Oleh :
Abdurrahman Wahid
Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah saudara sepupu KH. M. Hasjim As’yari dari Pondok Pesantren Tebu Ireng (Kabupaten Jombang) dan KH. A. Wahab Chasbullah dari Pondok Pesantren Tambak Beras (Kabupaten yang sama) mereka bertiga memiliki kemenakan (bagi KH. M. Hasjim As’yari yang seorang adalah anak kandung, yaitu KH. A. Wahid Hasjim, yaitu ayah penulis artikel ini). Ketiga kemenakan itu adalah si anak kandung KH. A. Hasjim As’yari tersebut KH. A. Kahar Mudzakir (belakangan menjadi salah seorang ketua pucuk pimpinan Muhammadiyah) dan Ahmad Djoyodiguno (pendiri Gerakan Ahmadiyah di Indonesia). H.O.S. Tjokroaminoto memiliki menantu bernama Soekarno, dibelakang hari terkenal dengan nama Bung Karno, setelah ia lulus sebagai arsitek dari Sekolah Tinggi Teknologi (sekarang Institute Teknologi Bandung) terkenal dengan singkatan ITB.
Karena kekrabatan itu, tidak heranlah jika sejak 1919 ajaran agama Islam dan semangat kebangsaan/nasionalisme didiskusikan bersama antara ketiga orang bersepupu itu dan Soekarno. Hasilnya adalah sikap untuk tidak mengutamakan Islam dalam kehidupan bernegara di negeri ini. Dimata mereka bertiga, dan Soekarno, ajaran Islam dan semangat kebangsaan/nasionalisme harus senantiasa didialogkan. Hasilnya di tahun 1945, lahirlah negara Pancasila yang membedakan antara ajaran Islam disatu pihak, dan Negara Republik Indonesia (NKRI). Nah, ini adalah sebuah proses pribumisasi, sebagai hasil dari diskusidiskusi yang terjadi antara H.O.S. dan menantunya Soekarno serta keluarga-keluarga yang lain itu.
Pribumisasi ajaran Islam dengan cara begini, tentu saja tidak dapat diterima oleh fundamentalis/radikalis, yang hanya mau tahu bahwa ajaran agama Islam yang resmi saja dipakai untuk semua urusan di dunia ini. Padahal pandangan tersebut tidak relevan bagi mayoritas kalangan santri. Ayat kitab suci Al-Qur’an “hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian-Ku dan Ku-relakan Islam sebagai agama” (Al-yauma Akmaltu dinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa raditu Al-Islammah dinan). Tidak cukup hanya dengan ajaran-ajaran formal Islam saja melainkan diperlukan juga aplikasi sejarah Islam. Dalam hal ini kedua sisi ajaran formal agama Islam dan pelaksanaan ajaran-ajaran agama tersebut dalam masyarakat harus diperhitungkan. Penulis artikel ini sendiri membagi dunia Islam dalam melaksanakan ajaran-ajaran tersebut menjadi enam studi kawasan.
Yang pertama adalah Islam di masyarakat Afrika hitam/Islam Sub-Sahara, lalu Islam di masyarakat-masyarakat Afrika Utara dan Arab, Islam di masyarakatmasyarakat Turko, Persia dan Afganistan, Islam di masyarakat-masyarakat Asia Depan (Bangladesh, India, Nepal, Pakistan dan Sri Langka), masyarakat-masyarakat Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan masyarakat-masyarakat minoritas Islam di negeri-negeri industri maju. Karena itu, diperlukan sebuah studi kawasan Islam (Islamic Area Studies). Penulis artikel ini mengajukan usul kepada universitas PBB (United Nations University) di Tokyo, dengan Rektor Sujatmoko pada tahun 1985 agar didirikan beberapa pusat studi sesuai dengan jumlah kawasan-kawasan tersebut, disamping sebuah pusat untuk meliput semua studi kawasan tersebut. Sampai pada saat ini, gagasan tersebut belum pernah mendapat jawaban tertulis oleh pihak pimpinan universitas tersebut dan penulis artikel ini menganggap tidak akan pernah gagasan tersebut dilaksanakan.
Disinilah terletak perbedaan antara pendekatan serba formal, yang dianut pihak fundamentalistik – radikalistik disatu pihak, dan pendekatan yang lebih realistik dalam melihat kenyataan-kenyataan yang ada. Dikhawatirkan, pendekatan realistik dalam bentuk kajian kawasan Islam (Islamic Area Studies) itu, akan luntur ke-Islaman seseorang, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh kenyataan-kenyaatan yang ada. Tetapi, kedua macam aplikasi ajaran Islam itu, tidaklah harus bermusuhan satu dengan yang lain. Sebagaimana dinyatakan penulis artikel ini kepada sebuah seminar di Cilorado tahun lalu, untuk menerima kenyataan bahwa harus ada dialog antara mereka dan kaum muslimin fundamentalistik-radikalistik itu betapapun sulit dan rumit hal itu harus dijalankan. Penulis arikel ini sendiri tidak dapat menganggap kaum Fundamentalis – Radikalis itu sebagai orang yang keluar dari kenyataan Islam, dalam bahasa kaum muslimin disebut sebagai kafir.
Untuk maencapai anggapan seperti itu, penulis artikel ini harus menganggap mereka sebagai kafir. Hal itu dilarang oleh Nabi Muhammad SAW dengan ucapan beliau “orang yang mengkafirkan saudaranya sesame muslim, Ia sendirilah yang kafir” (Man kaffara Akhhahu Musliman Fahuwa Kafirun). Karena itu, penulis artikel ini bersikap seperti dikemukan di atas. Yang kita lawan bukanlah orangnya melainkan tindakan-tindakan yang dilakukan. Karena itu, ketika penulis artikel ini ditanya mengenai Abu Bakar Ba’asyir, dijawab bahwa ia tetap seorang muslim, karena ia telah menjalani hukuman bagi apa yang ia lakukan, dan tidak harus dihukum karena keyakinannya itu. Kalau ia melakukan kembali tindakan melawan hukum maka baru ia dapat dihukum sesuai dengan tindakan tersebut setelah melalui proses pengadilan. Prinsip inilah yang penulis artikel ini dipegang teguh selama ini. Hal ini dilaksanakan untuk menjaga agar ajaran agama Islam tetap murni, bukan?.
Jakarta, 12 Maret 2008
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
No comments:
Post a Comment