Sunday, August 22, 2010

Percakapan NU “Miring”

Resensi NU Miring 18 Juli 2010 Seputar Indonesia Percakapan NU “Miring”

Oleh Miming Ismail

MEMPERBINCANGKAN organisasi keagamaan,semisal NU,memiliki keasyikan tersendiri.Sebab,selain memiliki kekayaan khasanah tradisi, nilai-nilai keagamaan,NU juga memiliki muatan-muatan lokal yang cukup kompleks.

Maka,ada baiknya kerut wajah kita dilenturkan sejenak, seraya memilih tempat yang aman bagi gelak tawa. Sebab, selain ayat-ayat atau dalil-dalil ahlussunnah wa aljama’ah yang ber-jibun, NU juga punya gambaran “miring” tentang perilaku politik dan praktik keseharian masyarakatnya, yang kadang terlihat dan terdengar jenaka.

Di suatu pertemuan tahlilan, atau pada acara selamatan tetangga Anda yang baru saja punya motor baru, misalnya Anda yang berlatar NU, barangkali akan merasakan suasana yang hangat pertemuan. Kegiatan tersebut, meski kadang dipandang orang modern sebagai takhayul,atau sebutan apa saja,justru bila disikapi secara rileks akan terasa khusyuk berbalut kegembiraan; dari mulai laku geleng-geleng kepala dengan gerakan miring ke kanan dan ke kiri sambil memanjatkan kebesaran
Tuhan,sampai obrolan penutup soal politik dan seks di riungan yang biasa dilakukan warga NU.Semuanya terasa sangat rileks dan menyenangkan. Itulah yang sepintas tergambar ketika pertama kali membuka lembaran buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring.

Kiprah Kiai Kampung

Sejak berdiri pada tahun 1926 Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Secara formal organisasi ini bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Kiprahnya selama ini memangcukupsignifikan di tengah-tengah masyarakat, terutama di bidang pendidikan dan sosial. Namun,bagi sebagian kalangan justru tidak di bidang politik.

Kepiawaian NU di bidang politik diragukan, oleh karena tidak memiliki modal kuat dalam bermanuver,juga strategi.Apalagi di tengah keruh politik yang kadang tak jarang membuat kader NU terseret,bahkan cenderung saling sikut antarkadernya. Namun, di bidang sosial sebenarnya NU masih cukup memiliki daya tarik yang kuat.

Sebab, jangkar- jangkarnya terletak pada figurfigur ulama atau tokoh yang kerap disebut “kiai”, yang dikenal memiliki integritas dan kesederhanaan serta keteladanan di tengahtengah masyarakat.Potret Kiai semacam ini tentu saja tercermin pada kiai-kiai yang hidup di pelosok- pelosok desa di mana masyarakat NU bermukim. Para kiai di kampung-kampung menjadi jangkar moralitas, tempat mengadu warga NU dari hal remeh hingga masalah paling besar seperti pilihan politik.

Figur-figur tersebut telah melewati masa-masa pelik,dari mulai mereka berjuang hidup memenuhi ekonominya sendiri, belajar kitab kuning dari pesantren ke pesantren, mengajar mengaji dari pintu ke pintu rumah, menghidupi surau-surau kecil,hingga membuat pesantren. Perilaku mereka yang juhud, kesederhanaan sikap dan kepeduliannya pada masyarakat tak ayal menjadikan para kiai kampung ini sebagai sumber inspirasi juga keteladanan. Hingga sebutan kiai pun melekat padanya. Sebab, bagaimanapun label kiai di tengahtengah masyarakat bukan sesuatu yang given. Semua dilalui melalui liku perjuangan, juga bukan semata-mata yang dikehendaki oleh para penjaga moralitas ini.

NU “Miring”

Dalam sejarahnya, kiprah kalangan pesantren terutama yang tercermin pada kiai-kiai kampung tersebut, sudah dirasakan sejak melawan kolonialisme di era penjajahan lalu.Namun,keseriusan perjuangan dan lakon keseharian masyarakat NU,tak selalu terlihat kaku.Karena dalam banyak kesempatan banyak hal-hal “miring”yang layak untuk diperbincangkan.

Misalnya, soal perilaku guyon atau cerita-cerita jenaka yang tak jarang di ceritakan para kiai NU di sela-sela obrolan pengajian, atau di tempat-tempat tahlilan. Perilaku yang rileks,sambil ditemani kopi pahit dan rokok keretek ini, tak jarang menjadikan suasana pengajian menjadi sangat cair, apalagi belakangan NU punya figur kontroversial, seperti almarhum Gus Dur yang tak jarang mengundang gelak tawa.

Semua itu cerminan betapa NU memiliki ciri khas yang rileks, menyenangi sesuatu yang pinggiran, juga terkesan “miring”, tapi awas jangan disamakan dengan sinting, seperti digambarkan Binhad Nurrohmat, sang penyunting buku ini,dalam risalah “Obrolan Imajinernya”.( halaman217–234) Buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring ini, memang terkesan miring.

Disebut miring. Sebab, kritikkritiknya tajam dengan muatan jenaka yang cerdas. Buku dengan sekumpulan tulisan dari para nahdliyin muda ini,hemat saya juga cukup reflektif dan segar untuk dibaca. Karena selain kritik yang tajam,isuisu yang ditangkap cukup memiliki tempat di khalayak ramai masyarakat NU, terutama suara-suara dari beragam penjuru. Selain potret miris ihwal nasib warga NU,perilaku politik yang menjijikan, buku ini juga dengan segar mencandai tentang praktek-praktek jenaka, dengan satir-satir yang khas, sebagaimana tercermin dalam obrolan imajiner Binhad Nurrohmat.

Binhad dan kawan-kawan sepertinya juga hendak mengambil jarak dari batas-batas ideal yang selama ini di konstruksi modernitas, ihwal tujuan-tujuan atau orientasi kelembagaan semisal NU yang seringkali mendasarkan diri pada universum yang konseptual, seraya memutarnya pada garis-garis pinggiran yang selama ini justru menjadi jangkar pertahanan NU.Maka,sebagai gambaran reflektif, dengan muatanmuatan yang kritis dan segar bernuansa “miring” buku ini cukup memberi inspirasi bagi kalangan nahdliyin juga di luar nahdliyin.(*)

Miming Ismail,pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.

No comments:

Post a Comment