Wednesday, April 12, 2017

DUA WAJAH ISLAM NUSANTARA*)

Mohamad Shohibuddin**)
Dalam berbagai pernyataan maupun dokumen yang diproduksi oleh para pemikir, ulama, aktivis maupun berbagai forum keorganisasian Nahdlatul Ulama, kerap ditegaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang tidak kalah otentik karena ia diturunkan dari dua sumber utama ajaran Islam: Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dari sumber pertama, Islam Nusantara ditegaskan sebagai manifestasi dari perintah yang diberikan Allah kepada umat Islam sebagai umat terbaik (khayr al-ummah), yaitu untuk memerintah al-ma‘ruf, mencegah al-munkar, dan beriman kepada Allah (QS. 3: 110). Sedangkan dari sumber kedua, Islam Nusantara sering dikaitkan dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesuatu yang dipersepsi sebagai kebaikan oleh umat Islam, maka hal itu merupakan kebaikan pula di sisi Allah” (HR. Ahmad).
Berdasarkan acuan normatif di atas, paling tidak ada dua substansi dari Islam Nusantara yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain (ibarat dua sisi uang koin): pertama, mewujudkan al-ma‘ruf dan kedua, merombak al-munkar. Oleh karena itu, pembahasan apapun mengenai wacana dan praktik Islam Nusantara—dan demikian pula, kritisisme apapun terhadapnya—seharusnya mengindahkan dua wajah dari Islam Nusantara ini tanpa terkecuali.
PRIBUMISASI
Secara leksikal, al-ma‘ruf berarti “sesuatu yang sudah dikenal dan dimaklumi”, baik karena hal itu merupakan common sense, kebiasaan yang telah diterima secara luas, atau mencerminkan nilai-nilai kebaikan universal. Sejalan dengan arti harfiah ini, kata al-ma‘ruf kemudian menjadi sebuah konsep untuk merujuk sesuatu yang diinsyafi dan diterima secara luas oleh masyarakat sebagai kebajikan dan keutamaan karena sejalan dengan hati nurani, akal sehat, dan fitrah kemanusiaan. Tidak heran jika kata ini dalam QS. 3: 104 disandingkan dengan kata al-khayr yang mengandung arti “kebaikan”. Tidak aneh pula jika kata al-ma‘ruf ini memiliki kaitan semantik yang erat dengan al-‘urf dalam QS. 7: 199 yang berarti “praktik kebiasaan atau adat istiadat”. Pada kenyataannya, kata al-‘urf ini memang berbagi akar kata yang sama dengan al-ma‘ruf, dan karena itu al-‘urf harus dipahami sebagai suatu bentuk institusionalisasi atau pelembagaan—dalam konteks historis yang spesifik—atas segala hal yang telah diterima luas sebagai kebaikan dan kepentingan bersama.
Pemahaman semacam inilah yang mengantarkan pada wajah pertama, dan yang selama ini menjadi semacam “trade mark”, dari Islam Nusantara, yakni pribumisasi. Dalam hal ini, Islam Nusantara tak lain adalah ekspresi kejeniusan Muslim Nusantara dalam mendialogkan secara kreatif universalisme Islam di satu sisi dengan lokalitas bumi Nusantara (dan juga, samuderanya) di sisi yang berbeda. Di sini patut dicatat dua bentuk “translasi” yang berlangsung dalam proses dialog kreatif ini yang saling melengkapi satu sama lain, yakni apa yang diistilahkan di sini sebagai “indijenisasi” dan “universalisasi”.
Indijenisasi merujuk kepada bagaimana pesan-pesan moral dan transendensi Islam yang universal dibumikan dengan menggunakan dan memodifikasi konsep, arsitektur, simbol budaya, dan pranata sosial-politik yang telah ada. Kreativitas dan karakter persuasif dakwah Islam Wali Songo dan para pelanjutnya sering dikutip sebagai ilustrasi bentuk pertama pribumisasi ini, seperti jimat kalimasada, menara Kudus, arsitektur Masjid Demak, wayang kulit, kisah simbolik Dewa Ruci, institusi pesantren, dan sebagainya.
Bentuk pribumisasi kedua, universalisasi, berlangsung dalam arah terbalik, yakni dari partikularitas menjadi universalitas. Hal ini merujuk kepada bagaimana seperangkat nilai, norma sosial dan adat istiadat yang diterima luas sebagai kebajikan dan keutamaan (baca: al-ma‘ruf) di aras lokal diadopsi, diambil alih dan kemudian dijadikan bagian dari hukum Islam yang berlaku lebih luas (paling tidak di tingkat nasional), sesuai prinsip yurisprudensi Islam: “al-‘adah muhakkamah” (adat kebiasaan bisa diangkat menjadi aturan hukum). Beberapa contoh yang bisa mengilustrasikan bentuk pribumisasi dalam arti kedua ini antara lain adalah adopsi sistem gono-gini di Jawa (atau harta pencaharian di Banjar, pohroh di Aceh, dsb) ke dalam Kompilasi Hukum Islam, perlindungan hak-hak perempuan melalui sighot ta‘liq usai akad nikah dan kompensasi hak waris perempuan melalui hibah harta orang tua sebelum meninggal, dan sebagainya. Arus kedua inilah yang mendasari visi Fiqh Indonesia, yakni “… fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia” (Hasby ash-Shiddieqy, 1966: 43).
TRANSFORMASI
Wajah Islam Nusantara kedua yang tidak kalah penting, namun kerapkali dikaburkan oleh sebagian kalangan Nahdliyyin sendiri akibat penekanan berlebihan atas pribumisasi, adalah Islam Nusantara sebagai kekuatan pembebas (transformasi). Padahal perintah Allah untuk melarang dan mengenyahkan al-munkar selalu menyusuli perintah untuk memerintahkan al-ma’ruf. Hal ini bisa dipahami karena baik secara harfiah maupun konseptual, kata al-munkar merupakan kebalikan 180 derajat dari al-ma‘ruf. Apabila al-ma‘ruf berarti sesuatu yang diketahui dan diterima luas karena sesuai dengan akal sehat dan fitrah kemanusiaan, maka al-munkar adalah sesuatu yang secara luas diingkari karena menyalahi akal sehat, nurani dan fitrah kemanusiaan.
