10/12/2007
Penulis: KH Ali Maschan Moesa
Judul Buku: Nasionalisme Kiai; Konstruksi Nasionalisme Berbasis Agama
Cetakan I: November, 2007
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Tebal: xxii + 358 Halaman
Peresensi: Heppy Ikmal*
Ali Maschan Moesa, sosok yang satu ini, hadir sebagai tokoh dengn tipologi moderat. Dari berbagai pemikirannya, baik tulisan dan beberapa pidatonya dalam seminar maupun sebagai dosen, ia lekat dengan pemikiran pluralismenya. Yaitu sebagai upaya memahami perbedaan sebagai sunnatullah, sebagai sesuatu yang sudah ditetapkan dan tidak bisa dihindarkan, dan juga bagaimana membangun kehidupan yang plural menjadi kekuatan yang sinergis. Hal itu juga bisa kita lihat keromantisan dengan seniornya, KH Hasyim Muzadi dalam mengusung Islam Rahmatan Lil Alamin sebagai agama yang dapat memberi kasih sayang kepada seluruh manusia dan alamnya.
Kemoderatannya pun nampak pada karya yang satu ini, “Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama”. Di sini, Ali Maschan mendesain ulang pemahaman nasionalisme, sebagai upaya aktualisasi dengan kondisi bangsa Indonesia yang plural. Dengan kata lain, bisa saya bilang “konstruksi makna nasionalisme berbasis pluralis”.
Melihat beberapa konflik yang marak terjadi setelah runtuhnya rezim Orde Baru (Orba) pada Mei 1998, banyak kalangan yang menilai, reformasi dengan kebebasan tak terbatas. Kekerasan demi kekerasan bermunculan, yang bermula dari konflik sektarian yang berdimensi vertikal-antara pemerintah pusat dengan daerah-maupun horizontal-antaretnis, suku maupun agama.
Selain itu, politik yang dikembangkan Orba dijalankan atas kekuatan represi dan dominasi serta bersifat otoritatif dalam menghadapi masyarakat yang plural. Hal ini bukan saja pembohongan terhadap masyarakat dalam melihat kemajemukan tadi, akan tetapi ada upaya pemaksaan oleh sistem yang berlaku.
Untuk itu, pemahaman akan pluralitas sangat penting, dengan masyarakat terhadap relitas obyektif, tidak atas dasar dominasi kekuasaan politik sehingga masyarakat bisa menilai sendiri kenyataan perbedaan sebagai suatu yang alami (natural), atau istilah agamanya; sunnatullah. Sehingga dengan pemahaman masyarakat yang relistis tersebut diharapkan tumbuh solidaritas sehingga perbedaan bukan lagi memunculkan konflik tetapi sebaliknya, sebagai kekuatan yang sinergis, membangun nilai kebersamaan atas dasar kemasyarakatan (asysu’ubiyah), secara berkesinambungan akan melahirkan rasa kebangsaan yang utuh (nasionalisme).
Di sisi lain, untuk mewujudkan pemahaman akan plural tersebut, tidaklah mudah. Menciptakan negara di atas multi-etnis, ras dan agama, ada beberapa kendala, dalam hal ini sebagian kalangan agama menganggap agama bertentangan dengan nasionalisme, bahkan gagasan khilafah atau pan-Islam yang muncul di era HOS Cokroaminoto, kini telah tumbuh kembali ke permukaan Bumi Pertiwi.
Dalam kajian buku ini, Ali Maschan menemukan hal yang sebaliknya. Bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme, bahkan agama bisa menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antarbangsa. Jika dianalisis, Ali Maschan lebih melihat agama sebagai basis kehidupan masyarakat atau kepribadian umat (paradigma Islam kultural), daripada harus membentuk suatu komunitas agama yang di sisi lain mengekploitasi hak umat lain. Dari sini pentingnya pemahaman nasionalisme.
Masalahnya, konsep nasionalisme yang ada selama ini identik dengan perlawanan terhadap kaum kolonial, seperti bentuk nasionalismenya KH Hasyim Asy’ari—pendiri Nahdlatul Ulama (NU)--yang terbingkai dalam Revolusi Jihad, sedangkan nasionalismenya Bung Tomo ditunjukkan dengan gema takbir (Allahu Akbar) yang mengobarkan semangat pemuda Surabaya dalam melawan kaum kolonial. Dilihat dari konteks sekarang, tidak ada kolonialisme terutama penjajahan fisik, dari situ haruskah nasionalisme pupus? Lantas, bagaimana nasionalisme yang relevan dalan konteks kekinian?
Pada dasarnya Ali Maschan, lewat tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Yaitu, upaya merekonstruksi makna (meaning construction) nasionalisme dalam konteks sekarang. Dalam kajian ini, Ali Maschan mengkaji pendapat para kiai, terkait konsep nasionalisme dalan agama dan juga rekonstruksi makna nasionalisme itu sendiri. Di sini, Ali Maschan mengunakan teori konstruksi sosial dalam membedah sosok kiai tersebut, yang di sisi lain dijadikan subyek. Sehingga, dengan pemahaman konstruksi sosial, kiai dianggap sebagai sosok individu yang mempunyai kesadaran realitas obyektif diharapkan dapat memberikan pemikiran yang obyektif pula, termasuk hubungan nasionalisme dengan agamanya.
Dengan berparadigma kontruksi sosial, maka agama bisa dikonstruksi oleh kiai sebagai pencerah dan interpretasi teks yang mampu menompang transendensi ke arah nasionalisme.
Namun demikian, tidak terlepas dari peran kiai sendiri yang memiliki pengaruh terhadap fenomena sosial keberagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan wibawa yang di bawaya, diharapkan sang kiai mampu memberikan pemahaman nasionalisme yang kontekstual. Hal ini akan memberikan andil yang besar terhadap terciptanya kesatuan bangsa kita. Di sisi lain, pejabat kita yang mengemban amanat bangsa, citra buruknya lebih sering muncul dalam media, atau bisa dibilang rakyat kita krisis kepercayaan terhadap pejabat negara ini. Dengan pertimbangan itu, kiai di sini dijadikan subyek.
Sebagai catatan, tidak bisa dipungkiri apabila kiai yang dijadikan subyek di sini, adalah segelintir dari kiai yang tidak muat apabila dimuat Titanic. Terlepas dari kredibilitas penulis, dengan pembahasan materi yang kompleks tapi akurat, menjadi nilai lebih. Kehadiran buku ini di tengah-tengah kehidupan yang majemuk, multi-etnis, suku, ras dan agama akan memberikan pemahaman yang berharga dalam memahami kemajemukan tersebut, yang tentunya akan memberikan andil besar terhadap terciptanya kesatuan bangsa dan pemahaman nasionalisme.
Disadari atau tidak, sebenarnya nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari telah banyak ditawarkan kepada kita. Nasionalisme ala produk Indonesia “Aku cinta produk Indonesia” atau “Kita untung, bangsa untung”, ala parpol “Bersama membangun bangsa” dan sebagainya, yang sebenarnya hanya bermuatan kepentingan pribadi. Percaya atau tidak, hal itu tidak terlepas dari tidak jelasnya konsep nasionalisme yang ada di kehidupan sekarang. Akhirnya, kita harapkan akan muncul sosok tokoh yang dapat merumuskan persatuan Indonesia dengan konsep nasionalismenya.
*Peresensi adalah Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Santri Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad, Surabaya.
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10973
No comments:
Post a Comment