Dua rumah yang saling berdampingan di depan kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, itu, kontras dengan pemasangan bendera dan banner yang ”bertolak belakang”. Satu rumah memasang spanduk ”Pejuang PAS” yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dan satu rumah lainnya memasang banner ”Barisan Gus dan Santri Bersatu” yang mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Dua pemilik rumah itu pun masih bersaudara karena mereka adalah saudara sepupu satu sama lain. Keduanya sama-sama cucu dari KH Hasyim Asyari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama dan juga pengasuh Ponpes Tebuireng yang pertama. Pemandangan yang demikian kontras dengan mudah disimpulkan bahwa kedua pemilik rumah berbeda pandangan politik, atau setidaknya memiliki pilihan politik yang tidak sama.
Berbeda pandangan politik itu hal biasa di Tebuireng dan NU pada umumnya.
”Saya dan Gus Irfan (KH Irfan Yusuf) memang berbeda pandangan politik, tetapi itu bukan masalah besar. Berbeda pandangan politik itu hal biasa di Tebuireng dan NU pada umumnya. Meskipun saya berbeda pandangan politik dengan Gus Irfan, tidak menjadi alasan saya memutuskan hubungan persaudaraan dengan beliau. Kemarin saya masih tahlilan dengan keluarga Denanyar bersama beliau,” ungkap KH Agus Zaki Hadzik, atau Gus Zaki, pemilih rumah dengan tulisan Baguss Bersatu, yang mendukung Jokowi-Amin.
Gus Zaki yang merupakan pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Timur pun merasa pemasangan banner yang saling bertolak belakang di depan rumah mereka adalah bagian dari praktik demokrasi dan perbedaan pendapat yang biasa saja. Santri dan ulama NU tidak terikat harus mendukung salah satu pasangan calon sebab mereka memiliki kebebasan masing-masing untuk menentukan pilihan politik.
Presiden Joko Widodo berziarah di makam KH Abdurrahman Wahid di kompleks Ponpes Tebuireng, Jombang, Selasa (18/12/2018). Turut mendampingi putri KH Abdurrahman Wahid, Zannuba Arifah Chafsoh (kiri). |
Dalam khazanah pemikiran NU, berbeda pendapat adalah lumrah dan semua memiliki landasan atau alasan masing-masing.
”Kalau misalnya santri berbeda pendapat dengan kiai atau ulamanya, saya katakan, dia sebaiknya diam saja. Jangan dibantah atau marah-marah. Karena keberkahan dari seorang guru atau kiai itu tiada duanya. Kalau soal pilihan politik silakan saja, tetapi soal menghormati kiai dan ulama, yakni dengan sikap tawadu, itu harus dilakukan seorang santri,” kata Gus Zaki.
Dalam khazanah pemikiran NU, berbeda pendapat adalah lumrah dan semua memiliki landasan atau alasan masing-masing.
Demokrasi dalam kehidupan pesantren, menurut Gus Zaki, seperti ”sego jangan” atau menu makanan sehari-hari. Hubungan santri dan kiai, oleh karena itu, dilandasi ikatan yang lebih kuat daripada pilihan politik. Ikatan kemanusiaan, persaudaraan, dan keilmuan lebih diutamakan daripada perbedaan politik. Perbedaan pilihan itu tidak menyebabkan santri dan ulama putus hubungan atau antarulama menjadi tidak akur. Namun, perbedaan itu bagian dari dinamika intelektualitas pesantren.
”Makanya, saya heran kenapa, kok, hanya karena berbeda pandangan politik, seorang ayah melarang anaknya menikah dengan orang yang pilihan politiknya tidak sama. Itu, menurut saya, bagian dari fanatisme politik yang melampaui batas-batas persaudaraan, apalagi kemanusiaan,” kata Gus Zaki.
KH Hasyim Asyari dalam beberapa kitabnya juga menyampaikan tidak bolehnya santri bersikap ta’ashub atau fanatik buta. KH Hasyim sendiri diceritakan pernah berbeda pendapat dengan wakilnya, KH Muhamamd Faqih, di Maskumambang, Gresik. KH Hasyim berpendapat, beduk yang dilapisi kulit sapi adalah benar menurut fiqh. Oleh karena itu, sebagai panggilan shalat, penggunaan beduk dibolehkan. Namun, ia tidak sependapat kalau kentongan dibolehkan menjadi alat panggilan shalat. Adapun wakilnya, KH M Faqih, berpandangan, penggunaan selain beduk, yakni kentongan, dibolehkan, sehingga banyak masjid ketika itu yang juga memasang kentongan sebagai alat untuk memanggil shalat sebelum azan dikumandangkan.
Perbedaan kedua ulama ini jelas, tetapi hal itu tidak mengurangi perhargaan di antara keduanya. Ketika KH Hasyim berkunjung ke pesantren KH Faqih di Maskumambang, demi menghargai KH Hasyim, KH Faqih meminta santrinya untuk menurunkan semua kentongan di masjid-masjid selama KH Hasyim berkunjung. Tindakan KH Faqih ini bukan lagi tentang pendapatnya mengenai boleh tidaknya kentongan di masjid, tetapi lebih bagaimana ia mempraktikkan sikap tawadu atau menghargai Mbah Hasyim.
