Saturday, October 16, 2010

Pesan ‘Spritual’ Pangeran Sufi

08/12/2008

Judul Buku: Mutiara Agung Pangeran Sufi Al-Junaid Al-Bagdhady
Penulis: KH Moh. Lukman Hakim, MA
Penerbit: Cahaya Sufi, Jakarta
Cetakan: Pertama 2008
Tebal: (xix + 317) halaman
Peresensi: Mashudi Umar

Tasawuf sesungguhnya bukan sesuatu penyikapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, seperti diteguhkan Dr Abu Al-Alaf Afifi dalam studinya tentang tasawuf Islam klasik, tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spritual dalam masyarakat. Dan, bukankah moral spritual ini merupakan ethical basic atau al-asisayatu-akhlaqiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan?

Kaum sufi adalah kelompok garda depan di tengah masyarakatnya. Mereka seringkali memimpin gerakan penyadaran akan adanya penindasan dan penyimpangan sosial.

Selain itu, tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia kedalam harmoni dan keseimbangan total. Metode ini bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam. Dengan demikian, perilakunya tampak sebagai manifistasi cinta dan kepuasaan dalam segala hal. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pedidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual—kini dikenal dengan ESQ (Emotional Spiritual Quotient).

Intinya, belajar untuk tetap mengikuti tuntuntan agama, entah itu berhadapan musibah, keberuntungan, kedengkian orang lain, kaya, miskin, atau dalam kondisi pengendalian diri atau pengembangan potensi diri. Sufi-sufi besar seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Ghazali, Sirri Al-Siqthi, Asad Al-Muhasabi dan Junaid Al-Bagdadi, telah memberikan teladan kepada umat bagaimana pendidikan yang baik itu. Di antaranya berproses menuju perbaikan diri dan pribadi yang pada gilirannya akan menggapai puncak makrifatullah, yakni sang Khaliq sebagai ujung terminal perjalanan manusia di dunia.

Kata-kata tasawuf makin banyak dikenal orang sejak periode Hasan al Basri, putra kelahiran Madinah tahun 21 H/642M dan wafat pada 729 M. Pada 37 H, setahun setelah perang Shiffin, ia pindah ke Basrah. Di sini ia memulai karirnya sebagai ulama, seorang zahid yang yang sangat berpengaruh. Para ulama tasawuf berpendapat, Hasan Basri-lah orang pertama yang mengajarkan ilmu tasawuf yang melambangkan awal sikap asketik dan mengeritik pemerintahan yang zalim, karena telah larut dan basah oleh kehidupan dunia dan kering kerontang pada kehidupan akhirat. Motivasi itu disebabkan kemenangan umat Islam yang gilang gemilang pada 711 M, tanpa diimbangi tempaan batin untuk tetap memelihara sikap kemanusiaan mereka.

Sampai abad pertengahan, dalam mekanisme penyebaran Islam, kehidupan tasawuf semakin memuncak dan mengalami kemasyhuran, sehingga bermunculan tokoh-tokoh spektakuler, semisal, al-Hallaj yang menerima eksekusi pancung pada 309 H. Imam al-Ghazali, sebagai tokoh yang dijadikan acuan para sufi moderat. Al-Ummi, Abdul Qadir Jailani, Ibnu Arabi, adalah menjadi bukti bahwa dimensi spritual lebih menarik para pelakunya ketimbang ilmu lahir.

Pemahaman sufi yang sesungguhnya menjadi sangat menarik di tengah-tengah komersialisasi komunitas sufi di perkotaan bahkan tidak segan-segan untuk meng-”komuditas” terhadap Tuhan, untuk dijadikan bisnis miliaran, khususnya di Jakarta. Penulis menyarankan kepada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan untuk hati-hati terhadap model “bisnis spritual-sufi” dengan topeng pelatihan, workshop atau pertemuan yang harus mengganti kontribusi jutaan rupiah hanya untuk mencapai ma’rifatullah atau ketenangan jiwa dengan waktu yang sangat singkat, apalagi pembimbingnya tidak kapabel, tidak alim terhadap profesi tersebut. Carilah guru yang sesungguhnya!

Buku ini dibagi menjadi tiga bab yang berkaitan dengan aktivitas dan ketokohan Junaid Al-Bagdhadi yang dilahirkan di kota Irak. Mutiara Agung Pangeran Sufi menjelaskan beberapa hal di antaranya tentang tauhid, tobat, uzlah, gelombang nafsu, dalam perspektif sufi al-Junaid, dan lain-lain.

Sementara, pada konteks studi-studi orientalis, dalam hal ini, al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa dianggap “misteri” yang dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas perkembangan pemikiran kaum sufi dalam lingkaran tasawuf.

Sebenarnya kehidupan al-Junaid di Baghdad tidak semulus ketokohannya. Seringkali ia dikejar dan ditangkap, karena dituduh sebagai pelaku kekufuran dan ke-zindiq-an. Ini juga menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid dalam eksekusi kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenalkan publikasi rahasia-rahasia spritual. Apalagi pandangan al-Hallaj yang disalahpahami khalayak seputar wujud rabbani dan wujud insani yang mendorong masyarakat terjerumus dalam pandangan “serba boleh”, yang ini merupakan pandangan kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum syariat melalui metode ketiadaan dan ketidakwujudan mereka kemudian disebut ahlul ibahah.

Di tengah realitas itu, bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda tersebut dalam relevansi tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan diri yang tidak bisa dilakukan al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami atau ahlul ibahah (liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib.

Al-Imam Syekh al-Junaid al-Bagdhadi, bagi kalangan umat Islam, khususnya warga NU adalah tokoh pemuka, pangeran sekaligus “burung merak” yang indah nan agung dari kalangan mereka. Ia adalah pemimpin kaum sufi di zamannya sekaligus menjadi panutan berabad-abad bagi kekuatan umat Islam seluruh dunia. Ia adalah simbol para wali di zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap ma’rifatullah.

Ia berguru pada para ulama dan pakar sufi, sepert Al-Muhasiby, Adz-Dzary, Abu Sa’id Al-Kharraz dan ulama besar yang lain. Ia juga melahirkan murid yang terkenal seperti Asy-Syibli dan al-Hallaj.

Al-Junaid mengatakan, apabila kefanaan wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang haq, terkadang menyeret pada istilah hulul dan ittihad. Maka, ia membuat paradigma kebenaran bahwa fana tersebut adalah fana dalam Allah melaluinya kembalinya hamba yang manunggal kepada al-baqa’ setelah mengalami al-fana’ dan kembali pada al-khudur setelah mengalami al-ghaibah.

Penyunting buku ini, Lukman Hakim, tokoh NU yang berprofesi sebagai seorang sufiolog—orang memberikan nama—karena ia mempunyai komunitas sufi di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi yang berjumlah 1 juta orang tiap paguyuban/tempat, bahkan melebar ke Surabaya dan Malang, mencoba menguraikan tokoh sufi yaitu Junaid Al-Bagdhadi atas beberapa tutur-kata dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti. Buku ini sangat penting untuk dijadikan referensi, baik sebagai pemimpin, pemerhati, pengamat maupun pelaku sufi itu sendiri karena menambah pengetahuan dan wawasan tentang makna dan aplikasi tasawuf-sufi. Selamat membaca!

Peresensi adalah Ketua Eksternal Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Probolinggo, Jawa Timur

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15315

No comments:

Post a Comment