17/03/2008
Judul Buku: Menjadi NU, Menjadi Indonesia (Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi)
Penulis: Ayu Sutarto
Penerbit: Khalista, Surabaya
Cetakan: II, Januari 2007
Tebal: xv + 119 Halaman
Peresensi: Ach Syaiful A'la
Tak lama setelah terbit, buku berjudul Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah Muchith (2006), kini terbit buku Menjadi NU, Menjadi Negara, Pemikiran KH Abdul Muchith Muzadi, akrabnya biasa disapa Mbah Muchith.
Buku ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kalau buku Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah Muchith, isinya banyak mendiskripsikan biografi Mbah Muchith, sejak masa remaja, pendidikan, pengabdian di masyarakat, organisasi, sampai bagaimana membina kehidupan dalam rumah tangga (keluarga).
Buku karya Ayu Sutarto ini, isinya lebih pada pemikiran-pemikiran Mbah Muchith tentang ke-NU-an. Misalnya, NU dan Politik, NU dan Muhammadiyah, NU dan Pesantren, NU dan Konflik Internal, NU dan Kiai Khos, sampai bagaimana menjadi NU dan Menjadi Indonesia. Semua, beberapa poin pembahasan di atas dijelaskan secara rinci dibagi dalam beberapa bab/sub bahasan masing-masing.
Lama mengabdikan dirinya di NU, Mbah Muchith berusaha menyelamatkan dan menjaga jam'iyah diniyah ijtima'iyah (NU) ini tidak dibawa untuk kepentingan pribadi secara politis. Jadi, tak heran jika Mbah Muchith sering menjadi sasaran anak-anak muda, wartawan untuk berbicara masalah perjalanan dan perjungan NU serta pengalaman dirinya di NU.
Selain itu, seringkali dijadikan obyek penulisan, bahkan di beberapa buku, mengandalkan Mbah Muchith sebagai narasumber utamanya. Hal semacam inilah yang menunjukkan bahwa Mbah Muchith hingga kini adalah sosok kiai ‘layak jual’.
Kiranya tidak berlebihan jika penulis memberi julukan pada sosok Mbah Muchith sebagai penulis, pencatat, sejarawan atau lebih pasnya disebut sebagai pelaku sejarah NU. Bahkan, bisa dibilang ia adalah politisi ulung, karena pengalamannya sejak dulu di organisasi politik.
NU dan Negara
Melihat NU ke belakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag diberikannya pada bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan kepada Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dalam aksi menuntut "Indonesia Berparlemen". Ketika itu pula, para tokoh NU turut aktif dalam Badan Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini, tidak heran jika KH Wahid Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan" yang merumuskan "Piagam Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut, NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik: 10 November 1945 dan kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.
Lebih dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Ketika itu (1984), dengan "berani", NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat mana pun di Indonesia. Bahkan, KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam Pengurus Besar NU menyatakan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat Islam mendirikan negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi negara Pancasila, harus berhadapan dengan NU. Belum lagi peristiwa-peristiwa mutakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil hal yang disumbangkan organisasi ini.
Pandangan Mbah Muchith, menjadi NU harus juga menjadi Indonesia. Keduanya (NU dan Negara) tidak bisa dipisahkan. Karena, NU lahir dan menjadi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, berada di Indonesia.
Menjadi NU tidak sekedar mengaku, mengklaim bahkan hanya mengantongi Kartu Anggota Nahdlatul Ulama (Kartanu). Seperti yang dipermainkan para politisi NU saat ini. Semuanya mengaku sebagai sebuah organisasi atau sarana aspirasi politik (parpol) warga NU dalam perpolitikan Indonesia. Padahal, sebelumnya tidak pernah—bahkan tidak sama sekali—berbuat atau memberikan sumbangsih apa pun pada NU.
Hal semacam itu, hingga kini yang disesalkan oleh Mbah Muchith. Sama halnya dengan orang yang mengaku Islam (‘Islam KTP’), perbuatannya tidak mencerminkan sikap, karakteristik, dan perilaku yang Islami.
Mbah Muchith: "Seorang warga NU yang baik adalah benar-benar tahu apa yang dicita-cita oleh NU. Tapi, harus mengerti juga jatidiri terhadap sosial keagamaan yang ada di Indonesia" (halaman 100).
Walau akhir-akhir ini banyak buku terbit terkait NU atau masalah yang membelit NU pada situasi dan kondisi tertentu. Tapi, terkadang belum menyentuh atau memaparkan seperti apa NU? Kenapa NU? Dan bagaimana seharusnya NU?
Buku ini menegaskan kepada pembaca agenda besar dan sesuatu yang ingin diraih NU. Serta menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia. Sehingga buku ini penting dimiliki kiai, santri, warga Nahdliyyin, akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang masih banyak yang harus dibenahi dalam tubuh NU.
*Peresensi adalah aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia IAIN Sunan Ampel Surabaya
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11873
No comments:
Post a Comment