Wednesday, October 12, 2011

Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU

Jawa Post, 24 Oktober 1996

Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU
Oleh M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi*

Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan juta massa, Nahdlatul Ulama (NU) nyaris selalu terlibat dalam setiap pergulatan politik. Dengan basis massa yang begitu besar, NU memang menggiurkan sebagai alat legitimasi politik, terlebih politik agama.

Sejak kelahirannya pada 1926, warna politik sudah kental melekat pada NU. Tetapi sebagai ormas keagamaan tradisional, kiprah politik NU tak lepas dari nilai- nilai dan norma-norma Islam yang secara baku dirumuskan dalam fiqh, termasuk untuk masalah-masalah politik dan
kenegaraan. Tak heran jika kemudian muncul terminologi figh siyasah atau fiqh politik yang mendasari setiap keputusan politik NU.

Sayang, disiplin fiqh siyasah itu belum memperoleh perhatian serius. Di pusat-pusat studi Islam, Timur Tengah maupun Barat, literatur fiqh siyasah terhitung langka. Apalagi di Indonesia. Bahkan dari kalangan intelektual muslim pribumi, baru beberapa gelintir orang yang menunjukkan minat dan mau menulis mengenai hal itu. Misalnya Munawir Syadzali dengan bukunya Islam dan Tata Negara, A. Syafi'i Maarif yang membukukan disertasinya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan dan M. Ali Haidar yang menulis NU dan Islam di Indonesia.

LATAR BELAKANG
Kurangnya minat terhadap kajian fiqh siyasah, barangkali di latarbelakangi kecenderungan para pemikir Islam masa lalu yang lebih menekankan bahasan-bahasan fiqh pada aspek ibadah secara rinci. Bahkan bahasan tentang aspek muamalah pun tak cukup lengkap, sehingga aspek
siyasah praktis terabaikan.

Penekanan berlebihan pada aspek ibadah, seperti diungkapkan Abdurrahman Wahid, merupakan pengaruh dari tasauf yang berkembang setelah munculnya huru-hara politik yang menorehkan pengalaman traumatik. Konflik kekuasaan menyusul habisnya era al khulafa ar
rasyidin, telah melahirakan instabilitas politik di panggung para umara yang berebut naik ke puncak kekuasaan, sekaligus instabilitas teologi di pentas para ulama yang memunculkan beragama aliran aqidah dari yang lurus hingga yang sesat. Pengalaman pahit ini mendorong para
tokoh Islam untuk mengembangkan kehidupan sufistik yang mengacu pada upaya pencapaian taraf spiritual tertinggi, misalnya melalui tarekat.

Di satu sisi, orientasi sufistik itu berdampak positif pada peningkatan kesalehan individual. Tetapi di sisi lain, muncul dampak negatif, yakni menurunnya kepeduliaan pada persoalan- persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi kehidupan umat. Dan fiqh pun terkena imbasnya. Padahal, seperti di katakan Sidney Jones, pandangan hidup dan tradisi pemikiran umat Islam cenderung fiqh sentris. Mereka mengkaji segala persoalan, termasuk
persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kacamata fiqh seperti yang dilakukan para kiai NU melalui forum bahtsul masail.

Tentu saja tidak gampang memahami, apalagi mengimplementasikan, persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan fiqh. Tetapi untunglah bahwa para ulama cukup piawi dalam mensiasati kaidah-kaidahnya, sehingga pendekatan fiqh mampu mengakomodasikan pelbagai persoalan, termasuk masalah politik dan kenegaraaan.

KECENDERUNGAN AKOMODATIF
Cukup banyak contoh yang dapat dikedepankan dalam kaitannya dengan ciri legal formal fiqh yang diimplementasikan secara akomodatif dalam persoalan siyasah itu. Kebanyakan memang diambil dari hasil kajian para kiai NU yang pada masa lalu sangat intensif terlibat dalam
pergulatan politik.

Salah satu contoh ialah implikasi penerapan norma-norma fiqh dalam pandangan kenegaraan yang dianut mayoritas umat Islam. Mereka memandang bahwa kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara, merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, terlepas dari perilaku penguasa dalam kapasitas pribadinya. Kesalahan tindakan atau keputusan pemerintah, tidak mengharuskan adanya perubahan sistem. Konsekuensinya ialah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan terhadap pemecahan alternatif yang memaksakan perubahan secara radikal.

