Moh. Shohibuddin
Latar
Senori,
desa kelahiranku, dan desa tetangganya tempat orang tuaku kemudian
bermukim, Bangilan, merupakan daerah berkapur di Kabupaten Tuban yang
seluruh penjuru wilayahnya dikelilingi oleh hutan-hutan jati. Karena itu
dapat dikatakan bahwa jika secara kultural Senori adalah "desa santri"
(lihat Fragmen Kehidupan di Pesantren 1), maka secara ekologis desa ini
dan desa-desa sekelilingnya adalah "desa jati".
Geografi daerah ini memang bagian dari Pegunungan Kendeng Utara yang didominasi batuan
gamping atau
karst yang cocok sebagai habitat pohon jati. Kawasan
karst
ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian
selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro
(bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Air permukaan sangat minim
di kawasan ini akibat sifat batuan kapur yang mudah meloloskan air.
Tingginya tingkat
porositas (lolosan) air, dan sifat batuan
kapur yang mudah larut oleh air hujan, menciptakan banyak sekali rekahan
alami yang membentuk gua-gua alam dengan
stalaktit dan
stalakmit yang menakjubkan. Proses alam yang sama juga menghasilkan jaringan sungai bawah tanah yang rumit dan unik di daerah ini.
Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan
gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah
mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan
gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat.
Renzina adalah jenis tanah kapur lainnya
yang berwarna hitam dan miskin zat hara, seperti dijumpai di daerah Gunung Kidul (DIY). Meski tanah
mediteran kurang
subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman
tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga,
pohon jati.
Pohon jati, atau
tectona grandis sp. dalam istilah latin, tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (
basa),
dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik
di Senori dan desa-desa sekitarnya, sehingga pohon yang bernilai ekonomi
tinggi ini dapat tumbuh subur dan mendominasi lanskap perbukitan
setempat. Seperti disinggung di atas, kondisi inilah yang menyebabkan
daerah ini dapat disebut sebagai "desa jati".
"Di bawah
naungan pohon jati", dengan demikian, adalah perumpamaan yang tepat
untuk menggambarkan pengaruh ekologi hutan jati terhadap kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat, sebagaimana perumpamaan "di bawah naungan
kitab kuning" menggambarkan pengaruh tradisi pesantren terhadap
kehidupan sosial-budaya mereka. Berada di bawah dua "naungan" ini,
pertanyaan yang selalu menggoda adalah bagaimanakah dua faktor ini
(agro-ekologis dan kultural-ideologis) saling berinteraksi satu sama
lain di daerah ini? Ini adalah pertanyaan besar yang menarik untuk
dikupas lebih dalam, dan ia tidak akan cukup untuk sekedar disinggung
dalam sebuah catatan pendek semacam ini.
Perjumpaan
Terkecuali para santri
kalong,
yakni mereka yang tetap tinggal di rumah orang tuanya di sekitar
pesantren, kebanyakan santri, terutama yang berasal dari luar daerah,
menetap di kompleks pemondokan pesantren. Mereka tinggal di bilik-bilik
kecil yang disebut
gothakan, terikat dengan berbagai aturan hak dan kewajiban santri, mengikuti rutinitas pengajian di
ndalem kyai dan sekolah di Madrasah, dan sebagainya.
Namun
para santri di Senori tidak pernah terkucil dari kehidupan luarnya.
Sebagai misal, sebagian santri harus mencari sumber penghidupan dengan
bekerja pada warga desa sekitar, mereka juga mengurus sendiri belanja
dapurnya dengan pergi ke pasar yang buka tiap hari Pon dan Kliwon dalam
penanggalan Jawa, mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan
keagamaan desa, dan masih banyak lagi interaksi sosial dengan warga di
luar pesantren. Lagi pula, para santri juga tidak pernah mau ketinggalan
jika ada layar tancap di lapangan Sendang atau Wanglu Kulon; dan
bilamana putaran kompetisi bulu tangkis atau sepak bola sedang
berlangsung, atau Mike Tyson akan bertanding tinju, maka rumah-rumah
warga desa yang memiliki televisi akan dipadati oleh para santri yang
berjubel menonton.
Maka
mondok di pesantren tidak
membuat para santrinya berada di luar "naungan pohon jati" sama sekali.
Pesantren adalah satu rumah tangga juga (atau tepatnya himpunan rumah
tangga), sebagaimana halnya rumah tangga warga desa pada umumnya. Dan
banyak sekali kebutuhan rumah tangga berasal dari hutan jati sekitar,
baik yang terkait dengan kebutuhan pangan, papan atau energi. Rumah
tangga pesantren-pesantren di Senori juga tidak terlepas dari situasi
ini, meski lokasinya berada di pusat kota kecamatan dan tidak berbatasan
langsung dengan kawasan hutan jati. Pesantren-pesantren itu turut pula
menjadi situs dari sirkulasi aneka barang yang berasal dari hutan jati,
berikut aneka gagasan, regulasi dan agensi yang menyertainya. Dus,
perjumpaan dengan hutan jati dalam aneka manifestasinya turut membentuk
kehidupan sehari-hari para santri; dan dalam arti itu, maka ia merupakan
sebuah kenyataan rutin ketimbang perkecualian.
Bahwa
bangunan pesantren dan Madrasah, demikian pula meja, kursi dan papan
tulis, kebanyakan atau semuanya terbuat dari kayu jati, barangkali hal
itu dianggap
given oleh para santri. Semua itu sudah ada
sebelum mereka datang ke pesantren, dan diterima sebagaimana adanya.
Namun, tentulah tidak demikian halnya dengan hal-hal yang terkait dengan
kebutuhan subsistensi mereka, yakni kebutuhan makan mereka sehari-hari.
Pada saat saya
mondok di Senori paroh akhir 1980-an, hampir
semua tahapan dalam penyiapan makanan tak terlepas dari interaksi dengan
benda-benda yang berasal dari hutan jati, mulai dari tahap belanja
bahan masakan, proses memasaknya, hingga makanan dihidangkan dan siap
dikonsumsi.
