20/08/2007
Judul Buku: Perjalanan dan Ajaran Gus Miek
Penulis: Muhammad Nurul Ibad
Editor: Fahruddin Nasrullah & A. Muhaimin Azzet
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2007
Tebal: xx + 336 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti*
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisannya mengatakan, istilah kiai, gus, bindere, dan ajengan adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, baik yang ada di pulau Jawa maupun di luar Jawa.
Sementara, menurut teori yang dilakukan Clifford Geertz yang menyebutkan, kiai sebagai “makelar budaya” (cultural brokers). Teori ini, kiai harus mampu membendung dan menjaga terhadap dampak negatif arus budaya yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat tradisional saat ini. Belum lagi kalau seorang kiai yang memiliki kualifikasi penuh, dan spesialisasi tersendiri dalam disiplin ilmu ke-Islam-an yang ia kuasainya. Kiai seperti ini, misalnya, KH. Hamim Djazuli, atau akrab disapa Gus Miek.
Gus Miek, putra KH. Jazuli Utsman, salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnuya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal.
Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid, Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.
Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan (hal: 113 dan 133).
Buku ini, mengulas tuntas perjalanan Gus Miek sejak ia lahir sampai kematian yang menjadi langkah awal untuk berjumpa Sang Khaliq. Di samping itu juga, buku ini mengisahkan seputar kearifan dan lika-liku perjalanan seorang Gus Miek. Gus Miek adalah, salah seorang dari sekian ulama besar Jawa yang berkharisma lantaran Allah telah menganugerahinya sebuah keistimewaan yang jarang dimiliki khalayak umum.
Dengan demikian, di balik keistimewaan dan karifan Gus Miek yang menyimpan banyak kisah mesteri dan penuh kontroversial ini, sangatlah penting untuk patut diteladani, khususnya bagi masyarakat pesantren. Karena apa yang dilakukan Gus Miek, tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan perilakunya.
Selain itu, buku ini adalah hasil penelitian yang diperoleh melalui metode kualitatif yang berupa pengamatan dan wawancara mendalam ke berbagai tokoh. Dengan cara demikian, Muhammad Nurul Ibad, penulis buku ini, telah menentukan pilihan yang amat sesuai dengan bakatnya, sehingga, darinya dapat diperoleh informasi yang begitu langsung dari para keluarga Gus Miek, dan 100 tokoh yang tersebar mulai dari Jakarta sampai Jember.
Sungguh menarik, gambaran hasil penelitian penulis mengenai sosok perjalanan Gus Miek semuanya disajikan dengan bahasa yang egaliter, sistematis, komonikatif sehingga siapa pun, dari kasta sosial apa pun mudah menangkapnya.
Sayang, penulis buku ini hanya banyak mengandalkan hasil-hasil penelitian yang diproleh secara kuantitatif yang berupa pengamatan dan wawancara saja, tidak secara kualitatif. Sehingga dimungkinkan data-data yang diperoleh penulis itu tidak valid. Sebab, bisa jadi data itu tidak sama dengan maksud tokoh-tokoh tersebut.
Dari buku ini setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauhmana bisa kita mengenal sosok, dan latar belakang Gus Miek. Dengan harapan, agar muncul para penulis dan peneliti yang bisa menulis biografi para tokoh-tokoh lain, terutama tokoh pesantren. Karena, selama ini buku-buku yang membahas tokoh-tokoh pesantren relatif terbatas.
* Peresensi adalah pecinta buku, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Kini Aktif sebagai guru pada Madrasah Ibtidaiyah Al-Qodiri, Batang-batang, Sumenep, Madura.
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10016
No comments:
Post a Comment