Saturday, April 9, 2011

HUT NU KE-82~Soeharto, Gus Dur, dan Kajian NU

Oleh: Kholilul Rohman Ahmad

Dalam kalender Masehi tercatat 31 Januari 1926 sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama (NU). Di tahun 2008 ini berarti organisasi massa terbesar di Indonesia itu telah berumur 82 tahun, sebuah waktu yang cukup sebagai ruang berbenah dan saling mengisi.

NU sebagai organisasi masyarakat telah menapaki sejarah di Indonesia sebagai salah satu penyangga kekuatan bangsa hingga mempunyai nilai plus-minus yang patut diperhitungkan. Sejalan dengan nafas kehidupan yang menyejarah, diri NU mempunyai banyak ruang untuk dikaji tentang sejauhmana perubahan demi perubahan yang pernah dialami.

Melalui hasil kajian NU, dari buku ke buku yang terbit beda tahun, pembaca bisa menganalisis kecenderungan NU dari masa ke masa. Untuk itulah, kajian NU memperoleh posisi penting di mana patut dipertahankan publikasinya dalam bentuk buku, ketimbang sepotong artikel di koran.

Buku-buku tentang NU yang pernah/akan terbit terus mendorong orang untuk tertarik mengamati NU. Misalnya, NU yang identik dengan wacana demokratisasi dan civil society (tahun 1990-an) hingga agen perubahan terhadap paradigma keberagamaan rakyat melalui gagasan liberalisasinya (tahun 2000-an), eksistensi NU kian mantap sebagai salah satu objek kajian sosial-agama-politik penting di Tanah Air yang selalu menarik diteliti. Terlebih di dalam sebuah wacana yang diusung oleh NU seringkali melahirkan kontroversi.

NU dan Soeharto

Kita berkaca pada buku Gus Dur, NU, dan Civil Society (LKiS, 1996) yang merekam sepak terjang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dengan menggelar doa massal (istigasah) bagi keselamatan bangsa bermakna penting bagi penguatan masyarakat di hadapan negara. Akan tetapi citra yang muncul justru kontroversi, mengingat paradigma negara mengutamakan ketertundukan rakyat terhadap negara (baca: Orde Baru). Di sini menjadi menarik NU untuk dikaji. Senada dengan itu, dapat disimak buku Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Greg Fealy, Greg Barton, eds.) dan NU vis a vis Negara (AndreƩ Feillard). Yang paling klasik karya Choirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (1985) dan Saifuddin Zuhri Guruku Orang-Orang Pesantren (1974).

Kenyataan itu mendorong NU semakin menarik dikaji hingga melahirkan beberapa buku lanjutan lain. Karena ternyata Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat itu, tidak gentar menghadapi ancaman dan hegemoni Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Puncaknya, PBNU menggelar Istighasah Kubro di Parkir Timur Senayan, kata AndreƩ. Meskipun wacan Gus Dur bersifat personal, namun atribut NU tak bisa dinafikan.

Tentang buku NU dan liberalisme juga mencatat tokoh-tokoh NU yang mengusung gagasan itu, sebagaimana disertasi Mujamil Qomar NU Liberal, patut dicatat dengan font bold karena berhasil memetakan pemikiran Islam kontemporer atas sembilan tokoh NU (Abdurrahman Wahid, Masdar F Mas’udi, Achmad Siddiq, Said Aqiel Siradj, AM Sahal Mahfudh, Abdul Muchith Muzadi, Sjechul Hadi Permono, M Tolchah Hasan, dan Ali Yafie). Mujamil melalui NU Liberal bukan hanya memetakan pemikiran para tokoh itu, namun juga menganalisis kontroversi yang kental pada pemikiran tokoh meski sama-sama dalam jaring-jaring liberalisme dan universalisme. Terlebih salah satu tokoh yang dikaji Mujamil, yakni Gus Dur, dicatat oleh Greg Baton dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia sebagai pelopor Islam liberal di Indonesia.