Daun jati adalah bungkus semua jenis makanan
yang amat populer di daerah ini, bahkan hingga saat ini (lihat foto di
bawah). Dalam kondisi masih segar (basah), daun ini bukan hanya
berfungsi sebagai pembungkus. Ia juga digunakan sebagai pemberi aroma
dan penambah rasa pada masakan tertentu. Sayur gulai (atau
becek
dalam istilah setempat) akan memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat
jika dituangkan panas-panas pada nasi yang ditaruh di atas daun jati.
Demikian pula sayuran
lodeh, demikian pula nasi rames, nasi
pecel, dan banyak masakan lain yang menggunakan kuah santan. Para
santri, yang anggaran belanjanya selalu terbatas, akan mengoptimalkan
kiat ini untuk bisa makan enak. Salah satu fragmen ritual makan di
pesantren yang saya alami sewaktu
mondok melibatkan tahapan berikut ini.
Kelompok masak saya pada satu kesempatan bermaksud memasak sayur lodeh
buah labu, artinya buah itu dimasak dengan bahan santan. Anggota
kelompok pun segera berbagi tugas. Ada yang pergi berbelanja ke pasar
membeli cikalan (kelapa tua yang sudah dikupaskan), ada yang membersihkan panci dan mencuci beras (mususi), dan ada yang pergi ke sungai di belakang pesantren untuk mencari serpihan kayu jati dan ranting bambu sebagai bahan bakar--syukur jika berhasil pula menemukan jamur liar.
Setelah
semua anggota kelompok berkumpul kembali dan siap memulai kegiatan
memasak, maka inilah pernik-pernik bagian hutan jati yang dipergunakan
dan mengalami perubahan wujud (konversi) selama proses memasak para
santri. Tidak mampu membeli rencek, yakni kayu jati yang sudah dikampak menjadi potongan-potongan kecil untuk bahan bakar, serpihan kayu jati
yang telah dipungut dari pinggiran sungai digunakan sebagai bahan bakar
utama memasak. Untuk menyalakannya, kadangkala minyak tanah
dipergunakan sebagai pemicu awal. Namun minyak tanah adalah bahan energi
utama untuk penerangan di malam hari, dan santri yang hemat akan
memanfaatkan daun-daun jati kering dan ranting bambu untuk memulai pembakaran.
Dalam
tulisan sebelumnya sudah saya sampaikan bagaimana makanan dihidangkan
di nampan dan para santri jongkok berkeliling untuk menyantapnya. Di
sini perlu saya tambahkan bahwa bilamana sayuran itu berbahan santan,
seperti masakan lodeh buah labu di atas, maka nampan akan dialasi terlebih dulu dengan susunan daun-daun jati segar.
Baru setelah itu nasi dan sayuran dituangkan di atasnya, dibiarkan
beberapa saat supaya aroma daun jati meresap, dan hidangan pun siap
dinikmati. Tambahan lain, cara kami memasak sayur lodeh saat
itu amatlah unik. Setelah kelapa diparut dan kemudian diperas untuk
diambil santannya, maka ampasnya tidak dibuang melainkan dimasukkan
sekalian ke dalam kuali dan menjadi bahan sayur itu sendiri.. :)
Bukan
hanya barang-barang dari hutan jati yang mendatangi pesantren, namun
juga orang-orangnya. Teman santri saya yang berasal dari Jatirogo dan
Parengan berasal dari desa di pinggir kawasan hutan jati. Dan keduanya
tidak sendirian. Ada kawan dari Mlagen di Pamotan, Rembang yang saya
rasa juga merupakan desa yang berbatasan langsung dengan hutan jati.
Beberapa kawan dari Bojonegoro juga berasal dari desa dengan ciri
serupa. Dan masih ada beberapa lagi. Mereka ini berasal dari desa-desa
yang interaksinya dengan hutan jati demikian erat, berbeda dengan pusat
Kecamatan Senori (yakni, Jatisari, tempat pesantren kami berada) yang
tidak berbatasan langsung dengan hutan jati. Sebagai anak kecil (saya
mulai
mondok saat usia 11 tahun dan keluar pada usia 15 tahun),
saya belum begitu maklum mengenai masalah pelik yang terjadi di
desa-desa semacam itu, selain berita sayup-sayup yang kadangkala saya
dengar mengenai "pencurian" kayu oleh para
blandong. Baru
beberapa tahun kemudian, setelah meninggalkan kampung halaman untuk
melanjutkan sekolah di luar, saya dapat memahami lebih mendalam konflik
agraria yang mewarnai desa-desa sekeliling hutan jati itu yang ternyata
sudah berusia panjang sejak era kolonial.
Demikianlah, ilustrasi mengenai
barang-barang dan
orang-orang dari kawasan hutan jati yang datang ke pesantren. Dan dalam contoh terakhir, yang datang itu juga mewujud sebagai
regulasi dan ideologi: bahwa ada hukum tertentu yang mengatur hutan jati, dan mengambil kayunya dapat dianggap sebagai tindakan "mencuri".
Perjumpaan
pesantren dan hutan jati tidak hanya bersifat satu arah. "Arus balik"
juga terjadi, dalam arti para santrilah yang mengunjungi hutan jati,
baik sekedar sebagai "perlintasan" maupun sebagai "tujuan". Dalam arti
paling sederhana, mendatangi hutan jati sebagai perlintasan adalah
sekedar melewati hutan jati dalam suatu perjalanan. Tidak ada yang
istimewa dari hal ini karena ke arah manapun seseorang meninggalkan desa
Senori dari titik perempatan jalan di pusat kotanya, perjalanannya itu
pasti akan melewati pinggiran hutan jati. Toh, cuma melewati hutan jati
tidaklah tanpa makna sama sekali. Saya selalu mengalami perasaan syahdu
yang sulit dijelaskan kalau melewati hutan jati Nglirip yang teduh dan
senyap dalam perjalanan menuju Tuban, misalnya. Saya juga selalu senang
jika diajak Mbah Yik mengambil uang pensiun di kantor pos Jatirogo
karena kami akan naik kereta api melewati areal hutan jati yang cukup
panjang (bahkan monyet-monyet liar yang berlompatan di pohon bisa saya
saksikan dari balik jendela kereta saat itu).
