Wednesday, September 8, 2010

Gus Dur dan Islam Kosmopolitan

31/12/2007

Judul Buku: Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia Transformasi dan Kebudayaan
Penulis: KH Abdurrahman Wahid
Editor: Agus Maftuh Abegebriel
Penerbit: The Wahid Institute
Cetakan: I, 2007
Tebal: xxxviii+397 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti*

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukanlah Gus Dur bila dalam berbicara tidak kontroversial, nyeleneh, nyentrik dan menyelipkan kritik. Maka, tak heran bila di sana-sini, dalam tulisannya, kita temukan saja kritik-kritiknya yang tajam, mulai mengkritik pemerintah, politisi hingga kelompoknya sendiri. Namun, di balik sikap kontroversinya, kenyelenehan dan kenyentrikannya selalu menjadi angin segar terhadap perkembagan Islam di Indonesia.

Dan, sampai saat ini, Gus Dur telah dikenal banyak kalangan, ia terkadang tampil sebagai sosok pemikir, penulis, sastrawan, budayawan bahkan menjadi seorang politisi Islam Indonesia. KH Solahuddin Wahid (Gus Solah), adik kandung Gus Dur, dalam acara bedah buku ini yang diselenggarakan Komunitas Tabayun di Jawa Pos 29/11/2007 kemarin, menyebutkan, Gus Dur termasuk saudara yang paling cerdas, pandai, dan berani berbicara.

Sebagai salah satu tokoh pejuang demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan antikekerasan, Gus Dur mampu memberikan warna tersendiri terhadap pandangan-pandangan ke-Islam-an, budaya, sosial, ekonomi dan politik, khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu, ia juga telah mendapat pengakuan dari dunia bahwa komitmen dan perjuangan Gus Dur menegakkan demokrasi, HAM, membela kaum minoritas dan toleransi, sudah diakui luas (Baca: Umaruddin Masdar hal. 159).

Bahkan, dalam kelompoknya sendiri, tokoh NU seperti KH M. Cholil Bisri dan KH Muchith Muzadi mengakui, Gus Dur disebut sebagai azimat atau jimatnya NU. Karena Gus Dur hadir ke tengah-tengah NU di saat ormas itu dalam kondisi lemah. Sehingga dengan kehadiran Gus Dur di NU, mampu menyelematkan NU menjadi ormas keagamaan yang berpengaruh dan menjadikan organisasi terbesar di Indonesia.

Jadi, hal yang digagas Gus Dur selama ini, tidak lepas dari lima konsep dan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang dianut NU, yakni tawasuth, ta'adul, tasamuh, tawazun, dan amar ma'ruf nahi mungkar. Melalui konsep inilah, Gus Dur mampu mengimplementasikan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya melalui teks saja, tapi dengan "tafsirul kitab bil kitub" (Menafsir kitab dengan buku yang lain). Karena, kalau hanya berhenti di teks, maka kita bisa jadi penyembah huruf-huruf. Pemikiran ke-Islam-an Gus Dur, adalah Islam yang membawa kedamaian, kesejukan, ketenteraman, dan Islam yang bisa berdialog dengan lingkungannya.

Membaca pemikiran dan gagasan Gus Dur, tidak bisa didekati dengan satu sudut pandang saja. Karena, ia ibarat membaca sebuah teks yang multitafsir dan ketika membacanya sulit dipahami. Inilah salah satu sepak terjang Gus Dur, ketika melihat fenomena sosial yang terjadi di Indonesia.

Buku berjudul "Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan ini, merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang dianggap aktual sejak 1980 hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun nasional.

Ada beberapa pemikiran dan gagasan Gus Dur yang menarik dalam buku ini, yakni mengenai "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam". Dalam tulisannya, Gus Dur menggarisbawahi tentang ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik pada perorangan maupun kelompok.

Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Karena, menurut Gus Dur, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan hal-hal yang sifatnya anarkis. Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din). Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Dan, kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). (hal. xxi-xxii).

Menurut Gus Dur, jika dari lima jaminan dasar di atas itu tampil sebagai pandangan hidup, maka tidak mustahil negara akan bisa dikelola oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya persamaan derajat dan sikap tegang rasa terhadap perbedaan pandangan. Di samping itu, secara fungsional, misi Islam terhadap perbaikan sosial akan secara efektif bisa dikendalikan yang pada akhirnya terciptalah budaya toleransi, keterbukaan sikap, peduli terhadap kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan umat Islam sendiri.

Dengan demikian, Islam seperti itulah yang selama ini diperjuangkan Gus Dur. Islam yang ada di tangan Gus Dur, adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan kepada umat agama lain.

Terlepas dari kekurangan buku yang merupakan kumpulan tulisan dan kerap terjadi pengulangan, sehingga dikatakan kurang sistematis, buku ini tetaplah layak dan menarik untuk dijadikan bahan bacaan, referensi, dan penyelamatan "Islam Kita" dari pemaksaan pemahaman yang selama ini sering menyerang kita semua. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya dipahami secara tekstual aja, melainkan dengan dengan konteks yang saat ini terjadi.

Peresensi adalah penikmat buku, mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Kini aktif di lembaga Komunitas Baca (Kombas) Surabaya.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11185

No comments:

Post a Comment