Wednesday, July 13, 2011

Islam Krisis

Koran Tempo, 14 Jan 10

Mohamad Guntur Romli

KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid meninggalkan pengaruh yang dalam kepada diri saya jauh sebelum saya menjadi penyiarnya di acara Kongkow Bareng Gus Dur tiap Sabtu di Utan Kayu. Pada awal 1997, ketika saya baru lulus dari sebuah pesantren dan menjadi guru muda di pesantren itu, saya mengikuti sebuah pelatihan untuk guru dan santri se-Jawa Timur. Tuan rumahnya: Kajian 193 Universitas Islam Malang. Gus Dur hadir sebagai narasumber. Jujur saja, waktu itu saya tak suka Gus Dur dan Nurcholish "Cak Nur" Madjid. Saya memperoleh informasi tentang dua tokoh ini dari media-media, seperti Sabili, Media Dakwah, dan Hidayatullah. Kala itu saya mengidolakan sosok Amien Rais, yang dianggap sebagai representasi tokoh Islam. Sedangkan Gus Dur dan Cak Nur sering dituding oleh media-media itu "kurang kadar keislamannya".

Saya tidak terlalu tertarik akan presentasi Gus Dur. Sejak pertama kali melihat Gus Dur, saya tak sabar ingin mengeluarkan unek-unek saya (yang negatif). Setelah Gus Dur melakukan presentasi, saya yang pertama kali mengacungkan tangan untuk bertanya. Dimulailah percakapan dan dialog pertama saya dengan Gus Dur, yang mengubah haluan pemikiran saya.

"Gus, saya seorang santri. Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya ingin mengajak kita semua untuk meyakini Islam sebagai agama paling benar. Kalau kita sudah yakin, lantas bagaimana menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (menjadi berkah bagi alam semesta)?" Pertanyaan ini adalah sindiran saya yang halus kepada Gus Dur, yang menurut su'ud dzon saya pada dia--seperti yang saya baca dari media-media itu--Gus Dur tidak terlalu kuat Islamnya karena sering membela nonmuslim.

Respons Gus Dur di luar perkiraan saya. "Siapa nama santri tadi itu? Santri kok Islamnya krisis." Mendengar ucapan Gus Dur ini, belasan orang yang hadir tertawa terbahak-bahak. Saya hanya bisa tersenyum kecut. Ucapan Gus Dur seperti setrum megawatt yang menyengat saya. "Kalau kita sudah yakin pada Islam, tak perlu teriak-teriak lagi. Biasanya yang sering teriak itu masih ragu atau takut. Saya sering dianggap tidak Islam hanya gara-gara sering membela orang nonmuslim. Saya dianggap tidak ngerti ayat Quran yang berbunyi, 'tidak akan pernah rela orang Yahudi dan Kristen pada kamu (orang Islam) sampai kamu mengikuti agama mereka'," ujar Gus Dur, yang mengutip penggalan ayat ke-120 dari surat Ali Imran. Ungkapan Gus Dur itu juga seperti mengorek-orek asumsi-asumsi buruk yang menempel di otak saya.

Gus Dur melanjutkan, "Bagi saya, makna 'tidak rela' itu jangan didramatisir, dipahami biasa-biasa saja, karena sebaliknya kita orang Islam tidak pernah rela pada keyakinan mereka. Sama saja, kan? 'Tidak rela' bukan berarti mau menyakiti atau membunuh. Contohnya Siti Nurbaya tidak rela menikah dengan Datuk Maringgih. Ya, Siti tidak rela saja, bukan lantas dia ingin menyakiti atau membunuh Datuk Maringgih. Buktinya, Siti Nurbaya melahirkan anak-anak Datuk Maringgih." Orang-orang yang hadir kembali tertawa lebar mendengar tamsil Gus Dur soal "tidak rela" itu. Ketika menjawab pertanyaan saya tentang "Islam rahmatan lil alamin", Gus Dur mengutip wejangan KH Ahmad Siddiq bahwa Islam harus merawat tiga ikatan persaudaraan, yaitu "ukhuwah islamiyah" (persaudaraan keislaman), "ukhuwah wathaniyah" (persaudaraan kebangsaan), dan "ukhuwah basyariyah" (persaudaraan kemanusiaan). Jika mampu merawat tiga ikatan persaudaraan ini, Islam akan menjadi berkah bagi alam semesta.

Sindiran Gus Dur yang menganggap saya sebagai seorang muslim yang krisis--meskipun saya lulusan pesantren dan telah menimba ilmu keislaman selama bertahun-tahun--membuat saya kembali bertanya kepada diri sendiri. Benar juga komentar Gus Dur itu. Kalau saya benar memiliki keimanan terhadap Islam yang kuat, kenapa perlu teriak-teriak, yang menunjukkan saya masih ragu? Merasa paling benar memang kadang untuk menyembunyikan keraguan.

Pertemuan dengan Gus Dur itu telah meruntuhkan fanatisme saya yang sebelumnya mudah curiga dan menyalahkan pendapat orang lain; saya yang selalu menganggap diri sendiri sebagai muslim yang paling benar. Pertemuan itu juga mengubah image saya terhadap Gus Dur. Seperti menebus dosa, saya mulai rajin mencari dan membaca buku-buku karangan Gus Dur untuk mengenal pemikirannya secara langsung bukan dari tulisan atau perkataan orang lain. Ketika saya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Mesir, pada 1998, saya masuk Nahdlatul Ulama Mesir untuk mengukuhkan kekaguman saya kepada Gus Dur. Pun saya mulai tertarik untuk membaca pemikiran Cak Nur langsung dari tulisan-tulisannya.

Dalam kesempatan yang lain, Gus Dur juga sering merujuk pada soal "Islam krisis" ini pada fenomena kekerasan dan kebencian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal terhadap kelompok yang lain. Krisis yang dimaksud adalah rasa tak percaya diri atau diliputi penuh ketakutan. Kata Gus Dur, "Mereka itu dalam bayang-bayang ketakutan, merasa terkepung dan terancam oleh Barat, tapi di sisi lain pihak yang disebut lawan itu, Barat, juga merasa takut dan terancam oleh mereka." Inilah lingkaran ketakutan yang menyebabkan krisis, kecurigaan, dan kebencian terhadap pihak yang lain. Padahal sumber ketakutan dan apa yang ditakutkan sering kali tak jelas.

Pesan Gus Dur yang selalu saya ingat dan akan terus menjadi pegangan adalah "jangan takut". Seorang muslim yang baik dan memiliki iman yang kuat berarti telah terbebas dari ketakutan-ketakutan. Takut yang berasal dari kecurigaan yang bisa melahirkan kebencian dan permusuhan. Muslim yang percaya diri tidak akan pernah takut untuk terbuka kepada pihak luar. Membuka diri adalah bukti keberanian, sementara menutup diri merupakan reaksi ketakutan.

Dua tahun lalu saya menyampaikan "pengakuan dosa" ini kepada Gus Dur. Seperti biasa, Gus Dur hanya tertawa-tawa. Saya pun ikut tertawa geli, mengenang kekonyolan masa lalu.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/01/13/Opini/krn.20100113.18

Mohamad Guntur Romli
Penyiar Kongkow Bareng Gus Dur di KBR68H dari November 2005-2009

No comments:

Post a Comment