Salah satu
penyakit yang biasa dialami para santri pada masa itu adalah penyakit
kulit, mulai dari gatal-gatal sampai korengan. "Belum sah seseorang
mondok
kalau belum pernah mengalami penyakit kulit," demikian pameo yang biasa
diujarkan. Pernah satu ketika penyakit ini berjangkit seperti wabah,
dan hampir semua santri menderitanya pada saat bersamaan. Pengobatan
yang biasa dilakukan para santri adalah pergi ke
nganget, yakni pemandian air panas alami yang mengandung belerang. Lokasi
nganget
yang terkenal di Kabupaten Tuban berada di Desa Nganget, Kecamatan
Parengan. Di tempat ini terdapat pusat perawatan penderita kusta yang
konon sudah berdiri sejak jaman Belanda. Namun, Bapak saya biasanya
tidak membawa saya berobat ke tempat yang sudah tersyohor itu, melainkan
ke
nganget terdekat yang berada di Kecamatan Bangilan, tepatnya di Mojo, desa Sidorejo. Kedua
nganget ini, baik yang terkenal maupun bukan, berada di dalam kawasan hutan jati.
Sepanjang riwayat saya
mondok di Senori, sudah beberapa kali saya terjangkit penyakit kulit ini. Jika diajak berobat ke
nganget Mojo,
Bapak akan memboncengkan saya naik sepeda, melewati Sambong Lombok di
mana pemerintah kolonial dulu membangun bendungan irigasi (yang tetap
bertahan kuat sampai sekarang, meskipun airnya sudah tidak ada lagi),
sampai kemudian perjalanan bersepeda berakhir saat tiba di stasiun
kereta api Mojo. Di sini sepeda harus dititipkan karena perjalanan
selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalur
setapak dalam kawasan hutan jati. Ada dua kolam air panas yang bisa
ditemui di
nganget Mojo ini yang dijuluki dengan
nganget lanang dan
nganget wadon. Keduanya berbeda dalam tingkat kepanasannya, tetapi saya sudah lupa manakah di antara dua
nganget itu yang lebih panas. Saya ingat bagaimana antusiasme saya saat menempuh perjalanan kaki ke
nganget Mojo
karena inilah pertama kali saya masuk dan berjalan di tengah hutan.
Dalam kesempatan lain ketika datang kembali ke tempat ini, juga bersama
Bapak saya, kami berpapasan dengan beberapa orang yang bergegas lari
meninggalkan hutan. Ternyata hari itu sedang dilakukan operasi oleh
mantri hutan, meskipun kami sendiri tidak berjumpa dengan para petugas
tersebut sepanjang hari itu.
Bila digambarkan dalam sebuah
peringkat, maka pengobatan kulit ini hanyalah tangga paling bawah dalam
tujuan santri mendatangi hutan jati. Dalam pendakian menuju tangga yang
lebih tinggi, maka tujuan itu lebih bersifat spiritual untuk penyucian
diri, atau paling tidak terkait dengan kegiatan religius. Bagi mereka
yang pernah mengecap dunia pesantren, tradisi menyepi (
khalwat) tentulah pernah didengar dan bukan sesuatu yang dianggap aneh. Salah seorang santri senior saat saya
mondok dulu sering pergi malam-malam, dengan hanya berbekal
teplok sebagai alat penerangan, ke kompleks pekuburan di belakang pesantren. Ia menyepi untuk menghafalkan
Alfiyah, yakni kaidah gramatikal bahasa Arab berbentuk sajak berlagu dengan jumlah bait sebanyak 1000 buah.
Bentuk
menyepi lain adalah yang memang bertujuan laku tirakat, mendekatkan
diri pada Tuhan. Saya tidak tahu tempat-tempat khusus di kawasan hutan
jati yang biasa dipakai ber-
khalwat untuk tujuan ini. Yang
jelas, dalam persepsi kultural orang Jawa, hutan selalu dianggap sebagai
tempat menyepi dan menempa diri untuk memperoleh entah "kesaktian" atau
"kesucian diri" (tergantung niat yang bersangkutan). Satu hal yang saya
tahu pasti, makam beberapa ulama terkenal yang sering diziarahi
masyarakat berada di pinggiran hutan jati. Salah satunya adalah makam
Mbah Jabbar di pertigaan Bakalan. Pada saat-saat tertentu, makam Mbah
Jabbar ini banyak dikunjungi oleh para penziarah dari berbagai daerah,
sementara acara
haul (peringatan hari wafat) beliau yang
dilaksanakan di Jojogan selalu ramai dipadati pengunjung. Tentunya,
termasuk para santri Senori yang tidak akan melewatkan acara penting
ini. Paman jauh saya yang kini tinggal di Jombang satu ketika pernah
menyatakan keinginannya menghabiskan masa tua di Jojogan, untuk menyepi
di sana dan
ngrumati peninggalan Mbah Syahid. Mbah Syahid
adalah leluhur kami, dan merupakan ayah mertua dari beberapa pendiri
pondok pesantren di Senori, yang semasa hidupnya mewakafkan sejumlah
tanah untuk kepentingan agama.
Demikianlah, ada
"keakraban" dalam perjumpaan pesantren dengan hutan jati. Suatu
keakraban yang dibentuk mulai dari rutinitas harian di mana
barang-barang dari hutan jati mendatangi pesantren, hingga sebaliknya,
para santri penghuni pesantren itu sendiri yang mengunjungi hutan jati,
baik dalam arti fisik maupun spiritual.