Tidak hanya itu, tokoh-tokoh muda NU juga menjadi objek kajian menarik seperti M Imam Aziz, M Jadul Maula, Ahmad Baso, Ulil Abshar Abdalla, dan Marzuki Wahid. Laode Ida menyongsong Muktamar di Solo tahun 2004 mencatat pergulatan kaum muda NU dalam NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (2004). Juga Muhammad Sodik melalui buku Gejolak Santri Kota: Aktivitas AMNU Merambah Jalan Lain (Tiara Wacana, 2002). Lebih vulgar buku karangan Bahrul Ulum berjudul “Bodohnya NU” atau “NU Dibodohi”: Jejak langkah NU Era Reformasi Menguji Khittah, Meneropong Paradigma Politik (2002) yang tidak mendapatkan kritik atau gugatan dari pengurus teras NU yang seolah menegaskan tesis di dalamnya benar adanya.

Tampaknya hingga entah kapan, NU akan selalu menarik sebagai objek kajian akademis para intelektual dalam dan luar negeri. Ini terjadi mengingat NU mempunyai massa banyak dan cenderung yang tidak satu, khususnya dalam memegang tradisi pada masing-masing wilayah. Khususnya eksistensi NU sering diperbincangkan pada even-even politik.

Contohnya, saat pemilu dan pilpres 2004 lalu, NU diklaim lebih dari satu partai. Dalam pilpres ada tiga kandidat yang mengklaim didukung NU, yakni Jusuf Kalla, Hasyim Muzadi, dan Sholahuddin Wahid. Demikian pula dalam hiruk-pikuk pilkada, NU selalu “seksi” sebagai objek “bisik-bisik politik”. Bukankah ini sesuatu yang menarik sebagai kajian buku?

Sebagai objek kajian NU berperan mendinamisir omset perbukuan sehungga melahirkan keuntungan untuk penerbit dan royalti untuk penulisnya. Tahun 2000 adalah tahun emas buku bertema NU. Saat itu, buku apapun asal mencantumkan NU atau Gus Dur pasti laku keras. Pasalnya Gus Dur sedang berada di puncak kekuasaan sebagai Presiden RI ke-4, di mana hal ini sebangun dengan keingintahuan publik terhadap Gus Dur.

Kejenuhan Kajian NU

Meski sedang surut tren kajian NU, namun buku NU tetap laku. Tapi tidak selaris tahun 2000. Terlebih pembaca kian dewasa dan selektif dalam memilih buku, termasuk tema NU. Tampaknya belakangan ini kajian NU sedang berada pada masa jenuh. Mungkin karena kontroversi yang mengiringinya tidak lagi riuh. Berbeda larisnya buku NU tahun 1990-2000-an tidak lepas dari personalitas Gus Dur yang mampu membangun gairah NU di mata publik. Lalu buku-buku NU laris. Dari yang tebal sampai yang tipis, dari yang berkualitas hingga yang “ecek-ecek” sama-sama laris.

Meskipun NU “seksi” dan riuh dalam perdebatan publik, namun bila ternyata isi kajian NU tidak berkualitas tentu akan ditinggalkan pasar. Sama halnya buku pada umumnya di mana bila hanya mengejar popularitas dengan mencantumkan istilah atau nama yang populer saat itu, maka lambat laun akan ditinggalkan pembaca dan beralih ke popularitas baru.

Di sinilah berlaku hukum pasar untuk komoditas buku. Bahkan bila penerbit tidak memperhatikan kualitas produknya akan dengan mudah menggulung tikar dagangannya sendiri sesegera mungkin tanpa diperintah siapapun.*

Kholilul Rohman Ahmad, Editor Buku Menjawab Kegelisahan NU (2004)

Retrieved from: http://pustakacinta.blogspot.com/2008/01/soeharto-gus-dur-dan-kajian-nu.html

No comments:

Post a Comment