Saturday, August 14, 2010

Perspektif Baru Membaca NU

Tribun Timur, Minggu, 21 Maret 2010 | 02:39 WITA

Pembacaan terhadap NU melalui pelbagai penelitian untuk konsumsi akademis telah banyak dilakukan para peneliti bule sebagai out siders. Pembacaan orang luar terhadap NU cenderung dijadikan pakem dan pembenaran membaca NU.

Sebut misalnya hasil penelitian bule yang concern dengan komunitas NU oleh Andrey Fillard, Gerg Fealy, Greg Barton, Mitsio Nakamura, Martin Van Bruinessen, mereka membaca NU dalam perspektif dengan metodologi yang dibangunnya.

Sementara di intern NU terus terjadi pergolakan dalam mencari identitas dalam bingkai wacana dan gerakan kian menggeliat. Kesadaran akan pentingnya identitas menjadikan NU harus menulis dirinya sendiri, meski berhadapan ujian subjektivitas.

Setelah NU banyak ditulis peneliti bule dan peneliti lokal, setidaknya berhasil menyibak stigma tradisionalis. Stigma tradisionalis yang diartikan jumud dan terbelakangpun bergeser. Meskipun NU tetap menjadikan tradisionalis sebagai identitas dengan alasan penjaga nilai-nilai tradisi yang berdialektik dengan nilai agama secara sinergis.

Paling tidak, kreativitas kaum muda NU menyematkan identitas baru bagi komunitasnya sebagai jalan panjang pencarian identitas yang tak berujung. Hal mana yang mendorong tumbuhnya kreativitas hibriditasnya dalam bingkai reinventing.

Blantika NU dalam altar pemikiran tidak pernah sepi wacana. Kini, NU Studies hadir sebagai terobosan baru dari rahim NU yang menghimpun tradisi, pencerahan dan kritisme dalam perspektif baru pula.

Perpaduan hibrida antara tradisi aswaja, praksis kebangsaan- keindonesiaan dan kritik poskolonial disemai sebagai sebuah perspektif baru dan operasionalisasi kritik dalam pijakan metodologi sebagai wajah baru wacana dalam kancah pemikiran Islam Indonesia kontemporer.

Selain itu, wacana NU Studies ini juga membaca realitas menguatnya dua kutub fundamentalisme Islam dan fundamentalisme neo-liberal yang tarik menarik antara seruan melawan terorisme sebagai musuh bersama, perang ide dan benturan (perang) antarperadaban yang dikampanyekan Imperium AS, di satu sisi.

Di sisi lain, menguatnya kutub invasi pemikiran yang diusung kelompok gerakan Islam kanan. Satu kutub berkiblat ke pusat neo-liberalis AS dan satu kutub lainnya berkiblat ke Saudi Arabia. Pergolakan pemikiran dua kutub antara liberalisasi Islam berhadapan dengan pemurnian dan puritanisasi dan upaya komodifikasi dan penyeragaman.

Upaya menyibak perbenturan dua kutub tersebut, menjadi bagian diskursus yang diungkap dalam buku NU Studies Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, karya Ahmad Baso seorang intelektual muda NU "berenergi" mencoba mengukuhkan pembacaan baru atas identitas NU dengan menulis balik dan menulis ulang dalam ranah kritik dan praksis.

Disamping NU Studies sebagai kacamata pandang dalam membaca pelbagai wacana dan gerakan pemikiran Islam, tidak terbatas dalam komunitas NU, tetapi membaca di luar NU dari perspektif baru tersebut.

Diskursus NU Studies lahir untuk membuka wawasan dalam pelbagai perspektif dan mengkomunikasikan warna warni kehidupan dalam memandang agama, realitas sosial-politik dengan membuka ruang dialog dan diskursus rasional tanpa pekikan fundamentalisme.

Demikian halnya, ketika membincang ihwal pascakolonial atau subaltern sebagai "wacana publik" sebagai komunitas masyarakat terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, NU tetap menjadi akrab. Justru NU merintis sebuah strategi kultural sebagai garda terdepan sebagai perlawanan subaltern.

