Oleh: Abdurrahman Wahid
Ulil Abshar Abdalla adalah
seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan "orang
santri", istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim
Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah
dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi
dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu ia bukan
lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren.
Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang
yang "menghina" Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia
dianggap "abangan". Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang
mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap "aneh" bagi
kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia
berani mengemukakan liberalisme
Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah
implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan
mempertahankan "kemerdekaan" berpikir seorang santri dengan demikian
bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinanya sendiri akan
"kebenaran" Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku
dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian
besar reaksi orang terhadap hal ini.
Reaksi seperti ini pernah
terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan "Assalamu'alaikum"
dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan
hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud
penulis sebenarnya, sehingga KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di
Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara
orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu,
menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore.
Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan
"Takbiratul Al-Ihram" dan di sudahi dengan ucapan "Salam".
Jadi, menurut paham Mazhab Al-Syafi'i, penulis tidak akan semaunya sendiri
menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan
salam sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang
lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo
misalnya, para Syaikh/ Kyai yang menjadi dosen juga sering merubah "tanda
perkenalan " tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan "selamat pagi
yang cerah" (Shabah Al-Nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu,
mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap
pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.
*****
Tidak heranlah jika reaksi
orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting,
penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah
seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah
keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan
itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan.
Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur'an: "Dan tak ada yang abadi
kecuali kehadirat Tuhan " (Wallau yabqo illa Wajhah), dan yakin akan
kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh
berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim
yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW:
"Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah
yang kafir" (Man kaffarahu akhahu musliman fahuwa kafirun).
Ulil dalam hal ini bertindak
seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir
dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di "kafir" kan orang, tentu
saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan.
Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis "Ahl
Al-Nahqli" dan penganut paham serba akal "Ahl Al-Aqli" (kaum
rasionalisme) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang
sedang ditantang oleh paham yang menerima "sumber intuisi" (ahl
Al-Dzauq), seperti dikemukakan oleh Al-Zaribi dari Universitas Yar'muk di
Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam magnumopus
(karya besar), " Ihya'ulum al-din", yang saat ini masih diajarkan di
pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian
"kesalahan" Ulil adalah karena ia bersikap "menentang"
anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci
Al-Qur'an menyatakan "Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari
ini" (Alyauma akmaltu dinakum) dan "Masuklah ke dalam Islam/
kedamaian secara menyeluruh " (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka
seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang
dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran
dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil
mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan
dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan ) dalam keyakinan agama yang diperlukannya.
Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai
penafsiran istilah tersebut.
Berpulang kepada kita jualah
untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham
liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak
mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia
mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham
"kebebasan" yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan
kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia "terganggu" oleh
kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat
"keras" akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin
juga, ia ingin membuat para "Muslim pinggiran" merasa dirumah mereka
sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik
sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yan g
diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.
Kembali berpulang kepada kita
semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika di benarkan, tentu
saja kita akan "membiarkan" Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di
masa depan. Disadari, hanya dengan cara "menemukan" pemikiran seperti
itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian
reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil masih mau melahirkan
pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa
lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran
seperti itu? Adagium seperti "perbedaan pandangan di kalangan para
pemimpin adalah rahmat bagi umat " (Ikhtilaf Al-A '-Immha rahmah
Al-ummah).
Jika kita tidak menerima sikap
untuk membiarkan Ulil "berpikir" dalam media khlayak, maka kita
dihadapkan kepada dua pilihan antara "larangan terbatas" untuk
berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan)
dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi
pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus
dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai "orang luar". Pendapat
kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada
radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah
lahirnya terorisme yang sekarang "menghantui" dunia Islam. Kalau kita
tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan
kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada
munculnya paham "serba kekerasan", yang saat ini sedang menghingapi
dunia Islam. pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan?
Jakarta, 28 Januari 2003
Penulis adalah Mustasyar PBNU
No comments:
Post a Comment