Thursday, October 21, 2010

Romantisme Tarekat dan NU dalam Afiliasi Politik

11/08/2008

Judul Buku: Pertemuan antara Tarekat dan NU, Studi Hubungan Tarekat dan NU dalam Konteks Komunikasi Politik (1955-2004)
Penulis: Drs Ja’far Shodiq, MSi
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama, Juli 2008
Tebal: 222 Halaman
Peresensi: Muhibin A.M.

Membaca gerakan tarekat di Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam di Nusantara. Suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim dan merupakan satu-satunya negara yang penduduknya mayoritas muslim di dunia. Secara historis, Islam masuk ke Nusantara dengan jalan damai dan tidak pernah menempuh jalan kekerasan/peperangan. Islam masuk ke Nusantara dibawa para saudagar muslim dari Asia Barat yang mayoritas mereka adalah penganut sufi dan tariqat. Sehingga tidak heran jika saat ini kita banyak menyaksikan sisa-sisa peningalan penyebar Islam Nusantara yang masih berbau tasawuf dan bahkan sangat kental dengan nuansa sufi. Salah satu contoh konkretnya adalah mayoritas umat Islam Indonesia yang menganut Islam tradisionalis yang ajaran-ajarannya lebih banyak bernuansa tasawuf, seperti di pesantren.

Ajaran tarekat yang masuk ke Nusantara hampir bersamaan dengan penyebaran Islam. Karena tokoh-tokoh sufi yang menyebarkan Islam saat itu juga merupakan penganut amalan tarekat yang memang saat itu menjadi ikon umat Islam di seluruh dunia, terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad (Irak) oleh serbuan tetaran Mongol, serta munculnya kekhalifahan Turki Usmani dengan tarekat Bektasi-nya. Dalam perkembangna selanjutnya, ajaran-ajran sufi di Nusantara, umumnya bertahan di pesantren-pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam kultural dan sebagai pusat perkembangan amalan-amalan tarekat.

Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah wadah aspirasi bagi kelompok Islam tradisionalis atau yang lebih dikenal dengan golongan nahdliyin (warga NU). Gerakan NU lebih banyak bergerak dalam bidang organisasi ke-Islam-an yang terjun dalam lapangan sosial kemasyarakatan dan juga politik. NU merupakan satu-satunya organisasi yang tetap mempertahankan keberadaan mazhab di samping juga tidak menolak adanya modernisme Islam. Keberadaan NU juga untuk mengimbangi gerakan modernis yang menolak mazhab Islam.

Antara tarekat dan NU memiliki jarak yang cukup panjang dalam sejarahnya. Namun, kebanyakan ulama-ulama NU merupakan orang-orang tarekat dan bahkan berguru pada ulama-ulama tarekat. Bahkan, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ary, merupakan penganut salah satu tarekat. Sehingga NU dan tarekat bisa dipastikan sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang sampai saat ini setia melindungi keberadaan tarekat dari tuduhan-tuduhan miring kaum modernis.

Salah satu yang menyebabkan berkolaborasinya antara tarekat dan NU adalah adanya persamaan dalam model kepemimpinan mereka yang menggunakan kepemimpinan yang paternalistik dan kharismatik sekaligus. Jika dalam tarekat dikenal sebagai seorang mursyid (guru), maka dalam NU akan dikenal dengan kiai yang banyak berdomisili di pesantren. Dan, terkadang seorang kiai dapat merangkap sebagai seorang mursyid tarekat sekaligus. Kepemimpinan dengan model paternalistik, sekaligus kharismatis ini merupakan model kepemimpinan yang juga ada di kalagan tradisionalis NU. Dalam struktur organisasi NU yang selama ini berjalan bahwa siapa yang paling memiliki kharisma di antara kiai-kiai lainnya, maka dialah yang akan terpilih menjadi pimpinan tertinggi, seperti KH Hasyim Asy’ary yang saat itu merupakan satu-satunya kiai yang paling kharismatis di Jawa, yang tidak hanya di kalangan nahdliyin tapi juga pada golongan modernis, seperti, Muhammadiyah dan Persatuan Islam. (halaman 156)

Bukan tak mungkin karena hanya NU-lah satu-satunya organisasi yang dapat melindungi kaum tarekat, maka kemudian kaum tarekat merupakan salah satu pendukung setia NU. Sampai saat ini, hanya NU-lah yang memiliki undang-undang organisasi yang mengakui keberadaan tarekat yang ada di Indonesia sebagai bagian dari NU. Hal itu dimaksudkan untuk menolak tuduhan-tuduhan miring, bahkan sesat, dari golongan modernis.

Setidaknya, dengan masuknya tarekat ke dalam NU, akan dapat mengurangi tuduhan-tuduhan itu dan sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab NU sebagai sebuah organisasi untuk mengklarifikasi setiap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada tarekat. Namun, yang perlu kita ketahui bahwa antara NU dan tarekat memiliki perbedaan-perbedaan, di antaranya, jika tarekat merupakan bagian dari NU, namun warga NU tidak mesti menjadi kelompok tarekat, karena banyak sekali warga NU yang enggan masuk dalam jamaah tarekat.

Meski demikian, kalangan nahdliyin dalam setiap amalan ibadahnya kebanyakan menyerupai dengan amalan ibadahnya jamaah tarekat. Jelasnya, antara NU dan tarekat merupakan kaum-kaum sufisme yang setia. Konsep ajaran yang ada di tarekat dan NU keduanya tidak jauh berbeda. Ini merupakan salah satu pengaruh yang paling kentara dalam sisa-sisa penyebaran Islam di Nusantara oleh ulama-ulama sufi.

Buku setebal 222 halaman ini mencoba mengklarifikasi hubungan yang harmonis antara NU dengan tarekat. Dengan model persamaan dalam kepemimpinan yang dimiliki keduanya, sehinga dalam politik perekrutan massa pun dikenal dengan politik kultural dan struktural. Politik kultural karena kedua golongan tradisionalis dengan tarekat ini memiliki persamaan di banyak bidang. Sementara, secara struktural, keduanya kemudian meleburkan diri dalam sebuah organisasi yang dinamakan NU. Model politik kultural dan struktural ini yang digunakan NU untuk menarik massa saat memasuki dunia politik yang meleburkan diri dalam Masyumi hingga saat ini.

Peresensi adalah Peneliti pada Hasyim Asy’ary Institute,Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=13741

No comments:

Post a Comment