Oleh penulisnya, buku ini dibagi ke dalam tiga bagian besar. Bagian pertama yang dikukuhkan sebagai landasan metodologis ini mengemukakan pengertian menulis balik dan konteks epistemologis dan sosiologisnya, dimulai sejak kemunculan NU kultural.

Bagian ini pula disajikan ihwal NU Studies sebagai sebagai proses menulis balik dengan mengedepankan NU sebagai fa'il (subjek), bukan maf'ul (objek). Penulis menjadikan fiqh sebagai wacana perlawanan diiringi upayanya secara rekonstruktif untuk menulis ulang sejarah "kebenaran" Aswaja dan memposisikan ushul fiqh sebagai pencerahan pemikiran.
Bagian kedua buku ini sarat dengan nuansa kritisisme berikut cara kerjanya atawa operasinalisasi sebuah kritik dihunjamkan dalam altar wacana pemikiran Islam.

Tepatnya, NU Studies menampilkan dirinya sebagai bentuk kritik epistemologis berikut cara kerjanya. Kajiannya mengenai post tradisionalisme Islam ini, Baso membidiknya dengan kritik yang mempertanyakan postra ini sebagai counter terhadap Islam liberal yang dulunya dikenal dengan neo-modernisme Islam.

Pewacanaan Postra ini pernah menjadi maenstream pemikiran kaum muda NU yang diposisikan sebagai epistemologi.

Meskipun postra tetap menjadi "misterius" yakni tidak dikenal dalam kamus Indonesia, tetapi menjadi varian dalam pemikiran Islam kontemporer. Masih pada bagian ini, buku ini juga mengajukan kritik atas tradisi pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai representasi neo-modernisme Islam.

Selain kritiknya atas proyek pembaruan Islam, Wahabisme dan reformasi Islam yang hendak memurnikan ajaran Islam dari keterkungkungan tradisi berikut kritiknya terhadap Wahabisme dan Neo-modernisme Islam yang dicanangkan Cak Nur (h.187).

Baso kemudian ia membandingkan pemikiran Cak Nur dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pemetaan yang mengurai titik temu dan titik beda dari kedua pembaharu Islam tersebut.

Kritik terhadap Cak Nur semakin menajam pada uraiannya dalam meletakkan Cak Nur sebagai pengkhotbah atau pengusung ideologi Islamisasi yang dirumuskan melalui NDP HMI itu diperbandingkan dengan gerakan pribumisasi Islam-nya Gus Dur.

Kontribusi Gus Dur menjadikan Islam sebagai etika sosial yang menegaskan pemisahan wewenang fungsional agama dan negara. Dalam ikhtiarnya, penulis Buku Islam Pascakolonial ini justru membaca pemikiran etika sosial Gus Dur sebagai etika publik, meski Gus Dur sendiri tidak memakai istilah tersebut.

Baso kemudian beralasan bahwa penggunaan etika publik ia gunakan untuk menguji sejauhmana gagasan Gus Dur tentang Islam sebagai etika sosial? (h.291)

Selain membaca dengan kritik atas pemikiran Cak Nur dan Gus Dur, Baso juga "mengadili" pemikiran Masdar F Mas'udi dalam gagasannya melalui buku Agama Keadilan-nya.
Dalam proses eksplorasi atas varian pemikiran dari cara berpikir di lingkungan NU ini, pemikiran Masdar dibedah sebagai suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terkait dan mencakup sejumput tema yang dirangkum dalam agama keadilan.

Kritisime Baso berangkat dari nalar dalam kesadaran dan keberanian Masdar mengajukan konklusi penyatuan agama dan negara sebagai konsekuensi dari masalah penyatuan zakat dan pajak (h.313).

Sementara pada bagian akhir buku ini, Baso lebih mengarah pada pembacaan identitas NU secara praksis kaitannya NU menulis dalam konteks kebangsaan, keislaman dan keindonesiaan. Istilah "NU menulis" menjadi menarik sebab NU mampu mengisi ruang publiknya yang (mungkin) berbeda dengan "NU ditulis".

