Tuesday, September 14, 2010

Mengurai Benang Merah Tradisi Ziarah Wali

27/09/2007

Judul : Ziarah Wali; Wisata Spiritual Sepanjang Masa
Penulis : Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta
Cetakan I : September 2007
Tebal : 138 halaman
Peresensi : Lukman Santoso Az*

Membludaknya jumlah peziarah ke makam wali dari tahun ke tahun, terutama ketika hari-hari tertentu, merupakan fenomena kehidupan yang unik sekaligus menarik untuk dicermati. Di tengah gempita dan glamournya modernitas, tradisi ‘wisata spiritual’ ini seakan menjadi seremonial tersendiri yang masih menjadi ritual yang sakral dan suci dalam perjalanan keberagamaan umat.

Kondisi ini seakan membenarkan apa yang dikatakan Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir (2007), bahwa makam wali adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas serta juga tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam dunia Islam.

Di Indonesia, tradisi ini masih sangat dipertahankan, terutama di Jawa, bahkan kegiatan ini menjadi agenda tersendiri dalam memenuhi kegiatan keagamaan. Munculnya motif diluar tujuan utama ziarah, terlebih ketika sudah diiringi dengan praktik-praktik yang meniru tradisi pra-Islam, sehingga tak pelak timbul suatu pandangan syirik dalam fenomena ziarah ini. Terkadang antara syirik dan bukan dalam praktik ziarah sangatlah sulit dibedakan, karena hal ini berlangsung sebagai bentuk kesalehan umat. Maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, sebenarnya apa yang menjadi latar belakang masyarakat bersikap demikian dan mengapa tradisi ini bisa bertahan sampai saat ini? Maka, dalam konteks inilah buku ini hadir.

Buku yang ditulis Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho ini berupaya memotret secara komprehensif ihwal fenomena dan tradisi ziarah ke makam wali; yakni seputar unsur-unsur mistik dibalik pensakralan wali, keistimewaan yang dimiliki wali, serta makna ziarah wali dalam konteks pewarisan sejarah. Secara lebih rigid, makam wali yang menjadi fokus pembahasan buku ini adalah para wali yang berperan menyebarkan Islam di Nusantara, yakni wali sanga (wali sembilan).

Selain itu, buku ini juga berupaya mengungkap bagaimana fenomena tradisi ziarah wali senantiasa merepresentasikan sintesa agama dan konteks kulturnya dalam panorama beragam, yang sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang global dan universal, yakni pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya yang menjadi tempat suci.

Terlepas dari berbagai pro-kontra tradisi ziarah ke makam wali ini, diakui atau tidak, menurut penulis hal ini telah membawa ingatan pada segenap hubungan antara orang suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan ruangnya. Tak ada satu pun tempat suci yang dikultuskan dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci, sebut saja nabi dan rasul.

Karena itu, hampir disemua negeri Islam terdapat tempat-tempat keramat yang umumnya berupa makam-makam wali. Ini merupakan suatu kewajaran mengingat semasa hidupnya para wali merupakan orang-orang yang berperan dan berpengaruh dalam masyarakat, sehingga ziarah ke makamnya merupakan wujud bakti kepada para wali tersebut.

Apabila kita menelusuri "konsep kewalian" dan hubungannya dengan praktek ziarah, maka salah satu asumsi utama yang mendasari seluruh proses aktivitas ziarah ke makam para wali adalah berangkat dari sebuah pemahaman teologis tentang sosok wali. Pemahaman teologis ini berangkat dari kelompok keagamaan tertentu pada Islam, tarekat atau sufisme menempati posisi ini. Seperti diutarakan Muhammad Mahmud Abdul Alim (2003), bahwa kewalian adalah inti dari ajaran tasawuf.

Menurut pemaparan penulis dalam buku ini, ada tiga hal yang menonjol pada diri wali, yakni karamah, barakah, dan syafa’at. Ketiga hal itu melekat dan menjadikan sosok wali sebagai tokoh keramat, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal, sehingga untuk mencari tiga hal itulah makamnya menjadi pusat ziarah.

Disamping tiga hal dominan pada diri wali tersebut, menurut penulis, juga terdapat tiga komponen penting yang disakralkan dan dipercaya membawa berkah. Komponen ini berbeda dengan yang lainya, karena ia memiliki aura yang berbeda pula. Ketiga komponen itu, adalah masjid sumur dan makam. Ramainya aktifitas peziarah di ketiga tempat ini kemudian menjadi medan budaya (cultural sphere). Pensakralan terhadap ketiga tempat ini, bagi sebagian masyarakat dipandang sebagai bentuk personifikasi atas penyebaran dan pelembagaan Islam yang dilakukan oleh para wali.

Hal ini seperti kita ketahui dalam realitas sejarah, bahwa semasa hidupnya wali juga berperan sebagai tokoh politik lokal, pemberian gelar daerah merupakan salah satu jawabannya. Sebagai "pejabat" lokal ini, para wali berusaha sekuat mungkin berdakwah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mendirikan masjid sebagai pusat gerakan dakwah. Sebagai pelengkapnya juga dibuat sumur-sumur sebagai tempat mensucikan diri dan setelah wali itu meninggal, mereka kemudian dimakamkan disekitar wilayah sakral tersebut.

Sebagai orang yang diangggap keramat, maka semua benda dan tempat peninggalannya pun dipandang keramat, sehingga ketiga tempat tersebut membentuk trilogi untuk memperoleh berkah dari para wali tersebut. Dan dalam pelaksanaan ziarah, ketiga tempat ini sudah barang tentu menjadi paket utama kunjungan peziarah.

Akhirnya, sampai pada kesimpulan penting, bahwa adanya makam wali dengan para peziarah yang dari waktu ke waktu terus bertambah adalah pertemuan yang kerap menakjubkan tentang bagaimana tradisi dan identitas itu dimaknai. Tentu saja hal ini tanpa kemudian mengabaikan fenomena berikutnya, yakni ketika para peziarah hanya datang membawa kepentingan-kepentingan yang serba-pragmatis.

Maka, dengan nuansa kajian lokal yang mencangkup keseluruhan makam-makam wali utama (Wali Songo) yang representatif. Buku setebal 138 halaman ini penting kiranya untuk dikaji. Suguhan informasi dalam buku ini sangat menarik dan berguna, baik bagi kaum intelektual, peneliti, sejarawan, antropolog, maupun pelaku ziarah itu sendiri. Disamping suguhan foto-foto sentral disekitar ritus ziarah yang juga menambah lengkap dan akuratnya data dalam buku ini.

*Lukman Santoso Az, pecinta buku dan pemerhati Keagamaan pada Center for Studies of Religion and State [CSRS] Yogyakarta.

Retrieved from:

No comments:

Post a Comment