Tuesday, December 13, 2011

Pembaruan KH Abdurrahman Wahid

Oleh M Dawam Rahardjo
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

(Kompas, 19/1/ 2007)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/19/opini/3250523.htm
==========================
Buku Gus Dur (KH Dr Abdurrahman Wahid) yang berjudul Islamku, Islam
Anda dan Islam Kita, sebuah judul yang diambil dari sebuah artikel
Bab I, “Islam dalam Diskursus ‘Ideologi, Kultural dan Gerakan’”
(halaman 66) ini, yang konon akan diterjemahkan ke dalam tujuh
bahasa dunia, adalah sebuah kumpulan artikel yang tebalnya 410
halaman.

Oleh editornya, Dr Syafi’i Anwar, buku ini dibagi menjadi tujuh bab.
Bab awal memulai dengan pembahasan mengenai pengertian dan persepsi
hal-hal yang mendasar di sekitar Islam; pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan adalah apakah Islam itu sebuah sistem? Jika memang suatu
sistem, apakah perlu, bahkan harus diformalkan? Apakah Islam itu
juga sebuah ideologi politik? Karena itu, apakah ada negara Islam,
ekonomi Islam, teori politik Islam, kebudayaan Islam, kesusastraan
Islam, dan seterusnya?

Apakah “negara Islam” itu merupakan kewajiban yang harus diwujudkan
oleh umat Islam? Apakah Islam harus dijadikan dasar negara, seperti
di Indonesia? Apakah Islam itu sebuah ajaran yang menyeluruh dan
sempurna (kaffah). Apakah Islam itu sebuah sistem hukum yang disebut
syariat ataukah sebuah bimbingan cara hidup? Apakah Islam itu sebuah
ideologi ataukah budaya?

Pertanyaan-pertanyaan itu dicoba untuk dijawab oleh pengarangnya,
yang dijadikan dasar pijakan bagi pemikiran-pemikiran lainnya. Bab
selanjutnya, misalnya, berjudul “Islam, Negara, dan Kepemimpinan
Umat” sebagai tema, diikuti dengan pembahasan mengenai “Keadilan dan
Hak-hak Asasi Manusia”, “Perekonomian Rakyat”, dan diakhiri dengan
bab yang berjudul “Islam, Perdamaian, dan Masalah Internasional”.

Dari judul bab-bab, buku ini memang merupakan sebuah wacana mengenai
pemahaman Islam dalam bingkai atau versi: “Islamku, Islam Anda dan
Islam Kita” yang komprehensif yang dapat dijadikan sebagai sumber
pembaruan pemikiran Islam, yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran
para pembaru sebelumnya, seperti Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib,
Djohan Efendi, Harun Nasution, dan Munawir Sadzali.

Dua macam
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas bisa dinilai dua
macam: jawaban yang betul (right answer) dan salah (wrong answer).
Tentu hal ini bergantung siapa yang menilai. Aliran Islamis-
fundamentalis yang mungkin secara tidak sadar telah dipengaruhi oleh
cara berpikir ilmiah, umpamanya, akan menilai bahwa jawaban yang
benar adalah bahwa Islam itu memang merupakan sistem, bahkan sistem
yang lengkap (a complet civilization).

Mengacu kepada penjelasan Dr H Nasuha mengenai “Teori Sistem” di
atas, maka apakah Islam merupakan suatu sistem ataukah bukan
bergantung dari pendekatan dalam melihat Islam. Jika dipakai teori
sistem, maka ajaran Islam bisa dikonstruksikan menjadi suatu sistem
yang khas, berdasarkan Al Quran dan sunah, misalnya sistem hukum,
sistem kenegaraan dan pemerintahan, sistem ekonomi, sistem
perbankan, dan seterusnya.

Melihat Islam historis sebagai bangunan peradaban Islam, orientalis
HAR Gibb sendiri, sebagaimana dikutip oleh Natsir, menyimpulkan
bahwa Islam bukan saja merupakan suatu religi, tetapi juga sebuah
peradaban yang lengkap (a complete civilization). Tentu saja bisa
timbul pertanyaan: apa yang dimaksud dengan sistem dalam kesimpulan
Gibb tersebut dan apa yang dimaksud dengan peradaban yang membedakan
diri dari religi itu. Salah satu buku Nurcholish Madjid umpamanya,
berjudul Islam Agama Peradaban.

Dengan mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh para ahli
(baca Dr H Nasuha, Sebagai Salah Satu Alternatif) sistem pada
dasarnya adalah suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian atau
elemen-elemen yang berkaitan satu sama lain sehingga melahirkan
suatu fungsi atau proses tertentu untuk mencapai suatu tujuan.