Benturan
Dari
rumah saya menuju stasiun kereta api Bangilan, ada dua tempat terkait
hutan jati yang akan dilewati jika mengikuti rute jalan setapak, dan
bukannya berkendaraan melalui jalan raya. Kedua tempat itu menimbulkan
reaksi yang berbeda pada diri saya semasa masih anak-anak. Tempat
pertama adalah bangunan perkantoran yang papan namanya berwarna hijau
tua dihiasi logo akar pohon jati, namun yang tulisannya menunjukkan
urutan hirarki yang selalu mengherankan saya. Pasalnya, urutannya tidak
sesuai dengan tingkatan desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi yang
saya hapal baik. Sebagai kanak-kanak, saya pernah membubuhkan alamat
demikian pada buku tulis saya: "Desa Bangilan Kecamatan Bangilan
Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Indonesia ASEAN PBB Bumi"
(seolah-olah urutan itu berada dalam satu kategori). Tetapi urutan yang
tertulis di papan nama itu tidaklah demikian sehingga selalu menimbulkan
reaksi rasa heran setiap kali saya lewat dan membacanya.
Saat
kecil saya memang tidak peduli kantor apakah itu. Yang saya peduli
adalah, teman baru saya di sekolah tinggal di sebuah rumah dalam
kompleks kantor itu, dan kalau saya main ke rumahnya saya bisa memetik
pohon arbei di halaman belakang, dan mencicipi abon sapi dan saos tomat
botolan yang untuk pertama kali saya lihat sewaktu di rumahnya itu. Saya
juga dapat membawa pulang tumpukan kertas bekas dari kantor ayah kawan
saya itu, antara lain yang saya masih ingat berupa buku ukuran folio
yang penuh dengan tabel-tabel isian. Saya menyesal tidak hapal lagi nama
teman itu, tetapi saya tetap ingat pekerjaan ayahnya: sinder. Sayang,
tidak lama kemudian ayahnya dipindahtugaskan, dan kepergiannya ke tempat
dinas baru itu diantarkan oleh banyak tetangga, termasuk orang tua
saya. Setelah kepergian ayah teman saya itu, sepanjang ingatan saya
tidak pernah lagi terdapat keakraban serupa antara pegawai di kantor itu
dengan masyarakat sekitar.
Tempat kedua yang akan
dilewati adalah bangunan yang tepat berada di seberang stasiun,
dipisahkan oleh beberapa jalur lintasan kereta api (
spoor),
selokan lebar, dan hamparan tanah yang dipenuhi tanaman liar. Kami
mengenalnya dengan sebutan TPK, dan seiring pertambahan usia saya
kemudian mengerti kepanjangannya: Tempat Penyimpanan Kayu. Yang kini
saya bisa kenang dari tempat itu adalah bangunan yang tinggi dan panjang
tanpa dinding, di dalamnya penuh tumpukan kayu-kayu jati besar,
sebagian tampak berusia sangat tua. Di sekeliling bangunan itu berdiri
kokoh pohon-pohon besar yang rerimbun kanopinya membuat bangunan TPK itu
terlihat gelap dan menakutkan. Perasaan angker adalah reaksi yang saya
alami semasa kecil setiap kali melewati bangunan ini. Jadi, meski saat
kecil itu saya sering bermain di lingkungan stasiun (antara lain untuk
melindaskan paku di rel menjelang kereta lewat sehingga menghasilkan
bentuk parang mini), namun saya tidak berani mendekati bangunan TPK yang
terlihat angker itu.
Saat menginjak sekolah menengah saya
mulai paham bahwa kedua tempat itu saling berkaitan, yakni milik
Perhutani. Dan bahwa hutan jati yang biasa saya datangi kalau berobat ke
nganget itu ternyata ada yang memiliki. Dan bahwa apa yang
saya anggap sebagai urutan hirarki yang aneh pada papan nama itu adalah
hirarki pemangkuan hutan dalam rangka Perhutani menjaga hutan
kepunyaannya itu. Saya kemudian menjadi paham apa makna "pencurian" kayu
oleh
blandong. Terutama setelah saya menyaksikan satu kejadian
ketika kantor ini dipenuhi petugas bersenjata api, dan ternyata mereka
sedang persiapan operasi penertiban "pencurian" kayu.
Nalar saya saat itu tentu saja belum sampai pada tahap
mempertanyakan
klaim "kepemilikan" hutan jati oleh Perhutani. Toh, secara intuitif
saya merasa bahwa dalam arti tertentu, "pencurian" itu dapat dibenarkan,
atau setidaknya dapat dimaklumi. Secara
jlentreh, saya belum
mampu merumuskan sikap peraguan saya saat itu, namun barangkali dapat
dibahasakan dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang kurang lebih sebagai
berikut. Apabila masyarakat demikian kuat ketergantungannya pada hutan
jati seperti yang tercermin pada contoh-contoh di atas, bagaimana
mungkin hutan itu tidak boleh mereka manfaatkan? Dari manakah masyarakat
memenuhi kebetuhan terkait pangan, papan, dan energi selain
mengandalkan bahan-bahan yang dapat diperoleh dari hutan jati? Apakah
semua kegiatan masyarakat memenuhi semua kebutuhan itu dari hutan jati
dapat disebut "pencurian"?
Pertanyaan-pertanyaan demikian
menunjukkan bahwa makna "perjumpaan" seperti yang dipaparkan di atas
tidak hanya terwujud dalam bentuk
keakraban, namun juga
benturan!
