Thursday, April 18, 2019

Menjaga Persaudaraan Kebangsaan

Kompas, 16 April 2019

AHMAD NAJIB BURHANI 

Dalam sambutan- nya pada Pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Kota Banjar (27/2/2019), Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya menjaga persaudaraan kebangsaan.

Diungkapkan, ”Ukhuwah dan persaudaraan adalah hal yang sangat penting, baik itu ukhuwah islamiah[persaudaraan sesama Muslim], ukhuwah wathoniyah [persaudaraan sesama anak bangsa], ukhuwah insaniyah [persaudaraan kemanusiaan], penting semuanya… pada kesempatan yang baik ini, saya titip… saya titip… jangan sampai karena urusan [yang paling bawah] pemilihan bupati, naik lagi, urusan pemilihan gubernur… kemudian naik lagi urusan pilpres… kita ini tidak merasa sebagai saudara sebangsa dan setanah air… hati-hati kalau sudah ada rasa seperti itu… saya mengajak kepada kita semuanya untuk menjaga ukhuwah kita, ukhuwah islamiah kita, ukhuwah wathoniyah kita”.

Logika perang
Apa yang disampaikan Presiden itu sangat relevan dengan kondisi di masyarakat menjelang pemilu yang dilangsungkan pada 17 April 2019. Narasi perang banyak bertebaran, baik di media sosial maupun kampanye untuk mendukung calon presiden dan wakil presiden tertentu. Istilah perang badar, perang total, dan perang ideologi menjadi term yang terus-menerus mengisi otak dan telinga masyarakat.

Demikian juga politics of fear atau bayangan tentang ancaman akan terjadinya hal-hal buruk jika kubunya kalah. Kubu A menakut-nakuti akan adanya legalisasi perkawinan sejenis, pelarangan azan, kriminalisasi ulama, dan ancaman Islam liberal jika lawannya menang.
Kubu B menyebut akan ada larangan tahlilan, penggusuran kuburan, dan Talibanisasi Indonesia jika kubu lawan menang. Pendeknya, masa depan Islam dan negara menjadi taruhan dalam pilpres kali ini.

Ketika Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presidennya 10 Agustus 2018, banyak yang berpikir bahwa politik identitas tak akan dipakai lagi dalam pemilu ini. Ini dilandasi pemikiran bahwa Ma’ruf Amin, sebagai Rais AmSyuriah PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), bisa menjadi tameng terhadap berbagai serangan dengan menggunakan politik identitas, terutama agama.

Atau bahkan orang akan enggan dan berhenti sama sekali dengan politisasi simbol-simbol dan bahasa agama. Selanjutnya, para politisi akan beralih ke isu lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan terutama ekonomi. Logika ini terlihat masuk akal, terlebih dengan dipilihnya Sandiaga Uno sebagai pasangan dari Prabowo Subianto.

Meski demikian, dalam perjalanannya, penggunaan politik identitas tetap atau semakin kuat. Bahkan, pilpres kali ini dalam bahasa yang dipakai oleh beberapa orang dari tim pemenangan kedua kubu sering diistilahkan sebagai jihad dan pertaruhan antara hidup dan mati. Amien Rais menggunakan istilah ”partai Allah vs partai setan”, ada pula sebutan ”partai penista agama vs partai pendusta agama”.

Farhat Abbas mengklaim yang ”pilih Jokowi masuk surga; yang enggak, masuk neraka”, dan dalam Malam Munajat 212 bulan lalu (21/2), Neno Warisman mengadu kepada Allah bahwa ”tak ada lagi yang menyembah-Mu [Allah]” jika kubu yang didukungnya kalah.

Bedanya dari Pilkada DKI Jakarta 2017, kali ini tidak digunakan istilah ”Muslim vs kafir”, tetapi lebih sebagai pertarungan antara yang ”Islami vs lebih Islami”, ”moderat vs radikal”, dan bahkan ada yang menyebut ”NU vs eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)”.

Logika dan term perang dan permusuhan antara hak dan batil seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik. Banyak dari para politisi sadar bahwa istilah-istilah itu digunakan semata demi merebut kekuasaan saja. Sedihnya, kesadaran seperti itu kadang tidak sampai ke masyarakat luas.

Mereka memakan mentah-mentah jargon-jargon pertarungan politik itu dan melihatnya sebagai sesuatu yang harus dibela mati-matian atau sebagai jihad. Banyak dari mereka yang lupa bahwa para politisi itu, meminjam istilah Aditya Pratama (2019), ”sangat bisa berubah, terlebih bila menyangkut urusan duniawi. Lidah mereka tiba-tiba bisa saja bercabang, dan wajahnya atau kulitnya dapat berubah sewaktu-waktu”.

Jalan pintas
Politik itu ganas, kejam, tetapi sekaligus sangat menggoda dan menggiurkan. Tidak sedikit politisi, artis, dan bahkan ulama yang rela menjadi setan asalkan kekuasaan politik bisa tergenggam. Dalam bahasa Amien Rais dalam Tanwir Muhammadiyah 2017, kekuasaan politik itu seperti ”jalan tol, jalan supercepat tanpa penghalang” yang bisa mengantarkan pemegangnya menuju surga jannatun na’im atau menuju neraka jahanam.

Ia bisa menjadi jalan pintas untuk menjadi kaya dan mendapat akses ekonomi. Ia bisa menjadi sarana untuk membuat hegemoni, monopoli, dan diskriminasi sebagai sesuatu yang legal. Namun, ia juga menjadi jalan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.

Di Indonesia ini, tragisnya, politik itu sepertinya lebih banyak menjadi jalan menuju neraka. Berdasarkan survei yang dilakukan SMRC (2017) dan LSI (2018), lembaga politik yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik merupakan institusi yang paling rendah mendapat kepercayaan dari publik.

Lantas kenapa kita banyak terbawa oleh logika-logika perang mereka dan begitu mengikuti apa yang mereka katakan dalam pemilu kali ini?
Semoga kita bisa tetap menjaga persaudaraan dalam tahun politik ini. Semoga, seusai pemilu yang kebetulan bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kita bisa membenahi kembali sendi-sendi kesatuan bangsa yang mengalami retak dan semua permusuhan dan kebencian bisa dihapuskan.

Ahmad Najib Burhani Peneliti Senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

https://kompas.id/baca/opini/2019/04/16/menjaga-persaudaraan-kebangsaan/


No comments:

Post a Comment