Tidak bisa diingkari bahwa masyarakat Muslim Indonesia, terutama kalangan Nahdliyyin, memiliki kepeloporan sejarah dan peran besar dalam mewujudkan misi Islam sebagai kekuatan transformasi ini. Sebagai misal, para kiyai dan santri dikenal dengan perjuangan heroiknya dalam menentang kemungkaran kolonialisme maupun dalam pembentukan identas nasional. Demikian pula, kalangan Nahdliyyin dewasa ini juga amat bersemangat menyuarakan perlawanan terhadap kemungkaran kekerasan dan terorisme, terlebih apabila hal itu diatasnamakan agama. Kalangan Nahdliyyin juga sangat gigih membela persatuan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang dewasa ini tengah menghadapi berbagai ancaman serius dari gerakan separatisme maupun trans-nasionalisme.
Terlepas dari itu, kekerasan dan populisme keagamaan yang marak belakangan ini harus dipahami lebih dari sekedar pertarungan identitas komunal belaka. Alih-alih, fenomena kontemporer itu juga harus dilihat sebagai dampak tragis dari jenis kemungkaran global yang lebih bersifat struktural dan berdampak luas. Perang dan kekerasan sektarian di beberapa negara Timur Tengah belakangan ini, misalnya, tidak terlepas dari sejarah ekspansi kapitalisme yang berlangsung secara brutal di kawasan ini. Sebab, ekspansi itu tidak cukup diwujudkan dengan mendorong liberalisasi ekonomi belaka (minus demokrasi di negara-negara sekutu AS). Namun, ekspansi itu juga melibatkan pengerahan kekuatan ekstra-ekonomi (dalam bentuk penggulingan paksa rezim anti-AS), termasuk dengan memanfaatkan dan mempersenjatai kelompok ekstrimis.
Jadi, apa yang disebut dengan fundamentalisme keagamaan haruslah dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari fundamentalisme pasar; dan karena itu, perlawanan kalangan Nahdliyyin terhadap fundamentalisme pertama tanpa disertai penentangan terhadap jenis yang kedua adalah suatu bentuk “gagal paham” terhadap struktur kemungkaran yang jauh lebih luas, mendasar dan subtil pada skala mondial.
Kontras sederhana berikut ini bisa menjadi contoh untuk menunjukkan kegagapan pembacaan di atas. Pengurus Besar NU akhir-akhir ini mencurahkan kepedulian dan respon yang luar biasa besar terhadap pidato kontroversial Ahok (hingga melahirkan gegar politik tersendiri di tubuh “Republik NU”). Ironisnya, pada sisi yang lain, Pengurus Besar NU gagal meletakkan pertarungan politik di ajang pilkada DKI ini dalam konteks kemungkaran neoliberalisme yang lebih besar, misalnya saja yang tercermin dalam penggusuran besar-besaran penduduk miskin kota maupun reklamasi pantai Jakarta oleh dan untuk korporasi.
Dalam konteks kegagapan pembacaan dan kepedulian yang timpang semacam ini, maka tidak salah apabila dinyatakan bahwa para eksponen Islam Nusantara hanya menonjolkan salah satu aspeknya saja (pribumisasi) dengan mengesampingkan aspek lain yang tak kalah pentingnya (transformasi). Dengan kata lain, Islam Nusantara telah dikaburkan oleh sebagian pendukungnya sendiri (alias mahjubun bin nahdliyyin) (cf. Shohibuddin, Koran Sindo, 24/01/2017).
MELAMPAUI EKSEPSIONALISME
Penekanan pada wajah pribumisasi—dan kontroversi seputar hal remeh-temeh mengenainya—telah menimbulkan dampak kontra-produktif, yaitu kecenderungan eksepsionalisme. Akibatnya, muncul anggapan seolah-olah Islam Nusantara milik eksklusif kalangan Nahdliyyin atau bahwa jati diri Islam Nusantara adalah sebagai lawan dari Islam Arab (cf. Ahmad Najib Burhani, Koran Sindo, 10/03/2017). Hal ini selain tidak produktif, juga kian mereduksi signifikansi dari Islam Nusantara, terutama keberadaannya sebagai kekuatan pembebas (transformasi).
Untuk melampaui kecenderungan eksepsionalisme ini, maka Islam Nusantara harus lebih didorong sebagai pelaksanaan perintah Allah untuk mencegah dan membongkar al-munkar, khususnya dalam konteks struktur ketimpangan sosial-ekonomi dan krisis sosial-ekologi yang kian parah dewasa ini, baik di tataran nasional maupun global. Penekanan Islam Nusantara sebagai kekuatan pembebas inilah hakikat dari perjuangan humanisasi seutuh-utuhnya tanpa tersekat oleh ikatan primordial, sosial maupun greografis. Pada saat yang sama, perjuangan humanisasi semacam ini merupakan panggilan untuk semua kalangan, melampaui batas-batas parokialisme keagamaan, etnis maupun kebangsaan. []
*) Versi lebih singkat dari tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo, 11 April 2017
**) Penulis adalah pengarah konferensi internasional “Rethinking Indonesia’s Islam Nusantara: From Local Relevance to Global Significance,” diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa NU Belanda pada 27 Maret 2017 di Vrije Universiteit, Amsterdam.

No comments:

Post a Comment