Sunday, May 26, 2019

Ma’ruf factor and Indonesia’s democracy



    Zain Maulana

Leeds, The UK   /   Fri, May 24 2019   /  01:26 am


Recently, The Jakarta Post published a crucial and timely debate on the Ma’ruf Amin factor in April’s presidential election and its potential effect on Indonesian democracy.

While Ahmad Najib Burhani (May 9) argued that Ma’ruf, a Nahdlatul Ulama (NU) top figure, had failed to boost Jokowi’s electability and potentially degraded Indonesia’s democracy, Azis Anwar Fachrudin (May 18) emphasized the role of Ma’ruf and the NU factor in increasing Jokowi’s share of the vote in East and Central Java.

Furthermore, Azis implied that there was no need to worry about Jokowi’s alliance with the NU, because Indonesia was a Pancasila state, rather than a liberal democratic state, and indeed the alliance was better, when we consider the Indonesian political reality, than Prabowo Subianto’s Islamist-backed coalition.

Emphasizing the “shield” perspective, Azis argued that Ma’ruf’s VP candidacy shouldn’t necessarily be regarded as a move to reap votes but rather as a defensive maneuver that successfully saved Jokowi from losing a huge number of votes, especially in West Java. Ma’ruf’s nomination was also defined as the key factor behind a significant rise in electoral support in East and Central Java, as well as in Yogyakarta and among non-Muslim voters.

Indeed, measuring the Ma’ruf effect against the reelection of Jokowi is difficult, as it requires clear and complex indicators. We need to distinguish between the increase in votes for Jokowi in Central Java as a result of the Ma’ruf factor and as a result of the political consolidation of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP), since this province is the party’s traditional stronghold.

Compared with the 2014 election, the map of support for Jokowi has not changed much in Central Java and Yogyakarta this time around. Data from the General Elections Commission (KPU) show that, in 2014, Jokowi-Kalla won in those two provinces with 66.65 percent and 55.81 percent respectively. In 2019, Jokowi-Amin won in both provinces, following nearly the same pattern as the 2014 election.

This suggests that Jokowi still enjoys huge support from voters in those regions, despite the change in VP candidate. The same pattern of votes could also be seen in Jakarta; there was no significant difference between the number of votes cast in the 2014 and 2019 elections.

The claim that the Ma’ruf factor accounted for the massive increase in votes for Jokowi from non-Muslim voters is also debatable. The fundamental reason to doubt this claim is that, when he was the chairman of the Indonesian Ulema Council (MUI), he played a prominent role in the arrest of Christian, Chinese-Indonesian former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) on blasphemy charges. Non-Muslims’ support for Jokowi can be best explained as a rational choice by voters rather than as a result of the Ma’ruf factor.

Therefore, placing emphasis on the “shield” perspective when examining the Ma’ruf factor implicitly recognizes its minimal role and effect in the presidential election. The claim that there was a Ma’ruf factor is an expression of the defensiveness and low expectations of the NU and Jokowi’s supporters with regard to Ma’ruf’s VP candidacy, especially after Jokowi’s failure to retain Mahfud MD as his first choice of running mate.

With this in mind, Najib’s argument on the failure of the Ma’ruf factor can be clearly understood.

Regarding Azis’ second point in his response to Najib’s argument, he does not deny Jokowi’s tendency to favor the NU by emphasizing the close ties between the government and the country’s largest Muslim organization, including the appointment of several NU-linked ministers in Jokowi’s Cabinet and the provision of aid to NU educational institutions.

Despite Azis expressing his concern regarding improvements to Indonesia’s democracy, he does not regard the close alliance between Jokowi and the NU as requiring a balance.

Rather, he argues that the alliance is necessary to protect the government from Islamist attacks. At this point, Pancasila democracy doesn’t endorse the practice of favoritism.

Azis puts his argument in the context of the dilemmatic political situation: Jokowi’s alliance with the NU vis-a-vis Prabowo’s alliance with the Islamist groups. Within the context of a presidential candidacy, this political reality must be taken into account when deciding which of the two candidates to support.

However, continued use of this narrative would be problematic in the postelection context. Now that Jokowi has officially won the election, no more should we ask: Had Prabowo won, would his presidency have employed authoritarian policies? Instead, we should consider how we can respond to Jokowi’s presidency if it takes a turn toward authoritarianism.

Simply explaining Jokowi’s close ties with the NU as being the lesser of two evils would be to slip into acceptance and tolerance of favoritism and authoritarianism.

_________

The writer is a PhD researcher at the University of Leeds.

https://www.thejakartapost.com/news/2019/05/24/ma-ruf-factor-and-indonesia-s-democracy.html

---------------

Faktor Ma’ruf dan Demokrasi Indonesia

The Jakarta Post, Friday, May 24 2019

Zain Maulana

Belum lama ini, The Jakarta Post memuat tulisan yang memperdebatkan tentang ‘faktor Ma’ruf Amin’ dalam pemilu presiden april kemarin dan kemungkinan efeknya terhadap demokrasi Indonesia. Ahmad Najib Burhani (May 9) berpendapat bahwa pencalonan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden gagal meningkat elektabilitas Jokowi dan sekaligus berpotensi menggangu demokrasi Indonesia. Sementara itu, Azis Anwar Fachrudin (May 18) menekankan bahwa Ma’ruf Amin dan NU sangat berperan dalam meningkatkan suara Jokowi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lebih jauh, Azis berpendapat bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai aliansi yang sangat dekat antara pemerintahan Jokowi dan NU karena Indonesia adalah negara demokrasi Pancasila, bukan negara demokrasi liberal. Dia juga menekankan bahwa aliansi Jokowi-NU lebih baik dari yang lainnya terutama dibandingkan dengan kedekatan Prabowo dengan kekuatan sejumlah kelompok Islam.

