Friday, August 19, 2011

Kiai Pribumi

NU Online, 06/06/2011 09:18

Judul Buku: Sang Kiai: Potret Lokal Kesholehan Multikultural

Penulis:: Wasid
Penerbit: Impulse
Cetakan: I, 2011
Tebal: 126 halaman
Peresensi: Winarto Eka Wahyudi*

Al ‘adah al-mukhakkamatu (adat bisa dijadikan landasan sebuah hukum). Kaidah yang tidak asing dikalangan pesantren ini serasa perlu untuk digalakkan kembali di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks sosial kemasyarakan dan hukum syaria’at dikalangan ulama (baca: kiai), agar dalam setiap pengambilan keputusan dapat menelurkan dawuh (fatwa) yang santun dan arif sehingga dapat mengcover segala sesuatu yang berlaku di dalam masyarakat. Kaidah ini sangat penting disegarkan kembali karena Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) tidak bisa terhindar dari suatu proses akulturasi antara budaya dan esensi suatu agama, sehingga nilai-nilai atau hakikat dari Islam akan terasa dalam setiap lini kehidupan beragama dan bersosial, serta ke-eksistensiannya dapat terealisasi dalam setiap waktu, keadaan dan tempat yang berbeda-beda.

Seorang Kiai (baca: ilmunya) yang menjadi tonggak berdirinya Islam yang damai dan santun tidak bisa dilepaskan dari kemampuan untuk memahami perkara atau hal-hal yang berada dan berlaku di lingkungan sekitarnya. Keahlian kiai dalam meramu dan meracik nilai-nilai agama yang disandingkan dengan keanekaragaman serta kebutuhan masyarakat luas akan mampu menghasilkan pola kehidupan bermasyarakat yang toto tentrem kerta raharjo (artinya; kehidupan akan tertata, tentram dan sejahtera). Wal hasil, dalam menciptakan dinamika kehidupan sosial yang menyejukkan, sosok kesholehan seorang kiai multikultural sangat dibutuhkan.

Hal semacam ini tampak sangat berbeda apabila seorang tokoh agama hanya mampu mempraktekkan agama dalam bentuk tekstualis non-kontekstual, artinya hanya mengamalkan agama berdasarkan apa adanya teks keagamaan dengan mengenyampingkan realitas dan konteks sosial yang mendarah daging dalam masyarakat. Akibatnya, pemahaman yang berdampak pada perilaku beragama akan tampak rigid dan kaku, dan hal semacam ini berimbas pada kekerasan dan radikalisme atas nama agama yang dewasa ini kian menggejala.

Sejarah telah mencatat keberhasilan para Walisongo dalam rangka menebarkan ajaran Islam Nusantara yang dilakukan dengan dakwah bil hikmah, yakni kemampuan untuk menebarkan syari’at islam dengan menggunakan metode yang sangat apik, yaitu melalui perkawinan antara budaya lokal yang dibingkai dengan semangat nilai-nilai keislaman, hal ini terbukti sangat ampuh dan sekaligus dapat diterima secara luas oleh semua lapisan masyarakat dengan tanpa kekerasan apalagi pembunuhan dan peperangan.

Disisi lain, konstribusi seorang Kiai dalam rangka pembentukan karakter dan pembangunan nasional (character building and nation building) dalam sejarah bangsa Indonesia tidak bisa terelakkan lagi. Ambil saja contoh kesuksesan Kiai Kholil bangkalan, Madura yang mencetak ratusan bahkan ribuan kiai Nusantara merupakan bukti konkrit keberhasilannya dalam melakukan sinergisitas antara agama dan budaya guna membangun peradaban bangsa. Begitu juga Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang juga murid kesayangan mbah Kholil (sapaan akrab Kiai Kholil), berhasil membentuk wadah bagi para ulama yang dikenal dengan organisasi keagamaan Nahdhotul Ulama (NU) yang nanti ke depannya berperan sangat besar dalam rangka merebut kemerdekaan bangsa dan selanjutnya turut mengisi dan mewarnai kemerdekaan bangsa Indonesia. Begitulah seharusnya tugas para Kiai yang tidak hanya menyebarkan agama secara kaku dan menakutkan, akan tetapi penyebaran dan upaya pemahaman agama Islam harus dilakukan dengan cara mengadopsi budaya-budaya luhur dari masyarakat setempat.

Melihat realitas semacam ini, Wasid melalui bukunya yang berjudul “Sang Kiai; Potret Lokal Kesholehan Multikultural” memberi pesan kepada para tokoh agama agar dalam mentransformasikan syariat dan nilai-nilai Islam hendaknya dengan melalui proses yang menyejukkan dan arif sehingga Image Islam tidak terkesan angker dan menakutkan. Prinsip yang harus dipegang teguh oleh para Kiai dalam mendakwahkan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam buku ini adalah kemampuan seorang Kiai untuk menyadari realitas kehidupan yang sangat beragam dan sukar untuk dibuat seragam, artinya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang melahirkan realitas akan keberagaman masyrakat sehingga menelurkan sebuah istilah yang dinamakan kesholehan multikultural.

Dalam buku ini penulis mengangkat seorang tokoh, yaitu KH Sholeh Bahrudin yang menjadi obyek penelitiaanya dan berhasil dalam mensinergikan antara kebudayaan dengan teks-teks keagamaan yang profan, sehinga melahirhan kesholehan multikultural yang dapat merangkul semua jenis karakteristik manusia yang berbeda namun dengan pola semangat yang sama, yakni esensi dan hakikat islam yang damai dan saling hormat menghormati.

Ketidak sempurnaan merupakan hal yang sangat wajar dalam realitas kehidupan, begitupun dengan buku ini yang seolah terkesan mengangkat hanya satu golongan atau kelompok organisasi keagamaan tertentu yang sebenarnya banyak dimiliki juga oleh kelompok golongan lain. Namun bertolak dari itu semua, pesan yang terkandung dalam buku ini sangat bagus dan terasa menjadi seteguk air dari kehausan bangsa Indonesia yang merindukan sosok para kiai yang benar-benar faham terhadap realitas kehidupan yang pada akhir-akhir ini semakin langka. Dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti dan susunan kata yang elok, buku ini sangat pantas dibaca oleh semua kalangan dan semua golongan, yang pada akhirnya cita-cita dan gagasan yang terkandung dalam buku ini, yaitu menciptakan pribadi yang bijaksana dalam beragama dapat segera terwujud. Amin,. Selamat Membaca!!!!!

*Koordinator Aswaja Center IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32375/Buku/Kiai_Pribumi.html

No comments:

Post a Comment