Kompas, 16 April 2019
AHMAD NAJIB BURHANI
Dalam sambutan- nya pada Pembukaan
Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Kota Banjar (27/2/2019),
Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya menjaga persaudaraan kebangsaan.
Diungkapkan, ”Ukhuwah dan
persaudaraan adalah hal yang sangat penting, baik itu ukhuwah
islamiah[persaudaraan sesama Muslim], ukhuwah wathoniyah [persaudaraan sesama
anak bangsa], ukhuwah insaniyah [persaudaraan kemanusiaan], penting semuanya…
pada kesempatan yang baik ini, saya titip… saya titip… jangan sampai karena
urusan [yang paling bawah] pemilihan bupati, naik lagi, urusan pemilihan
gubernur… kemudian naik lagi urusan pilpres… kita ini tidak merasa sebagai
saudara sebangsa dan setanah air… hati-hati kalau sudah ada rasa seperti itu…
saya mengajak kepada kita semuanya untuk menjaga ukhuwah kita, ukhuwah islamiah
kita, ukhuwah wathoniyah kita”.
Logika perang
Apa yang disampaikan Presiden itu
sangat relevan dengan kondisi di masyarakat menjelang pemilu yang dilangsungkan
pada 17 April 2019. Narasi perang banyak bertebaran, baik di media sosial
maupun kampanye untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu.
Istilah perang badar, perang total, dan perang ideologi menjadi term yang
terus-menerus mengisi otak dan telinga masyarakat.
Demikian juga politics of fear atau bayangan tentang ancaman akan terjadinya
hal-hal buruk jika kubunya kalah. Kubu A menakut-nakuti akan adanya legalisasi
perkawinan sejenis, pelarangan azan, kriminalisasi ulama, dan ancaman Islam
liberal jika lawannya menang.
Kubu B menyebut akan ada larangan
tahlilan, penggusuran kuburan, dan Talibanisasi Indonesia jika kubu lawan
menang. Pendeknya, masa depan Islam dan negara menjadi taruhan dalam pilpres
kali ini.
Ketika Jokowi memilih Ma’ruf Amin
sebagai calon wakil presidennya 10 Agustus 2018, banyak yang berpikir bahwa
politik identitas tak akan dipakai lagi dalam pemilu ini. Ini dilandasi
pemikiran bahwa Ma’ruf Amin, sebagai Rais AmSyuriah PBNU dan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI), bisa menjadi tameng terhadap berbagai serangan dengan
menggunakan politik identitas, terutama agama.
Atau bahkan orang akan enggan dan
berhenti sama sekali dengan politisasi simbol-simbol dan bahasa agama.
Selanjutnya, para politisi akan beralih ke isu lingkungan, hak asasi manusia
(HAM), dan terutama ekonomi. Logika ini terlihat masuk akal, terlebih dengan
dipilihnya Sandiaga Uno sebagai pasangan dari Prabowo Subianto.
Meski demikian, dalam perjalanannya,
penggunaan politik identitas tetap atau semakin kuat. Bahkan, pilpres kali ini
dalam bahasa yang dipakai oleh beberapa orang dari tim pemenangan kedua kubu
sering diistilahkan sebagai jihad dan pertaruhan antara hidup dan mati. Amien
Rais menggunakan istilah ”partai Allah vs partai setan”, ada pula sebutan
”partai penista agama vs partai pendusta agama”.
Farhat Abbas mengklaim yang ”pilih
Jokowi masuk surga; yang enggak, masuk neraka”, dan dalam Malam Munajat 212
bulan lalu (21/2), Neno Warisman mengadu kepada Allah bahwa ”tak ada lagi yang
menyembah-Mu [Allah]” jika kubu yang didukungnya kalah.
Bedanya dari Pilkada DKI Jakarta
2017, kali ini tidak digunakan istilah ”Muslim vs kafir”, tetapi lebih sebagai
pertarungan antara yang ”Islami vs lebih Islami”, ”moderat vs radikal”, dan
bahkan ada yang menyebut ”NU vs eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”.
Logika dan term perang dan permusuhan
antara hak dan batil seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik.
Banyak dari para politisi sadar bahwa istilah-istilah itu digunakan semata demi
merebut kekuasaan saja. Sedihnya, kesadaran seperti itu kadang tidak sampai ke
masyarakat luas.
Mereka memakan mentah-mentah jargon-jargon
pertarungan politik itu dan melihatnya sebagai sesuatu yang harus dibela
mati-matian atau sebagai jihad. Banyak dari mereka yang lupa bahwa para
politisi itu, meminjam istilah Aditya Pratama (2019), ”sangat bisa berubah,
terlebih bila menyangkut urusan duniawi. Lidah mereka tiba-tiba bisa saja
bercabang, dan wajahnya atau kulitnya dapat berubah sewaktu-waktu”.
Jalan pintas
Politik itu ganas, kejam, tetapi
sekaligus sangat menggoda dan menggiurkan. Tidak sedikit politisi, artis, dan
bahkan ulama yang rela menjadi setan asalkan kekuasaan politik bisa tergenggam.
Dalam bahasa Amien Rais dalam Tanwir Muhammadiyah 2017, kekuasaan politik itu
seperti ”jalan tol, jalan supercepat tanpa penghalang” yang bisa mengantarkan
pemegangnya menuju surga jannatun na’im atau menuju neraka jahanam.
Ia bisa menjadi jalan pintas untuk
menjadi kaya dan mendapat akses ekonomi. Ia bisa menjadi sarana untuk membuat
hegemoni, monopoli, dan diskriminasi sebagai sesuatu yang legal. Namun, ia juga
menjadi jalan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.
Di Indonesia ini, tragisnya, politik
itu sepertinya lebih banyak menjadi jalan menuju neraka. Berdasarkan survei
yang dilakukan SMRC (2017) dan LSI (2018), lembaga politik yang bernama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik merupakan institusi yang paling
rendah mendapat kepercayaan dari publik.
Lantas kenapa kita banyak terbawa
oleh logika-logika perang mereka dan begitu mengikuti apa yang mereka katakan
dalam pemilu kali ini?
Semoga kita bisa tetap menjaga
persaudaraan dalam tahun politik ini. Semoga, seusai pemilu yang kebetulan
bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kita bisa membenahi kembali sendi-sendi kesatuan
bangsa yang mengalami retak dan semua permusuhan dan kebencian bisa dihapuskan.
Ahmad Najib Burhani Peneliti Senior
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
https://kompas.id/baca/opini/2019/04/16/menjaga-persaudaraan-kebangsaan/
No comments:
Post a Comment