Sunday, August 22, 2010

Lakon NU Miring

Resensi NU Miring, Radar Surabaya, 1 Agustus 2010


Oleh Ahmad Khotim Muzakka


BERAWAL dari obrolan imajiner menanggapi gegap gempita Muktamar NU ke-32 di Makassar yang dipajang di jejaring sosial, Binhad Nurrohmat mengakomodir beberapa temannya untuk mengawal paradigma baru dalam tubuh NU. Obrolan yang diberi judul Dari NU Miring ke Muktamar NU itu, pada waktu itu, memiliki relevansi dengan tulisan Acep Zamzam Noor yang dipasang di jejaring social juga, berjudul Kiai Kampung. Dari rentetan kebetulan itulah, buku ini hadir di tengah pembaca.

Acep Zamzam Noer menarik ingatan kita tentang realitas kiai zaman dulu yang sangat sakral di mata publik. Kiai bukan gelar yang diperebutkan. Kiai tidak sejajar dengan gelar sarjana atau pendidikan manapun di jagad dunia.
Kiai tak cukup dilekatkan pada pengucapan yang ditaruh di depan nama. Lebih dari itu, kiai merupakan penghargaan suci dari masyarakat atas “kerja sosial” seseorang dalam membina akhlak.

Menjadi ironis ketika, dewasa ini, kiai ditenteng kemana-mana semata sebagai gelar. Gelar Kiai jadi adu gengsi melawan konsumerisme dan kapitalisme. Kapitalisasi gelar kiai menjamur dalam kontestasi politik. Kiai selalu dibawa ke dalam ranah politis untuk menggenggam massa. Derajat kiai direndahkan dengan mengangkatnya sebagai penasihat. Meski dalam tataran praktis, kita bisa menggugatnya sebagai siasat marketing.

Soffa Ihsan dalam Nahdliyyin Anything Goes membincangkan lelucon yang, sejenak, bisa membuat pembaca geli. Ia terkenang sosok Mbah Bah, almaghfurlah KH. Misbach Zainal Mustofa, yang unik. Konon di pintu rumahnya, Mbah Bah memajang tulisan “Tamu Hanya 5 Menit”. Itu diniatkan agar tamu tidak berkunjung lamalama. Bahkan ketika Ihsan melakukan kunjungan ke sana, ia mendapatkan teguran halus dari Mbah Bah berbunyi: “Ini pasti orang NU, sukanya sowan-sowan.”

Dalam kultur NU, sowan (berkunjung) memang jadi tradisi dalam membina ukhuwah. Namun, bagi Mbah Bah itu menjadi semacam kultur yang harus dikritik. Dalam pandangan Soffa Ihsan, pandangan keagamana Mbah Bah terhitung” “keras” dan blak-blakan. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Binhad dalam kata pengantar bahwa NU nyaris tanpa kritik. Nah, keterbukaan Mbah Bah ini bisa ditandai sebagai cikal bakal NU Miring yang digagas oleh Binhad. Bahwa dalam hal apapun harus ada kritik.

Binhad sendiri menilai problem NU serupa gunung es di bawah permukaan laut. Isu yang dikawal hanya kasak-kusuk belaka. Sementara implementasinya kurang terasa. Organisasi massa terbesar di Indonesia ini masih dinilai abai terhadap realitas warga. Dalam takaran ekonomi, masyarakat NU dinilai lemah dalam pemberdayaan. Mestinya dengan acuan massa yang dianggap terbanyak ini, NU bisa menjadi ikon dalam hal pelayanan publik.

Mujtaba Hamdi dalam “NU Condong” Versus “Condong NU” mendialogkan suatu yang ganjil dam tubuh NU. Ia menyodorkan realitas timpang dalam hal kepemilikan wajah NU. Dalam suatu waktu dan dalam tubuh yang sama, orang yang ber”mazhab” NU bisa menjadi yang lain dari biasanya. Realitas massa NU sering diperdaya oleh hasrat kuasa-politik guna menggelembungkan prospek kemenangan dalam kancah praktis. Meski, dalam takaran yang sangat tak berimbang, masih ada yang mau menyondongi NU sebagai status abadi. Yang tak bebal menerima tukar kepentingan.

NU Miring bisa dimaknai sebagai pengusung kritisisme dalam pergerakan wacana dan dealiktika paradigma. Pergerakan yang politis dalam tubuh NU memang harus diimbang dengan kritikan yang tajam. Karena dengan begitu, telah mencoba menjadi pembanding dan penyeimbang. Binhad Nurrohmat menyebut NU Miring dengan sebutan jama’ah kesadaran yang menggelinding. Dengan menggelinding, NU Miring mencoba menjadi corak pemikiran yang tak statis. Menerima masukan dan terbuka mengawal perubahan. Nu Miring sejalan dengan
gagasan lama berbunyi Almuhafadzatu ‘ala al- qadim alshalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Menjaga tradisi lama yang relevan dan mengedepankan yang lebih relevan.

Membaca buku ini terasa benar bahwa otoritarianisme dan logosentrisme memang sudah seharusnya didobrak. Tanpa usaha ke arah sana, pengusungan wacana akan hambar dan tak ada resistensi berarti yang bisa mengimbangi suara tunggal. Jika pembaca memaknai buku ini sebagai kritik dan evaluasi, tentu bakal lain melihat oreintasi NU Miring sebagai yang bukan pada idelologi dan organisasi. Melainkan pada semangat dan ijtihad menyeimbangkan NU. Buku ini menang bukan jawaban atas problematika di tubuh NU, tapi setidaknya jadi pemicu. Demikian.

Ahmad Khotim Muzakka, Pegiat
Pustaka Pesanggrahan Kalamende,
Peneliti pada IDEA STUDIES IAIN
Walisongo, Semarang

No comments:

Post a Comment