Monday, September 19, 2011

Memahami “Sidogiri Saiki Sidogiri Biyen”

Memahami “Sidogiri Saiki Sidogiri Biyen”
Catatan Editor "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri jilid 2"


Aku nggak wani, iku olehe Mak Alil, iku warisane Mak Alil. Nggak enak aku. (Saya tidak berani, itu inisiatif Mak Alil [KH Cholil Nawawie], itu warisan Mak Alil. Saya merasa tidak enak untuk mengubahnya).


Itulah yang sering diucapkan oleh KH Abd. Alim Abd. Djalil dalam mengambil keputusan berkaitan dengan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Meski menjadi Pengasuh PP Sidogiri, ternyata Kiai Lim—panggilan akrab beliau—tak pernah merasa dirinya yang memiliki pesantren. Menurut beliau, dirinya hanya melanjutkan peninggalan para pendahulunya yang harus dijaga dengan baik.


***


Menurut Prof Dr Zamakhsyari Dhofier (1984), pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan pesantren khalaf (modern) adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungannya. Seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi.


Bagaimana Sidogiri? Sejak didirikan oleh Sayid Sulaiman—cicit Sunan Gunung Jati—pada tahun 1158 H atau 1745 M, dari zaman ke zaman Sidogiri terus berkembang dan maju, tetapi tak ada perubahan besar yang mengubah kesalafan pesantren ini.


Memang gedung megah telah banyak berdiri, komputer dan alat elektronik lainnya telah banyak digunakan, manajemen kepengurusannya telah begitu modern, seminar dan diklat telah diadakan setiap tahun, dan dakwah dengan berbagai media dan lembaga telah dilakukan, tetapi itu semua hanyalah sarana untuk menjaga dan mengembangkan cita-cita para kiai pendahulu.


Hal-hal prinsip yang mendasar tetap tak berubah di pesantren yang memiliki ratusan madrasah filial di seantero Jawa Timur ini. Pengajaran kitab-kitab klasik tetap dijadikan sebagai inti pendidikan. Ajaran dan tradisi salaf tetap dijaga dan dipelihara dengan baik.


Ajaran Ahlusunah wal Jamaah dalam bidang akidah, syariah, dan akhlak, yang telah diajarkan oleh para kiai pendahulu sejak 272 tahun lalu, terus diajarkan pada santri dan umat dari masa ke masa. Dan tradisi baik yang telah diamalkan dan diajarkan oleh Walisongo dan para kiai pendahulu, terus diamalkan oleh para kiai, santri, dan umat Sidogiri.


Itulah Sidogiri: ajaran dan tradisinya salaf, tetapi manajemen dan fasilitasnya modern. Hal ini karena Sidogiri berpedoman dengan kaidah para kiai NU, “al-Muhafazhah bil-qadim ash-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah,” mempertahankan hal-hal lama yang baik dan melengkapi dengan hal-hal baru yang lebih baik.


Dan berpedoman dengan ucapan Sayidina Ali bin Abi Tholib, “Haqqun bighairi nizham yaghlibuhu bathil binizham,” kebenaran yang tidak tertata akan dikalahkan oleh kebatilan yang tertata.


Maka, di Sidogiri kita bisa melihat adanya Pengasuh, Majelis Keluarga, dan Pengurus yang menangani santri. Kita juga bisa melihat AD/ART pesantren, tata kerja pengurus-pengurus, dan berbagai tata tertib. Kita bisa melihat pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhari, Fathul Wahhab, dll, sekaligus melihat berbagai seminar dan diklat dalam berbagai tema. Dan kita bisa melihat ribuan santri tetap bersarung, tetapi pandai manajemen dan piawai menggunakan peralatan elektronik masa kini.


Namun itu semua tak lepas dari kesadaran akan adanya suatu mata rantai keilmuan dan pengabdian dari para kiai pendahulu. Karena itulah Kiai Lim dan kiai-kiai lainnya tetap menjaga hal-hal lama yang baik yang telah diwariskan oleh para kiai pendahulu.


Di sinilah dapat dipahami ungkapan Katib Majelis Keluarga, Mas d. Nawawy Sadoellah, “Sidogiri saiki Sidogiri biyen.” Sidogiri sekarang Sidogiri dahulu.