Itulah benturan ideologi yang terwujud, misalnya, dalam ambigunya
definisi "pencurian" yang secara samar-samar dan masih terpendam mulai
saya ragukan waktu itu. Apakah "pencurian" pada hutan jati oleh
masyarakat sama artinya dengan definisi pencurian yang hukumnya haram
seperti saya pelajari di pesantren, dan yang pada masa Nabi harus
dihukum potong tangan itu? Tetapi jika begitu, mengapakah saya saksikan
beberapa keluarga yang saya kenal, termasuk keluarga kyai, membeli kayu
dari
blandong untuk membangun rumahnya? Mengapakah pula
gamping dibeli untuk adonan bahan bangunan atau untuk
nglabur
(mengecat) dinding dan pagar, padahal ia ditambang dari areal kawasan
hutan milik Perhutani? Dan bukankah kayu bakar yang dibeli dari pedagang
rencek diambil dari hutan jati dengan cara yang sama dan dapat dianggap sebagai "pencurian" juga?
Bukan
hanya secara ideologi, benturan itu juga hadir dan mewujud secara
material. Benda-benda yang berasal dari hutan jati dan mendatangi
pesantren ternyata tidak semuanya berupa barang-barang yang baik dan
berguna (
goods), tetapi juga yang buruk dan menimbulkan kerugian (
bads).
Salah satunya berwujud banjir bandang yang melanda sungai di belakang
pesantren kami, seperti pernah saya saksikan semasa saya
mondok di
Senori. Saat itu, hujan deras yang terjadi di daerah hulu telah
menggelontorkan jutaan kubik air bercampur lumpur yang memenuhi badan
sungai, dan bersamanya turut hanyut gelondongan kayu jati, bekas
tebangan dan cabang pohon jati, rumpun pohon bambu yang tergerus dari
tebing sungai, dan puluhan macam benda-benda lainnya. Banjir bandang
itu, berikut benda-benda dari hutan jati yang dihanyutkannya, memberi
petunjuk mengenai sejauh mana eksploitasi yang telah berlangsung di
sana.
Padahal di hari-hari normal, dasar sungai yang cukup
lebar itu hanya sedikit saja yang digenangi air, yakni pada alur-alur
kecil yang dialiri gemericik air dangkal; menyisakan lebih banyak lagi
gundukan tanah yang tak terendam air. Bagian yang tak terendam itu
banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai kegunaan. Ia
menjadi sumber nafkah bagi para penggali pasir jika kebetulan memiliki
kandungan pasir yang cukup banyak. Jika tidak, dan lebih banyak
mengandung tanah subur, maka penduduk menanaminya dengan tanaman musiman
seperti jagung atau kacang-kacangan. Sementara aliran airnya
dimanfaatkan penduduk untuk mencuci pakaian dan buang hajat besar, namun
bukan untuk mandi. Khusus untuk keperluan terakhir ini mereka
melakukannya di sungai yang sama, namun dengan cara yang berbeda seperti
akan diuraikan di bawah.
Bagi para santri, sungai ini
juga memiliki fungsi yang amat penting. Di atas telah disiratkan bahwa
melalui sungai inilah para santri terhubung ke hutan jati untuk dapat
memperoleh serpihan dan potongan kayu jati yang mengapung-apung
mengikuti arus air atau yang terdampar di pinggiran sungai. Apabila
sungai ini belum lama sebelumnya mengalami banjir, meski tak selalu
sebesar seperti digambarkan di atas, maka potongan-potongan kayu itu
banyak ditemukan tersangkut di tebing-tebing sungai sehingga dapat
diambil lebih mudah tanpa harus turun ke dasar sungai. Melalui cara
itulah para santri memenuhi kebutuhan mereka akan kayu bakar. Ada satu
cerita yang pernah saya dengar bahwa seorang santri pernah mengambil
potongan-potongan kecil kayu bekas nisan yang hancur dimakan rayap dan
banyak tercecer di lokasi pekuburan, dan lantas menggunakannya untuk
kayu bakar. Tak lama kemudian ia jatuh sakit tanpa bisa diketahui apa
jenis penyakitnya sehingga para santri kemudian mengaitkan penyakit itu
dengan ulahnya membakar kayu bekas nisan. Karena cerita dari santri
senior itulah kami memilih untuk bersusah payah mencari serpihan
kayu-kayu jati di sungai ketimbang memungut potongan-potongan kayu bekas
nisan di pekuburan.
Ada fungsi lain dari sungai ini bagi
santri, yaitu sebagai tempat mandi. Di pesantren tentu sudah disediakan
beberapa bilik kecil untuk tempat mandi. Tapi jumlahnya tidak mencukupi
untuk semua santri, terutama di pagi atau sore hari saat banyak orang
ingin membersihkan diri pada waktu bersamaan. Bagi santri yang tidak
kebagian tempat atau yang giliran antrinya terlalu lama, maka
alternatifnya adalah pergi mandi di sungai. Hal yang sama bahkan menjadi
pilihan utama pada saat kemarau panjang, dan sumur di pondok mengalami
kekeringan. Pada kondisi demikian, maka air yang cuma tersedia terbatas
di sumur akan diprioritaskan untuk kebutuhan minum dan masak.
Mandi
di sungai adalah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bahkan, ada
nuansa "eksotisme" tersendiri di sana. Bayangkan, mandi bugil di sungai,
kadang berdampingan berdua, tanpa seorang pun memiliki pretensi apa-apa
dengan aktivitas itu--ya, tentunya selain mandi itu sendiri, yakni
membersihkan dan menyegarkan badan. Bukan hanya santri, namun penduduk
sekitar juga melakukan hal yang sama. Hanya orang yang berpikiran jorok
saja yang akan menganggap aktivitas itu sebagai pornografi!
Selain
eksotis, mandi di sungai adalah satu seni sendiri. Mengapa begitu?
