitas, pesantren sebagai bentuk pendidikan tradisional selalu diasosiasikan sebagai bentuk lokalitas atau Islam lokal, namun demikian bukan berarti tidak memiliki universalitas. Dalam kenyataannya Islam tradisional tidak hanya di pesantren Jawa atau di Nusantara, tetapi memiliki jaringan di seluruh dunia. Hal ini sebenarnya telah ditunjukkan dalam berbagai literatur, dan telaah paling kontemporer adalah yang dituangkan dalam buku karya Abdurrahman Mas’ud ini.
Mekah sebagai pusat dunia Islam sekaligus juga sebagai pusat intelektual, karena di sana menjadi pusat pendidikan Islam, selain Al Azhar. Dan menariknya di pusat pendidikan dunia itu juga ditangani oleh para ulama terkenal dari Jawa seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfud At Tarmisi dan sebagainya. Sebagai syaikh (guru besar) para Ulama itu tidak hanya amengajar mahasantri dari Jawa, tetapi didatangi mahasantri dari seluruh negara Islam.

Para ulama yang disebutkan tadi tidak hanya mengajar, tetapi menghasilkan berbagai karya akademik yang tidak hanya dijadikan kitab rujukan dalam pesantren tradisional di Indonesia, tetapi di berbagai lembaga pendidikan di Nusantara, bahkan masih terus dipergunakan di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Melalui para mahasantri yang tersebar di seluruh dunia yang memperkenalkan ajaran kiai tersebut ke negara masing-masing. Karena itu bisa dipahami kalau kitab karya mereka ini dijadikan rujukan di universitas berbagai negara. Ini sebuah preatasi kalangan ulama tradisional yang belum terlampaui para intelektual Indonesia modern dalam memberikan kontribusi akademik terhadap dunia internasional, khususnya dunia Islam.

Para ulama itu tidak hanya melahirkan ulama besar di Indonesia seperti Kiai Khalil Bangkalan (W 1925) tetapi juga melahirkan ulama lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari (W 1947) dan Kiai A Asnawi (W 1952) yang kesemuanya adalah perintis dan penggerak lahirnya organisasi kaum santri Nahdlatul Ulama (NU). Selanjutnya para kiai itu yang dengan integritas moralnya dan kedalaman intelektualnya kemudian melakuakan kaderisasi di Indonesia sehingga lahir ribuan kiai dan ulama sebagai penerus perjuanagan mereka. Gerakan ini semakin efektif ketika dilembagakan dalam organisasi Nahdlatul Ulama, sehingga mampu menjadi organisasi besar yang dianut oleh sebagian muslim di negeri ini.

Dari kesemuanya itu yang menarik adalah tradisi pengembangan keilmuannya, pesantren mengembangkan sistem pendidikan tradisional yang sangat mengutamakan kedalaman disertai pengalaman, di bawah bimbingan para kiai setiap hari, sehingga keseriusan dan kedalamannya benar-benar terjaga. Dalam sistem itulah lahir banyak ulama, ketika para ulama senior mampu membimbing para santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Sistem itu yang mengakibatkan terjadinya hubungan yang erat antara kiai santri dan antar sesama kiai. Sejauh mengenai aktvitas dan latar belakang para kiai yang dikaji penulis buku ini berhasil memberikan informasi yang memadai. Ini berkat ketekunannnya dalam mengumpulkan dokumen serta melakukan wawancara dengan berbagai saksi sejarah.

Tetapi sayangnya buku ini belum melakukan analisis secara mendalam tentang pertalian ideologis di antara mereka, sehingga pikiran para ulama senior tersebut bisa diterjemahkan secara operasional oleh ulama sesudahnya seperti Khalil (Bangkalan) atau Hasyim Asy’ari (Jombang). Apalagi penulis buku ini menempatkan diri sebagai santri dari para ulama yang ditulis, akibatnya penulis tidak berani melakukan kritik secara akademik maupun ideologis. Sehingga pembaca tidak diajak bersikap kritis untuk menilai sejauh mana pemikiran para ulama itu memberikan kontribusi bagi perkembangan akademik dan sosial, dan sejauh mana pemikiran mereka mengalami jalan buntu, sehingga memerlukan terobosan baru oleh para penerusnya saat ini.

Telaah kritis semacam itu bukan akan memerosotkan wibawa sang ulama, sebaliknya justeru menempatkan mereka secara proporsional, sebagaimana layaknya seorang akademisi, langkah ini justeru akan semakin memperkuat nilai akademis karya-karya mereka. (Mushonniva)

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8220

No comments:

Post a Comment