Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama
17/06/2006
Mengenal Komunikasi Politik Warga NU
Sebagai bagian dari krisis ilmu social di Indonesia, maka kajian Islam dam kajian NU khususnya oleh para akademisi baik domestik maupun asing mengalami krisis yang luar biasa yakni mengalami kemiskinan teori dan pendekatan. Akibatnya teori-teori usang seperti teori modernisasi, yang lebih banyak menyesatkan ketimbang menjelaskan, masih saja digunakan. Dunia terus bergerak, masyarakatpun terus berubah, tetapi para ilmuwan selama seperempat abad ini tidak mengalami perubahan, sehingga mereka keliru dalam melihat masalah, masih mengunakan kacamata hitam masa lalu, sehingga kondisi riil saat ini yang warna-warni pun masih dilihat sebagai hitam.
Kajian Komunikasi Politik NU yang dilakukan oleh Asep Saeful Muhtadi, masih menggunakan pendekatan modernisasi semacam itu. Dengan memfokuskan kajian pada jaringan dan proses komunikasi politik,maka di sini NU dianggap memiliki system komunikasi politik tersendiri. Komunikasi tersebut berlangsung melalui prosespemilihan, penggabungan dan pengungkapan aspirasi politik berdasarkan aturan yang telah disepakati. Komunikasi itu memiliki dua arah yakni meneruskan informasi politik dari atas kebawa dan menyalurkan aspirasi rakyat pada penguasa.
Untuk mengenali jaringan komunikasi itu perlu pengkajian serius, kalau perlu menggunakan pendekatan etnografis, agar peneliti memahami betul denyut jantung komunitas NU, sehingga bias melihat bahkan merasakan bagaimana proses komunikasi tersebut berjalan baik yang bersifat personal maupun kelompok. Tetapi yang terjadi sebaliknya NU diukur dengan realitas peneliti sendiri, tidak bagaimana masyarakat NU mencitrakan dirinya sendiri. Jatidiri dan ideology NU tidak cukup dikenali. Kalaupun menyinggung akidah NU, tetapi hanya digunakan untuk membenarkan sikap politik NU, tetapi bukan sikap dasar NU. Dengan cara itu dia menjadi rancu, tidak bisa memilih mana politik NU bidang kenegaraan dan politik di bidang kepartaian aatau pemerintahan.
Ketidakmampuan membedakan antara level politik yang dimainkan itu menyeret peneliti untuk membuat penilaian yang salah, misalnya dengan menggunakan stereotipe NU yang tradisional, akomodatif, konservatif yang dibikin oleh para orientalis itu dengan tanpa daya kritis digunakan oleh para ilmuwan Indonesia, sehingga ketika NU mengatakan akan mempertahankan negara Hindia Belanda dianggap pro penjajah. Tentu saja tidak, sebab Negara Hindia Belanda (Indonesia) itu milik bangsa Indonesia, yang kebetulan sedang dikuasai Belanda, karena itu tidak boleh dihancurkan leh penjajah yang lainnya lagi. Dengan demikian bangsa Indonesia akan bisa konsentrasi menghadapi Belanda sebagai musuh, yang harus dpaksa meninggalkan negeri ini. Jadi di sini tidak ada istilah oportunis atau akomodatif, tetapi soal pertahanan kedaulatan negara.
Begitu juga terhadap gelar waliyul amri pada Soekarno, bukan dalam rangka mengkultuskan, tetapi disamping berkaitan dengan soal teknis perwalian dalam nikah, ada suatu agenda besar untuk mengganjal gerakan sparatis darul Islam (DI) yang akan mendirikan negara Islam, sementara NU menghendaki negara Nasional. Demikian juga terhadap asal pancasila, buka karena pro Soeharto, karena sejak awal, zaman pasca kemerdekaan NU sudah memilih negara nasional dan Pancasila sebagai fsalsafah negaranya. Sehingga penerimaaan Pancasila pada tahun 1984 itu hanya sebagai penegasan kembali, kesetiaannya pada dasar negara itu. Tetapi para peneliti yang umumnya kaum modernis tidak memahami prinsip dasar NU, Nu tidak membela Soekarno atau Soeharto, tetapi NU memiliki kesamaan visi dengan mereka dalam soal politik kenegaraan yang mengutamakan keutuhan kedaulatan dan kerukunan.
Dengan demikian persoalan tersebut memeng tidak membutuhkan system komunikasi yang canggih dan verbal, sebab soal tersebut sudah menjadi sikap politik bahkan pandangan hidup kaum Nahdliyin. Komuniaksi politik lebih banyak diisi dengan persoalan yang lebih praktis, apakah soal pilihan partai politik, soal pembangunan atau soal hokum dan pendidikan, atau respons-respon terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat temporal. Di situlah system komunikasi berjalan efektif lewat berbagai medium yang sangat banyak jumlahnya di NU. Di samping melalui surat kabar, komunikasi telepun bahkan sekaran internet.
Jaringan komunikasi di NU itu sangat beragam, ada jaringan budaya, jaringan intelektual jaringan spiritual hingga ke jaringan bisnis, tetapi semuanaya itu tidak diperhatikan dalam buku ini. Jaringan pesantren beserta alumninya selama ini paling cepat menyebarkan informasi, bahkan jaringan tarekat juga merupakan sarana efektif dalam komunikasi warga NU. Apalagi jaringan yang lebih kontemporer seperti jaringan intelektual dan jaringan bisnis den
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8227
No comments:
Post a Comment