Sebab, hal itu tidak dilakukan di bagian aliran sungainya, melainkan di
bagian yang tidak terendam air dan berpasir. Di tempat itulah digali
sumur-sumur kecil dengan kedalaman hanya setengah sd.1 meter saja. Air
akan segera keluar deras dari lubang sedangkal itu karena perbedaan
permukaan air dengan bagian sungai yang digenangi/dialiri air. Sumur itu
perlu terlebih dulu dilindungi dengan tumpukan batu-batu sebesar
kepalan tangan untuk menjaga agar pasirnya tidak melorot dan menutupi
kembali lubang yang sudah digali. Selanjutnya, air yang masih keruh itu
(karena teraduk begitu rupa saat melakukan penggalian) harus dikuras
terlebih dulu sampai habis sehingga air yang muncul kemudian adalah air
bening karena tersaring oleh pasir dan batu di sekeliling dinding sumur.
Dengan begitu, selesailah pembuatan sumur kecil itu dan menjadi apa
yang dalam bahasa setempat disebut
belik. Di
belik inilah kegiatan mandi dilakukan dengan cara berjongkok agak menjauh dari pinggir bibir
belik.
Meskipun orang yang membuat
belik
berhak untuk terus menggunakannya selama sumur kecil itu masih ia
rawat, namun ia tidak punya hak eksklusif terhadapnya. Jika ia tidak
sedang menggunakannya, maka orang lain pun boleh menggunakan
belik tersebut. Terkadang, dua-tiga orang mandi bersama dari
belik yang sama. Bagi santri, di sinilah seninya mandi di
belik.
Mereka telah belajar di pesantren mengenai perbedaan antara air yang
suci dan bisa mensucikan, air suci namun tidak bisa mensucikan, dan air
yang terkena najis. Salah satu yang membuat air suci tidak bisa
mensucikan adalah kalau dia sudah pernah dipakai (air bekas), alias air
musta'mal. Oleh karena itu, santri yang mandi di
belik akan berusaha keras untuk tidak membuat guyurannya terpercik kembali ke dalam
belik, apalagi sampai bekas air yang dipakainya mengalir ke arah
belik. Dan di sinilah terletak seninya! Maka mandi di
belik
menjadi sebuah ritual yang penuh kehati-hatian bagi seorang santri:
dengan gayung yang berlengan panjang dia menyendok air dari
belik dengan
hati-hati, dan kemudian mengguyurkannya ke anggota tubuh dengan
pelan-pelan. Dilakukan dengan cara berbeda, maka air dalam
belik itu akan menjadi air
musta'mal karena volume
belik yang kecil, yakni memuat air kurang dari ukuran dua
qulah
(setara 270 liter) sebagai batas yang akan membuat percikan semacam itu
dapat ditoleransi. Dengan kehati-hatian itu, maka orang yang melihat
dari atas tebing sungai sudah bisa membedakan apakah orang yang mandi di
belik itu mengikuti ketentuan
Fathul Qarib (kitab standar ilmu fiqh yang dipelajari di pesantren) ataukah tidak... :)
Kembali
ke banjir bandang tadi, gelontoran air bercampur lumpur yang membawa
serta berbagai macam benda yang diterjangnya sepanjang perjalanan
membuat semua fungsi sungai di atas lenyap seketika. Para penggali pasir
kehilangan mata pencahariannya. Tanaman musiman yang diusahakan
penduduk di badan sungai yang tidak tergenang air lenyap tanpa sisa.
Demikian pula,
belik-belik turut musnah dihantam terjangan arus
air. Bahkan setelah banjir surut, dan dasar sungai muncul kembali, akan
butuh waktu beberapa lama untuk bisa menghasilkan
belik dengan
air yang jernih seperti semula. Sebab, lumpur yang mengendap di dasar
sungai kadangkala cukup tebal dan tidak akan lenyap dalam waktu singkat,
dan hal itu akan membuat air
belik berwarna keruh.
Lebih parah lagi, banjir bandang besar yang sekali pernah saya saksikan selama
mondok
itu juga membuat beberapa bagian tebing sungai runtuh karena erosi,
membawa hanyut semua yang ada di atasnya. Yang menyedihkan, beberapa
makam yang berada di pinggir tebing sungai saat itu ada yang turut
runtuh dan lenyap tanpa bekas. Dalam masyarakat di mana tradisi ziarah
ke makam para leluhur dan ulama demikian kuat, saya tidak bisa bayangkan
kehampaan rohaniah dari keluarga-keluarga yang makam leluhurnya
tiba-tiba lenyap itu. Beberapa kilometer ke arah hilir, banjir yang
sama juga menyebabkan longsor dan amblesnya satu ruas jalan raya di
pertigaan lapangan Wanglu Kulon. Ruas jalan raya itu tepat berada di
titik kelokan badan sungai. Terkena terjangan lurus arus banjir bandang,
tebing sungai di titik kelokan itu pun runtuh dan memicu longsor
pinggiran sungai dalam jarak yang cukup luas.
Tantangan
Pengalaman
perjumpaan sebagaimana terperi di atas merupakan kenyataan yang dialami
oleh pesantren-pesantren di Senori--yang secara ekologis memang berada
di bawah "naungan pohon jati". Pengalaman itu adalah nyata, tak bisa
diingkari, melibatkan baik "keakraban" maupun "benturan" pada berbagai
tingkatan: mulai dari sirkulasi barang dan ideologi hingga interaksi
antar pelaku. Ia juga menghasilkan tidak hanya
goods, tetapi juga
bads.
Pertanyaannya kemudian, sejauh manakah pengalaman riil itu secara sadar
dijadikan basis empiris untuk sebuah refleksi teologis? Dengan kata
lain, dijadikan titik tolak untuk sungguh-sungguh bisa menghasilkan
respon keagamaan yang otentik?
Pertanyaan ini tentu tidak
dapat dijawab dengan mudah dan singkat, dan butuh serangkaian tulisan
tersendiri untuk merefleksikannya. Namun sebagai santri yang selama
mondok
mengalami ketegangan berbagai perjumpaan di atas, dan saat ini berada
dalam posisi cukup berjarak (secara waktu dan tempat) untuk
merefleksikannya, maka tidak ada salahnya apabila dalam kesempatan ini
saya ingin berbagi kegelisahan. Dengan harapan, hal itu kiranya dapat
dianggap sebagai satu tantangan untuk mewujudkan refleksi teologis
sebagaimana dimaksud di atas.