***


Dalam buku Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri edisi kedua ini, dapat ditelusuri jejak langkah yang telah ditorehkan oleh 9 kiai Sidogiri. Yakni (1) KH Aminullah, penerus perjuangan Sayid Sulaiman; (2) KH Mahalli, guru empat Pengasuh Sidogiri; (3) KH Abu Dzarrin, santri yang menjadi Pengasuh Sidogiri; (4) KH Noerhasan bin Noerkhotim, kiai khumul berdarah Madura; (5) KH Bahar bin Noerhasan, Kiai Alit berilmu laduni; (6) KH Abd. Alim Abd. Djalil, kiai pendiam penjaga tradisi salaf; (7) KH Kholili bin Hasbullah, figur dai yang pantang menyerah; (8) KH Ghozi Noerhasan, Abul Yatama yang dermawan dan bersahaja; dan (9) KH Nawawi Thoyyib, pemimpin tegas berdarah Kramat-Sidogiri.


Kiai Aminullah, Kiai Mahalli, Kiai Dzarrin, Kiai Noerhasan, Kiai Bahar, dan Kiai Lim adalah Pengasuh PP Sidogiri. Sedang Kiai Kholili, Kiai Ghozi, dan Kiai Nawawi Thoyyib adalah Ketua Umum PP Sidogiri.


Dalam riwayat hidup mereka, selain banyak ditemukan keteladanan, juga ditemukan hal-hal unik. Misalnya, Kiai Aminullah yang menurunkan banyak ulama di Jawa Timur, ternyata suka mengisi air jeding (kamar mandi) masjid dan jeding-jeding lain setiap malam tanpa diketahui siapapun; Kiai Mahalli yang tak diketahui makamnya, ternyata memiliki kamar luar biasa yang tak boleh dimasuki seorangpun; Kiai Abu Dzarrin yang menulis kitab Sorrof Sono, ternyata setelah wafat mengajar Syaikhona Cholil Bangkalan lewat mimpi.


Selanjutnya, Kiai Noerhasan bin Noerkhotim yang alim dan tawadu, ternyata disegani oleh gurunya, Sayid Abu Bakar Syatha; Kiai Bahar yang mendapat ilmu laduni (ilmu tanpa belajar), ternyata menjadi kiai sejak usia kanak-kanak; Kiai Lim yang ahli ibadah sejak kecil, ternyata mukasyafah dan sering menjawab lebih dahulu sebelum ditanya; Kiai Kholili yang gigih dalam dakwah, bisa bicara dengan orang sambil membaca shalawat dengan samar; Kiai Ghozi yang sejak muda dikatakan mendapat futuh (terbukanya hati) oleh KH Jazuli Ploso, ternyata tak gengsi berdagang dan menjadi sopir angkutan; dan Kiai Nawawi Thoyyib yang beristri cicit Syekh Nawawi al-Banteni, ternyata begitu tawadu pada Kiai Lim yang tak lain sepupunya sendiri.


Selain itu, dalam riwayat hidup mereka juga terdapat sejarah penyebaran agama dan ilmu agama di Indonesia, sejarah pengembangan pesantren di Jawa dan Madura, sejarah perjuangan NU serta lembaganya, dan perkembangan keagamaan serta pendidikan di Pasuruan dan Jawa Timur.


***



Biografi 9 kiai ini dikumpulkan dari halaman khusus Dzikra majalah IJTIHAD, terbitan OMIM (Organisasi Murid Intra Madrasah) MMU Aliyah PP Sidogiri. Yaitu IJTIHAD edisi 22 sampai 30, yang terbit dalam rentang waktu lima tahun, 1426-1430 H.


Apresiasi tinggi patut kita berikan kepada redaksi IJTIHAD yang mampu mengumpulkan sejarah Masyayikh dari hasil wawancara, peninggalan dokumentasi, dan sumber pustaka. Utamanya berkenaan dengan disusunnya sejarah Kiai Aminullah, Kiai Mahalli, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Noerhasan, dan Kiai Bahar yang hidup ratusan tahun lalu. Dan disusunnya sejarah Kiai Lim ketika air mata karena ditinggalkan olehnya belum sepenuhnya kering…


Demikianlah adanya, sampai akhirnya kini dapat dibukukan seperti ini. Dan pada buku ini terdapat beberapa penyempurnaan isi dan tata bahasa, serta penambahan catatan kaki.


Sebagaimana lazimnya penulisan sejarah, tentu diperlukan penelitian dan penyempurnaan dari masa ke masa. Karena itu, diharapkan adanya tambahan informasi, kritik, dan saran untuk penyempurnaan penulisan sejarah Masyayikh Sidogiri.


Selamat membaca. Semoga kita mendapat manfaat dan berkah dari Masyayikh Sidogiri.

Sidogiri, 22 Dzulqa’dah 1430 H
09 November 2009 M

Syamsu-l Arifyn Munawwir


Sumber: "Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 2", terbitan Pustaka Sidogiri, Pasuruan.

Retrieved from: http://syamsu-l.blogspot.com/2011/09/memahami-sidogiri-saiki-sidogiri-biyen.html

No comments:

Post a Comment