Suatu sistem dapat dipandang baik atau buruk bergantung dari
kriteria penilaiannya. Dilihat dari sudut ekonomi, suatu sistem bisa
dinilai baik jika efisien, dalam arti dengan masukan (input) minimal
akan dihasilkan keluaran (output) yang maksimal. Dari sudut lain,
suatu sistem dapat dinilai kesesuaiannya dengan hukum alam (natural
law), mungkin juga didasarkan pada kesesuaiannya dengan nilai-nilai
yang diajarkan oleh suatu agama.

Dari sudut Islam bisa dilihat kesesuaiannya dengan hukum syariat.
Mungkin juga dari segi kemanfatannya bagi masyarakat, bersifat adil
dan ramah lingkungan (saleh). Dari segi kemanusiaan, sistem tersebut
memenuhi dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil
warga negara. Sistem perbankan syariat ternyata dapat diterima oleh
pasar bukan hanya karena antiriba, tetapi juga membuktikan dirinya
dapat melayani kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan usaha dan
dari sudut investor mampu memberikan keuntungan yang menarik.

Dari segi manajemen, suatu sistem dapat dinilai baik karena efisien
atau dari segi sosial bermanfaat bagi rakyat kecil. Namun, perda-
perda syariat banyak ditolak oleh masyarakat karena telah
menimbulkan diskriminasi, melanggar prinsip kesetaraan jender, dan
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil.

Karena itu, jawaban terhadap pertanyaan Gus Dur itu tidak selalu
hitam-putih, bergantung dari sampai seberapa jauh konsep tersebut
memenuhi kriteria yang dipakai, yaitu dipakai oleh masyarakat luas
yang terbuka dan plural. Masalahnya di sini adalah apakah tepat jika
suatu agama seperti Islam ditransformasikan menjadi suatu sistem
sehingga agama menjadi bersifat mekanis?

Konsep ideologi
Berdasarkan pandangan Dr H Nasuha, Islam bisa juga dikembangkan
menjadi konsep ideologi negara dan pemerintahan. Tentu saja Islam
bisa dikembangkan menjadi sebuah ideologi dan karena itu hendak
dijadikan sebagai dasar negara.

Namun, perlu diingat, apa pengertian ideologi? Secara sosiologis,
ideologi pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia dalam
merancang masa depan sebagai respons terhadap suatu kondisi
masyarakat. Penjajahan akan melahirkan nasionalisme, kepincangan
sosial-ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia akan menimbulkan
sosialisme, kediktatoran akan menimbulkan demokrasi.

Jika demikian, apakah agama yang merupakan sekumpulan doktrin dan
norma itu dijadikan suatu ideologi?

Sementara itu, Daniel Bell mengatakan bahwa zaman wacana ideologi
telah berakhir (end of ideology). Mengapa baru sekarang Islam hendak
dijadikan suatu ideologi. Apakah ini tidak berarti reduksi Islam itu
sendiri? Karena itulah, Gus Dur berpendapat bahwa Islam tidak perlu
dijadikan ideologi. Karena Islam memberikan pedoman tingkat laku,
maka Islam hendaknya dipandang sebagai sumber kebudayaan.

Pernah dalam sejarah politik di Indonesia dikembangkan konsep Islam
sebagai dasar negara, bahkan konsep negara Islam. Sekali lagi,
berdasarkan keterangan Nasuha tentang teori sistem (negara juga
sebuah sistem, khususnya sistem politik), maka mungkin saja dibangun
sebuah konsep teori politik Islam dan dari sana dikembangkan konsep
negara Islam.

Masalahnya, seperti dikatakan oleh Munawir Sadzali, apakah Islam
memberikan pedoman mengenai negara dan pemerintahan? Soal pemilihan
dan suksesi kepala negara, tidak ada petunjuknya dalam Al Quran
maupun sunah Nabi. Bahkan, menurut Dr Qomaruddin Khan, tidak ada
istilah dalam Al Quran yang merupakan padanan “negara”
atau “pemerintah”.

Kata al daulah, yang biasa dikutip sebagai istilah untuk negara,
bukan istilah Al Quran, melainkan para ahli fikih. Yang ada hanya
petunjuk-petunjuk normatif yang bisa saja dijadikan landasan
teoretis mengenai negara, misalnya keadilan, prinsip amanah,
musyawarah, dan semacamnya.

