Saturday, January 1, 2011

Jejak Pemikiran Sang Kyai Tradisionalis


Oleh : Fajar Kurnianto

Judul : Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan
Penulis : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Kompas
Cetakan : I, Januari 2010
Tebal: xxx+374 hlm

Bagi bangsa Indonesia, nama KH Muhammad Hasyim Asy’ari, atau yang lebih akrab disebut Kyai Hasyim, tokoh nasional sekaligus salah satu tokoh pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), sudah tidak asing lagi terdengar. Apalagi, di kalangan para Kyai tradisionalis, masyarakat pesantren, dan warga NU. Sumbangsih pemikiran keagamaan dan kebangsaan serta aksi perjuangannya di zaman penjajahan Belanda tidak diragukan lagi. Penghargaan yang diberikan oleh Presiden Soekarno terhadapnya sebagai pahlawan nasional sudah cukup membuktikan seorang Kyai Hasyim sebagai pejuang sejati.

Buku berjudul Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, karya Zuhairi Misrawi, salah satu intelektual muda NU, mengulas secara cukup komprehensif sosok Kyai Hasyim dari sisi pemikirannya yang moderat, serta komitmennya terhadap keumatan dan kebangsaan. Sosok Kyai kharismatik dan asketis yang merasa dirinya tetap sebagai bagian dari umat (Islam) sekaligus sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia. Berjuang melalui pemikiran keagamaan di lingkungan pesantren dan masyarakat pedesaan serta melakukan aksi nyata mengangkat senjata melawan penjajah demi membela tanah air Indonesia.

Kajian atas pemikiran Kyai Hasyim dalam buku ini bersumber dari empat karya Kyai Hasyim, yaitu: (1) Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Haditsil Mauta wa Asyratis Sa’ah wa Bayan Mafhumis Sunnah wal Bid’ah; (2) An-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin; (3) Adabul ‘Alim wal Muta’allim fi Ma Yahtaju Ilaihil Muta’allim fi Ahwali Ta’allumihi wa Ma Yatawaqqafu ‘alaihil Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi; (4) At-Tibyan fi Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan.

Komitmen keumatan Kyai Hasyim tunjukkan dengan perhatiannya yang begitu serius terhadap masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Pada tahun 1919, misalnya, saat muncul ide tentang koperasi, Kyai Hasyim sangat antusias menyambut ide tersebut guna meningkatkan perekonomian umat. Ia mencoba menyintesiskan antara sistem ekonomi dan nilai-nilai yang terdapat di dalam kitab-kitab kuning (istilah kitab berbahasa Arab yang lazim dikaji di dunia pesantren tradisional). Kyai Hasyim kemudian mendirikan lembaga perekonomian sederhana yang menyerupai koperasi yang dikenal dengan nama Syirkatul ‘Inan li Murabathati Ahlit Tujjar.

Komitmen keumatan lain yang Kyai Hasyim tunjukkan adalah kepeduliannya terhadap pendidikan kaum perempuan. Tidak seperti ulama lain pada saat itu yang kurang begitu peduli pada hal ini. Malah, banyak Kyai yang menentang pandangan Kyai Hasyim soal ini. Namun, ia berhasil meyakinkan para Kyai mengenai pentingnya pendidikan terhadap kaum perempuan. Ia malah mendorong upaya pemberdayaan kaum perempuan guna meningkatkan kualitas keilmuan mereka dan peran mereka tidak hanya di lingkup ruang privat (keluarga, rumah tangga) tetapi juga di lingkup ruang publik yang lebih luas.

Komitmen kebangsaan Kyai Hasyim, misalnya, ditunjukkan dengan sikap tegasnya menentang segala macam bentuk penjajahan asing terhadap tanah air Indonesia. Pada masa kolonialisme, ia mengimbau segenap umat Islam untuk tidak melakukan donor darah kepada Belanda. Ia juga melarang para ulama mendukung Belanda dalam pertempuran melawan Jepang. Haram hukumnya berkongsi dengan penjajah, karena penjajahan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan Islam. Membela Belanda dalam perang melawan Jepang tidak termasuk jihad. Ia justru mendorong terciptanya kemerdekaan yang dikenal dengan nama “Indonesia Berparlemen”.

Selama masa penjajahan, Kyai Hasyim selalu berada di garis depan dalam rangka menentang segala macam penindasan yang dilakukan oleh para kaum penjajah. Salah satu perannya yang sangat populer adalah tatkala ia mengeluarkan fatwa perlawanan terhadap Belanda. Fatwa itu terdiri dari tiga hal: pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dan mengikat dilaksanakan oleh seluruh umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin dilarang menggunakan kapal Belanda selama menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ketiga, kaum Muslimin dilarang menggunakan pakaian atau atribut yang menyerupai penjajah. Fatwa jihad kebangsaan ini cukup efektif menyuntik spirit perjuangan rakyat melawan penjajah.

Saat Belanda ditaklukkan Jepang tahun 1942, Jepang ternyata melanjutkan kebiadaban yang dilakukan oleh Belanda. Penentangan yang sama pun dilakukan oleh Kyai Hasyim seperti yang ia lakukan terhadap Belanda. Dikisahkan, Kyai Hasyim secara tegas menolak perintah Jepang untuk melakukan saikerei, yaitu kewajiban untuk memberikan penghormatan dengan cara membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketundukan pada Dewa Matahari. Sikap itu membuat Jepang kebakaran jenggot dan segera menangkap Kyai Hasyim, lalu menjebloskannya ke penjara. Akhirnya, pada 18 Agustus 1945, Kyai Hasyim dibebaskan setelah empat bulan mendekam di sana.

Pemikiran moderat Kyai Hasyim, misalnya, ditunjukkan dengan afiliasinya pada paham Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Yakni, paham yang mengikuti tradisi ulama-ulama saleh di masa lalu (Salafus Saleh). Secara spesifik, Kyai Hasyim memandang karakter Aswaja untuk konteks Muslim Jawa, yakni dalam fikih berpegang pada Imam Syafi’i; dalam akidah bermazhab pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari; sementara dalam tasauf bermazhab pada Imam Ghazali dan Imam Abul Hasan Syadzili. Meski begitu, Kyai Hasyim tidak menganggap bahwa pandangannya yang paling benar. Ia mengakui kemajemukan kelompok dalam lingkungan Islam. Ia juga memandang bahwa empat mazhab fikih, yakni mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, masuk dalam paham Aswaja. Siapa pun yang ikut salah satu mazhab itu adalah berpaham Aswaja.

Buku ini merupakan buku pertama yang mengulas pemikiran sosok Kyai Hasyim melalui beberapa karyanya langsung. Buku ini membuktikan bahwa sosok Kyai Hasyim yang dikenal tradisionalis ternyata memiliki pemikiran yang sangat moderat, bahkan sangat progresif dan revolusioner. Pemikiran-pemikiran keumatan dan kebangsaannya sangat visioner. Sosok Kyai yang menginspirasi dan menggugah para Kyai sekarang, di lingkungan NU khususnya, untuk tetap komitmen pada perannya sebagai bagian dari umat dan bangsa sekaligus yang memberikan sumbangsih nyata, baik dalam pemikiran maupun aksi sosial serta integrasi bangsa.*

No comments:

Post a Comment