Thursday, June 16, 2011

Tradisionalisme dan Liberalisme NU

Kompas, 18 Feb 06

Oleh: Very Verdiansyah,

Judul buku: Menggugat Tradisi; Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU
Penulis : Masdar F Mas’udi, Said Agil Siraj, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi dkk
Penerbit : Kompas dan P3M
Tebal : xviii + 298 halaman
Terbit : September 2004

Para indonesianis-sebutan akrab bagi peneliti mancanegara-menyebut NU sebagai kalangan tradisionalis. Penyandangan "tradisionalis" bukanlah tanpa alasan. NU besar dan dibesarkan dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik (baca: kitab kuning) dan praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian terpenting dalam pandangan hidup kalangan nahdliyin secara umum. Berasal dari tradisi, oleh tradisi, dan untuk tradisi.

Begitulah, kalangan nahdliyin menancapkan identitasnya dalam lingkaran tradisi. Tradisi adalah harta karun yang harus diapresiasi sebaik mungkin untuk mempertahankan identitas dan membaca tanda-tanda zaman. Pesantren menjadi saksi sejarah kenyataan tersebut. Pesantren menjadi institusi pendidikan keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi. Namun, pertanyaan yang terlontar kemudian: apakah karenanya, NU patut dan selamanya menjadi tradisionalis?

Buku Menggugat Tradisi; Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU memberikan jawaban faktual bahwa di tangan anak muda NU tradisi menjadi jembatan untuk menuju emansipasi dan liberasi. Artinya, tradisi tidak hanya sekadar "mereproduksi dirinya" untuk dihadirkan kembali secara apa adanya, melainkan tradisi berpotensi untuk melahirkan pandangan-pandangan keagamaan progresif. Untuk itu, tradisi yang dilakoni anak muda NU bisa disebut sebagai "tradisi aktif", yaitu tradisi yang mengkritisi dirinya (al-turats yanqudu nafsahu).

Tentu saja sikap tersebut berbeda dengan kalangan tua (baca: kiai dan ulama terdahulu). Mereka, Allah yarhamuhum (semoga Allah mengasihi) para kiai tersebut membaca tradisi dengan kacamata zamannya dan kaidah keilmuan yang mendasari tradisi tersebut. Salah satu corak yang menonjol adalah pembacaan tradisionalis atas tradisi. Artinya, tradisi digunakan sebagai subyek dan obyek sekaligus. Tradisi dianggap sebagai kebenaran absolut. Nashr Hamid Abu Zayd menyebut kenyataan ini sebagai pemandangan yang lumrah dalam lingkungan Muslim, baik di dataran Arab maupun di luar Arab. Tradisi pada akhirnya menjadi sebuah otoritas yang mandul, bahkan memandulkan. Dampak yang amat memprihatinkan selanjutnya adalah kalangan agamawan tidak bisa memisahkan antara "agama" dan "tafsir keagamaan".

Dalam buku ini, sejumlah intelektual NU, di antaranya: Said Agil Siraj, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, dan Khamami Zada mencoba untuk menyuguhkan tradisi yang hidup, tradisi yang aktif. Tradisi harus ditanggapi secara kritis dan ditinjau ulang agar berkesinambungan dengan kemodernan. Tradisi bukanlah tujuan. Tradisi hanyalah proses, hanyalah alat. Karenanya, tradisi tidak bersifat final. Tradisi bersifat relatif dan relevan untuk pelbagai ruang dan waktu.

Namun, yang perlu diperhatikan, bahwa dalam menanggapi tradisi secara kritis tidak menggunakan tradisi lain, melainkan menggunakan tradisi itu sendiri, sebab hakikatnya tradisi tidaklah tunggal. Tradisi seperti pisau yang mempunyai fungsi sekaligus: merusak dan membangun. Ada tradisi yang memasung kebebasan berpikir, tetapi tak sedikit tradisi yang membangkitkan, bahkan mengharuskan kebebasan berpikir. Karena itu, dibutuhkan pembaruan yang berasal dari dalam tradisi itu sendiri (al-tajdid min al-dakhil). Di antaranya tradisi ushul fiqh (kaidah-kaidah dasar fikih) yang menyediakan mekanisme penalaran progresif. Penalaran tidak menggunakan penalaran atas teks, melainkan perlu penalaran atas kemaslahatan yang melandasi dan menjadi tujuan dari pesan keagamaan.

