Sunday, October 17, 2010

Becermin dari Kiai Blambangan

15/12/2008

Judul Buku: Tiga Kiai Khos
Penulis: Ainur Rofiq Sayyid Ahmad
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2008
Tebal: xiii+154 Halaman
Peresensi: A. Syaiful A'la

Saat konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pecah, muncullah istilah yang dicetuskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan nama kiai khos dan kiai kampung. Buku yang ditulis Ainur Rofiq Sayyid Ahmad bukan berarti untuk membedakan antara kiai khos dan kiai kampung. Tetapi yang dimaksud penulis adalah untuk menjelaskan kepada publik, mana kiai yang harus menyandang gelar warasatul al-anbiya’ (pewaris nabi)? Karena banyak kiai di beberapa daerah sekarang ini yang tidak mencerminkan sebagai pewaris nabi ketika terjun dalam politik praktis. Yang seharusnya menjadi kiai khos berubah menjadi kiai “kaos”, kiai kampong—seorang kiai yang bersentuhan langsung dengan masyarakat—malah menjadi kiai “kampungan” yang selalu membodohi masyarakatnya.

Disadari atau tidak, kiai atau ulama telah dianggap sebagai pewaris para nabi – sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits—al ulama waratsatul anbiya’. Dalam konteks ini, kiai berarti mempunyai dua fungsi. Pertama, li khilafati an nubuwwah fi hirasati ad din (pemilik otoritas menegakkan agama). Kedua, wa fi hirasati siyasati ad dunya, yakni membimbing umat manusia. Dalam praktiknya, kemasyarakatan dan kenegaraan, idealnya nilai-nilia moral keulamaan yang mengontrol kehidupan masyarakat dan moral ulama pula yang mengendalikan sebuah kekuasaan.

Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ al Ulumiddin, membagi ulama dalam tiga tingkatan. Yakni al-ulama al dunya (hidup dan perjuangannya yang selalu diukur dengan materi), al ulama ukhrawi (seorang ulama yang mengedapan amalan ritual, penghambaan diri kepada Allah) dan al ulama’u su’un (menghalalkan sesuatu dengan berbagai cara untuk kepentingan dirinya pada akhirnya menjerumuskan dirinya pada jurang ketidakpastian).

Kata “ulama akhirat” yang didefinisikan Imam Al-Ghazali sebenarnya bukanlah pengetian yang cukup sederhana, yakni bukan hanya ulama berkutat pada sebuah ritual mahdah, pengahambaan diri kepada Allah tanpa mempertimbangkan atau memperhatikan apa yang terjadi sekitarnya. Melainkan ulama dalam arti yang lebih luas, hakIkat dari ulama akhirat adalah bahwa karakteristik ulama selalu menjadi ruh dan inspirasi bagi setiap kehidupan sosial, politik dan kultur masyarakat. Dan, yang demikian itu, seperti yang dicontohkan ketiga kiai dari Banyuwangi, Jawa Timur, dalam buku ini.

Pertama, KH Zarkasi Djunaidi bukanlah seorang politisi praktis, namun hampir tidak satu proses politik yang terjadi di Banyuwangi tidak luput dari sentuhan tangan lembutnya. Di samping itu pula, dalam keseharian hidupnya, ia dikenal sebagai sosok yang bijak. Ia mengerti dengan siapa ia berhadapan. Kalau berkumpul dengan anak-anaknya menggunakan kata-kata layaknya kanak-kanak. Begitu juga ketika berkumpul dengan orang tua, ia juga dengan gaya bahasa orang tua atau dewasa (yukrim kabirana wa yarham shaghirana).

Kedua, KH Mukhtar Syafaat bukanlah seorang ekonom, namun kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi umat tidak kecil. Pengaruhnya semakin kuat dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan ketika ia menyandang jabatan Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Hal itu sevisi dengan cikal bakal berdirinya jam’iyah Bintang Sembilan itu, bahwa salah satu pilar berdirinya NU adalah pemberdayaan ekonomi umat yang dikenal dengan jam’iyah Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha) yang digagas Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai semasanya.

Ketiga, KH Askandar bukanlah pemegang tampuk kekuasaan negara atau militer, namun perjuangannya untuk terus memberikan kesadaran terhadap masyarakat dan membela Tanah Air (semangat nasionalisme) melawan penjajah tidak dapat disepelekan. Perjalanan panjang yang dilaluinya dalam mengisi kemerdekaan, sebagai pengasuh pesantren tetap tidak melupakan pesantrennya sebagai pusat pendidikan (education center) bagi masyarakat. Bahkan, ketika masuk dalam perpolitikan nasional, ia berkabung ke kepengurusan NU (Partai NU pada waktu itu). Tetapi kesibukan dalam dunia politik tidak membuatnya lupa pada pesantrennya dan tunggung jawabnya untuk membina masyarakat.

Kiai dan Politik

Selama ini, politik oleh banyak orang selalu dikonotasikan yang negatif. Secara substansinya seperti memang dari “sononya”. Melainkan, akibat terkait dengan implementasinya yang justru menyimpang seperti yang dipertontonkan para politikus saat ini. Akhirnya, masyarakat menyimpulkan sendiri bahwa kiai yang terjun dalam politik praktis juga dicap jelek.

Yang ironis, dalam percaturan politik, kiai terkadang memainkan segala peran untuk memenuhi ‘syahwat’ politiknya guna tercapainya tujuan yang diinginkan. Kata-kata “demi umat”, “ukhuwah”, “pembangunan”, “demokrasi”, “rakyat” sudah menjadi ‘nasi’ dan ‘sayur’ bagi mereka untuk mengais perhatian. Dalil Al-Quran pun sudah mereka lahap dengan nikmatnya, sekalipun tidak dalam konteks yang sesungguhnya.

Buku ini perlu dibaca para kiai atau calon kiai (santri) untuk menjadi rujukan bahwa ketiga figur kiai di atas adalah benar-benar tidak terpengaruh dengan tawaran duniawi yang sifatnya sementara (fana’). Tapi, lebih (selalu) mengedepankan nilai-nilai kepentingan umat dalam jangka waktu panjang.

Melalui buku ini, kita pun akan jernih melihat persoalan politik yang dimainkan kiai, jalan panjang demokrasi kita. Misal, politik yang selalu distempel jelek keterlibatan kiai dalam politik praktis. Sehingga mengakibatkan kehilangan jati diri atau identitas ke-kiai-annya.

Peresensi adalah Aktivis pada Komunitas Baca Surabaya

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=15435

No comments:

Post a Comment