Thursday, October 28, 2010

Kiai Ihsan: Tokoh Intelektual-Spiritual Islam

05/05/2008

Judul Buku: Jejak Spiritual Kiai Jampes
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2008
Tebal: xii + 76 halaman
Peresensi: Anwar Nuris

Konon, banyak ulama dan pakar bahasa Arab, termasuk ulama Al-Azhar (Mesir), yang tidak segera percaya saat mereka tahu bahwa pengarang kitab Amtsilatut Tashrifiyyah adalah KH Makshum Ali dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.

Begitu pula yang terjadi pada KH Ihsan bin Dahlan Jampes, dengan salah satu karya monumentalnya berjudul Sirojuth Tholibin sebagai kitab sarah/penjelas dari Minhajul ’Abidin-nya Imam Al-Ghazali, mampu membuat penasaran para penggemar “etika al-Ghazali” di Eropa, karena mereka mengakui doktrin-doktrin Imam al-Ghazali yang begitu rumit namun dengan gamblang diuraikan Kiai Ihsan. Bahkan, ketika kitab Sirojuth Tholibin terbit dan beredar di dalam maupun di luar negeri, datanglah utusan Raja Faruq dari Mesir yang meminta Kiai Ihsan untuk mengajar di Universitas al-Azhar. Tetapi, dia lebih memilih untuk tetap tinggal di pesantrennya, menjadi teman setia santri dan mengajari mereka keluhuran akhlak. (hal. 24)

Kiai Ihsan bin Dahlan (1901-1952) lahir di Jampes, Kediri. Dia masih keturunan Raden Rahmatullah (dari Surabaya) melalui jalur nasab pihak perempuan, yaitu Nyai Isti’anah. Pertanyaannya, mengapa membaca sosok Kiai Ihsan ini atau membaca buku ini sangat menarik? Tidak lain karena intelektualitas paripurna Kiai Ihsan yang ditopang ketangguhan dan pengalaman-pengalaman yang unik dalam pergulatan spiritualnya.

Jadi, dengan kemakrifatan dan ketinggian ilmunya, Kiai Ihsan (begitu sapaan akrab dalam buku ini) mampu memadukan dirinya dengan pencipta dan hubungannya dengan sesama. Melalui jalan asketisnya, dia mampu menembus jalan wushul kehidupan akhirat, ditambah sosoknya yang yang humoris, kreatif, dan ber-saharul lail (nyangkruk) dengan kopi dan rokok, sehingga begitu dekat dengan alam sekitarnya, terutama dengan santrinya.

Sebagai bukti kreativitas Kiai Ihsan, dia banyak melahirkan cakrawala-cakrawala pemikirannya dalam bentuk karya tulisan. Di antaranya yang sempat terlacak adalah kitab Sirojuth Tholibin (Pelita Para Pencari), Irsyadul Ikhwan; fi bayani hukmi qahwati wad Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tashribul Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijatul Miqat-nya Kiai Dahlan, Semarang), dan Kitab Manahijul Imdad (syarah Irsyadul Ibad-nya Kiai Zainuddin dari India-Selatan).

Pada tingkatan sastra, Kiai Ihsan telah menunjukkan betapa kuatnya dia dalam cabang yang satu ini. Hal itu diketahui dari karyanya berjudul Irsyadul Ikhwan; fi bayani Qahwati wad Dukhan, sebuah syair-syair yang indah yang memuat tentang kopi dan rokok.

Dalam hal politik praktis, Kiai Ihsan bisa dijadikan parameter. Sebab, sebagai sosok yang mempunyai peran luas dalam sosial kemasyarakatan, dia paham betul dengan high-politics (strategi politik tingkat tinggi) sehingga tidak lantas menjual harga diri pesantren. Hal itu tercermin dari sikapnya pada masa-masa penjajahan, revolusi fisik dan bahkan dengan partai, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.

Harus diakui, daya pikat politik telah mengubah pandangan hidup banyak kiai dalam memandang ragam pengabdian kepada masyarakat. Meski jika kembali mempertimbangkan faktor semangat zaman dan motivasi, tentu kita bisa memakluminya. Sebab, di zaman sekarang, siapakah yang mau benar-benar senekat Jalaluddin As-Suyuthi yang mengasingkan diri dari khalayak ramai untuk benar-benar menyibukkan diri hanya untuk menulis sehingga menghasilkan lebih 600-an karya dari berbagai disiplin ilmu.

Kembali kepada term buku ini, Murtadho Hadi, penulis buku ini, juga mengupas pemikiran Kiai Ihsan dalam bidang tasawuf sebagaimana yang tertera dalam karya monumentalnya, Sirajuth Thalibin, baik dari narasi besarnya yang merujuk pada kitab Minhajul 'Abidin-nya al-Ghazali atau nilai-nilai sufistik yang terkandung di dalamnya.

Menurut Kiai Ihsan, terdapat tujuh upaya berat/jalan terjal (aqabah) untuk mencapai wushul kepada Rabbul Jalil, yaitu ‘aqabtul ilmi (jalan terjal di dalam ilmu), ‘aqabatut taubah (jalan terjal di dalam tobat), ‘aqabatul awa’iq (antisipasi rintangan dan penghalang), ‘aqabatul ‘awarih (upaya menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya duniawi), ‘aqabatul bawa’its (upaya membangkitkan kerinduan yang mendalam kepada Sang Khaliq), ‘aqabatul qawadhih (upaya untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam kemurnian), dan ‘aqabatul hamdi was syukri (upaya untuk mencapai maqam syukur yang sebenarnya).

Beberapa isi pokok dalam buku “Jejak Spiritual Kiai Jampes” ini, memang sedikit banyak mengikuti apa yang pernah digeluti para sufi Islam yang lain. Seperti Walisongo, di mana ajaran Islam merupakan sebuah gerakan, pengetahuan, dan sikap yang harus diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai sifat keberagaman hanif, toleran, dan damai.

Tak pelak lagi, buku ini penting dibaca kembali siapa pun yang ingin menghayati semangat kaum sufi atau nilai-nilai dasar Islam, khususnya para santri di pesantren. Dan bisa dikatakan, buku ini juga termasuk bagian dari “intisari” ajaran Islam yang diyakini sebagai fitrah, yaitu proses perjalanan panjang seorang sufi untuk mencapai Rabb-nya. Seperti semangat yang sering dijalani penganut agama-agama lain.

Hanya, buku ini memiliki kelemahan tersendiri, seperti yang diakui penulis bahwa buku ini lahir dari perbincangan santai dengan para sarkub (sarjana kuburan) di pojok-pojok warung kopi yang ada di sekitar kuburan yang pernah penulis ziarahi, sehingga lebih banyak mengandalkan ingatan, terutama menyangkut nama-nama dan judul-judul kitab. Jadi, bisa dikatakan judul buku ini tidak bisa merepresentasikan isi buku.

Namun, yang demikian itu tetap merupakan upaya yang patut dihargai dan diapresiasi bersama, bahwa kehadiran buku setebal 76 halaman ini bisa menjadi santapan alternatif mengingat kembali dimensi terpenting pergulatan spiritual hamba mencapai tingkatan insan kamil. Sebab, uraian-uraian sufistik dalam buku ini cukup memberi inspirasi dan pencerahan sekaligus menyimpan hikmah yang cukup mendalam.

Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=12521

No comments:

Post a Comment