Ada dua poin yang ingin saya kemukakan di sini.
Pertama,
ambiguitas makna "pencurian" sebagaimana terungkap dalam benturan
ideologis yang diuraikan di atas bagi saya menunjukkan pentingnya
pengembangan sebuah "fiqh agraria" yang baru. Sebuah fiqh yang menyadari
bahwa dalam konteks daerah tropis tanah itu sendiri yang bernilai pada
dirinya sendiri, dan yang memungkinkan penghidupan sejumlah besar
smallholders. Jadi, bukannya air atau oase atau
aflaj
yang menjadi penentu nilainya, seperti ditemukan dalam konteks daerah
arid di Timur Tengah. Bagaimanakah nalar dasar dari "fiqh agraria" yang
kental dengan
symptom daerah arid ini dapat ditafsir ulang
sehingga relevan dan kontekstual untuk daerah tropis? Tidakkah absennya
upaya rekontekstualisasi ini yang agaknya membuat Pengurus Syuriyah PBNU
pada tahun 1961 mengharamkan
land reform (tepat pada tahun
yang sama ketika program ini dicanangkan pelaksanaannya oleh pemerintah)
karena secara naif dianggap melanggar
himayatul mal (melindungi
property) yang menjadi salah satu tujuan Syariah?
Apabila
logika keputusan ini secara formal diikuti, maka--kembali ke kasus
hutan jati di atas--mengambil benda-benda dari hutan jati untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga sehari-hari juga haram hukumnya karena melanggar
hak milik pihak lain. Namun secara faktual hal ini berlawanan
dari kenyataan sehari-hari yang saya saksikan dan alami. Praktik
pembelian ramuan rumah berupa kayu, papan dan
gamping, demikian
pula kayu bakar untuk memasak, ternyata dilakukan secara luas dan tidak
pernah dilarang sebagai sebuah perbuatan haram. Padahal semua benda itu
berasal dari kawasan hutan jati, dan pengambilannya melibatkan
cara-cara yang bisa dianggap "mencuri" dan "melanggar hak milik" dalam
penalaran formal di atas.
Apa yang hilang dari penalaran formal semacam itu adalah kesadaran untuk melakukan
historizing property relations,
yakni memahami dan mempersoalkan relasi-relasi kepemilikan itu dalam
konteks sejarah pembentukannya. Dalam pemahaman demikian, relasi-relasi
kepemilikan tidak diterima begitu saja sebagai sesuatu yang
given,
melainkan dianggap memiliki asal-usul dan sejarahnya sendiri, yang jika
ditelusuri seringkali berupa sejarah ketidakadilan dan perampasan (
enclosure).
Konsekuensinya, tampilan struktur kepemilikan tertentu pada satu titik
waktu sama sekali bukan merupakan kenyataan alamiah (apalagi
Ilahiah)
yang tidak bisa digugat dan dipersoalkan (terlebih jika ia mencederai
prinsip-prinsip keadilan), dan bahwa upaya untuk memperbarui relasi
kepemilikan itu agar strukturnya lebih adil secara fundamental tidak
bisa diidentikkan dengan tindakan merebut hak kepemilikan.
Dalam
kasus hutan jati, struktur ketidakadilan agraria itu terjadi akibat
warisan kebijakan kolonial yang menjadikan Perhutani "tuan tanah" di
pulau Jawa yang demikian padat penduduk (pulau terpadat di dunia).
Perhutani menguasai bukan saja tanah jutaan hektar namun juga seluruh
tanaman dan sumberdaya di atasnya, dan dengan begitu ia dengan leluasa
menentukan hubungan-hubungan produksi yang lazimnya amat merugikan warga
desa-desa di sekitarnya. Apabila etos dasar agama Islam adalah
rahmatan lil 'alamin, membawa rahmat bagi segenap alam, maka bukankah mengupayakan"keadilan agraria" (
agrarian justice) pada konteks struktur ketidakadilan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari pengertian rahmat itu?
Kedua,
kejadian banjir bandang besar akibat kerusakan ekologis di daerah hulu
seperti saya saksikan dulu bukanlah yang terakhir dan bisa terulang
lagi, bahkan dalam frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi sehubungan
dengan pengaruh pemanasan global. Perubahan iklim global ini juga akan
menciptakan ketidakpastian iklim pada tingkat lokal sehingga pergantian
musim tidak bisa diprediksi lagi secara ajek, dan bencana banjir dan
kekeringan pun akan menjadi ancaman yang nyata. Daerah berkapur seperti
wilayah Tuban, yang sangat sedikit memiliki air permukaan, tentunya akan
terkena dampak yang buruk dari perubahan iklim semacam ini.
Sudah
lama sebenarnya ancaman kekeringan telah menjadi kenyataan yang dialami
masyarakat daerah ini. Sungai irigasi pertanian yang membentang
melewati Kecamatan Senori dan Bangilan dulu airnya berlimpah dan sering
saya gunakan untuk
bluron (mandi di sungai) bersama teman-teman
sebaya. Saat ini sungai itu tak ubahnya seperti selokan yang berbadan
lebar karena airnya sudah tidak mengalir lagi. Desa Sendang, sesuai
namanya, dulu merupakan daerah yang menjadi
jujukan (tempat
yang dituju) desa-desa lain jika terjadi kemarau panjang. Rumah Bibi
saya di desa ini halamannya dulu banyak dijadikan kolam ikan karena
persediaan air yang mencukupi sepanjang tahun. Namun kondisi desa ini
sekarang tidak jauh berbeda dari desa-desa lainnya. Dan bendungan
Sambong Lombok bikinan pemerintah kolonial itu, demikian pula bendungan
di perbatasan Kecamatan Bangilan dan Senori, sekarang menyerupai monumen
gigantik belaka karena sudah tidak ada airnya. Semua perubahan ini
praktis mengubah siklus pertanian di daerah ini karena tidak semua areal
sawah dapat diairi lagi secara cukup. Akibatnya, sebagian besar areal
sawah berubah menjadi sawah tadah hujan. Sementara itu, kebakaran hutan
jati yang dulu kerap terjadi di masa kemarau (dan kalau malam hari
menjadi tontonan jarak jauh yang menarik bagi saya) barangkali akan
lebih sering lagi terjadi di masa depan dengan aneka konsekuensinya.