Mengajak perdamaian
Semangat menghargai perbedaan itu kembali ditunjukkan kiai dan santri Tebuireng, Minggu (7/4/2019), ketika pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengumpulkan sekitar 100 kiai dan ulama NU, baik yang mendukung pasangan nomor urut 01 maupun pasangan nomor urut 02. Halaqoh kebangsaan bertajuk ”Peran Ulama, Habaib, Kiai, dan Cendekiawan dalam Meneguhkan Ikatan Kebangsaan Menuju Indonesia Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur”, itu ingin meredakan ketegangan antarulama dan umat menjelang Pemilihan Presiden 2019.
”Mulai dari sekarang, apa pun pilihan kita, maka kita ini 00, artinya baik 01 dan 02 tidak perlu bertentangan lagi. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Karena percaya pada hal itu, maka tidak perlu timbul perpecahan karena nanti yang menentukan adalah rakyat,” katanya.
Mulai dari sekarang, apa pun pilihan kita, maka kita ini 00, artinya baik 01 dan 0, tidak perlu bertentangan lagi. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Solah menyerukan, semua perbedaan politik agar tidak sampai menyebabkan perpecahan. Tokoh Islam banyak berperan dalam persatuan Indonesia. Dalam pembahasan asas negara, misalnya, tokoh-tokoh Islam sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Hal itu didasari atas kesadaran bahwa Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa, dan bahasa, serta kepercayaan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, menurut Gus Solah, persatuan dan persaudaraan di antara tokoh Islam sendiri ikut menentukan persatuan Indonesia. Apabila tokoh-tokoh Islam bersatu dan bersaudara, apa pun pilihannya, perdamaian akan terwujud.
KH Lutfi Abdul Hadi yang juga turut dalam pertemuan itu mengatakan, ulama yang bertikai gara-gara perbedaan politik harus bisa membayangkan Indonesia bagai gelas, yang ketika pecah akan sulit disatukan kembali. Perpecahan harus dihindari, apalagi karena perbedaan pilihan politik sebab masih ada hal-hal penting lainnya yang harus dipikirkan oleh kiai dan ulama.
Salah satu peserta pertemuan, Muhammad Yusuf, dari Pacet, Mojokerto, Jatim, mengatakan, dirinya mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Ia adalah ketua relawan Prabowo-Sandi di Jatim. Ia mantap dengan pilihannya, tetapi menghargai pilihan yang berbeda dari rekan-rekannya.
”Biasa saja kalau terjadi perbedaan politik. Kita tetap berhubungan baik. Silakan saja sesuai dengan pilihan masing-masing dan tidak perlu terpecah hanya gara-gara itu,” ungkapnya.
Demokrasi pesantren
Gambaran kiai dan santri NU yang menyikapi perbedaan pilihan politik dengan biasa saja dan tidak menyulut perpecahan itu, menurut Ahmad Najib Burhani, peneliti kajian Islam, adalah salah satu kekuatan NU sebagai suatu jamiyah.
Sejak awal NU bukan dibentuk berdasarkan satu garis komando yang lurus antara organisasi struktural dan kiai-kiai yang bergerak di tataran kultural dan pendidikan pesantren. Pemilik dan pengasuh pesantren adalah masing-masing individu kiai sehingga pendapat mereka sangat diperhitungkan, termasuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai pengurus struktural.
Dengan memahami konteks historis dan karakter jamiyah NU, suara atau pandangan yang keluar dari NU oleh karena itu tidak bisa dipastikan tunggal. Khazanah intelektualitas dan luasnya spektrum NU agaknya tidak cukup diwadahi dengan ketunggalan pilihan.
Khazanah intelektualitas dan luasnya spektrum NU agaknya tidak cukup diwadahi dengan ketunggalan pilihan.
Demokrasi di kalangan pesantren sebagai sebuah praktik itu pun agaknya juga dirayakan dengan sukacita. Bahkan, apabila kita merujuk kembali pada KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, demokrasi bisa menjadi lucu, riang, dan jauh dari kesan tegang, apalagi perang. Humor-humor Gus Dur dan lontaran pendapatnya yang jenaka ketika ditanyai mengenai hal-hal berat, mengenai demokrasi, sedikit banyak menjadi gambaran bagaimana demokrasi itu ditanggapi dengan wajar dan tidak harus disertai pertikaian. ”Begitu saja kok repot…,” demikian kata Gus Dur.
Dalam menghadapi kontestasi politik yang kini kian kompetitif, pelajaran demokrasi ala santri Tebuireng yang damai, menghargai perbedaan, dan tidak merusak hubungan persaudaraan dan kemanusiaan kiranya patut untuk menjadi bahan refleksi….
No comments:
Post a Comment