Masdar F Mas’udi dalam buku ini menulis perlunya menjadikan mashlahat sebagai acuan Syariat, sebab yang fundamental dalam agama adalah kemaslahatan universal, atau dalam bahasa operasionalnya adalah keadilan sosial (hal 61). Dan ini membongkar pandangan klasik yang menyebut fundamen agama adalah teks literal dan pendapat seseorang. Menurut Masdar, hal tersebut merupakan dilema tradisi keagamaan, karena yang demikian menyebabkan mandulnya agama dalam membaca realitas problem kemanusiaan. Agama, atau lebih khusus fikih, berada dalam kungkungan teks. Fikih belum mampu menembus dunia konteks dan realitas kemanusiaan. Untuk menghadirkan diskursus kemaslahatan, Masdar menyuguhkan parameter keagamaan yang tidak hanya bertumpu pada halal-haram, melainkan harus menembus ranah publik yang mampu memberikan acuan bagi adil-dzalim.

Sementara itu, Ulil Abshar Abdalla mengajukan perlunya penyegaran pemahaman keagamaan. Menurut Ulil, dalam kurun waktu yang cukup lama, wawasan keagamaan kita bercorak teologis, teosentris. Wahyu dikonstruksi untuk membedah "dunia Tuhan", sedangkan "dunia manusia" tak tersentuh secara maksimal. Untuk itu, perlu wawasan keagamaan yang memberikan arahan bagi penghargaan terhadap manusia. Salah satu tesis yang diusulkan untuk mencapai wawasan antroposentrisme, yaitu menghindari bibliolatry (penyembahan pada teks). Teks suci harus dipahami dalam konteks historisnya. Ia menyerukan pentingnya pembacaan yang mampu melampaui lafadz menuju wawasan etis yang tersimpan dalam pesan Tuhan. Wawasan etis merupakan pesan Tuhan yang utama.

Bukan hanya itu saja, sejumlah anak muda NU mengajukan tesis "Islam Pribumi", yaitu model keberislaman yang mengakomodasi budaya keindonesiaan. Anak muda NU di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU), seperti Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Abdul Mogsith Ghazali, dan Mushaffa Basyir menyerukan perlunya kritik atas Arabisme Islam. Wacana tentang pemurnian agama dan radikalisme merupakan tantangan serius. Sejumlah gerakan keagamaan mutakhir mengampanyekan wawasan yang bercorak arabis. Di sinilah Islam Pribumi melihat pentingnya wajah Islam Indonesia yang terbuka terhadap budaya-budaya lokal. Islam Pribumi menyerukan perlunya menghargai praktik-praktik keagamaan yang tumbuh dalam ranah budaya lokal. Al-'adah muhakkamah (adatistiadat menjadi salah satu sumber hukum), demikianlah kaidah fikih memberikan rasionalisasi.

Sungguh, beberapa pikiran segar yang terdapat dalam buku ini menarik untuk dibaca karena menyuguhkan sejumlah pandangan keagamaan yang tidak sama dengan pandangan mayoritas pada umumnya. Bukan hanya itu, buku ini juga memuat beberapa pikiran yang dihasilkan dalam Muktamar Pemikiran Islam NU, yang diselenggarakan 3-5 Oktober 2003. Di antaranya perihal dinamika internal pemikiran anak muda NU, metodologi dan kerangka praksis pemikiran keislaman NU.

Selain itu, buku ini memotret wajah pemikiran keislaman anak muda NU di Mesir. Muhammad Guntur Romli menulis, geliat pembaruan pemikiran keislaman menunjukkan kebangkitan NU di masa mendatang. Sepintas anak muda NU masih tradisional, tapi sesungguhnya mereka menyimpan liberalisme dan pandangan keagamaan yang progresif.

Atas dasar itu, Cak Nur dalam pengantarnya menulis, bahwa ketradisionalan NU bukanlah anti-kemodernan, melainkan menyimpan potensi yang luar biasa untuk melahirkan pandangan keagamaan yang maju. "Geliat pemikiran yang terjadi di tengah-tengah anak muda NU membuktikan bahwa tradisi tidak selamanya buruk dan anti-kemodernan," tulis Cak Nur.

Buku ini juga memuat pengantar secara panjang lebar oleh Zuhairi Misrawi, intelektual muda NU sekaligus sebagai koordinator nasional perhelatan muktamar pemikiran Islam NU. Dalam kata pengantarnya, Zuhairi menjelaskan akar-akar geneologis pemikiran anak muda NU, dari yang tradisionalis, liberal dan ultra-liberal, hingga fokus-fokus yang menjadi perhatian anak muda NU. Sungguh, buku ini membukakan jendela pemikiran dalam lingkungan NU, yaitu dari tradisionalisme menuju liberalisme.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0411/28/Buku/1400839.htm

Very Verdiansyah, Peneliti di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

No comments:

Post a Comment