Fiqh Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari
17/06/2006
Peresensi :Siti Nurul Islam *
Semua Amaliah NU itu Ma’tsurat atau ada landasan hukumnya. itulah kesan yang muncul bila membaca buku Fiqh Tradisionalis ini. Hal itu tidak bisa dielakkan, karena buku buku ini sengaja (atau tidak) didesain untuk menjawab segala tudingan terhadap amaliah NU. Bahwa, amaliah NU yang ghairu ma’tsurat (tidak berlandas) yang ada padaku (Muhammad SAW dan para sahabat). Tudingan itu sama halnya mempersamakan orang-orang NU sebagai ahlul tahayul wal bid’ah wal khurafat penganut tahayul, bid’ah dan khurafat). Dan itu tentu sangat menyakitkan Kendati demikian, selama ini belum ada kiai NU yang mengklarifikasi tudingan di atas dengan pendekatan akademik ilmiah, melainkan hanya pendekatan retorika politik. Baru pada usia 78 tahun NU, ada kiai yang secara serius dan intensif melakukannya sebagai sumbangsih ideologis kepada generasi NU mendatang dalam mempertahankan ajaran dan gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia.
Menarik lagi, bila membaca satu demi satu pelbagai persoalan keagamaan sehari-hari yang diangkat dalam buku ini. Ternyata, dari 10 bab dan 99 sub bab, persoalan keagamaan yang diangkat bukan hanya seputar fikih, tetapi juga akidah. Namun mengapa menggunakan judul Fiqh Tradisionalis? Istilah “Fiqh” lazim dalam khazanah keislaman klasik digunakan dalam persoalan fikih dan akidah sekaligus. Imam Malik, salah satu imam madzhab dari empat imam madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali), menggunakan istilah Fiqh al-akbar dalam akidah dan fiqh al-ashghar dalam fikih. Semua itu kulitnya saja.
Sedang kulit dalamnya dalam buku ini menguraikan tradisi keagamaan NU. Seluruh keyakinan dan amaliah NU adalah ma’tsurat (berlandas) pada tradisi keagamaan Rasulullah dan para sahabat. Survey membuktikan, melafalkan niat salat, qunut, memegang tongkat dalam khutbah Jum’at, salat tarawih 23 rakaat, zakat untuk guru ngaji, ru’yatul hilal, selamatan haji, talqin, ziarah kubur, tawassul, merayakan maulid Nabi Muhammad saw., hizib dan azimat, mencium tangan kiai dan masih banyak lagi, ternyata semuanya berdasarkan pada tradisi Rasul dan para sahabat.Bahkan, ulama yang menjadi rujukan penentang tradisi keagamaan tersebut juga tak jarang yang membenarkannya. Sebagai bukti, Imam Ramli menganjurkan melafalkan niat salat untuk membantu hati guna menghindari was-was, walau niat ada di dalam hati. Hal itu berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas r.a. bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW melafalakan niat haji. Melafalkan niat bukan hanya berlaku pada ibadah haji saja, melainkan juga pada ibadah-ibadah lainnya (hlm: 74-75).
Imam Nawawi menganjurkan membaca doa Qunut pada salat Subuh. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Anas bin Malik r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa membaca Qunut pada salat Subuh sampai beliau wafat. Sahabat Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, al-Barra’ bin Azib, juga melakukan hal yang sama dalam sepanjang hidupnya (hlm:87-88). Kebanyakan ulama menganjurkan memegang tongkat pada saat khotbah. Hal itu berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, bahwa Rasulullah saw. memegang busur panah dalam kondisi perang, dan memegang tongkat pada saat salat Jum’at. Al-Shan’ani dalam kitab Subulussalam, menjelaskan bahwa khotbah disunnahkan memegang tongkat, agar bisa konsentrasi dan khusu’(hlm:116-118).
Syekh Ali al-Shobuni, Syekh Isma’il, Ibnu Taimiyah, Abdullahbin Abdil Wahab, dan Imam Malik menjelaskan bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat. Hal itu berdasarkan pada Sunan Tirmidzi, bahwa para ulama lebih memegang hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang melaksanakan salat Tarawih 20 rakaat, dan salat Witir 3 rakaat. Dan mulai dari dulu sampai kini, salat Tarawih di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah, sebanyak 20 rakaat (hlm:124:127).
Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyati memperkenankan guru untuk menerima zakat asalkan guru ngaji itu tidak mampu secara ekonomi. Mungkin karena kesibukannya membimbing generasi muslim agar melek al-Qur’an, dan bebas dari buta huruf al-Qur’an, sampai-sampai ia tidak atau kurang mempunyai kesempatan mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (hlm:152-153).
Ahmad al-Syarbashi menyatakan bahwa kebanyakan ulama sepakat untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban dan Ramadhan. Hal itu berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar ra., bahwa berpuasa atau berbuka puasa dilarang sebelum melihat bulan, dan kalau mendung, maka bilangan bulan disempurnakan menjadi 30 hari (hlm:157-159).
Bakr Muhammad Isma’il menganjurkan jamaah haji yang telah kembali untuk melaksanakan tasyakuran dengan mengundang fakir miskin, tetangga dan handai taulan dengan menyembelih onta, sapi atau kambing. Hal itu brdasarkan pada hadis yag diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari J
Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8241
No comments:
Post a Comment