Dengan demikian, perbaikan sistem mesti dilakukan secara gradual guna menghindari anarki. Kaidah populer yang digunakan para ulama sunni dalam hal ini adAlah sulthonun zholum khoirun min fitnatin tadum, yang berarti sistem kekuasaan yang mapan dan menjamin stabilitas lebih baik ketimbang kondisi anarki yang berkepanjangan. Itu pula yang mendasari keluarnya fatwa jihad oleh Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari menjelang pecahnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam kasus semacam ini, kewajiban bela negara harus diberlakukan meski keadaan negara masih jauh dari kondisi ideal.

Contoh yang lain ialah penetapan status kenegaraan Indonesia dalam konteks persoalan syariat Islam. Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin, muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah menurut syariat Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status Darul Islam.

Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris dan disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun. Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca kemerdekaan. Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadlramaut Syekh Muhammad Sholih Ar Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status Darul Islam tetapi melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada kaidah al ashlu baqa'u ma kana ala ma kana, yang berarti selama tak ada perubahan mendasar maka status yang berlaku sebelumnya tetap dipertahankan.

Maka, Muktamar NU pun menetapkannya. Cuma saja, untuk menghargai bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU memutuskan mengubah istilah Darul Islam yang bermakna negara Islam menjadi Darul Salam yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu, maka perasaan terancam dari agama lain dpat dihindarkan. Karena itu, NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.

Sesungguhnya masih banyak contoh lainnya yang relevan dalam perspektif kekinian, yang kesemuanya menunjukkan bahwa dengan menggunakan fiqh siyasah sebagai landasan politik, NU dapat mengembangkan peran politiknya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus mengorbankan prinsip. Sebab, kebenaran, keadilan dan demokrasi
yang menjadi konsern NU memang sulit diperjuangkan secara radikal, dan karena itu perbaikan sistem dengan pendekatan fiqh selalu diupayakan secara gradual.

Memang, dengan cara seperti itu muncul kesan yang kuat bahwa sikap dan budaya politik NU cenderung oportunistik. Hal itu sering dijadikan kambing hitam terhadap inkonsistensi perjuangan Islam di Indonesia dan penyebab utama munculnya perbedaan strategi perjuangan yang dianut NU dan kelompok Islam lain di Indonesia. Padahal, itu tidak sepenuhnya tepat. Karena yang menjadi pedoman bagi NU bukanlah strategi perjuangan politik atau pandangan ideologi politik, tetapi keabsahan di mata fiqh.

Pedomana ini menjadi tolok ukur bagi seluruh kegiatan kenegaraan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Itu sebabnya diberlakukan kaidah tasharruf al imam ala ar raiyyah manuthun bi al mashlahah (kebijakan dan tindakan pemegang kekuasaan terhadap rakyat, harus berorientasi pada kebaikan bersama).

Dari sini, nampak --sebagaimana diutarakan Munawir Syadzali- - bahwa para teoritisi politik Islam sama sekali tak mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang Islami, melainkan justru menekankan penggunaan bentuk yang sudah ada. Ibnu Khaldun, Abu Ya'la dan Al Mawardi, jelas menempuh upaya perbaikan keadaan negara secara gradual dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempurankan sistem yang ada menuju welfare state yang mereka istilahkan dengan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Kiranya, perubahan secara gradual menuju kesempurnaan itulah yang harus dilakukan oleh NU. Tanpa upaya itu, maka perjuangan yang selama ini didengungkan atas nama Islam tak akan banyak berarti. Justru yang timbul adalah kesan NU sebagai penjaga status quo dan terkooptasi oleh sistem yang ada, seperti terjadi pada sebagian ormas Islam yang lain. Memang itu bukan hal yang mudah. Perlu adanya pengembangan visi serta perluasan wawasan, sehingga apa yang diperjuangkan menjadi jelas dan terarah.

* M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi, aktivis Forum Santri Indonesia (FSI) dan pengajar di Pesantren Tebuireng Jombang.

No comments:

Post a Comment