Berbagai
manifestasi perubahan alam ini, yang di Senori dan daerah sekitarnya
dialami secara nyata oleh masyarakat dan bukan sekedar dilihat di layar
televisi, bagi saya menuntut kalangan pesantren untuk dapat
mengembangkan cabang ilmu keislaman yang baru. Kalau dulu saat di
pesantren saya belajar kitab
Ta'limul Muta'allim mengenai etika belajar santri, atau kitab
Ayyuhal Walad mengenai etika berbakti anak kepada orang tua, atau kitab-kitab akhlak lainnya (
Akhlaq lil Banin untuk santri putra dan
Akhlaq lil Banat
untuk santri putri), maka agaknya kini diperlukan juga ilmu akhlak yang
memedulikan secara khusus soal air ini, misalnya. Sebagai ilustrasi,
kembali ke kasus
belik di atas, jika ajaran pesantren demikian peduli dengan percikan air mandi yang dapat menodai
belik dan menjadikan airnya
musta'mal, maka mengapakah ia tidak harus peduli dengan ancaman gelontoran banjir bandang yang bukan saja akan menodai
belik namun bahkan melenyapkannya sama sekali?
Dengan demikian, pembahasan mengenai air tidak lagi hanya menjadi bagian dari
Kitabut Thoharoh
(bab bersuci) dalam literatur fiqh, namun harus dikembangkan menjadi
satu bab tersendiri, atau satu buku sendiri, dan bahkan menjadi satu sub
disiplin sendiri dalam tradisi keilmuan pesantren. Misalnya saja, "ilmu
akhlak air" atau
water ethics, yakni akhlak seputar
pengelolaan, pengalokasian, penggunaan, dan distribusi air yang lestari
dan adil. Dalam literatur Islam klasik, bahan yang dapat diolah untuk
mengembangkan
water ethics ini sangatlah berlimpah. Ingat saja
kisah seorang pelacur yang masuk surga "hanya" gara-gara dia memberi
minum anjing yang hampir mati kehausan (sementara di Senori, kalau ada
anjing
nyasar masuk kampung pasti akan diuber dan dibunuh
secara kejam). Namun, seperti diilustrasikan oleh contoh pemberian air
untuk mengobati rasa haus, kebanyakan literatur itu
momot dengan
symptom
daerah arid padang pasir yang berbeda sama sekali dengan kondisi tropis
di Indonesia. Hal ini menuntut pesantren untuk gigih menafsir ulang
literatur klasik itu dan mengupayakan bentuk-bentuk
rekontekstualisasinya bagi kondisi alam di Indonesia.
Sebagai perbandingan, dalam khazanah literatur
resource management dan
environmental science, perbincangan mengenai kontribusi ajaran dan nilai-nilai Islam dalam pengembangan
water ethics
ini sudah mulai mengemuka. Beberapa artikel di jurnal internasional
membicarakan hal ini dalam kaitan dengan relevansi prinsip-prinsip Islam
terhadap "water management", "groundwater management", "water quality",
bahkan juga "waste water reuse", "greywater use", dan "water demand
management". Sebuah konferensi internasional mengenai "Water Management
in the Islamic Countries" belum lama ini juga diselenggarakan di Iran
(tahun 2007). Namun, lagi-lagi, kebanyakan konteksnya adalah daerah arid
atau semi-arid, sementara kontribusi dari kesarjanaan Islam Indonesia
yang berasal dari dan merefleksikan kondisi daerah tropis masih sangat
sumir.
Penutup
Dua
poin kegelisahan yang saya kemukakan di atas secara ringkas dapat
diistilahkan sebagai agenda "keadilan agraria" dan "keadilan lingkungan"
(
agrarian and environmental justice); dua agenda yang saling
berjalin-berkelindan satu sama lain dan yang kondisinya makin genting
untuk dijalankan dewasa ini. Memang dengan sedih harus saya katakan
bahwa dua agenda inilah yang, akibat satu trauma sejarah yang pahit,
cenderung dicoba untuk dihindari oleh kalangan pesantren.
Bagaimanapun,
dua agenda ini harus dihadapi dan digulati jika masyarakat Senori dan
sekitarnya dikehendaki berada tidak hanya di bawah "naungan pohon jati",
namun juga di bawah "naungan kitab kuning" dalam arti yang
sebenar-benarnya. Jika tidak, maka jangan salahkan jika mereka yang
berada di bawah "naungan pohon jati" dari segi sosial-ekonomi itu akan
mencari "naungan" lain di luar "kitab kuning" (Marxisme, pragmatisme,
neoliberalisme, abangan dll) untuk perlindungan ideologis dan
ruhaniahnya.
Amsterdam, Autumn 2011
Seorang
perempuan perkasa dalam perjalanan pulang dari memetik daun jati di
kawasan hutan jati (sumber: www.hobyjepret.blogspot.com)
Retrieved from: http://www.facebook.com/notes/shohib-sifatar/di-bawah-naungan-pohon-jati-fragmen-kehidupan-di-pesantren-2/10150490883761224
This article has appeared in the following link: http://indoprogress.com/2011/12/05/di-bawah-naungan-pohon-jati-fragmen-kehidupan-di-pesantren/(Warning! Virus has been detected in this link when I I accessed it on 12/5/2011)