Dengan menekankan pada cara pandang ‘tameng’ (shield perspective), Azis berpendapat bahwa pencalonan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden seharusnya tidak serta merta dilihat sebagai ‘vote-getter’, tetapi lebih sebagai tameng atau pelindung yang diklaim berhasil memperkecil kehilangan suara untuk Jokowi terutama di wilayah Jawa Barat. Pencalonan Ma’ruf juga dianggap sebagai faktor kunci atas meningkatnya dukungan terhadap Jokowi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta dan pemilih non-muslim.

Pada dasarnya cukup sulit untuk mengukur efek dari pencalonan Ma’ruf Amin atas terpilihnya kembali Jokowi sebab membutuhkan indikator yang jelas dan kompleks. Kita perlu membedakan antara meningkatnya suara Jokowi di Jawa Tengah karena faktor Ma’ruf Amin dan faktor yang disebabkan oleh konsolidasi politik PDIP, mengingat Jawa Tengah adalah basis tradisional partai tersebut. Dibandingkan dengan pemilu 2014, peta dukungan terhadap Jokowi di Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak banyak berubah. Data dari KPU menunjukkan bahwa pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-Kalla berhasil menang sekitar 66.65 persen di Jawa Tengah dan 55.81 persen di Yogyakarta. Pada pemilu 2019, pasangan Jokowi-Amin menang di kedua propinsi tersebut dengan angka yang tidak banyak berubah sebagaimana pada pemilu 2014. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Jokowi berpasangan dengan calon wakil presiden yang berbeda, ia masih mendapatkan dukungan yang besar di wilayah tersebut. Peta dukungan yang sama juga terjadi di Jakarta, dimana tidak ada perbedaan signifikan dukungan terhadap Jokowi pada pemilu 2014 dan 2019.
Klaim yang menyatakan bahwa pencalonan Ma’ruf Amin berdampak pada meningkatnya dukungan elektoral terhadap Jokowi dari kelompok non-muslim juga sangat bisa diperdebatkan. Alasan mendasar untuk meragukan klaim tersebut adalah ketika Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua MUI, ia memainkan peran yang sangat penting dan krusial dalam penahanan mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada kasus penistaan agama. Terkait dengan hal tersebut, dukungan kelompok non-muslim kepada Jokowi lebih tepat diartikan sebagai sebuah pilihan rasional daripada diklaim sebagai faktor dari pencalonan Ma’ruf Amin.

Oleh karena itu, penekanan pada cara pandang ‘tameng’ (shield perspective) dalam melihat dan menganalisa faktor Ma’ruf Amin pada pemilu kemarin secara tidak langsung mengakui peran minimal seorang Ma’ruf Amin dan efeknya terhadap pemilihan presiden. Klaim yang menyatakan bahwa faktor Ma’ruf Amin sangat besar pada pemilu kemarin adalah bentuk ekspresi pertahanan diri dan ekspektasi yang rendah dari NU maupun para pendukung Jokowi terhadap Ma’ruf Amin, terutama setelah Jokowi gagal mempertahankan Mahfud MD sebagai pilihan utama dalam pencalonan wakil presiden. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada poin inilah kita bisa memahami dengan jelas argumen Ahmad Najib Burhani tentang kegagalan Ma’ruf Amin dalam meningkatkan dukungan elektabilitas Jokowi.

Berkenaan dengan poin ke dua dari Azis Anwar dalam merespon argumen Najib Burhani, pada dasarnya Azis tidak menafikan kecenderungan ‘politik pilih kasih’ Jokowi terhadap NU. Ia menyebutkan bahwa kedekatan Jokowi dengan NU, sebagai salah satu organisasi Islam besar di Indonesia, dapat dilihat dari sejumlah menteri yang memiliki latar belakang dan atau terkait langsung dengan NU pada kabinet pemerintahan Jokowi maupun pemberian bantuan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan NU.

Meskipun Azis memberikan perhatiannya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ia tidak melihat kedekatan atau aliansi politik antara Jokowi dan NU sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan dan memerlukan penyeimbang, sebab Indoneasia menganut demokrasi pancasila bukan demokrasi liberal.Sebaliknya, Azis berargumen bahwa aliansi tersebut justru sangat diperlukan untuk melindungi pemerintah dari serangan kelompok-kelompok Islam. Tentu saja hal tersebut mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Perlu ditegaskan disini bahwa demokrasi pancasila tidak mendorong praktik-praktik politik pilih kasih (favoritism).

Azis cenderung menempatkan argumennya pada konteks situasi politik yang dilematis, yaitu antara aliansi Jokowi dengan NU vis-a-vis aliansi Prabowo dengan sejumlah kelompok Islam. Pada konteks masa pencalonan presiden-wakil presiden, realitas politik ini penting untuk diperhatikan terutama sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan dari dua calon yang sedang berkontestasi. Akan tetapi, narasi tersebut tidak lagi relevan untuk terus-menerus digunakan dan diwacanakan pada konteks pasca pemilu. Setelah Jokowi dinyatakan menang oleh KPU, seharusnya tidak ada lagi pertanyaan: jika Prabowo menang, apakah kepemimpinannya tidak akan otoriter? Sebaliknya, kita harus fokus pada pertanyaan, bagaimana kita merespon kepemimpinan Jokowi jika pemerintahannya mengarah pada otoritarianisme?

Oleh karena itu, menyederhanakan kedekatan dan aliansi politik Jokowi dengan NU (pada konteks pasca pemilu) sebagai pilihan terbaik dari yang terburuk sangat rentan untuk jatuh pada sikap menerima dan memaklumi politik pilih kasih dan otoritarianisme.

Zain Maulana
Mahasiswa PhD di University of Leeds, UK. 

No comments:

Post a Comment