Masalahnya adalah, menurut Nurcholish Madjid, konsep seperti itu
harus dianggap sebagai hasil pemikiran manusia, dan bukan wahyu.
Karena itu, maka agama tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap
konsep negara Islam.

Apalagi hasil pemikiran manusia itu. Sekalipun berdasarkan sumber
yang sama, akan beragam, bahkan bisa saling bertentangan, misalnya,
antara otoritarian dan demokrasi.

Mana di antara konsep-konsep itu yang paling benar dan dapat
diformalkan menjadi konsep negara Islam? Di sinilah akan timbul
persengketaan yang saling mengklaim kebenaran atas nama Tuhan.
Karena itu, Cak Nur menganjurkan lebih baik ajaran Islam
dikembangkan menjadi suatu konsep keadilan sosial.

Ahli ekonomi
Mantan Presiden Republik Islam Iran Rafsanjani yang juga ahli
ekonomi itu pernah mengembangkan teori keadilan sosial. Imam
Khomaini juga telah mengembangkan konsep negara dan pemerintahan
Islam. Prinsip kedaulatan Tuhan diterjemahkan sebagai al Wilayah al
Faqih, semacam dewan ulama. Tapi, konsep itu tidak bisa disebut
universal dan mewakili konsep Islam yang resmi. Karena itulah maka
Gus Dur tidak menyetujui gagasan negara Islam. Baginya negara,
seperti Indonesia, adalah sebuah negara kebangsaan yang sekuler.

Gus Dur juga berpendapat bahwa Islam adalah sebuah ajaran
kemasyarakatan. Masalah kemasyarakatan ini memang banyak petunjuknya
dalam Al Quran. Karena kita bisa menjumpai perintah untuk membentuk
suatu masyarakat (QS Ali Imran: 104 dan 110).

Sedangkan perintah untuk mendirikan negara tidak ada sama sekali.
Tapi, memang ada perintah agar orang menghukumi sesuatu dengan hukum
Allah yang diartikan sebagai hukum syariat. Tetapi, yang dimaksud di
sini adalah hukum Allah yang berlaku dalam alam semesta (kauniyah)
dalam masyarakat dan sejarah (sunatullah) yang banyak disebut oleh
Cak Nur.

Yang dimaksud juga prinsip-prinsip yang dianjurkan dalam Al Quran,
misalnya adil. Karena itu, menghukumi suatu masalah dengan hukum
Allah berarti menghukum berdasarkan prinsip keadilan. Inilah yang
antara lain diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Daud sebagai
seorang penguasa. Anaknya, Nabi Sulaiman, dikenal dengan keadilannya
sebagai raja-hakim.

Perintah untuk membentuk suatu negara biasanya mengacu kepada
pembentukan negara Madinah. Tapi, yang lebih tepat adalah masyarakat
(umat) Madinah, daripada suatu negara, yang sebenarnya hanyalah
interpretasi dari orientalis dan sejarawan saja. Sebab, masyarakat
Madinah adalah merupakan hasil dari suatu kontrak sosial (social
contract), meminjam pengertian Rousseau, yaitu sebagai hasil
perundingan, musyawarah, dan negosiasi antara nabi dan tokoh-tokoh
masyarakat serta agama di sekitar Yatsrib (sebelum disebut Madinah
yang artinya kota).

Menurut Dr Ali Abdul Razik, ulama-sarjana Al Azhar, murid Abduh itu,
misi nabi adalah keagamaan dan bukan politik. Adapun negara yang
dibentuk dan dipimpin oleh Khulafa’ al Rashidin yang sering
dijadikan referensi itu adalah hasil ijtihad, karena tidak ada
petunjuknya yang jelas dalam Al Quran maupun sunah.

Bagi Gus Dur, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan
sebuah “Negara Islam”. Tetapi, ada perintah dalam Al Quran untuk
membentuk suatu masyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai keutamaan
(viruies) yang menjalankan amar makruf (membangun kebaikan) dan
mencegah keburukan, nahi mungkar, untuk menegakkan iman dan keadilan
di muka bumi. Karena itu, maka Islam jangan direduksi menjadi negara
Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama.

Dengan demikian, maka pembaruan Gus Dur adalah mempertegas
perspektif gerakan kultural dan gerakan kemasyarakatan, yang
sekarang lebih populer dengan sebutan membangun civil society yang
bersifat komplementer dan mendukung sebuah negara Pancasila yang
telah dimulai oleh para Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers).
Itulah kurang lebih gambaran Gus Dur tentang “Islamku” dan
juga “Islam Anda” dan semoga juga “Islam Kita”.

No comments:

Post a Comment