Uji subjektifitas menjadi taruhan dan tatangan NU menulis. Tampaknya niat baik NU menulis ini telah dimulai oleh Baso dengan membaca dan menulis keislaman, pascakolonial, orientalisme dan imprealisme global.

Munculnya perspektif baru atas berbagai wacana tersebut tersibak dari NU menulis ini sebagai upaya menulis fakta dan tidak melulu wacana sehingga mampu menarik garis demarkasi dibelantara subjektifitas dan objektifitas atawa pertarungan idealitas-realitas.

Demikian halnya NU menulis jihad dan terorisme dalam konstruk benturan antarperadaban dan aksi teror di belahan dunia Islam yang bermuara pada stigmatisasi sehingga NU perlu menulis sikapnya dalam membendung dan menyikapi imprealisme global dan militerisasi politik AS.

Tampaknya, Baso kian bersemangat mengenalkan dan memperjelas geneologi NU Studies dengan seperangkat "alat" kritiknya.

Memang disinilah kekuatan buku ini, yakni NU Studies diposisikan sebagai arah baru dengan bangunan metode sebagai sebuah perspektif baru kajian Islam Indonesia kontemporer. NU Studies tidak semata sebagai perspektif orang NU membaca NU, tetapi ia hadir untuk membaca sketsa pemikiran di luar dirinya.

NU Studies menghadirkan diri sebagai terobosan baru pemikiran Islam yang masih dalam proses menjadi. Dalam konteks reinventing kajian Islam Indonesia Kontemporer, NU Studies hadir tepat waktu untuk melakukan pembacaan objektif dari dalam dirinya, bukan didikte dari pengamat luar yang bisa bias atawa ambigu.

Pembacaan dengan nalar kritik ala NU Studies menjadi penting dalam membaca peta pemikiran gerakan Islam di Indonesia yang selama ini cenderung merujuk perspektif out sider dalam membaca Islam Indonesia.

NU Studies oleh penggagasnya diobsesikan melampuai Islamic Studies karena ia hadir dari sebuah krisis dalam Islamic Studies yang mengadiluhungkan Islam sebagai sesuatu yang universal.

Sementara dalam optik NU Studies, term universal patut digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan, artinya term ini ditolak karena pembakuan universal yang condong mengabaikan dimensi lokalitas, etnik dan komunal.

Padahal konflik atas nama agama dapat dilerai dengan pendekatan local wisdom sebagai solusi konflik melalui pendekatan ajakan kembali ke identitas budaya dan lokalitas.

Wacana Islamic Studies dengan proyek Islam universalnya mengalami kebuntuan dalam mendialogkan problem agama dalam kehidupan keseharian masyarakat dalam lingkungan persilangan identitas agama dan etnik. Islam universal hanya bermakna dalam pintalan teks-teks akademik.

Benarkan Islamic Studies gagal membangun perspektifnya dalam mendialogkan agama dengan kearifan lokal? Setidaknya Baso gamang untuk menaruh optimisnya akan hal itu sehingga ia menghunjamkan perspektif NU Studies dengan strategi kultural untuk membangun kajian Islam keindonesiaan yang membumi.

Terlepas apakah buku ini dengan segenap semangat dan kekayaan perspektifnya dianggap lahir terlalu dini untuk mengisi ruang wacana pemikiran Islam.

Nyatanya buku ini berhasil membangun perspektif baru dalam membaca NU dalam optik kaum nahdliyin yang senantiasa merekatkan identitasnya dan membuka wawasan kita dalam membaca ulang NU dalam konteks subaltern dan HAM kultural dalam bingkai multikulturalisme.

Paling tidak mampu menyibak cakrawala pergolakan pemikiran antara fundamentalisme Islam dan fundamentalisme neo-liberal dalam perspektif NU Studies sebagai terobosan baru pemikiran Islam di Indonesia.*

No comments:

Post a Comment