Thursday, November 11, 2010

Menakar ”Syahwat” Politik Santri

22/06/2009

Judul Buku : Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), 2009
Tebal : 304 halaman
Harga : Rp. 55.000,-
Peresensi : Humaidiy AS*

Islam dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati terlebih menjelang pil[pres Juli 2009 nanti. Dari perspektif politik (upaya mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan), suara umat Islam yang nota bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elit politik Indonesia, Islam ibarat "gadis cantik" yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai politik.

Abdul Munir Mulkhan melalui buku yang berjudul Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat, berusaha menelusuri sejauh mana manuver partai-partai politik berbasis Islam (diistilahkan oleh penulis sebagai politik santri) berhasil bertahan dalam lingkaran pertarungan politik praktis dengan berbagai ideologi yang di bawanya, lebih khusus mencermati kiprah perjalanan politik oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ”anak kandung” dari rahim gerakan Islam-tradisional; Nahdlatul Ulama (NU) dan gerakakan Islam-modernis; Muhammadiyah, yang tak lain adalah dua ormas terbesar di negeri ini.

Keterlibatan politik santri terlihat jelas dari perjalanan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti dirumuskan dalam khittah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.

Pada era 1950-an, terjadi pertentangan ideologis di antara partai politik yang ada. Konflik itu dipicu oleh perdebatan apa seharusnya yang pantas menjadi dasar negara setelah penjajahan. Perdebatan itu meliputi tiga macam yang harus dijadikan dasar negara, Pancasila, Islam, dan sosial ekonomi.

Partai-partai Islam menghendaki Islam dijadikan dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok partai nasionalis menolaknya. Rancangan pembukaan undang-undang dasar yang mengatakan, sila pertama ketuhanan dengan menjalankan syariah bagi pemeluknya, (Piagam Jakarta) ditentang oleh kelompok non-Islam. Melalui perbincangan yang sangat melelahkan, akhirnya umat Islam menerima keberatan kelompok non-Islam dan nasionalis dengan bersedia menghapus tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta. Sampai runtuhnya rezim Orde Baru, dasar negara tidak pernah dipertanyakan. Baru pada era Reformasi, dasar negara mulai dipertanyakan kembali. Muncullah sebagian kelompok Islam yang menghendaki Islam dijadikan dasar resmi kenegaraan dan memberlakukan syariat Islam sebagai hukum resmi pemerintah.

Asumsi yang digunakan, menggunakan Islam sebagai dasar negara adalah salah satu cara efektif untuk mengatasi krisis multidimensi bangsa Indonesia. Perbincangan Islam sebagai ideologi negara, kembali terjadi di antara partai politik Islam. PAN dan PKB secara tegas menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Alasannya, Indonesia terdiri dari penduduk yang pluralis dalam hal suku, etnis, agama, dan budaya. Sementara itu, PPP, PBB dan Partai Keadilan, setuju Islam menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pihak kemudian memandang bahwa keterlibatan gerakan politik gerakan Islam dalam dunia Islam bisa menghambat pertumbuhan demokrasi. (hal. 45).

Menurut penulis, perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan Islam dan kaum santri dalam dunia politik diakibatkan bahwa kaum santri meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai realisasi kebenaran ajaran agama yang sebenarnya profan dan sangat ptragmatis. Cara pandang ini menyebabkan aktivitas politik santri mengalami kesulitan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih (hal. 233).

Walaupun lebih dari 87% penduduk Indonesia memeluk Islam, tidak semua pemeluk Islam kemudian mendukung partai Islam. Ironisnya, perolehan suara partai Islam dalam seluruh pemilu yang dilangsungkan tidak pernah mencapai 50% dari jumlah pemeluk Islam. Suara tertinggi dicapai dalam pemilu pertama tahun 1955 (43%) dan cenderung terus mengalami penurunan.

Kenyataan ini akan terus bergulir berkelindan sepanjang identitas ideologi politik partai islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung elitis, sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai flatform (bentuk kebijakan) oleh partai-partai berbasis nasionalis atau sekuler. Simpati publik pun mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya menawarkan flatform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.

Lebih jauh, jika kita perhatikan, politik Islam Indonesia memang banyak yang bercorak formalistik dan jauh dari substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang berbuntut perpecahan internal banyak terjadi di tubuh partai Islam atau berbasis umat Islam. Perpecahan dan konflik hampir merata terjadi di tubuh PPP, PKB, PAN dan PBB adalah fakta yang tak terbantahkan. Hanya jika islam ditawarkan dengan bahasa rakyat, peluang partai santri memperoleh dukungan mayoritas pemilih muslim dan rakyat secara keseluruhan akan terbuka.

Membangun sinergi kesadaran

Masa depan suatu partai, apakah ia dibangun dari sebuah keyakina teologis, tradisi lokal ataupun ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivitas partai tersebut membangun komunikasi dengan konstituen. Kegagalan perjuangan politik Islam terjadi terutama tidak adanya kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Kenyataan demikian dapat dilihat setidaknya dari dua hal, pertama, anggapan bahwa doktrin yang berupa wahyu tampak hanya bersifat konseptual dan universal tanpa kesadaran perlunya tafsir ulang. Sebut saja misalnya penolakan-penolakan mereka terhadapa de-ide Barat dan kengototan untuk menerapkan syariat islam secara formal.

Kedua, doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu utama dalam aksi politik. Artinya, meskipun partai Islam menekankan pada egaliteranisme, keadilan dan kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan sosial lebih ditonjolkan oleh aktivis Islam politik. Hal ini tampak pada pragmatisme dan opurtonisme yang banyak menjalar pada politisi Islam.

Mulkhan dalam penelusuran bab demi bab dalam buku setebal 304 halaman ini menekankan, bahwa jika ingin merebut simpati masyarakat muslim dan memenangi pemilu, parpol Islam harus melepas keengganan untuk membangun sumber daya manusia (generasi muda santri), terutama melalui pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien. Selama ini, kekuatan politik santri lebih banyak dikerahkan pada aspek ideologis simbolis dan kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat saja.

Politik umat Islam ke depan –meminjam istilah Kuntowijoyo— haruslah melakukan objektivitas terhadap praktik perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang bergerak dilevel partai dan ormas keislaman seyogyanya memperjuangkan aspek-aspek substansi islam, memperbaikai pendidikan dan pemberantasan KKN serta bersikap toleran terhadap umat agama lain demi pelakukan pembebasan kemanusiaan. Di luar itu semua, bangsa Indoenesia suadah selayaknya tidak lagi terjebak dalam simbol-simbol politik semacam sosialis, agamis ataupun nasionalis.

Yang dibutuhkan bangsa sekarang ini adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas tindakan dan kebijakan politik demi tumbuhnya iklim demokratisasi yang sehat. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum, moral dan budaya Indoensia sudah saatnya diselesaikan dengan cara membangun sinergi kesadaran bersama oleh setiap elemen bangsa ini tanpa terjebak pada simbol golongan dan ideologi. Selamat membaca!


*Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=18092

No comments:

Post a Comment