Monday, October 3, 2011

Gus Dur dalam Kata Pengantar


NU.or.id, 03/10/2011 08:56

Judul buku: Sekedar Mendahului
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: Penerbit Nuansa, Bandung
Cetakan: Pertama, 2011
Tebal buku: 342 Halaman
Persensi: Danuji Ahmad

Membaca tulisan Gus Dur dalam buku ini adalah pembaca telaga air yang menyejukkan. Gagasannya brilian, mudah dicerna, recah, mengalir, serta pembaca digiring untuk merenungi di setiap baris, kalimat serta paragraf dari tulisan-tulisannya. Sesekali Gus Dur juga menggoyang pikiran kita untuk kembali mempertanyakan sesuatu yang sudah lumrah (common sense) untuk direnungi kembali. Bahkan Gus Dur acapkali menciptakan perspektif baru dari penafsiran tunggal yang terkadang jauh dari api panggang pokok permasalahan. Inilah yang membuat tulisan Gus Dur luas, kritis dan segar.

Melihat urgensi pemikiran Gus Dur itulah, kawan-kawan atau orang-orang yang pernah dekat Gus-Dur mencoba menyatukan serpihan-serpihan gagasannya yang berserakan dan pertebaran dimana-mana, untuk dijadikan dalam buku utuh yang berjudul Sekedar Mendahului ini. Sebuah judul yang seksi dan menarik. Sudah pasti, isi bukunya juga tidak kalah menarik dengan judulnya.

Dalam buku ini, Gus Dur tidak hanya menawarkan gagasan para pemikir Barat, tetapi juga menyelami ke dalam khazanah epistimlogi Nusantara. Lewat cerita-cerita rakyat, serat-serat yang menyentuh dan menyentil kesadaran diramu dalam kata yang sederhana dan mendalam. Model-model tulisan semacam itulah yang dituangkan Gus Dur dalam esai-esai kata pengantar dalam buku yang berbentuk bunga rampai ini.

Dalam kata pengantar buku Humor dan Budaya, Gus Dur mencoba menawarkan sebuah cerita-cerita masyarakat kecil, tetapi patut diteladani dan direnungi. Al kisah, ada seorang raja yang bernama Gonzales sedang bertamasya keliling kota dengan mengendarai kuda. Tetapi ketika melewati sebuah jembatan sungai, sang presiden itu jatuh, lalu terbawa arus sungai yang deras. Hingga pada akhirnya sang raja tersebut ditolong oleh seorang pengail ikan yang miskin. Kerena, sang pengail telah menyelamatkan nyawa sang raja, hadiah besarpun sudah disipkan kepada sang pengail.

Hal yang mengagetkan dan tidak terduga ternyata keluar dari mulut pengail miskin itu. Sang pengail itu ternyata menolak seluruh hadiah yang telah dipersipkan raja Gonzales. Lalu sang pengail itu berujar “Saya hanya meminta agar sang raja tidak menceritakan peristiwa ini kepada siapun”. Akhir dari cerita humor yang diangkat dari kehidupan nyata ini seakan menyetak kesadaran kita serta memberikan kritik tajam dan sindiran terhadap hal-hal yang salah dalam kehidupan. Pun, orang miskin ternyata memiliki caranya tersendiri menggunakan kearifan mereka. Kearifan untuk ikhlas beramal tanpa jasa, ditengah kemiskinan yang melilitnya, merupakan sebuah tindakan arif yang patut diapresiasi.

Cerita humor lain, beda substansi juga ditampilkan Gus Dur, semisal lelucon bangkitnya Lenin dari mausoleum, Kremlin. Presiden Rusia yang meninggal 1924 itu, mendadak bangkit dan membuat pusing seluruh rakyat Rusia. Kebangkitan Lenin ini mendadak aneh. Murung di kamar dan tidak bisa diganggu. Pada akhirnya karena para prajurit curiga, pintu kamar itupun didobrak. Anehnya, sang presiden itu tidak berwujud ditempat, tetapi ditengah kertas-kertas yang berserakan. Lenin menuliskan pesan singkat yang berbunyi “Revolusi telah gagal. Saya akan menyiapkan diri ke Jenewa untuk mempersiapkan revolusi lagi.” Begitulah kira-kira humor yang berasal dari negara bekas negara Uni Soviet itu. (Hlm, 56)

Rasa humor dari masyarakat adalah bukti ketahanan hidup yang tinggi terhadap terpaan badai kepahitan dan kesengsaaraan. Keberanian menertawakan diri sendiri merupakan tuntunan hati akan kesadaran kebutuhan dan kesadaran akan keterbatasan diri. Terpaan badai masalah yang dibarengi dengan pengatahuan serta menerima segala risiko akan kesengsaraan tanpa patah semangat dalam hidup dengan inilah humor memiliki nilai sublimasi dari kearifan masyarakat.

Membicarakan kata pengantar Gus Dur dalam buku politik juga tidak kalah menariknya juga tentang humor. Tawaran Gus Dur tentang carut-marutnya perpolitikan negeri ini, buah dari pertikaian beda ideologi, kelompok, partai politik serta kepentingan dan kebijakan menjadi kajian Gus Dur dalam mengantarkan buku Ribka Tjiptaning dengan judul buku ”Aku Banggga Menjadi Menjadi PKI.” Gus Dur berpendapat dalam hal-hal yang bertentangan dalam pandangan politik bisa dipersatukan dalam bingkai kemanusiaan. Rasa kemanusiaan inilah yang pada akhirnya memberikan titik temu dari segala pertengan-pertengan politik yang ada.

Gus Dur juga mengeksplorasi tentang kehidupan administrasi bangsa Indonesia yang tercerabut dari akar tradisi nenek moyangnya. Adigium “nenek moyangku seorang pelaut” yang terimplementasikan lewat karya empu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda-beda tetapi tetapi satu, mengalami perubahan dari laut ke daratan. Titik awal perubahan itu di mulai dari pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo abad ke-17. Pada masa inilah orientasi negara kelautan secara drastis menuju orientasi darat. Orientasi administrasi kita harus ditata ulang karena tidak bersesuaian dengan akar tradis,” tanda Gus Dur dalam buku ini.

Refleksi tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini sangatlah menarik untuk direnungi kembali untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Esai-esai kata pengantar dari Gus Dur ini siap memberikan pencerahan dan membuka cakrawala baru tentang apa yang dinamakan spirit nasionalisme dan wawasan kebangsaan.

* Pengelola Taman Baca Jagad Aksara, Yogyakarta

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/34126/Buku/Gus_Dur_dalam_Kata_Pengantar.html

No comments:

Post a Comment